Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191804 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ika Wulan Priyanti
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S25819
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"makalah ini didasarkan pada masalah makalah-makalah penulis yang disampaikan di Lemhanas dengan judul menyempurnakan penetapan batas wilayah NKRI guna memantapkan kesatuan wilayah dalam menjalin kepentingan nasional."
300 MHN 1:1 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Anthony Darmawan Mulya
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan Rezim Hukum Negara Kepulauan Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tantangan dan hambatannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian normatif. Penelitian ini akan difokuskan pada pembahasan ketentuan-ketentuan yang menyangkut implementasi rezim negara kepulauan dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sesuai secara keseluruhan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Meskipun demikian, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut masih ada yang belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, sehingga perlu direvisi. disamping itu perlu pengaturan hak hak dan kewajiban kapal perang, kapal pemerintah asing yang dioperasikan untuk tujuan komersial (niaga) dan tujuan bukan komersial ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Lebih lanjut Pembangunan bidang hukum rezim hukum negara kepulauan Indonesia hendaknya merupakan upaya untuk mengintegrasikan kebijakan-kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam laut, khususnya sumber daya ikan, penelitian ilmiah dan alih teknologi kelautan.

This thesis is reviewing Archipelagic States Regime of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea and Its Implementation in Indonesia. This research uses a qualitative approach with normative methodology. The outcome of this research shows that he results of this study indicate that Indonesia has had legislation in accordance with the overall 1982 Law of the Sea Convention. However, some provisions in the legislation have not deal the provisions of Convention on Law of the Sea 1982, so it needs to be revised. besides that necessary arrangements rights and obligations of warships, foreign governments operated for commercial purposes (commercial) and non-commercial purposes in the legislation Indonesia. Further development of the legal regime of the Indonesian archipelagic state should be an effort to integrate policies on defense and security, management and utilization of marine resources, especially fish resources, scientific research and transfer of marine technology."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Etty Roesmaryati Agoes
"Pada akhir tahun 1982 masyarakat internasional telah berhasil menyelesaikan tugasnya yang sangat berat untuk menyusun suatu perangkat pengaturan hukum yang baru tentang segala aspek penggunaan laut serta kekayaan yang terkandung di dalamnya. Hasi1 dari usaha-usaha tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian antar negara yang dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut 1982.
Selain menggambarkan usaha dari masyarakat internasional untuk mengkod1fikasikan ketentuan-ketentuan hukum laut yang telah ada, dan menggambarkan suatu perkembangan yang progresif dalam hukum internas1onal, Konvensi ini juga menggambarkan usaha pembentukan perangkat ketentuanketentuan, prinsip-prinsip, dan lembaga-lembaga hukum laut yang baru.
Dengan selesainya perumusan Konvensi Hukum Laut 1982, perjuangan Indonesia di forum internasional telah sampai kepada tingkat kemantapan kedudukan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan. Hal ini berarti bahwa negara kepulauan yang telah diproklamirkan oleh Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 tersebut telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai bagian dari hukum internasional yang baru.
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) pada tanggal 31 Desember 1985, Indonesia telah menyatakan dirinya terikat oleh ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut. Oleh karena itu langkah selanjutnya bagi Indonesia adalah melaksanakan dan menuangkannya kedalam peraturan perundang-undangan nasional.
Salah satu penggunaan laut yang dapat menimbulkan sengketa adalah tentang hak lintas bagi kapal-kapal asing pada perairan yang berada dibawah yuirisdiksi suatu nagaira. Yang paling kontirovers ial dan sensitif dairi masalah ini adalah mengenal hak lintas bagi kapal-kapal perang. Dewasa ini sebagai akibat perluasan laut teritorial banyak selat-selat strategis yang tadinya merupakan bagian dari laut lepas, kini menjadi bagian dari laut teritorial bahkan laut pedalaman suatu negara.
Perubahan status wilayah perairan yang selama ini merupakan bagian dari laut lepas menjadi perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional suatu negara, telah menimbulkan permasalahan baru tentang hak lintas bagi kapal-kapal asing, khususnya kapal-kapal perang, seperti : apakah diperlukan izin dari negara pantai terlebih dahulu ? Atau apakah negara pantai dapat menetapkan persyaratan hanya untuk memberitahukan terlebih dahulu sebelum kapal-kapal perang berlayar melalui selat yang terletak pada laut teritorialnya ? Atau, apakah persyaratan-persyaratan tadi tidak diperlukan sama sekali.
Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional selama ini sangat menguntungkan baik bagi armada kapal-kapal niaga maupun armada kapal-kapal perang, karena sangat menghemat biaya dan waktu. Sebaliknya, bagi negara-negara yang berbatasan dengan selat-selat demikian (disebut negara tepi atau negara pantai), suatu pelayaran bebas pada jalur laut yang sebagian besar sempit dan ramai, akan menjadi masalah terutama di bidang keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan, dan pertahanan-keamanan. Keadaan demikian mengakibatkan negara-negara pantai menghendaki pengaturan yang lebih ketat terhadap pelayaran melalui selat maupun lintas penerbangan di atasnya.
Di lain pihak negara-negara maritim besar dengan Repentingan-kepentingan militernya, secara global ingin menerapkan rejim pelayaran yang bebas bagi kapal-kapal perang (termasuk j uga kapal selam) serta pesawat-pe.sawat udara militer mereka melalui selat-selat yang dianggap sangat strategis bagi Repentingan-kepentingannya.
Di dalam hukum laut selama ini, masalah ini belum mendapatkan pengaturannya secara pasti. Baik Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, maupun Konvensi Hukum Laut 1982 masih mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak jelas, dan dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda.
Masalah hak 1intas bagi kapal asing melalui perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional ini sangat penting bagi Indonesia. Pentingnya perairan Indonesia bagi pelayaran internasional telah dibuktikan dengan kenyataan bahwa lalu 1intas pelayaran di kawasan ini (Asia Tenggara, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) akan melalui perairan yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia.
Meningkatnya intensitas pelayaran kapal-kapal perang dari negara-negara adidaya beserta sekutu-sekutunya, menumbuhkan kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya adu kekuatan dan konfrontasi di laut terutama pada perairan yang mrupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Pada perairan Indonesia diketahui ada kurang lebih enam buah selat yang selama ini banyak digunakan untuk pelayaran Internasional, yaitu Selat Malaka. Selat Singapura, Selat Lombok, Selat Ombal-Wetar dan Selat Makasar. Yang paling penting di antaranya adalah Selat Malaka dan Selat Singapura. Selain penting bagi strategi militer, Selat Malaka-Singapura juga mempunyai arti ekonomis yang sangat tinggi baik bagi negara-negara tepinya maupun bagi negaranegara pemakai alur pelayaran ini.
Dewasa ini hak 1intas bagi kapal-kapal asing telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan nasional, sedangkan hukum laut internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
Konvensi Jenewa tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan 1958 merumuskan pengaturan tentang masalah ini ke dalam ketentuan-ketentuan tentang 1intas damai melalui laut teritorial. Menurut ketentuan Pasal 16 ayat 4 hak 1intas damai melalui selat demikian tidak dapat ditangguhkan.
Dari Rancangan Pasal-Pasal yang diajukan ke muka sidang UN Sea-bed Comm i ttee maupun Konperensi Hukum Laut III terlihat bahwa negara-negara maritim maju menghendaki hak 1in tas bebas baik bagi pelayaran maupun penerbangan melalui selat. Dalam pada itu negara-negara selat menghendaki rejim yang berlaku adalah rejim 1intas damai tanpa adanya penangguhan (non suspension') dan tidak disertai dengan hak 1intas penerbangan.
Perdebatan tentang masalah ini pada Konperensi Hukum Laut III berkisar pada posisi yang berbeda antara negaranegara maritim besar dan negara-negara pantai. Di satu fihak, negara-negara maritim besar menghendaki adanya keseimbangan kekuatan (.balance of power) dalam bentuk perlindungan terhadap kepentingan militer dan politik masingmasing negara yang saling bersaing. Di lain fihak, negaranegara tepi selat, yang sebagian besar merupakan negaranegara yang sedanng berkembang, menghendaki ditegakkannya kedaulatan negara pantai atas selat serta berusaha menghindari adanya ancaman-ancaman militer maupun politik.
Di dalam perkembangannya kemudian jarak antara posisi negara-negara kepulauan dan negara-negara maritim besar ini semakin mendekat dengan adanya perubahan sikap dari kedua belah pihak. Pada akhirnya Konvensl Hukum Laut 1982 mengandung tiga macam jenis hak lintas bagi kapal asing# yaitu :
(1) hak lintas damai;
(2) hak lintas transit; dan
(3) hak lintas alur laut kepulauan.
Dewasa ini di Indonesia pengaturan tentang hak lintas kapal asing melalui perairan Indeonesia diatur dalam UU No. 4/Prp. tahun 1960 dan PP No. 8 Tahun 1962 yang memuat jaminan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di Perairan Indones ia.
Menurut Memori Penjelasan terhadap UU No. 4/Prp. tahun 1960, di perairan pedalaman (dalam pengertian Konvensi yang baru, disebut perairan kepulauan) jaminan tersebut tidak diberikan dalam bentuk hak (.righf) melainkan hanya sebagai suatu kelonggaran (priveJege) saja. Hal ini berarti bahwa sebagai negara pantai Indonesia daoat mencabut kembali kelonggaran-kelonggaran yang diberikan ini.
Kapal-kapal perang dapat berlayar melalui alur-alur laut yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut. Di luar alur-alur laut tersebut, hak lintas damai oleh kapal-kapal perang dan kapal-kapal pemerintah bukan kapal niaga asing, memerlukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum menetapkan alur-alur laut demikian. Khusus bagi kapal-kapal selam asing yang berlayar melalui perairan Indone_sia diharuskan untuk berlayar di atas permukaan air."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
D1146
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Hukum Internasional mengajarkan beberapa cara perluasan wilayah negara, yaitu pendudukan, aneksasi, sesi, akresi dan preskripsi. Perluasan wilayah negara dengan cara-cara klasik ini sering menimbulkan konflik antar negara yang penyelesaiannya biasanya berlarut-larut, kecuali akresi. Sebenarnya sejak tahun 1982, masyarakat internasioanl telah menyetujui suatu cara perluasan wilayah negara, yaitu melalui "United Nations Convention on the Law of the Sea". Perluasan wilayah negara ini lebih sebagai wilayah perluasan wilayah laut."
Hukum dan Pembangunan Vol. 26 No. 3 Juni 1996 : 219-232, 1996
HUPE-26-3-Jun1996-219
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Florence Anita
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S26032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Pangihutan
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S25686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>