Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99671 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Najoan, Lucille P.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S25812
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adya Sepasthika
"Penegakana hukum internasional melalui pembentukan berbagai pengadilan internasional yang bertujuan untuk mengadili para pelaku kejahatan internasioal. Pengadilan internasional memiliki lingkup kejahatan internasional, walaupun saat ini berkembang pula variasi pengadilan internasional yaitu pengadilan campuran yang mempunyai kewenangan kejahatan nasional dan internasional.
Namun, dengan adanya Pengadilan Khusus untuk Lebanon Special Tribunal for Lebanon/ STL, persepsi bahwa pengadilan internasional selalu bertujuan untuk mengadili kejahatan internasional berubah karena STL merupakan pengadilan pertama yang bertujuan sepenuhnya untuk kejahatan nasional tanpa ada unsur kejahatan internasional sama sekali. Kejahatan nasional di sini adalah mengadili pelaku terorisme dalam kasus pembunuhan perdana menteri Lebanon, Rafik Hariri.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis, termasuk meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan tujuan untuk mengetahui tujuan pembentukan STL yang dirasa janggal karena menimbulkan pertanyaan apakah kejahatan nasional STL mempunyai alasan yang kuat bagi DK PBB untuk menggunakan kewenangannya berdasarkan Bab VII Piagam PBB mengenai perdamaian dan keamanan dunia.
Penelitian ini juga membahas karakteristik-karakteristik khusus STL yang membedakan dengan pengadilan-pengadilan internasional sebelumnya. Pada hasilnya, disamping adanya beberapa unsur politik, STL dibentuk karena adanya keinginan pemerintah Lebanon untuk mengadili pelaku pembunuhan perdana menteri Rafik Hariri melalui pengadilan yang berkarakter internasional dan independen.

The purpose of enforcement of international law through the establishment of international courts is to try the criminals of international crimes. The international courts have the jurisdiction of international crimes, despite today rsquo s development of various international tribunals such as the hybrid courts that have the jurisdiction both international and national crimes.
However, the existence of Special Tribunal for Lebanon gives the perception that international courts have always aimed to try the international crimes criminals has changed because STL is the first international court that aims fully to try the national crimes without any international crimes element. The national crimes under STLs jurisdiction is to prosecute and investigate the assassination of former Lebanese prime minister Rafik Hariri.
This paper uses juridical normative method which uses written applicable laws and literatures, with the aim to get to know the aim of STL establishment as to be assumed peculiar as it incurs the question whether the national crimes under STL jurisdiction have the strong reasons for the UN Security Council to use its authority under Part VII of UN Charter regarding international peace and security.
This paper also explains the STL rsquo s special characteristics that distinguish with the previous international courts. The results shows that despite the political instruments, STL was established as the request of the Lebanese government to prosecute the criminals of the assassination of former Lebanese prime minister Rafik Hariri by establishing a tribunal that has impartial and international characters.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S25960
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudargo Gautama
Bandung: Alumni, 1984
341.522 SUD m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sudargo Gautama
Bandung: Alumni, 1981
340.9 SUD s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Almer Theda Alana
"Pada prinsipnya, ICJ hanya memiliki yurisdiksi asli, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Namun, beberapa perjanjian internasional ICAO memberikan yurisdiksi banding kepada ICJ, di mana ICJ bertindak sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Adapun ICJ telah menjatuhkan tiga putusan sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO. Walaupun demikian, instrumen hukum ICJ dan ICAO serta praktik ICJ dalam putusan-putusannya tidak memberikan landasan yang komprehensif mengenai yurisdiksi banding ICJ. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis (1) dasar hukum dan ruang lingkup yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO berdasarkan instrumen hukum ICJ dan ICAO; (2) praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 1972; dan (3) konsistensi praktik penerapan yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO dalam Kasus ICAO 2020. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Pasal 84 Konvensi Chicago, Pasal II(2) IASTA, serta Pasal 36(1) dan 37 Statuta ICJ menjadi dasar hukum yurisdiksi ICJ sebagai pengadilan tingkat banding dari Dewan ICAO; tetapi instrumen hukum ICJ dan ICAO tidak mengatur secara spesifik mengenai ruang lingkup yurisdiksi tersebut. Kedua, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 1972 memperjelas ruang lingkup yurisdiksi bandingnya—terutama mengenai jenis putusan yang dapat diajukan banding, yakni meliputi bukan hanya putusan Dewan ICAO atas merits, tetapi juga atas yurisdiksi; serta ruang lingkup peninjauan yang diterapkan pada persidangan banding, yakni standar peninjauan de novo. Ketiga, praktik ICJ dalam Kasus ICAO 2020 konsisten dengan praktiknya dalam Kasus ICAO 1972; dan semakin memperjelas ruang lingkup yurisdiksi banding ICJ—terutama memperjelas bahwa standar peninjauan de novo diterapkan bukan hanya terhadap pertanyaan hukum, tetapi juga terhadap pertanyaan fakta.

In principle, the ICJ only has an original jurisdiction, wherein it acts as a court of first and last instance. However, several ICAO treaties provide the ICJ with an appellate jurisdiction, wherein it acts as a court of appeal from the ICAO Council. The ICJ has rendered three judgments as a court of appeal from the ICAO Council. Nevertheless, the legal instruments of the ICJ and ICAO as well as the ICJ’s practice in its judgments do not provide a comprehensive basis regarding the ICJ’s appellate jurisdiction. Therefore, this study analyzes (1) the legal basis and scope of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council based on the legal instruments of the ICJ and ICAO; (2) the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 1972 ICAO Case; and (3) the consistency of the practice in applying the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council in the 2020 ICAO Case. Through research using normative juridical method and qualitative approach, the following conclusions can be drawn. First, Article 84 of the Chicago Convention, Article II(2) of the IASTA, as well as Articles 36(1) and 37 of the ICJ Statute constitute the legal basis of the ICJ’s jurisdiction as a court of appeal from the ICAO Council; but the legal instruments of the ICJ and ICAO do not specifically regulate the scope of that jurisdiction. Second, the ICJ’s practice in the 1972 ICAO Case clarifies the scope of its appellate jurisdiction—particularly regarding the types of decisions that are subject to appeal, which include not only the ICAO Council’s decisions on the merits, but also on jurisdiction; and the scope of review that applies in appellate proceedings, namely a de novo standard of review. Third, the ICJ’s practice in the 2020 ICAO Case is consistent with its practice in the 1972 ICAO Case; and further clarifies the scope of the ICJ’s appellate jurisdiction—particularly by clarifying that a de novo standard of review is applied not only to questions of law, but also to questions of fact."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Al Idrus
"[Sengketa atas Kepulauan Spratly terjadi akibat adanya klaim kepemilikan wilayah atas Kepulauan Spratly oleh negara-negara berbeda yang saling berhimpitan. Klaim ini bermunculan dikarenakan nilai strategis dari Kepulauan Spratly baik itu dari potensi kekayaan alam dan navigasi laut. Sengketa kepemilikan ini telah berwujud kepada aktifitas yang memanas antar negara-negara bersengketa dan menyebabkan jatuhnya korban. Usaha-usaha dalam menyelesaikan sengketa ini telah dilakukan melalui organisasi regional maupun secara bilateral namun masih tidak efektif. Berkenaan dengan sengketa ini, skripsi ini mencoba memberikan analisis terhadap alternatif penyelesaian sengketa yaitu Mahkamah Internasional yang telah berpengalaman dalam menyelesaikan sengketa wilayah.

, The Territorial Dispute over the Spratly Islands is the result of the overlapping
claims over the Spratly Islands region by different countries. These claims
emerged because of the strategic value of the Spratly Islands both in the potential
of natural resources and marine navigation. The disputes has become complicated
and caused casualties for all the disputed countries. Efforts to resolve the disputes
has been done through regional organizations or bilateral methods but worked
uneffectively. This thesis tries to give an analysis of alternative dispute resolution,
International Court of Justice, which has experiences in resolving the territorial
dispute.]
"
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S59199
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gatot Efrianto
"ICC adalah sebuah pengadilan independen permanen yang bertujuan untuk menuntut individu yang melakukan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, yaitu seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC didirikan pada tanggal 1 Juli 2002 dan bermarkas di kota Den Haag, Belanda. ICC adalah pengadilan terakhir di mana ICC tidak akan bertindak jika kasus telah atau sedang diselidiki atau dituntut oleh sistem peradilan nasional kecuali proses nasional tersebut tidak adil, misalnya jika proses formal dilakukan semata-mata untuk melindungi seseorang dari tanggung jawab pidana. Jadi, salah satu tujuan didirikannya ICC adalah untuk membantu mengakhiri kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Selain itu, ICC hanya mencoba mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan yang paling parah. Dalam setiap kegiatan, ICC mengamati standar tertinggi keadilan dan proses pengadilan. Yurisdiksi dan fungsi ICC diatur oleh Statuta Roma yang merupakan hasil konferensi internasional di Roma pada Juni 1998 (diadopsi 17 Juli 1998). Banyak kalangan menilai bahwa proses keikutsertaan (ratifikasi) Indonesia ke Statuta Roma (yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional) berjalan sangat lambat. Meskipun saat ini terdapat 119 negara yang telah menjadi Negara Pihak pada Statuta Roma, proses ratifikasi oleh Indonesia masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan Pemerintah. Untuk itu, Penulis memandang perlu untuk menyampaikan beberapa sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat mendorong proses ratifikasi tersebut. Sejalan dengan maksud tersebut, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan secara ringkas manfaat dan urgensi ratifikasi Statuta Roma. Selanjutnya, tulisan ini juga akan secara khusus menganalisa beberapa mispersepsi (kesalahpahaman) yang selama ini menurut Penulis telah menghambat dan menjadi kendala proses ratifikasi di Indonesia. Kemudian di bagian akhir, selain memberikan beberapa kesimpulan, tulisan ini juga akan menyampaikan beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah guna mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma."
[Place of publication not identified]: The Ary Suta Center Series on Strategic Management, 2015
330 ASCSM 29 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adies Caesarian
"Produk hukum yang bersumber dari aktivitas organisasi internasional banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan sumber hukum internasional. Kebanyakan instrumen ini hadir sebagai pelengkap dari perjanjian konstitutifnya dengan sifat yang tidak mengikat, tetapi tidak dipungkiri memiliki signifikansi sebagai sumber hukum. Berkaitan dengan ini, Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) merupakan badan ciptaan dari International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) yang secara khusus diberikan mandat untuk mengawasi implementasi kewajiban Negara pihak yang lahir dari ICERD. Untuk menjalankan mandatnya, CERD dapat mengeluarkan General Recommendationsebagai panduan bagi Negara pihak dalam memahami ketentuan ICERD sehingga Negara dapat melaksanakan kewajibannya dengan lebih baik. Selain bagi Negara pihak, General Recommendation juga digunakan oleh organ yudisial, seperti International Court of Justice (ICJ) sebagai pertimbangan untuk memahami suatu ketentuan Konvensi. Hal ini tercermin dari praktik ICJ dalam pertimbangan Putusan Diallo, Belgia melawan Senegal, Wall Advisory Opinion, dan IFAD Advisory Opinion. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan data sekunder, penelitian ini berusaha untuk mengetahui posisi General Recommendation sebagai sumber hukum internasional, mengamati praktik ICJ sebelumnya dalam menggunakan General Recommendation sebagai bahan pertimbangan, serta menganalisis pertimbangan ICJ terhadap General Recommendation No.30 Tahun 2004 dari CERD dalam perkara Qatar melawan UEA. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ICJ tidak menggunakan General Recommendation No.30 Tahun 2004 untuk menginterpretasikan ketentuan dalam ICERD tanpa mengelaborasikan alasannya. Meskipun hal ini dapat dilakukan oleh ICJ karena ICJ tidak wajib mengikuti interpretasi dari CERD ataupun preseden sebelumnya, hal ini menyimpang dari praktik-praktik ICJ sebelumnya. Sehubungan dengan itu, penggunaan General Recommendation sebagai sarana interpretasi oleh ICJ dapat dilihat sebagai supplementary means of interpretation dalam kaitannya dengan posisi General Recommendation sebagai sumber hukum subsider. Penelitian ini menyarankan General Recommendation diberikan pertimbangan yang besar terhadap suatu pertimbangan interpretasi ketentuan perjanjian HAM internasional. Pun ketika ICJ memilih untuk menyimpang dari interpretasi General Recommendation, hendaknya memberikan justifikasinya demi menjaga konsistensi putusannya.

Sources of law originating from the activities of international organizations contribute a lot to the development of sources of international law. Most of these instruments are complements to the constitutive agreement with a non-binding nature, but it is undeniable that they have a certain legal significance as a source of law. In this regard, the Committee on the Elimination of Racial Discrimination (“CERD”) is an organ created by the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (“ICERD”) which is specifically mandated to monitor the implementation of obligations of ICERD States parties. To carry out its mandate, CERD can issue General Recommendations as a guide for States parties in understanding the provisions of ICERD so that States can carry out their obligations better. In addition to State parties, the General Recommendation is also used by judicial organs, such as the International Court of Justice (“ICJ”) as considerations to interpret International Human Rights Law Convention’s certain provisions. This is reflected in ICJ's practices such as Diallo Judgement, Belgium v. Senegal Judgement, Wall Advisory Opinion, and IFAD Advisory Opinion. By using juridical-normative methods and secondary data, this study aims to locate General Recommendation as a source of international law, observe previous ICJ practices in using General Recommendations as considerations, and further analyse ICJ's considerations on CERD’s General Recommendation No. 30 (2004) in the Qatar v. UAE Judgement. This study concludes that ICJ does not use General Recommendation No. 30 of 2004 to interpret the provisions in ICERD without providing its justification. While this is a common and reasonable practice by the ICJ—as they are not obliged to follow the interpretation of the CERD nor ICJ’s previous precedents—this Judgement deviates from previous ICJ practices. The relation of General Recommendation as a means of interpretation by the ICJ can be seen as a supplementary means of interpretation as this closely relates to the General Recommendation position as a subsidiary source of international law. This study suggests that the General Recommendation is given great weight to the consideration of the interpretation of International Human Rights treaties. In a situation where ICJ chooses to dismiss the interpretation of the General Recommendation, ICJ should provide its justification in doing so to maintain the consistency of ICJ’s jurisprudence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>