Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116775 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laode Ida
Jakarta: Grafindo Persada, 1999
324.2 LAO g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ida, Laode
Jakarta RajaGrafindo Persada 1999,
923.2 WAH i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS), 2001
324.2 PAR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rodja
Jakarta: Lembaga Pengembangan Produktivitas, 1994
329.598 MUH p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kris Nugroho
"ABSTRAK
Penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi parpol dan Golkar tahun 1985 bertolak dari asumsi bahwa kehidupan politik kepartaian akan berjalan lebih stabil jika semua parpol telah mendasarkan diri pada asas/ideologi politik yang sama. Perbedaan-perbedaan ideologi politik di antara parpol diharapkan tidak lagi akan menjadi penyebab timbulnya konflik-konflik ideologi antar parpol seperti terjadi pada masa lalu. Adanya Pancasila satu-satunya asas juga berarti program-program kampanye parpol berorientasi pada masalah-masalah nyata kemasyarakatkan dan kenegaraan sebagai sumber program mereka dan tidak lagi berorientasi pada ideologi ciri masing-masing parpol, seperti agama, demokrasi dan nasionalisme. Kepentingan politik yang cukup mendasar dari penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas adalah munculnya perubahan sikap dan perilaku politik PPP dan PDI agar tidak lagi menggunakan asas/ciri ideologi politik lain selain Pancasila sebagai preferensi dalam penyusunan program-program politik, ekonomi dan sosial budaya selama kampanye pemilu pasca 1985.
Dengan mendasarkan pada program politik, ekonomi dan sosial budaya yang berkembang selama kampanye pemilu 1982 dan 1987, dalam penelitian ini nampak bahwa pada dasarnya sikap penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas tidak cukup menghasilkan pengaruhnya terhadap pergeseran dan perbedaan program-program politik, ekonomi dan sosial budaya PPP dan PDI di antara kedua periode kampanye pemilu itu. Artinya, program-program PPP dan PDI pada kampanye 1987 cenderung merupakan pengulangan dari program-program kampanye 1982. Hal ini nampak dari adanya persamaan substansi program-program politik, ekonomi dan sosial budaya yang berkembang selama kampanye 1982 dengan 1987.
Misalnya, baik PPP maupun PDI pada kedua periode kampanye 1982 dan 1987 cenderung mengembangkan program politik, ekonomi dan sosial budaya yang relatif sama. Untuk program politik, tema aktual yang umumnya berkembang di dua kontestan ini sekitar masalah kebebasan politik bagi PNS dan mahasiswa, penghapusan massa mengambang, asas Luber dalam pemilu dan pemulihan hak-hak politik rakyat. Untuk program ekonomi, tema aktual umumnya sekitar pemerataan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat kecil (wang cilik menurut bahasa PDI). Sedangkan untuk program sosial budaya, pengulangan dan persamaannya terletak pada masalah pendidikan dengan isu menonjol penghapusan SPP dan kebebasan kampus.
Akhirnya penelitian ini berkesimpulan bahwa pengaruh penerimaan asas Pancasila terhadap pergeseran program-program kampanye pemilu PPP dan PDI kurang menonjol. Justru perubahan atau pergeseran yang cukup menonjol sebagai hasil penerimaan asas Pancasila adalah munculnya sikap dan perilaku juru kampanye PPP dan PDI untuk membatasi diri dan tidak lagi mengemukakan isu-isu politik keagamaaan (PPP) dan marhaenisme (PDI). Akhirnya, terdapat satu hal yang perlu dicatat dari hasil penelitian ini, yakni terjadinya proses perubahan sikap dan perilaku politik juru kampanye kedua kontestan, dari yang semula mereka menonjolkan aspek primordial dan ideologi ciri menjadi bergeser ke arah sikap politik yang lebih pragmatic dalam penyampaian program-program kampanye pemilu. Program PPP dan PDI Selama Kampanye Pemilu Tahun 1982 ?1987 (Studi pergeseran program kampanye)."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liddle, R. William
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992
324.259 8 LID p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Haily
"BAB I P E N D A H U L U A N
A. Latarbelakang dan Identifikasi Masalah
Organisasi politik yang disingkat Orpol merupakan suatu kekuatan politik yang terdapat dalam berbagai pertumbuhan dan perkembangan bangsa di dunia. Hampir semua negara di dunia memiliki Orpol baik dalam bentuk partai politik, organisasi kemasyarakatan, angkatan bersenjata, maupun kelompok pendesak lainnya.
Dalam sejarah Orpol di negara sedang berkembang, ditandai dengan pertumbuhan partai-partai politik yang berperan sebagai suatu kekuatan penentang kaum penjajah. Partai-partai politik bergerak dan berjuang bersama angkatan bersenjata, mereka memperoleh kemerdekaan bangsanya.
Pergerakan kemerdekaan di Indonesia, bertolak dari munculnya organisasi-organisasi yang bergerak dari lingkungan etnis seperti pergerakan Budi Utomo pada tahun 1908, sebagai suatu gerakan untuk meningkatkan kesadaran orang Jawa. "Di samping itu lahir pula kelompok-kelompok yang berdasarkan suku kedaerahan seperti Paguyuban Pasundan (1914), Serikat Sumatera (1918), Serikat Ambon {1929), Rukun Minahasa dan Kaum Betawi (1923).1
Sarekat Islam yang telah lahir tahun 1912, menandai awal pergerakan suatu organisasi yang berkembang menjadi organisasi politik di Indonesia. Orpol tersebut dalam menjalankan peranannya melakukan kegiatan-kegiatan yang berusaha mempengaruhi struktur politik penjajahan dalam arti mengaaskan tuntutan-tuntutan perbaikan kehidupan masyarakat. Organisasi-organisasi tersebut di atas bergerak dalam proses politik yang dirasakan sebagai suatu wadah yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Istilah Orpol dalam penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia dikenal dengan Partai Politik (Parpol). Parpol secara formal berasal dari Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 yang menegaskan pendiriannya sebagai berikut :
Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran faham yang ada dalam masyarakat.
In English:Copy and paste Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan?badan Perwkilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Setelah dikeluarkan Ketetapan Pemerintah pada tanggal 3 Nopember 1945, maka terbentuklah berbagai partai politik yang pada umumnya merupakan kelanjutan daripada organisasiorganisasi sosial, dan partai-partai politik yang dibentuk baik pada masa kolonial Belanda maupun pada masa kekuasaan Jepang.2
Pemerintah berharap bahwa partai-partai tersebut hendaknya memperkuat perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjamin masyarakat. Parpol tumbuh dan berkembang sehingga pemilihan umum dapat dilangsungkan pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut terdapat sebanyak 36 Parpol, satu sama lain berusaha merebut kursi di parlemen. Anggota parlemen terdiri dari 222 anggota, komposisi demikian jelas tidak memungkinkan satu kekuatan untuk tampil penuh sebagai kekuatan dominan. Perebutan posisi kekuasaan dari Parpol dalam Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955 berpengaruh kepada stabilitas politik yang menggoyahkan sistem pemerintahan Indonesia. Pertentangan faham antar parpol tampak menonjol dalam sidang-sidang konstituante, hal ini mempertegang situasi politik dalam negeri dan memperlemah persatuan kesatuan bangsa serta menggoyahkan kehidupan negara.
Kondisi tersebut di atas telah mengundang pergolakan politik yang semakin memperburuk pandangan orang terhadap kehidupan Parpol. Para tokoh Pemerintah dan golongan mempermasalahkan peranan Partai Politik. Parpol tampaknya belum berhasil menjalankan peranannya, bahkan parpol bukan?.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perubahan peta kekuatan parpol tampaknya akan kembali pada pemilu 2009. Terlebih dalam kurun waktu 2006-2008 dalam politik di Aceh. Disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh membawa implikasi pada dua hal. Pertama, diperbolehkannya calon independen dalam ajang pilkada. Kedua, disahkannya keberadaan parpol lokal untuk bertarung di pemilu legislatif provinsi dan kabupaten/kota. Pilkada di sebagian besar wilayah Aceh pada 11 Desember 2006 telah mengubah basis wilayah parpol nasional. Kemenangan calon-calon independen yang didukung mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di 6 kabupaten/kota (Aceh Utara, Pidie, Aceh Timur, Aceh Jaya, Kota Lhokseumawe dan Kota Sabang), Aceh Barat, Aceh Selatan, Bireuen, dan Pidie Jaya menyusul kemenangan calon independen serta di tingkat provinsi akan memberi dorongan yang sangat kuat bagi perubahan peta politik. Kekuatan calon independen yang berasal dari unsur GAM dan Sentral Informasi referendum Aceh (SIRA) juga dibuktikan lewat pemilihan gubernur. Situasi politik di Aceh memang berubah drastis setelah bencana tsunami. Selain gagasan calon independen diadopsi dalam UU Pemerintahan Aceh, gagasan pembentukan parpol lokal pun direalisasikan sebagai konsekuensi dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Kendati tidak dapat bertarung di level nasional, kekuatan partai lokal akan sangat diperhitungkan dalam pemilihan anggota DPRA dan DPRK. PA yang dibentuk mantan kombatan dan aktivis GAM, selain mempertahankan basis massa, juga memperluas jaringan yang sebelumnya dikuasai oleh partai-partai nasional. Perebutan suara pemilih, selain akan diwarnai persaingan antarsesama partai lokal dan partai nasional."
ALJUPOP
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Prayitno
"Latar Belakang
Pemilihan judul ini dilandasi dengan keinginan saya untuk melihat arti penting partai politik di dalam menuntun perjalanan suatu bangsa mencapai kemajuan. Pemilihan judul ini juga dilandasi keinginan saya untuk mengkaji pengaruh konsep-konsep pemikiran Partai Republik, antara lain pemikiran Alexander Hamilton dan misi Amerika atau sense of mission yang berakar dari ajaran Puritan yang kemudian diwujudkan dalam konsep manifest destiny, terhadap kebijakan Presiden William McKinley di dalam menyatukan Hawaii ke dalam wilayah Amerika melalui cara aneksasi.
Sebagai bangsa yang mempunyai sejarah yang unik, bangsa Amerika berkeyakinan bahwa kebudayaan yang dimilikinya lebih unggul dari kebudayaan bangsa-bangsa lainnya. Keyakinan pada keunggulan ini menumbuhkan anggapan bahwa mereka memiliki beban untuk menjadi contoh bagi seluruh umat manusia. Hal ini dikatakan John Winthrop di atas kapal Arbella, "We would be a city set on a hill, the eyes of all people are upon us" (Morgan, 1958: 70). Tanah yang luas dan hampir tidak terbatas serta kaya dengan sumber alam semakin mempertebal keyakinan pada keunggulan bangsa Amerika.
Keyakinan pada keunggulan bangsanya ini terletak pada adanya .azas demokrasi yang mengandung ide-ide kebebasan. Demokrasi bagi bangsa Amerika telah menjadi suatu gagasan yang membentuk suatu kepercayaan bangsa, filsatat hidup, ideologi nasianal dan menumbuhkan suatu superioritas yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya yang tidak saja dalam kebudayaan tetapi juga dalam peradaban. Azas demokrasi yang didukung dengan kekayaan alam Amerika yang membuka kesempatan di bidang ekonomi, merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perjuangan mengemban misi bangsa Amerika. Hal ini terlihat mulai dari kedatangan kaum Puritan ke Amerika, perjuangan 13 koloni dalam meraih kemerdekaan dari bangsa Inggris pada tahun 1775, pergerakan ke Barat sampai aneksasi California pada tahun 1848, yang dilanjutkan dengan pembentukan negara baru yang meluas sampai ke Pantai Pasifik.
Para koloni yang datang pertama kali ke Amerika bertolak dari perjuangan agama, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya para koloni itu mencari kepentingan ekonomi. Di samping itu, perjuangan para pendiri bangsa Amerika di dalam meraih kemerdekaan dan merumuskan Konstitusi tidak semata berpegang pada keyakinan moral, tetapi juga mendasari prinsip-prinsip perjuangan yang bertujuan memperoleh kepentingan materi (Horton, 1974: 4). Adapun yang dimaksud dengan Konstitusi Amerika adalah Konstitusi yang hasil sidang Konvensi Konstitusi di Philadelpia pada bulan Mei tahun 1787 dan yang mulai berlaku pada hari Rabu pertama bulan Januari 1789. Konvensi Konstitusi yang diadakan di Philadelpia itu merupakan upaya untuk mengganti Artikel Konfederasi, sebelumnya digunakan oleh para koloni, yang mengalami kegagalan. Konstitusi yang lahir dari pertemuan tersebut terdiri dari pembukaan, batang tubuh ditambah dengan amandemen-amandemen Konstitusi yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan (Irish, 1965: 111). Pembukaan?
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Zaini
"Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya. Organisasi ini memiliki kultur yang khas, yakni budaya ketaatan para santri (anggota NU) kepada para kiai yang merupakan elit-elit di NU. Budaya itu, terbangun di lingkungan pesantren, di mana para kiai diposisikan sebagai patron yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat tinggi.
Ketika kultur itu diterapkan di lingkungan pesantren, interaksi sosial yang terbangun adalah interaksi sosial yang diwarnai ketaatan dan penghormatan yang begitu tinggi dari pada santri kepada kiai dan keluarga kiai. Namun, ketika kultur itu diterapkan di luar pesantren, khususnya di partai politik, kuitur semacam itu menimbulkan berbagai konflik politik.
Di lingkungan NU, frekuensi konflik sangat tinggi. Tercatat, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi pada 1952, konflik politik seperti itu telah muncul. Suasana seperti itu juga terjadi ketika NU masih aktif berfusi di PPP (1973-1984), kembali ke khittah (1984), serta pasta pemerintahan Orde Baru saat ini (1998-2003).
Fenomena di NU itu merupakan sesuatu yang sangat kontradiktif: Di satu sisi (ketflca diterapkan di pesantren) melahirkan suasana yang serba patuh, namun di sisi lain (ketika diterapkan di partai politik) melahirkan konflik politik yang berkepanjangan. Kondisi itu, semakin menarik karena dalam berpolitik, dengan menggunakan kaidah usul fiqih, NU semestinya bisa sangat konpromistis.
Dalam kaidah usul fiqih itu, ada beberapa prinsip hukum yang memungkinkan tiap politik warga NU sangat lentur dan fleksibel. Sehingga, tidak jarang muncul penilaian, dalam berpolitik, NU oportunis. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, hal itu tidak berlaku di internal NU. Ketika bersentuhan dengan politik, warga NU, khususnya para elitnya selalu terlibat dalam konflik politik.
Jadi, pertanyaan yang muncul; mengapa NU selalu dilanda konflik politik?
Guna meneliti fenomena tersebut, penelitian menggumakan metode analisis proses terhadap konfhk-konflik yang terjadi di NU. Metode ini masuk pada paradigma kualitati£ Untuk memperoleh data-data mengenai konflik di NU 1952-2003, digunakan studi dokumen, wawancara dan pengamatan.
Adapun teori yang digunakan adalah teori konflik, teori kepemimpinan kharismatik dan teori elit.
Dari penelitian ini, ditemukan beberapa temuan penting. Di antaranya;
- Dalam berpolitik, warga NU selalu menggunakan standar ganda. Satu sisi berpijak pada kultur yang ada di pesantren. Namun, di sisi lain, menerapkan mekanisme politik modem yang . demokratis. Penggunakan standar ganda ini juga tercermin dengan struktur organisasi di NU, yakni adanya syuriah/syura dan tanfdziyah/tanfidz. Hal itu memungkinkan terjadinya konflik di antara mereka. Sebab, masing-masing pihak memiliki pembenaran sendiri-sendiri.
-Kaidah usul fiqih yang memungkinkan sikap politik yang lentur dan kompromistis, ternyata lebih banyak digunakan ketika NU secara institusional menghadapi persoalan dengan pemerintah yang berkuasa. Namun, ketika menghadapi persoalan di internal NU, hal itu jarang digunakan acuan. Pada bebarapa kasus, memang digunakan. Akan tetapi, kecenderungannya bukan untuk merumuskan format konsensus, melainlcan untuk mencari pembenaran dan legitimasi keagamaan.
- Dalam berpolitik, budaya patronase selalu diterapkan. Para santri yang menjadi pengikut, selalu dijadikan instrumen bargaining politik. Tokoh NU yang memiliki pengikut (santri) yang besar, kendati tidak memiliki skill politik yang memadai, selalu menuntut peran politik yang besar. Ketika peran itu tidak terpenuhi, mereka akan melakukan penarikan dukungan atau sabotase politik, seperti upaya pendongkelan.
- Terkait dengan upaya mempertahankan patronase, elit NU cenderung menutup terhadap munculnya patron baru di lingkungan NU. Hal ini terjadi, baik tatkala masih berada di lingkungan pesantren atau setelah di luar pesantren. Kondisi itu, akhirnya menimbulkan konflik antara tokoh yang sudah merasa layak menjadi patron baru dengan patron sebelumnya.
Semua fenoma di atas, terjadi karena pada dasarnya, dalam berpolitik warga NU memiliki motivasi yang lama dengan para politisi lainnya, yakni, mengejar kepentingan pribadi atau kelompok. Ketulusan dan keikhlasan yang terbangun di lingkungan pesantren, memudar ketika tokoh tersebut telah masuk ke arena politik praktis. Hanya, perubahan itu tetap berusaha disembunyikan dengan membungkusnya dengan legitimasi agama. Karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan, ketika warga NU masih terus menerapkan budaya politik yang dipraktekkan selama ini, maka konflik politik di NU sangat sulit dihindarkan.
Dengan demikian, untuk meminimalisir konflik tersebut, mutlak dilakukan perubahan budaya politik di lingkungan NU: Warga NU, harus bisa membuat garis yang tegas, antara sebagai anggota NU dengan sebagai anggota partai politik. Norma dan etika yang dipegang NU, bisa saja diimplimentasikan dalam bentuk perilaku politik warga NU. Namun, dalam hal-hal tertentu, khususnya ketika terjadi konflik, mekanisme organisasi politik modern, harus dijadikan acuan bersama. Sikap penggunaaan standar ganda, harus secepatnya ditinggalkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>