Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148215 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Amir Nurdianto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S26068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gumai Akasiwi
"ABSTRAK
Pengakuan terhadap rezim negara kepulauan oleh hukum internasional melalui UNCLOS 1982 menimbulkan pertentangan kepentingan antara negara maritim dan negara kepulauan. Negosiasi oleh negara-negara tersebut menghasilkan suatu pengaturan yang menimbulkan beberapa perbedaan interpretasi, termasuk perihal alur laut kepulauan yang diatur dalam Pasal 53 UNCLOS. Akibatnya berbagai permasalahan muncul dalam penerapan hukum di rezim Alur Laut Kepulauan. Indonesia yang merupakan satu-satunya negara kepulauan yang telah menetapkan Alur Laut Kepulauannya dengan sebutan ALKI, tidak lepas dari permasalahan-permasalahan tersebut. Hal ini berujung kepada dilema keberlakuan ALKI yang bersifat parsial, yang mana negara-negara maritim menuntut Indonesia untuk menetapkan rute timur-barat sebagai bagian dari ALKI. Berdasarkan penelitian yuridis normatif yang telah dilakukan, Indonesia belum siap untuk menetapkan ALKI rute timur-barat, namun memiliki kewajiban hukum untuk menetapkan alur yang demikian cepat atau lambat.

ABSTRAK
Recognition of archipelagic state regime by International Law through the UNCLOS 1982 inflicted conflict of interest between archipelagic states and maritime states. Negotiation by these countries resulted provisions that raised some differences of interpretation, including the Archipelagic Sea Lanes provisions under the Article 53 UNCLOS. As a result, various issues arised in the law enforcement within the Archipelagic Sea Lanes regime. Indonesia as the only state that had designated its Archipelagic Sea Lanes namely ALKI, is not release from such issues. This led to the enforceability dilemma of ALKI which is also partially adopted, in which martime states demanded Indonesia to establish the east-west route to be a part of ALKI. Based on normative juridicial research that has been carried out, Indonesia is not yet ready to establish the east-west as ALKI, but it has a legal obligation to designate such route sooner or later"
2016
S63668
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresno Buntoro
Depok: Rajawali Pers , 2017
387.5 KRE n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nyoman S. Prabata
Depok: Universitas Indonesia, 1984
S25567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Thoyib
"Konsepsi hukum negara kepulauan atau Wawasan Nusantara yang diperjuangk.an Indonesia melalui pemyataan "Deklarasi Djuanda" tanggal !3 Desember 1957, akhirnya membuahkan hasH dengan diterimanya United Nations Convention 011 the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang ditandatangani di Montego Bay Jamaica, tanggallO Desember 1982, Indonesia kemudian meratiflkasi Konvensi Hukum Laut 1982 ini dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tanggal 13 Desember 1985. Ini artinya konsepsi Wawasan Nusantara menjadi salah satu prinsip yang diterima dan diakui dalam hukum laut internasional yang baru. Tetapi Pengakuan terhadap prinsip negara kepulauan Indonesia daJam Konvensi Hukum Laut 1982 barns pula dibayar dengan mewadahi dan menghormati kepentingan yang sah dan hak-hak tertentu negara pengguna perairan negara kepufauan. seperti hak Iintas kapal dan pesawat udara asing melalui alur laut kepulauan (The Right of Archipelagic Sealanes Passage). Pelaksanaan hak lintas alur-alur !aut kepulauan telah diakomodasikan berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 yang dapat dilaksanakan melalui alur-alur laut kepulauan yang ditentukan oleh negara kepulauan bersama-sama dengan International Maritime Organization (IMO). Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) selain dapat memberikan dampak positif bagi kegiatan pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat, juga dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia. Kondisi geografi Indonesia memliiki posisi terbuka yang setiap saat dapat menjadi peluang bagi negara lain untuk masuk dan melakukan aktivitasnya di wilayah Indonesia dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Potensi Ancaman di ALKI tentu akan berdampak kepada Iingkungan perairan dan pulau sekitarnya, begitu pula sebaliknya. Penelitian ini mengarnbil studi kasus di ALKI II sebagai alur !aut yang menghubungkan pelayaran internasional dan Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores dan Selat Lombok ke Samudera Hindia atau sebaliknya. Penelitian ini bertujuan, pertama untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menjadi ancaman terhadap ALKI U serta bagaimana dampaknya terhadap ketahanan nasional dan kedua untuk merumuskan kebijakan dan strategi yang dapat ditempuh berkaitan dengan penanggulangan masalah keamanan di sekitar ALKI II. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa upaya pengamanan ALKl membutuhkan kemampuan pencegahan dan penangkalan melalui kerjasama dan koordinasl yang melibatkan peran seluruh instansi yang berwenang di dalam negeri serta melalui kerjasama dengan negara-negara lain dalam hal dukungan teknis berkaitan dengan peningkatan kontrol dan pengendalian keamanan di ALKI.

The conception of law of archipelagic country which was struggled by Indonesia via statement of 'Djoeanda Declaration' 13 December 1957, finally obtained by the acceptableness of UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). This is ratified in Montego Bay Jamaica on 10 December 1982. Then Indonesia ratified this convention based on the constitution No. 17 1985 on 13 December !985. It meant the conception of archipelagic country became one of the principles which were acknowledged by the global of law of the sea as the new one. And this acknowledgment should be paid by respecting the legitimate interest and certain rights of the country which used the sea lanes passage and also aero lanes passage. The application of the right of sea lanes passage was accommodated by section 53 verse I on convention of law of the sea 1982 which also approved by IMO (International Maritime Organization). The setting of Indonesian Sea lanes passage earn contribute a positive effect on the national development for the prosperity of people. And also can affect a potency of threat (external threat) against national security, Indonesia has an opened geography condition which every time can invite a foreign country to do an illegal passing and activity in the national territory. The potency of threat in Indonesian archipelago definitely would effect to territorial waters and lands. So would they on the other way. This research took a place in ALKI II as the sea lanes connected an international voyage from Sulawesi sea passing through Makassar Straits, Flores sea and Lombok straits to Indian Ocean or opposite of it. This research aimed first to identify several aspects had potency to be a threat against ALKI II And its effect to the national defense. Second to fond couple policies and strategies which should be taken to secure around ALKI II. The results of this research concluded the efforts to secure ALKI required the competence to prevent and handle via joint and coordination which evolved all authorized agencies in our country. Also to build a mutual joints with regional countries for the technical backup to increase monitoring and controlling around ALKI."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T32841
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kresno Buntoro
Depok: Rajawali Press, 2023
387.5 KRE a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Roesmaryati Agoes
"Pada akhir tahun 1982 masyarakat internasional telah berhasil menyelesaikan tugasnya yang sangat berat untuk menyusun suatu perangkat pengaturan hukum yang baru tentang segala aspek penggunaan laut serta kekayaan yang terkandung di dalamnya. Hasi1 dari usaha-usaha tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian antar negara yang dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut 1982.
Selain menggambarkan usaha dari masyarakat internasional untuk mengkod1fikasikan ketentuan-ketentuan hukum laut yang telah ada, dan menggambarkan suatu perkembangan yang progresif dalam hukum internas1onal, Konvensi ini juga menggambarkan usaha pembentukan perangkat ketentuanketentuan, prinsip-prinsip, dan lembaga-lembaga hukum laut yang baru.
Dengan selesainya perumusan Konvensi Hukum Laut 1982, perjuangan Indonesia di forum internasional telah sampai kepada tingkat kemantapan kedudukan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan. Hal ini berarti bahwa negara kepulauan yang telah diproklamirkan oleh Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 tersebut telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai bagian dari hukum internasional yang baru.
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) pada tanggal 31 Desember 1985, Indonesia telah menyatakan dirinya terikat oleh ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut. Oleh karena itu langkah selanjutnya bagi Indonesia adalah melaksanakan dan menuangkannya kedalam peraturan perundang-undangan nasional.
Salah satu penggunaan laut yang dapat menimbulkan sengketa adalah tentang hak lintas bagi kapal-kapal asing pada perairan yang berada dibawah yuirisdiksi suatu nagaira. Yang paling kontirovers ial dan sensitif dairi masalah ini adalah mengenal hak lintas bagi kapal-kapal perang. Dewasa ini sebagai akibat perluasan laut teritorial banyak selat-selat strategis yang tadinya merupakan bagian dari laut lepas, kini menjadi bagian dari laut teritorial bahkan laut pedalaman suatu negara.
Perubahan status wilayah perairan yang selama ini merupakan bagian dari laut lepas menjadi perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional suatu negara, telah menimbulkan permasalahan baru tentang hak lintas bagi kapal-kapal asing, khususnya kapal-kapal perang, seperti : apakah diperlukan izin dari negara pantai terlebih dahulu ? Atau apakah negara pantai dapat menetapkan persyaratan hanya untuk memberitahukan terlebih dahulu sebelum kapal-kapal perang berlayar melalui selat yang terletak pada laut teritorialnya ? Atau, apakah persyaratan-persyaratan tadi tidak diperlukan sama sekali.
Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional selama ini sangat menguntungkan baik bagi armada kapal-kapal niaga maupun armada kapal-kapal perang, karena sangat menghemat biaya dan waktu. Sebaliknya, bagi negara-negara yang berbatasan dengan selat-selat demikian (disebut negara tepi atau negara pantai), suatu pelayaran bebas pada jalur laut yang sebagian besar sempit dan ramai, akan menjadi masalah terutama di bidang keselamatan pelayaran, perlindungan lingkungan, dan pertahanan-keamanan. Keadaan demikian mengakibatkan negara-negara pantai menghendaki pengaturan yang lebih ketat terhadap pelayaran melalui selat maupun lintas penerbangan di atasnya.
Di lain pihak negara-negara maritim besar dengan Repentingan-kepentingan militernya, secara global ingin menerapkan rejim pelayaran yang bebas bagi kapal-kapal perang (termasuk j uga kapal selam) serta pesawat-pe.sawat udara militer mereka melalui selat-selat yang dianggap sangat strategis bagi Repentingan-kepentingannya.
Di dalam hukum laut selama ini, masalah ini belum mendapatkan pengaturannya secara pasti. Baik Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, maupun Konvensi Hukum Laut 1982 masih mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak jelas, dan dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda.
Masalah hak 1intas bagi kapal asing melalui perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional ini sangat penting bagi Indonesia. Pentingnya perairan Indonesia bagi pelayaran internasional telah dibuktikan dengan kenyataan bahwa lalu 1intas pelayaran di kawasan ini (Asia Tenggara, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) akan melalui perairan yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia.
Meningkatnya intensitas pelayaran kapal-kapal perang dari negara-negara adidaya beserta sekutu-sekutunya, menumbuhkan kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya adu kekuatan dan konfrontasi di laut terutama pada perairan yang mrupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Pada perairan Indonesia diketahui ada kurang lebih enam buah selat yang selama ini banyak digunakan untuk pelayaran Internasional, yaitu Selat Malaka. Selat Singapura, Selat Lombok, Selat Ombal-Wetar dan Selat Makasar. Yang paling penting di antaranya adalah Selat Malaka dan Selat Singapura. Selain penting bagi strategi militer, Selat Malaka-Singapura juga mempunyai arti ekonomis yang sangat tinggi baik bagi negara-negara tepinya maupun bagi negaranegara pemakai alur pelayaran ini.
Dewasa ini hak 1intas bagi kapal-kapal asing telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan nasional, sedangkan hukum laut internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
Konvensi Jenewa tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan 1958 merumuskan pengaturan tentang masalah ini ke dalam ketentuan-ketentuan tentang 1intas damai melalui laut teritorial. Menurut ketentuan Pasal 16 ayat 4 hak 1intas damai melalui selat demikian tidak dapat ditangguhkan.
Dari Rancangan Pasal-Pasal yang diajukan ke muka sidang UN Sea-bed Comm i ttee maupun Konperensi Hukum Laut III terlihat bahwa negara-negara maritim maju menghendaki hak 1in tas bebas baik bagi pelayaran maupun penerbangan melalui selat. Dalam pada itu negara-negara selat menghendaki rejim yang berlaku adalah rejim 1intas damai tanpa adanya penangguhan (non suspension') dan tidak disertai dengan hak 1intas penerbangan.
Perdebatan tentang masalah ini pada Konperensi Hukum Laut III berkisar pada posisi yang berbeda antara negaranegara maritim besar dan negara-negara pantai. Di satu fihak, negara-negara maritim besar menghendaki adanya keseimbangan kekuatan (.balance of power) dalam bentuk perlindungan terhadap kepentingan militer dan politik masingmasing negara yang saling bersaing. Di lain fihak, negaranegara tepi selat, yang sebagian besar merupakan negaranegara yang sedanng berkembang, menghendaki ditegakkannya kedaulatan negara pantai atas selat serta berusaha menghindari adanya ancaman-ancaman militer maupun politik.
Di dalam perkembangannya kemudian jarak antara posisi negara-negara kepulauan dan negara-negara maritim besar ini semakin mendekat dengan adanya perubahan sikap dari kedua belah pihak. Pada akhirnya Konvensl Hukum Laut 1982 mengandung tiga macam jenis hak lintas bagi kapal asing# yaitu :
(1) hak lintas damai;
(2) hak lintas transit; dan
(3) hak lintas alur laut kepulauan.
Dewasa ini di Indonesia pengaturan tentang hak lintas kapal asing melalui perairan Indeonesia diatur dalam UU No. 4/Prp. tahun 1960 dan PP No. 8 Tahun 1962 yang memuat jaminan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di Perairan Indones ia.
Menurut Memori Penjelasan terhadap UU No. 4/Prp. tahun 1960, di perairan pedalaman (dalam pengertian Konvensi yang baru, disebut perairan kepulauan) jaminan tersebut tidak diberikan dalam bentuk hak (.righf) melainkan hanya sebagai suatu kelonggaran (priveJege) saja. Hal ini berarti bahwa sebagai negara pantai Indonesia daoat mencabut kembali kelonggaran-kelonggaran yang diberikan ini.
Kapal-kapal perang dapat berlayar melalui alur-alur laut yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut. Di luar alur-alur laut tersebut, hak lintas damai oleh kapal-kapal perang dan kapal-kapal pemerintah bukan kapal niaga asing, memerlukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum menetapkan alur-alur laut demikian. Khusus bagi kapal-kapal selam asing yang berlayar melalui perairan Indone_sia diharuskan untuk berlayar di atas permukaan air."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
D1146
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhridho S.B.P. Susilo
"Pengaturan Konsepsi Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982 memberikan dasar hukum yang diakui secara internasional sekaligus serangkaian hak dan kewajiban bagi negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Kepulauan, salah satunya Indonesia. Bagi Indonesia, pengaturan ini memperkuat dan menyempurnakan klaim yang dilakukannya pada tahun 1957 sebagai Negara Kepulauan, jauh sebelum UNCLOS 1982 ditandatangani, dan juga memberikan hakhak dan kewajiban-kewajiban pada Indonesia. Salah satu hak yang diberikan oleh UNCLOS 1982 adalah hak untuk membentuk dan menetapkan archipelagic sea lane atau alur laut kepulauan, yaitu suatu jalur yang menghubungkan antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan berfungsi untuk perlintasan kapal-kapal asing, baik kapal dagang, maupun kapal perang. Hak ini telah dilaksanakan oleh Indonesia melalui penetapan tiga ALKI yang diatur lewat PP No. 37 Tahun 2002. Mengingat pentingnya makna alur tersebut bagi Indonesia maupun dunia internasional, tidak hanya dari segi komersial, namun juga militer, maka sudah sepantasnya negara kepulauan yang bersangkutan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengamankan alur-alur tersebut dari gangguan yang mengancam baik terhadap kapal-kapal asing yang lewat disitu maupun terhadap kepentingan nasionalnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, TNI-AL yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang untuk menegakkan hukum dan mengamankan perairan Indonesia memiliki peran yang sangat besar. Dalam skripsi ini akan dibahas konsep pengamanan ALKI berdasarkan UNCLOS 1982 dan PP No.37 Tahun 2002, serta langkah-langkah dan kebijakan yang telah dilakukan TNI-AL dalam rangka pengamanan ALKI tersebut, beserta dasar hukum dan kasus terkait yang pernah terjadi di ALKI.

The incorporation of Archipelagic States Conception and Principles in the UNCLOS 1982 gives a legal basis recognized by international law as well as certain rights and obligations for those states who claim themselves to be Archipelagic State, one of them is Indonesia. For Indonesia, this incorporation strenghten dan perfects its claim as an Archipelagic State done in 1957, long before UNCLOS 1982 was signed, and also gives rights and obligations to Indonesia. One of the right that is governed by UNCLOS 1982 is the right to designate archipelagic sea lanes, a lane that connects one part of the high seas or exclusive economic zone with another part of high seas or exclusive economic zone, and functions as a passage for international ships, whether merchant or government ships or warhips. This right has been excercised by Indonesia through the designation of three archipelagic sea lanes known as 'Alur Laut Kepulauan Indonesia' or 'ALKI' as regulated in the Government Regulation Number 37 Year 2002. Considering the importence of that sea lanes for Indonesia as well as International worlds, not just commercially, but also miltary, therefore it is vital for the archipelagic state in question to take meassures to secure the sea lanes from any obstructions that can endanger foreign ships passing through the sea lanes, as well as its own national interests. In this case, the Indonesian Navy (TNI-AL), that has authorities and jurisdictions given by Indonesian laws to enforce law and security of Indonesian waters plays a big role. In this mini thesis, the concept of the security of ALKI based on UNCLOS 1982 and Government Regulation Number 37 Year 2002 will be dicussed, along with the steps and policy that has been taken by TNI-AL to secure it, as well as the legal basis and relevant cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26233
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>