Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120378 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Agus Iskandar
"ABSTRAK
Permasalahan selalu mengundang perbedaan pendapat, dan Internasional hukum dari perbedaan ini , akan di hasilkan hal-hal baru yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum. Demikian pula dengan masalah hukum yang pernah terjadi beberapa dasawarsa yang lalu setelah usainya perang dunia kedua, yaitu dengan dibentuknya Mahkamah Militer Internasional, untuk mengadili para penjahat perang dunia kedua. Fihak Sekutu sebagai pemenang perang berfikiran bahwa dai am perang dunia kedua ini kejahatan perang sudah dalam batas menghawatirkan peradaban manusia. Oleh sebab itu sanksi atas pelanggaran hukum perang harus ditegakan. Atas dasar hal itu maka didirikanlah Mahkamah Militer Internasional. Disisi lain fihak Jerman dan Jepang sebagai fihak yang kalah dalam perang tidak bisa menerima cara tersebut, karena selain mereka adalah fihak terdakwa, mereka juga beranggapan bahwa didirikannya mahkamah tersebut oleh Sekutu dan dilaksanakannya proses peradilanya oleh ahli-ahli hukum negara Sekutu, adalah merupakan balas dendam yang terselubung» Selain itu dalam pelaksanaannya, terdapat tatacara yang tidak lazim menurut tatanan hukum yang telah ada. Dalam kenyataanya, mahkamah tersebut tetap dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi perkembangan hukum internasional."
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nabila
"This study discusses the jurisdiction of International Criminal Court, as the permanent criminal court whose jurisdiction covers international criminal acts, with regard to the conflict between Palestine and Israel in Gaza Strip. Palestine and Israel are often involved in a conflict in Gaza Strip, most notably in 2009 and 2012. The aftermath of the two conflicts suggested several indications of internatioanl criminal acts conducted by two States, however no measures have been taken thus far in response to such indications. On 1 April 2015, Palestine has officialy become the State Party of International Criminal Court. This raises the question of the possibility of International Criminal Court?s jurisdict ion over the two notable conflicts in Gaza Strip. The author concluded that International Criminal Court does not have jurisdiction over the conflict between Palestine and Israel in Gaza Strip.

Skripsi ini membahas mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, sebagai pengadilan pidana permanen yang memiliki yurisdiksi terhadap tindak pidana internasional, atas konflik antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza. Palestina dan Israel kerap terlibat dalam konflik bersenjata dalam wilayah Jalur Gaza, diantaranya pada tahun 2009 serta 2012. Dalam kedua periode konflik tersebut terdapat beberapa indikasi adanya tindak pidana internasional yang dilakukan oleh kedua negara, namun belum terdapat proses pengadilan apaun terkait dengan indikasi tersebut. Pada 1 April 2015, Palestina secara resmi telah menjadi negara anggota dari Mahkamah Pidana Internasional. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terkait dengan konflik di Jalur Gaza yang melibatkan salah satu negara anggotanya tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa hingga saat ini, Mahkamah Pidana Internasional belum memiliki yurisdiksi atas konflik antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S60570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Miranda Kosasih
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai konsep pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana internasional dan secara spesifik membahas
konsep pertanggungjawaban individual yang diatur dalam Statuta Roma.
Konsep pertanggungjawaban individual mulai dikenal dalam hukum
internasional moderen pada masa Perang Dunia II tepatnya dalam
Peradilan Nuremberg, dengan menghukum individu atas kejahatan
internasional. Konsep ini selanjutnya diterapkan di berbagai peradilan
pidana internasional. dan mengalami perkembangan dengan munculnya
konsep pertanggungjawaban pimpinan dalam Peradilan Tokyo dan
konsep Joint Criminal Enterprise dalam International Court for Former
Yugoslavia (ICTY). Konsep pertanggungjawaban individual mengalami
perubahan ketika diterapkan dalam International Criminal Court (ICC)
yang terlihat didalam putusan Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa Thomas
Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang dalam perekrutan tentara
anak dan bertanggung jawab secara individu atas dasar turut melakukan
(co-perpetration).

ABSTRACT
This thesis analyzes the concept of criminal responsibility under
international criminal law, specifically discusses the individual criminal responsibility under Rome Statute. Individual criminal responsibility was first applied during the Second World War, which was in the Nuremberg Trials. The concept punishes individual for International crimes. The concept of individual criminal responsibility was then applied in various international criminal tribunals, and has developed with the introduction of the concept of superior responsibility in International Military Tribunal for The Far East and the concept of joint criminal enterprise in International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia. The concept of criminal responsibility has evolved in the
International Criminal Court, as it can be seen in Prosecutor v. Thomas
Lubanga Dyilo Case. The trial chamber punished Thomas Lubanga
Dyilo for the warcrime of recruiting child soldier under co-perpetration."
2013
S46333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2005
S26033
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vienna Novia Lurizha Adza
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penerapan prinsip komplementaritas sebagai salah satu prinsip esensial dalam Statuta Roma oleh Mahkamah Pidana Internasional dalam dua perkara di Libya yaitu perkara Saif al-Islam Gaddafi dan Abdullah al- Senussi. Kedua perkara ini ditangani oleh negara yang sama yaitu Libya, namun pada putusan akhirnya keduanya mendapatkan putusan yang berbeda. Libya dinyatakan tidak mampu dalam perkara Saif al-Islam Gaddafi sedangkan dalam perkara Abdullah al-Senussi, Libya dinyatakan mampu untuk mengadili perkara sehingga perkara tersebut dinyatakan tidak admissible. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa sistem hukum yang sama dapat dianalisa menjadi dua kondisi yang berbeda dalam dua perkara tersebut. Untuk menjawab persoalan ini, Penulis menggunakan studi pustaka terhadap berbagai jenis data sekunder, Penulis menyimpulkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional tidak konsisten dalam melakukan penilaian terhadap penerapan prinsip komplementaritas dalam dua perkara tersebut. Hal tersebut bersumber dari penilaian mengenai ketidakmampuan Libya berdasarkan Pasal 17 3 Statuta Roma.

ABSTRACT
This study discusses the implementation of the complementarity principle as one of the most essential principle established in the Rome Statute by the International Criminal Court in two cases in Libya, which are the case of Saif al Islam Gaddafi and Abdullah al Senussi. These cases were investigated by the same State which was Libya. However, on the final Decision the Court has rendered two substantially different rulings. Libya was declared unable to investigate the case of Saif al Gaddafi, whereas in the case of Abdullah al Senussi, Libya was declared able to investigate the case, rendering the case inadmissible before the Court. This condition raises the question of why the same national legal system can be analysed and described into two different conditions. The author concluded that the International Criminal Court has been inconsistent in analyzing the implementation of the complementarity principle in these cases. Such inconsistencies can be found in the Court rsquo s analysis regarding the inability of Libya to investigate or carry out a proceeding pursuant to Article 17 3 of the Rome Statute. "
2017
S69182
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmatu Shalihah
"Skripsi ini membahas mengenai pengaruh dari Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014 terhadap penuntutan kejahatan seksual yang diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Dalam penelitian ini juga akan dibahas secara kronologis terkait pengaturan dan penuntutan kejahatan seksual di pengadilan- pengadilan sebelum Mahkamah Pidana Internasional untuk melihat signifikansi dari setiap pengadilan dalam penuntutan kejahatan seksual. Kejahatan seksual pada International Military Tribunal of Nuremberg and Tokyo (IMT dan IMTFE) pada masa Perang Dunia II belum dianggap sebagai kejahatan yang terpisah dan hanya sebagai bagian dari “mass atrocities”. Perkembangan dan pengaturan juga kejahatan seksual dapat dilihat pada pengadilan pidana internasional yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB yaitu ICTY, ICTR dan SCSL. Dengan berkembangnya pengaturan kejahatan seksual dalam pengadilan-pengadilan ini maka keberhasilan Penuntut Umum dalam membuktikan kejahatan seksual telah menghasilkan landmark cases seperti putusan Prosecutor v. Tadic yang merupakan keberhasilan pertama oleh Penuntut Umum dalam membuktikan kejahatan seksual. Namun, tidak ada kejahatan seksual yang berhasil dituntut di Mahkamah Pidana Internasional sebelum diterbitkannya Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014. Kasus pertama yang berhasil membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa kejahatan seksual adalah kasus Prosecutor v. Bemba setelah diterbitkan Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014. Maka dari itu, penulis bertujuan untuk menjelaskan faktor- faktor dari ketidakberhasilan penuntutan kejahatan seksual di Mahkamah Pidana Internasional melalui kasus-kasus dan pengaruh Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014 sebagai pedoman Penuntut Umum terhadap penuntutan kejahatan seksual di Mahkamah Pidana Internasional.

This thesis discusses the implementation of the Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014 on the prosecution of sexual crimes tried at the International Criminal Court. This study will also discuss chronologically regarding the regulation and prosecution of sexual crimes in courts before the International Criminal Court to see the significance of each court in prosecuting sexual crimes. Sexual crimes at the International Military Tribunal of Nuremberg and Tokyo (IMT and IMTFE) during World War II were not considered separate crimes and only as part of "mass atrocities". The development and regulation of sexual crimes can be seen in the international criminal courts established by the UN Security Council, namely ICTY, ICTR and SCSL. With the development of the regulation of sexual crimes in these courts, the success of the Public Prosecutor in proving sexual crimes has resulted in landmark cases such as the decision of Prosecutor v. Tadic which is the first success by the Public Prosecutor in proving a sexual crime. However, no sexual crimes were successfully prosecuted in the International Criminal Court prior to the publication of the 2014 Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes. The first case that succeeded in proving crimes against humanity in the form of sexual crimes was the case of Prosecutor v. Bemba after the publication of the Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014. Therefore, the author aims to explain the factors of the unsuccessful prosecution of sexual crimes at the International Criminal Court through cases and the influence of the 2014 Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes as the Public Prosecutor guide for the prosecution of sexual crimes at the International Criminal Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Clarissa
"Dalam perjalanan menuju negara tujuan untuk mendapatkan perlindungan, pencari suaka seringkali melakukan perjalanan melalui laut dengan menggunakan kapal yang tidak laik laut dan seringkali pula dilakukan dengan bantuan kelompok penyelundup migran. Perjalanan yang berbahaya ini mengakibatkan banyaknya kapal pencari suaka yang mengalami kecelakaan di laut sehingga para pencari suaka seringkali berada dalam keadaan bahaya di laut. Hukum internasional mewajibkan negara untuk melakukan SAR untuk menyelamatkan setiap orang yang berada dalam keadaan bahaya di laut, termasuk pencari suaka. Ketentuan SAR secara khusus diatur dalam International Convention on Maritime Search and Rescue. Pelaksanaan upaya SAR bagi pencari suaka terkait pula penentuan place of safety, prinsip non-refoulement dan tindak pidana penyelundupan migran.

The journey to the destination country to seek protection, asylum-seekers frequently take the journey through sea by sea unworthy boats and they are seldom helped by migrant smugglers. This dangerous journey has caused a lot of asylum-seekers faced accident at sea and made them in distress at sea. International law obliges states to do SAR operation to save every person who is in distress at sea, including asylum-seekers. The special provisions related to SAR are consisted in International Convention on Maritime Search and Rescue. SAR operation to save asylum-seekers also related to the determination of place of safety, non-refoulement principle and migrant smuggling.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53471
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Realizing a basic human right's court is not as easy writing or speaking, but it needs a concrete policy that is the commitment of a country to implement basic human rights in the social and political life as the realization of respect to the humanity of human beings. Indonesia is one of the countries which has clear commitment toward the protection of basic human rights as stated in the Preambule of The 1945 Constitution. Such as a commitment has been followed up by a concrete policy in the form of AdHoc Basic Human Right;s Court by the enactment of No. 26/2000 Law which was enacted in May 2002. Considering that Indonesia has not yet ratified the Statuta of International Criminal Court it is hoped that Human Right's Court in Indonesia would be able and willing to bring various cases of heavy violations toward basic human right's occuring in Indonesia nowadays to trial independently and impartialy. In other words The Basic Human Right's Court in Indonesia could convince the world that Indonesian Government is willing and able to settle heavy violations toward Basic Human Rights that so far have occured in Indonesia based on the standard of International Law."
2004
340 JEPX 24:1 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pangaribuan, Aristo Marisi Adiputra
Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
341.77 PAN m (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Michael William Benedict
"Pelaksanaan dan kepatuhan negara anggota Statuta Roma dalam melaksanakan permintaan kerjasama untuk menangkap dan menyerahkan sangatlah penting bagi  Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam mencapai tujuannya untuk mengakhiri impunitas. Meskipun begitu, Pasal 98 Statuta Roma hadir sebagai bentuk pengesampingan dari kewajiban kerjasama tersebut. Salah satu negara anggota yang menggunakan pasal ini untuk tidak melakukan kewajiban kerjasamanya adalah Yordania dalam permintaan kerjasama ICC untuk menangkap dan menyerahkan Al Bashir. Menurut Yordania disini Pasal 98(1) berlaku sebab Al Bashir masih memiliki imunitas dan Pasal 98 (2) juga berlaku berdasarkan Convention on the Privileges and Immunities of the League of the Arab States. Melalui metode penelitian hukum normatif yang berbasiskan pada data sekunder, hendak dianalisis apakah Pasal 98 benar berlaku di dalam kasus ini sehingga membuat Yordania tidak melanggar kewajibannya dengan tidak menangkap dan menyerahkan Al Bashir. Adapun melalui penelitian yang telah dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa pertimbangan ICC telah tepat bahwa Pasal 98 tidak berlaku dalam kasus ini. Oleh sebab itu penelitian ini menyarankan perlu dilakukan amandemen terhadap Pasal 98 khususnya untuk memperjelas terkait keberlakuannya terhadap negara yang menjadi subjek dari suatu rujukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Selain itu mekanisme konsultasi yang tersedia dalam Pasal 97 Statuta Roma sebaiknya dapat menghasilkan suatu keputusan hukum yang mengikat terhadap pelaksanaan kerjasama oleh negara anggota. Dengan begitu setelah diputuskan di tahapan konsultasi bahwa tidak terdapat permasalahan yang diatur di Pasal 98, negara anggota wajib melaksanakan permintaan kerjasama tersebut.

The implementation and compliance of member states of the Rome Statute in carrying out requests for cooperation in arrest and surrender is essential for the International Criminal Court (ICC) in achieving its goal of ending impunity. Even so, Article 98 of the Rome Statute is present as a form of waiver of the cooperation obligation. One of the member states that use this article to not carry out its cooperation obligations is Jordan in the ICC's request for cooperation to arrest and hand over Al Bashir. According to Jordan, Article 98(1) applies because Al Bashir still has immunity and Article 98(2) also applies in accordance with the Convention on the Privileges and Immunities of the League of the Arab States. Through a normative legal research method based on secondary data, it will be analyzed whether Article 98 applies in this case so that Jordan does not violate its obligations by not arresting and handing over Al Bashir. As for the research that has been carried out, it was concluded that the ICC's consideration was correct in concluding Article 98 does not apply in this case. Therefore, this study suggests that it is necessary to amend Article 98 in particular to clarify its applicability to countries that are the subject of a United Nations Security Council (UNSC) referral. In addition, the consultation mechanism provided in Article 97 of the Rome Statute should be able to produce a binding legal decision on implementation of cooperation by member states. Thus, after it was decided at the consultation stage that there were no problems arising out of Article 98, member states were obliged to implement the request for cooperation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>