Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gaby Arijane Trihadi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S25837
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Taufick
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarasti Pradina Paramita
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S25654
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefy Kamila Failasufa
"Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana penanganan sengketa international child abduction yang terjadi setelah adanya perceraian dari sepasang suami istri yang telah melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Perbedaan hukum yang berlaku antara suami dan istri, mempengaruhi status personal anak tersebut dalam berhadapan dengan hukum. International child abduction diatur dalam the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia belum menandatangani konvensi tersebut sehingga penanganannya mengacu pada undang-undang nasional seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Penanganan kasus ini di Indonesia melibatkan instansi seperti KPAI, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar. Selain melibatkan instansi, pada umumnya proses pengembalian anak dalam penanganan international child abduction dapat mengikuti perjanjian bilateral antara kedua negara, tetapi Indonesia belum memiliki perjanjian bilateral terkait international child abduction dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Belanda, dan Prancis. Salah satu yang menjadi permasalahan besar dalam menangani international child abduction di Indonesia adalah Indonesia belum menjadi negara anggota the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction dan belum meratifikasi konvensi tersebut. Penyelesaian international child abduction di pengadilan bisa menghasilkan putusan pengembalian anak atau penetapan hak asuh anak berdasarkan prinsip the best interest of the child dan prinsip habitual residence. Namun, sebagai negara yang belum meratifikasi konvensi, Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam menangani kasus international child abduction secara efektif. Indonesia tentu membutuhkan regulasi berupa undang-undang yang jelas untuk menangani kasus international child abduction, yang mencakup Central Authority yang sesuai dengan konvensi untuk menjadi perantara antar negara, serta prosedur pengembalian anak tersebut ke negara asal atau negara habitual residence-nya.

This research analyses how to handle disputes of international child abduction that occur after the divorce of a couple who have conducted an intermarriage with different nationalities. The differences in the applicable laws between the husband and wife affect the personal status of the child when dealing with the law. International child abduction is regulated by the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia has not signed this convention, so the handling in Indonesia refers to national laws such as the Child Protection Act, the Marriage Act, the Indonesian Citizenship Act, and the Child Welfare Act. The handling of this case in Indonesia involves institutions such as KPAI, the Ministry of Foreign Affairs, and the Embassy. Besides involving institutions, generally, the process of returning the child in the handling of international child abduction can follow bilateral agreements between the two countries, but Indonesia does not yet have bilateral agreements related to international child abduction with countries such as the United States, Singapore, the Netherlands, and France. One of the major issues in handling international child abduction in Indonesia is that Indonesia has not become a member state of the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction and has not ratified the convention. The resolution of international child abduction in court can result in a decision to return the child or the determination of child custody based on the principle of the best interest of the child and the principle of habitual residence. However, as a country that has not ratified the convention, Indonesia still faces difficulties in handling cases of international child abduction effectively. Indonesia certainly needs clear regulations in the form of laws to handle cases of international child abduction, which include a Central Authority in accordance with the convention to act as an intermediary between countries, as well as procedures for returning the child to the country of origin or their habitual residence country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudie Reza Haryansyah
"Menjelang era globalisasi, membuka kemungkinan terjadi suatu perkawinan campuran. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan seorang warga Negara Asing. Dalam setiap perkawinan, ada saja kemungkinan timbul suatu kesalahpahaman sehingga mengakibatkan putusnya suatu perkawinan. Untuk pasangan yang berbeda warga negara terjadi suatu masalah mengenai hukum rnana yang akan diberlakukan dalam menyelesaikannya. Sehingga pokok permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah pelaksanaan perceraian pada perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 serta penyelesaian akibat hukum yang timbul karena perceraian pada perkawinan campuran terhadap kewarganegaraan, harta bersama, nafkah istri, perwalian atau kekuasaan orang tua serta biaya pemeliharaan anak. Untuk memecah permasalahan ini digunakan metode penelitian normative atau library research, yaitu penelitian untuk memperoleh data-data sekunder. Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk menyajikan pemahaman dan untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, perceraian pada perkawinan campuran dibedakan antara formil dan hukum materilnya. Hukum formil yang harus ditetapkan adalah mengikuti asas lex fori, dirnana dalam hukum acara perdata hakim harus tunduk pada hukum negaranya sendiri. Sedangkan mengenai hukum materil yang harus diterapkan untuk menyelesaikan perkara perceraian tersebut, jika tidak ada pilihan hukum, maka hakim harus menentukan sendiri hukum yang akan diterapkan berdasarkan faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu. Akibat perceraian pada perkawinan campuran mengenai kewarganegaraan, dapat menyebabkan perubahan status personil seseorang. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesianya. Dalam perceraian pada perkawinan campuran dimana istri/suami tersebut tetap mempertahankan kewarganegaraan asli mereka. Akibat perceraian pada perkawinan campuran terhadap nafkah istri, perwalian dan biaya pemeliharaan atas anak diselesaikan dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. mengenai harta bersama diatur terpisah dari perkara perceraian.

The ongoing process of globalization has brought about more opportunities to a couple from different nationalities to get married. According to the Law No. 1 Year 1974, a mixed marriage defined as a marriage happens between an Indonesian citizens with a foreign citizen. As we know, in a marriage, there are always possibilities of any problem occurs, particularly due to the misunderstanding between the couple, which eventually could lead to a divorce. In case of a mixed marriage, the problem occurs when it has to be decided which law should be applied to then. Thus, in the case of this research, the primary problem is to figure out how is the execution of a divorce on a mixed marriage according to the Law No. 1 Year 1974 should be performed, as well as how to handle and proceed the occurring legal implication caused by the divorce happening in such a marriage, regarding to the nationality, the assets the couple earned during their marriage life period, the money for the wife, guardian right, as well as the sum of money needed to finance the child/children's life expense. In order to answer this problem, the writer applies the normative research method, or library research, defined as a research to collect the secondary data. The collected data then is to be analyzed qualitatively, that is, the collected data is arranged systematically to provide an understanding and to make the problem discussed clear. Thus, it can be drawn to a conclusion that a divorce happens in a mixed marriage can be taken care of in to means, that is, either in accordance with the formal law or the material law. The formal law means that the law that should be applied is the one which is in accordance with the lex fori principles, in which the judge should conform to the civil law of his own country. Meanwhile, as for the material law, in a situation where there is no other chaise, then the judge should decide by himself the law to be applied by considering all the factors and situation that have significance to determine the applicability of a certain law. One of the effects raised as a consequence of a divorce in a mixed marriage is the shifting of the person's status, which is made possible by the applicable law in Indonesia, in case each party of the couple (both the husband an wife) decides to retain their respective nationality. The consequences of a divorce happens in mixed marriage regarding the money that should be given to the wife (as consequence of a divorce), guardian right and the amount needed to finance the child/children's life expense will be proceeded with respect to the Article 41 Law No. 1 Year 1974, while as for the assets earned during the marriage period will be arranged separately from the divorce process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti Amalia Sappali
"Warga Negara Indonesia pelaku perkawinan campuran tidak boleh memegang Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Guna Usaha (HGU), kecuali yang bersangkutan mempunyai perjanjian perkawinan sebelum menikah, yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan. Larangan Pemindahan Hak Milik Atas Tanah Kepada Warga Negara Asing yaitu, Pasal 21 ayat (3) UUPA mengamanatkan bahwa bagi Warga negara Asing yang memiliki hak milik diwajibkan melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1(satu) tahun. Apabila terjadi perceraian dalam suatu perkawinan campuran dimana pihak yang cenderung akan dirugikan adalah pihak perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang melangsungkan perkawinan dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA), hal ini kemudian yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis saya yakni bagaimanakah akibat hukum perceraian pada perkawinan campuran beda kewarganegaraan terhadap harta benda serta Bagaimanakah analisa hukum terhadap harta benda bersama setelah perceraian dalam perkawinan campuran Beda Kewarganegaraan (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 316/K/Ag/2015) tentang putusan kasasi mengenai harta bersama akibat perceraian terhadap perkawinan campuran , penulis kemudian meneliti permasalahan ini dengan metode penelitian yuridis normatif dimana penulis dalam meneliti mengacu kepada aturan ?aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan. Dalam kesimpulannya hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik, Warga Negara Asing sama sekali tidak terbuka kemungkinan untuk mendapatkan hak atas tanah dalam Sistem hukum pertanhan kecuali Hak Pakai.

Indonesian citizen actors mixed marriages can not hold Right to Land, or Right to The Building (HGB), or The Right to the Business (HGU), unless the person concerned has a marriage contract before marriage, which regulates the separation of assets. Prohibition of Transfer of Ownership of Land to Foreigners namely, Article 21 paragraph (3) of the Basic Agrarian Law mandates (UUPA)that foreign nationals who have the right of ownership is required to dispose of them in a period of 1 (one) year. When divorce occurs in a mixed marriage where the parties are likely to be harmed is the female citizen of Indonesia (Indonesian) that a marriage with male foreigners (WNA), it is then an issue of concern in my thesis that is what the legal consequences divorce on marriage mixture of different nationalities to property and how the legal analysis of the property together after divorce in mixed marriages different nationalities (the Supreme court of the Republic of Indonesia Number 316 / K / Ag / 2015) concerning the decision on the common property consequences of divorce on marriage mixture, the author then examines these issues with normative juridical research method in which the author refers to the rules examine existing law to be able to answer the question. In conclusion only Indonesian citizens who can have Ownership, foreign citizens did not open the possibility for land rights in the legal system of land except for Right to Use."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46428
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gouw, Giok Siong
Jakarta: Djambatan, 1961
346.016 GOU s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfa Djoko Basuki
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
346.016 ZUL b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Debora M. I.
"Perkawinan akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami dan juga akan punya akibat penting bagi harta benda perkawinan suami istri. Terhadap harta benda perkawinan tersebut, ketentuan pasal 119, 139 KUHPerdata dan pasal 29 Undang- undang Perkawinan, memberikan kesempatan bagi calon suami istri untuk mengadakan penyimpangan terhadap harta benda perkawinan mereka. Dengan demikian bagi perkawinan pada umumnya dan perkawinan campuran, yang lebih rentan punya masalah hukum pada khususnya, penting untuk mengadakan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan. Kegunaannya tidak lain memberikan perlindungan bagi suami istri dan pihak ketiga lainnya. Perkawinan campuran, yang mengadakan perjanjian perkawinan, sering mendapatkan masalah pada saat pelaksanaannya karena terkendala dalam masalah waktu perkawinan dan/ atau pendaftarannya di Indonesia, serta pembuatan perjanjian perkawinan dan pendaftaran dari perjanjian perkawinan, sebagai salah satu syarat keberlakuan perjanjian perkawinan sah mengikat bagi pihak ketiga. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui penentuan waktu pembuatan dan keabsahan perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran, akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang dibatalkan, terhadap harta benda perkawinan pada perkawinan campuran, serta untuk mengetahui akibat bagi akta perjanjian perkawinan yang dibatalkan dan pertanggungjawaban notaris yang membuat perjanjian perkawinan yang telah dibatalkan oleh pengadilan dalam kasus perjanjian perkawinan perkawinan campuran sebagaimana kasus dalam putusan Nomor: 526/ Pdt/G/2012/PN. Jkt. Sel. Penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode penelusuran kepustakaan dalam mengumpulkan datanya. Ketidaktahuan hukum diantaranya pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung dan keterlambatan pendaftaran perkawinan maupun perjanjian perkawinan, akan menjadi pemicu masalah hukum bagi suami istri maupun pihak ketiga, yang berakibat pada pembatalan perjanjian perkawinan. Dengan demikian dengan tetap berpegang pada ketentuan hukum di Indonesia, bagi perkawinan campuran tidak ada pengecualian, bahwa perjanjian perkawinan harus tetap dibuat sebelum perkawinan berlangsung, yang dengan demikian akan memisahkan harta benda perkawinan suami istri sejak saat perkawinan berlangsung. Terhadap hal tersebut Notaris punya kewajiban untuk memberikan penyuluhan hukum langsung terhadap mereka yang berkehendak untuk membuat perjanjian perkawinan dan punya hak untuk menolak pembuatan perjanjian perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum positif Indonesia. Bagi calon pasangan perkawinan campuran yang akan mengadakan perjanjian perkawinan dalam perkawinannya, sudah sebaiknya mencari informasi baik melalui instansi pemerintah yakni pada Kantor Catatan Sipil maupun profesi hukum yang memiliki kompetensi atau pengetahuan berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan, seperti Notaris atau pengacara.

Marriage would not only gave consequences for the right and obligation but also would give consequences for the marital property of the prospective husband and wife the provisions of Article 119 139 of the Civil Code for Indonesia and the Article 29 of the Marriage Act permit an opportunity for prospective husband and wife to deviate the regulation about marriage goods and management thereof Thus for in marriage or mixed marriage in particular which is more vulnerable have legal issues it is important to have an prenuptial agreement before marriage marriage took place the aggrement it 39 s self not only give legal protection on prospective husband and wife but also third party This study aimed to determine the timing of manufacture and validity of the marriage covenant in mixed marriages legal consequences of the cancellation of prenuptial marriage on the marriage property and the responsibility of Notary as prenuptial agreement maker based on case study on verdict number 526 Pdt G 2012 PN Jkt Sel This research is a normative juridical research using library search methods in collecting the data By following the indonesian law the prenuptial agreement must be made before the marriage takes place including those of mixed marriages the legal effects of marriage is that their marital property will be separate from the time of the marriage took place as the prenuptial agreement maker Notary has an obligation to give legal understanding to the prospective husband and wife about the prenuptial agreement deeds it self Notary has right to refuse to making the prenuptial agreement deed if it potentialy broke the law prospective husband and wife has to collect as much as information before the making of prenuptial agreement it self to Kntor Catatan sipil officer or the professional that competent on knowing or making of prenuptial agreement."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43070
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lita Arijati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>