Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51769 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitompul, Sofyan
Depok: Universitas Indonesia, 1985
S25582
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Lita Arijati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Anna H. Wardhana
"Departing from the much publicized Social Security crisis in the first two years after President Ronald Reagan took office in 1981, this study sets out to examine and come to an understanding of what Social Security signifies, and what its place is in the lives of the American people.
When President Franklin D. Roosevelt signed the Social Security Act of 1935 into law, in the midst of the Great Depression of the 1930s, he gave the American people a basic framework of federally-and/or-state administered programs that would provide "security (for) the men, women, and children of the nation against certain hazards and vicissitudes of life." They included: a federal old-age insurance program, a state unemployment insurance program, and a federal-state program for public assistance to certain categories of needy people.
However, the heart of the Social Security Act - championed by Roosevelt as his cause for security in old age - was the old-age insurance program, a worker-and-employer-funded program which would pay out monthly benefits to workers upon retirement, proportional to what they had earned during their working years. Today, the term Social Security is fully identified with this federal old-age insurance system.
Roosevelt had wanted to create a system which would give some measure of protection against certain misfortunes in life which, he said, could not be wholly eliminated in "this man-made world of ours." Social Security benefits were to be a supplement to individual savings for old age, a means to help ward off "poverty-ridden old age."
Prior to the Social Security Act of 1935, the existing provisions of assistance to the poor were a patchwork of county, state, and private charities. The aged poor were generally placed in almshouses, where they were inadequately taken care of.. In addition to their bleak existence, they suffered the stigma of being considered "worthless paupers " --true to the spirit of individualism and to certain elements of the value system that were fundamental to American life.
The Social Security Act of 1935 was a significant turning point in the history of the American nation. It heralded the assumption of responsibility by the federal government for the welfare of the people in general; and the protection of the individual in particular, against destitution in old age.
A government policy, however, may over the years develop in unforeseen directions, leading to unintended consequences. In the Epilogue added to this study, an overview of the development of Social Security after 1935 is given so as to link the past to the present, thereby coming to a more meaningful understanding of the crisis in the Social Security system which emerged at the close of its fifty-year existence."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1984
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Oktaviani
"Perang Dingin muncul sebagai babak baru dalam sejarah perkembangan dunia yang menciptakan dua kekuatan yang saing berhadapan antara blok Barat (Amerika Serikat) dan blok Timur (Uni Soviet), membawa perubahan terhadap kebijaksanaan luar negeri Australia. Sebagai akibat Perang Dingin pada awal dekade tahun 1950-an maka Australia semakin mengikatkan diri dengan pelindungnya yaitu Amerika Serikat dalam rangka memerangi pengaruh komunis di wilayah Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara. Hal itu cukuplah beralasan karena Australia memandang bahwa wilayah tersebut sebagai daerah yang potensial bagi perkembangan komunis sebagai dampak yang ditimbulkan dari Perang Dingin. Selain itu pada tanggal I Oktober 1949 terbentuk negara Republik Rakyat Cina (RRC). Melihat perkembangan itu pemerintah Australia akhirnya melancarkan kebijaksanaan antikomunis dalam poltik luar negeri yang diwujudkan melalui keikutsertaannya dalam Politik Pembendungan (Containment Policy) yang dijalankan oleh Amerika Serikat terhadap perkembangan komunis. Secara garis besar bentuk kebijakan antikomunis Australia diterapkan melalui dua bidang yaitu bidang ekonomi yang berupa pemberian bantuan ekonomi pada negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang diipandang belum memiliki kestabilan ekonomi yang mantap dan dalam bidang militer dengan membentuk pakta pertahanan regional. Untuk melakukan pembendungan komunis dalam bidang militer maka Australia bersama New Zealand yang merupakan negara tetangga terdekatnya dan Amerika Serikat membentuk pakta pertahanan ANZUS pada tanggal 1 September 1951 di San Fransisco sebagai usaha untuk menjamin stabilitas regional di Asia Pasifik. Pakta ini merupakan momentum awal dari keterlepasan Australia dengan ketergantungannya pada Inggris yang mulai beralih ke Amerika Serikat. Selain sebagai usaha untuk membendung komunis, tujuan penting dari ANZUS adalah menjaga wilayah teritorial masing-masing negara anggota dari kemungkinan ancaman luar yang bisa muncul. Dalam pembentukan ANZUS, Australia yang paling memegang peranan penting karena ide awalnya dari Australia yang merasa negaranya membutuhkan dukungan militer yang kuat dan Amerika Serikat dianggap sebagai pelindungnya, hal itu berdasarkan dengan pengalaman pada Perang Pasifik (1941-1945). Pada mulanya Amerika Serikat merasa bahwa tidak perlu untuk membentuk pakta di kawasan Asia Pasifik tetapi karena didesak terus oleh Australia yang merasa bahwa di wilayah tersebut seharusnya juga terdapat pakta pertahanan seperti NATO hingga akhirnya Amerika Serikat menyetujuinya. Adapun reaksi yang mucul setelah pembentukan ANZUS diantaranya berasal dari Partai Buruh sebagai partai oposisi yang menyatakan mendukung dan menyetujuinya sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas keamanan regional. Sementara itu, muncul reaksi keras dari pemerintahan Inggris yang menyatakan tidak setuju karena Inggris merasa khawatir kalau pakta tersebut akan merusak hubungan baik antara Inggris, Australia dan New Zealand. Alasan Inggris dibantah oleh Australia karena keterlibatannya dalam ANZUS semata-mata untuk melindungi keamanan dalam negerinya dan menciptakan stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik dari perkembangan komunis."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S12286
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Alfa Shobrina
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alasan pemerintah Amerika Serikat bersedia merenegosiasi South Pacific Tuna Treaty (SPTT). SPTT merupakan perjanjian akses perikanan antara AS dan negara-negara Kepulauan Pasifik yang dibentuk pada tahun 1987. Pada Januari 2016 SPTT hampir hancur karena AS memutuskan untuk keluar dari perjanjian, tetapi berhasil diselamatkan ketika AS bersedia untuk menegosiasikan ulang perjanjian tersebut dengan negara-negara Kepulauan Pasifik. Pada Juni 2016, keduanya sepakat untuk merestrukturisasi SPTT dengan mengamandemen beberapa persyaratan perjanjian. Penelitian ini menganalisis mengapa AS bersedia untuk renegosiasi SPTT dengan pihak Kepulauan Pasifik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, teori two-level game digunakan dalam penelitian ini. Tujuannya untuk mengeksplorasi interaksi yang terjadi antara level domestik dan internasional pada renegosiasi SPTT. Hasil analisis  menunjukkan bahwa Departemen Luar Negeri AS memiliki wewenang untuk renegosiasi SPTT dan lembaga tersebut mendapat dukungan dari mayoritas kelompok domestik AS yang memiliki kepentingan sejalan dengannya. Negosiator juga melakukan beberapa strategi dalam rangka memperbesar dukungan dari kelompok-kelompok domestik sehingga SPTT dapat direnegosiasi. Berdasarkan analisis mengenai motivasi AS renegosiasi SPTT, hal itu mengindikasikan bahwa SPTT bukan hanya sekedar melayani kepentingan ekonomi AS, tetapi juga kepentingan strategis AS di kawasan Pasifik Selatan.

This research aims to explain the reason of the United States government renegotiate the South Pacific Tuna Treaty (SPTT). The SPTT was formed in 1987 is a fisheries access agreement between the US and Pacific Island States. In January 2016 the SPTT was almost destroyed because the US decided to withdraw from the treaty, however, the treaty was saved when the US was willing to renegotiate with the Pacific Island States. In June 2016, both parties agreed to restructure the SPTT by amending several agreement terms. This thesis analysis why the US is willing to renegotiate SPPT with the Pacific Islands. To answer that question, two-level game theory is used in this research. The use of two-level games theory is to find out the interactions between the domestic and international levels in the SPTT renegotiation. The findings of this research showed that the US Department of State has the authority to renegotiate the SPTT and the agency has the support from the majority of US domestic groups who have similar interest. Negotiators also perform some strategies in order to increase support from domestic groups so that the SPTT could be renegotiated. Based on an analysis of the US motivation to renegotiate the SPTT, it indicates that the SPTT is not just serving US economic interests, but also US strategic interests in the South Pacific region."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Schottland, Charles I.
New York: Appleton-Century-Crofts, 1963
368.4 SCH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Glosserman, Brad
New York : Columbia University Press, 2015
327.520 GLO j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>