Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162073 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1994
S25685
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudho Sasongko
"Kasus pendudukan Cina di Mischief Reef pada akhir tahun 1994 menandai babak baru dalam sengketa Laut Cina Selatan, yakni ketika Cina untuk pertama kalinya bersikap asertif terhadap salah satu negara ASEAN. Tindakan Cina ini setidaknya mengandung dua risiko, yakni terganggunya hubungan strategis Cina dengan negara-negara ASEAN serta semakin menguatnya dugaan tentang adanya "ancaman Cina" ("China threat ") di Asia Tenggara.
Tindakan Cina tersebut menarik untuk dikaji, khususnya untuk mencari faktor-faktor yang mungkin berkaitan dengan tindakan tersebut. Dalam kaitan ini, penulis memfokuskan pembahasan pada politik domestik Cina, khususnya persaingan antar unit-unit birokrasi di dalamnya. Dengan menggunakan teori tentang proses pengambilan kebijakan (policy-making process), terutama teori Graham Allison tentang politik birokratik, penulis berusaha menjelaskan persaingan birokrasi yang terjadi dan kaitannya dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan. Dalam hal ini, insiden pendudukan Cina di Mischief Reef digunakan sebagai studi kasus. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persaingan antarunit birokrasi di Cina yang saling memperebutkan pengaruh dalam upaya mempertahankan dan mengedepankan kepentingan birokratiknya; menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kelompok 1 unit birokrasi tertentu lebih mampu mendominasi dan memenangkan persaingan; dan menjelaskan kaitan antara dominasi kelompok 1 unit birokrasi tertentu dalam persaingan birokratik dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan, khususnya ketika Cina menduduki salah satu pulau karang di gugusan Kepulauan Spratly, yakni Mischief Reef.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah aktor utama yang saling bersaing dalam upaya mempertahankan kepentingan birokratiknya dan dalam upaya mempengaruhi kebijakan Cina, khususnya kebijakan dalam konflik Laut Cina Selatan. Aktor-aktor tersebut terdiri dari Kementrian Luar Negeri (MFA), Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), dan unsur-unsur dalam PLA, yakni Departemen Staf Umum (GSD), Angkatan Laut (PLA-N), dan Angkatan Udara (PLA-AF). Diantara aktor-aktor utama tersebut, PLA dan PLA-N sangat mendominasi persaingan, dan hal ini disebabkan setidaknya olch 5 (lima) faktor, yakni (1) tingginya posisi politis PLA dalam politik domestik Cina yang disebabkan oleh tragedi Tiananmen dan situasi power struggle yang menguntungkan posisi tawar-menawar PLA; (2) lemahnya MFA sebagai rival utama PLA dalam persaingan birokratik; (3) tingginya posisi elit PLA-N (yakni Admiral Liu Huaqing) dalam lingkaran elit pengambil keputusan tertinggi di Cina; (4) lemahnya GSD dan PLA-AF sebagai rival PLA-N dalam persaingan intra-PLA; (5) kemampuan PLA-N dalam mencari dan menjalankan strategi yang mengaitkan kepentingan birokratik dengan kepentingan nasional.
Keterkaitan antara dominasi PLA dan PLA-N dalam politik domestik Cina pada periode sebelum pendudukan Cina di Mischief Reef dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan terutama terlihat dalam proses pembuatan kebijakan Cina tentang Laut Cina Selatan, dimana pengaruh militer Cina khususnya dalam institusi CMC sangat besar. Figur Liu Huaqing sebagai perwira senior PLA dalam CMC yang sekaligus memiliki kedudukan dalam lingkaran elit tertinggi Cina, yakni Komite Tetap Politbiro kemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap munculnya kebijakan Cina yang asertif di Laut Cina Selatan pada umumnya, dan pendudukan di Mischief Reef pada khususnya. Meskipun tidak dapat dipastikan bagaimana CMC dan Liu Huaqing mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang kebijakan Cina Laut Cina Selatan, namun dengan melihat besarnya wewenang CMC dan tingginya kedudukan Liu dalam sistem politik Cina serta prestise yang menyertainya sebagai seorang veteran masa revolusi, bisa diperkirakan bahwa pengaruh Liu sangat besar dalarn mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut.
Kemampuan PLA dan PLA-N untuk mendominasi persaingan birokratik terhadap rivalrivalnya tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor seperti power, prosedur dan aturan main yang cenderung menguntungkan kedua institusi tersebut, melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih luas, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkup politik domestik Cina, yang antara lain ditandai oleh meningkatnya peran militer dalam proses politik. Peningkatan peran tersebut merupakan disebabkan oleh proses suksesi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya serta proses adaptasi yang dilakukan oleh institusi-institusi politik Cina dari waktu ke waktu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naomi Putri Anggita
"ABSTRAK
Kepulauan Spratly adalah sebuah wilayah di Laut Cina Selatan dimana terdapat terumbu karang dan pulau-pulau kecil. Wilayah Kepulauan Spratly bersama-sama dengan Laut China Selatan telah menjadi wilayah sengketa negara-negara tersebut yang mengelilingi Laut Cina Selatan. China adalah salah satu negara yang disengketakan, dengan mengklaim Laut Cina Selatan dan pulau-pulaunya, termasuk Nusantara Spratlys, sebagai bagian dari kedaulatannya. Pada akhir 2013, Cina melakukannya konstruksi pada 7 fitur karang di wilayah Kepulauan Spratly, yaitu Cuarteron Terumbu Karang, Terumbu Fiery Cross, Terumbu Gaven, Terumbu Hughes, Terumbu Johnson, Terumbu Mischief, dan Subi Reef, dan membuat pulau buatan baru. Status ketujuh fitur ini juga dipertanyakan dan apakah pembangunan pulau buatan ini bisa membuat China memperoleh kedaulatan atas Laut Cina Selatan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis status pulau buatan yang dibangun di atas tujuh fitur di wilayah tersebut Kepulauan Spratly dan apakah di pulau-pulau ini Cina bisa mendapatkan zona maritim untuk memperluas wilayah kedaulatannya di atas Laut Cina Selatan. Di
Tulisan ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan menganalisis peraturan perundang-undangan laut internasional tentang pulau dan pulau buatan, latar belakang klaim China terhadap
Laut Cina Selatan tiba di pembangunan tujuh fitur, serta putusan
Permanen Pengadilan Arbitrase pada perselisihan antara Cina dan Filipina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status tujuh fitur ditentukan dengan melihat kondisi aslinya sebelum dibangun oleh China, dan dengan status itu, China tidak dapat memperoleh zona ekonomi eksklusif di atas Kepulauan Spratly secara langsung secara keseluruhan, sehingga pembangunan tidak memberi Cina perluasan
kedaulatannya.
ABSTRACT
The Spratly Islands are an area in the South China Sea where there are coral reefs and small islands. The area of ​​the Spratly Islands together with the South China Sea has become a disputed territory of these countries which surrounds the South China Sea. China is one of the disputed countries, claiming the South China Sea and its islands, including the Spratlys Archipelago, as part of its sovereignty. In late 2013, China carried out construction on 7 coral features in the Spratly Islands region, namely Cuarteron Coral Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef, Hughes Reef, Johnson Reef, Mischief Reef, and Subi Reef, and created a new artificial island. The status of these seven features is also questioned and whether the construction of these artificial islands can allow China to gain sovereignty over the South China Sea. This article aims to analyze the status of artificial islands built on seven features in the Spratly Islands region and whether in these islands China can get a maritime zone to expand its sovereign territory over the South China Sea. In This paper uses normative juridical research by analyzing international maritime laws and regulations regarding artificial islands and islands, the background of China's claims to The South China Sea arrived at the construction of the seven features, as well as the verdict
Permanent Court of Arbitration on disputes between China and the Philippines. The results show that the status of the seven features is determined by looking at their original condition before being built by China, and with that status, China cannot obtain an exclusive economic zone over the Spratly Islands directly in its entirety, so development does not give China an expansion.
his sovereignty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanty Selviany
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S25874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
POL 3(1-2)2013
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Sulistia
"War and armed conflicts have been the major problems in international law especially for their defected impacts such as physical, psychological, and material loss for the victims. Wars and armed conflicts are subject to international humanitarian law so that people are protected from the soldiers violence where they kill each other in defending their national interests. Humanitarian law also has a purpose to protect wounded soldiers and prisoners of war from inhuman treatments. However, these wars and armed conflicts should be prevented because they have more disadvantages than advantages to human beings."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
JHII-4-3-Apr2007-526
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Wulan Priyanti
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S25819
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"makalah ini didasarkan pada masalah makalah-makalah penulis yang disampaikan di Lemhanas dengan judul menyempurnakan penetapan batas wilayah NKRI guna memantapkan kesatuan wilayah dalam menjalin kepentingan nasional."
300 MHN 1:1 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Antony S.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S26159
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gulardi Nurbintoro
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S26262
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>