Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135794 dokumen yang sesuai dengan query
cover
K. Dibia Wigena Usada
"Perkawinan nyeburin yang di kenal dalam masyarakat adat di Bali oleh sebagian masyarakatnya ternyata dikatakan merupakan bentuk perkawinan yang menyimpang dari sistem kekerabatan patrilinial masyarakat Hindu di Bali yang memiliki sistem kewarisan mayorat laki-laki. Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua metode penelitian yaitu metode penelitian lapangan dan metode penelitian kepustakaan. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah apa latar belakang dilakukannya perkawinan nyeburin, aspek-aspek hukum apa yang harus diperhatikan dalam perkawinan nyeburin, bilamana perkawinan nyeburin dikatakan sah menurut hu kum agama dan hukum ada t di Bali, dan apa pengaruh berlakunya uu No. 1 Tahun 1974 terhadap perkawinan nyeburin yang ada di Bali. Alasan utama di lakukannya perkawinan nyeburin adalah untuk mencegah agar sebuah keluarga tidak menjadi camput atau putung (tidak ada penerus keturunan) serta untuk mempertahankan sistem kewarisan mayorat laki-laki maka dalam keluarga yang hanya memiliki anak wanita dan tidak ada anak laki-laki, anak wanita dalam keluarga tersebut diubah statusnya secara adat menjadi sentana rajeg dan melakukan perkawinan nyeburin. Perkawinan adat nyeburin dikatakan sah menurut Agama Hindu dan hukum adat bila sudah memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana ditetapkan dalam Agama Hindu dan awig-awig desa adat. Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), meskipun mengalami sedikit penyesuaian terutama dalam hal pencatatan perkawinan, lembaga perkawinan adat nyeburin tetap terbuka dan dilaksanakan hingga kini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S20477
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Tanti Fatimah
"Adat dan upacara perkawinan itu tidak dapat terlepas dari hakikat dan pengertian perkawinan, sebab adat dan upacara perkawinan akan tetap ada didalam masyarakat berbudaya. Walaupun dalam batasan waktu dan ruang akan mengalami perubahan-perubahan, ia akan terus merupakan unsur budaya yang dihayati dari masa kemasa karena didalamnya terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang sangat kuat mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam suatu masyarakat. Perkawinan menurut hukum adat merupakan urusan keeabat, urusan keluarga dan masyarakat. Pada masyarakat Bugis perkawinan berarti " yang akan diutuhkan " berarti orang yang belum kawin dianggap belum utuh. Kawin dengan seorang pria atau wanita berarti kawin dengan seluruh keluarganya. Jika terjadi kawin lari, maka hal ini dapat menimbulk.n "siri" yang sering kali diakhiri dengan pertumpahan darah. Perkawinan yang ideal ddalah seorang laki-laki atau wanita diharapkan mendapat jodohnya dalam lingkungan keluarganya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Akan tetapi dalam perkembangannya nilai kultural ini semakin lama semakin memudar. Kalau dahulu perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan antar keluarga, sama derajat, sekarang ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Dwi Handayani
"Perkawinan merupakan peristiwa hukum. Dalam UU No. 1 tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang. Dalam hal ini, ada dua lembaga yaitu Kantor Urusan Agama bagi pemeluk agama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pemeluk selain agama Islam. Pencatatan perkawinan subyek hukum pada lembaga catatan sipil maupun Kantor Urusan Agama memberikan status hukum yang pasti yang sangat berguna bagi para pihak beserta keturunannya. Hal ini berarti perkawinan tersebut diakui dan di lindungi oleh negara. Pada kenyataannya, tidak semua warga negara pemeluk agama selain Islam dapat dengan mudah mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Hal ini terjadi pada kasus pencatatan perkawinan adat Gumirat Barna Alam dengan Susilawati. Perkawinan mereka di tolak pencatatannya oleh Kantor Catatan Sipil dengan alasan perkawinan mereka tidak sah menurut agama yang diakui di Indonesia. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan hukum dan aparat pemerintah. Ada yang setuju dengan penolakan tersebut, dan ada pula yang tidak. Penyelesaian masalah ini salah satunya adalah dengan cara tidak mengaitkan urusan pencatatan perkawinan yang merupakan urusan administrasi dengan sahnya suatu perkawinan atau tidak. Dengan demikian tidak ada perlakuan hukum yang berbeda kepada warganegara dalam negara Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam upaya memperoleh kepastian hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20783
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sumarjoko
"Lembaga harta bersama seperti yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan baik oleh suami maupun istri. Lembaga ini juga dikenal dalam hukum adat sedangkan dalam hukum Islam ada dua pendapat mengenai harta tersebut, pendapat yang pertama tidak mengenal adanya harta bersama, kecuali dengan jalan syirkah atau perkongsian antara suami istri yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan pendapat yang kedua menqenai adanya harta bersama menurut hukum Islam, hal ini didasari dengan sendirinya ada harta bersama antara suami istri selama perkawinan berlangsung. Pembagian harta bersama bila perkawinan mereka (suami istri) itu putus karena perceraian, per1mbangan pembagiannya berbeda-beda, baik menurut hukum adat maupun hukum Islam. Dalam hal ini bisa saja pencari keadilan bagi para suami pada masyarakat Jawa Tengah itu memilih hukum adat yang lebih menguntungkan (sapikul sagendong), hal ini didasari Pasal 37 jo penjelasan UU . No. 1/1974 tentang Perkawinan. Meskipun para pencari keadilan dapat memilih menurut hukumnya masing-masing, akan tetapi hukum Islam-lah yang harus mereka pergunakan, sebagaimana diketahui bahwa bagi orang Islam, maka berlakulah hukum Islam dan hukum adat hanya berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Jadi hukum yang tepat bagi masyarakat hukum adat Jawa Tengah yang menganut harta gono gini dan beragama Islam ialah merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam, adapun pembagiannya baik suami maupun istri ialah masing-masing berhak 1/2, hal ini sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dan melalui lembaga Pengadilan Agama mereka (suami istri) dapat berperkara. Dengan demikian maka Pasal 37 jo penjelasan UU. No. 1/1974 belum mernberikan kepastian serta tidak adanya keseragaman hukum mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan apabila terjadi suatu perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selly Suwignyo
"ABSTRAK
Perjanjian Kawin yang diatur dalam Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dalam Pasal 29 menyatakan bahwa pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan
kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan peijanjian “tertulis” yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Ketentuan ini tidak menegaskan secara rinci
maksud dan isi dari tertulis itu sendiri, apakah secara otentik ataukah hanya bawah
tangan saja. Sehingga menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Sementara jika
ditelaah lebih jauh ketentuan tentang pembentukan perjanjian Kawin , maka berbagai
ketentuan dan syarat dalam pembuatan perjanian kawin maka semuanya masih
berpegangan pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Bahkan dalam pasal peralihan Undang Undang Perkawinan dinyatakan jika telah diatur
maka berlaku ketentuan tersebut, maka sebaliknya jika tidak diatur maka berlaku
ketentuan yang Iama( KUH Perdata). Perjanjian Kawin secara otentik, kemungkinan
pelanggaran pelanggaran batas batas hukum dan kesusilaan tersebut dapat
dihindarkan. Perjanjian Kawin yang dibuat dibawah tangan dalam proses
pembuktian mengalami berbagai kelemahan. Bahkan pernyataan pegawai Catatan
Sipil secara tegas menolak jika perjanjian kawin dibuat dibawah tangan.

ABSTRACT
Marital agreement which arranged in Marital Act No 1 ,1974 in Article 29 declares that at
the moment or before marriage is performed thé both sides on a mutual agreement legalized
by the official of marital registry office . This definition doesnt assert the purpose and the
content of the written agreement it self it detail, if it is done authentically or it is un
officially registered at the marital registry office . Then it causes many different
interpretation. In the mean time, if we review about the forming of marital agreement are
still holding on the definition arranged in the code of civil of law. In the temporary of
Marital Act, it is even declared, if it has been arranged then the definition is valid and in
return, if it is not arranged then the previous definition is vail id (Code Civil Law).Therefore
I try to search and do research by doing field research and interview about the way and
valid definition in the purpose of making marital registry office. It is all about a matter of
concerning with the marital definiton made by is then analized according to the definition
and the rule of law in Marital Act and existing regulation. So the result of analysis and
conclution presented in an explanation of disscussion result can be achieved."
2008
T37002
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Nuswantari
"ABSTRACT
Indonesia is a unified country consisting of various tribes and cultures, the one of which
is the Sasak tribe living in the island of Lombok, the part of Nusa Tenggara Barat (West
Nusa Tenggara) Province. The traditional people inhabit this island possessing a
distinguished form o f marriage compared to the ones in other areas. The difference can
be seen on the form o f the marital institution. This people acknowledge a traditional form
of marriage named “Merari”, which has been deeply rooted in their life, while at the same
time also considered as a legal requirement that should be filled in a marriage within their
society. The tremendous variation o f the traditional forms of marriage in Indonesia has
imposed a challenge to the government to provide a national law which is able to
accommodate it. In this case, the situation prevails in Lombok concerning to marriage is
that traditionally, it is expected that the bride should “kidnap” and “run” the groom (the
literal meaning o f Merari), without telling anyone before hand, nor even the groom’s
family. Contrary, the government law demands that any plan for marriage should be
informedto the concerning parties at least 10 days (working days) before the ceremony is
held. From this contrast, the researcher would analyze several things, comprising the
influence of the law towards the traditional marriage pattern, the effectiveness rate of the
law implementation in the society, as well as the changes occur on the “Merari” marriage
pattern in Lombok after the Government Law No. 1 Year 1974 Concerning Marriage is
applied. This research applies the normative and empirical research method, with the data
sourced form the relevant literature as well as direct in-depth interview with the
traditional and religious leaders, as well as the society itself and the legal practitioners in
the realm of Religious Court. From the research it is discovered that the influence of the
law is still of the low rate, the effectiveness is not maximum, and the changes occur only
on the urban people, take form in registration, the conformity on the determined
minimum age for marriage, on poligamy and divorce.
"
2007
T36671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nitra Reza
"Pada saat ini perbuatan perjanjian kawin masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat tidak setuju karena perjanjian kawin dianggap tidak etis sehingga dapat menyinggung perasaan suami. Sebagian kecil masyarakat setuju dengan perjanjian kawin karena merupakan salah satu kebutuhan bagi yang membutuhkannya. Perjanjian kawin merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan oleh isteri untuk melindungi harta yang dimilikinya. Pada saat ini perjanjian kawin dapat dibuat secara tertulis balk notariil maupun dibawah tangan. Dari beberapa macam perjanjian kawin yang aria, maka perjanjian kawin yang tepat untuk melindungi harta isteri dalam perkawinan ialah perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda dalam perkawinan. Dengan adanya perjanjian kawin maka isteri dapat melakukan berbagai perbuatan hukum. Misalnya menandatangani perjanjian kredit dan juga berbagai macam perbuatan lainnya antara lain yang berkaitan dengan tanah dalam rangka menandatangani Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tanpa meminta persetujuan suami sebagai teman nikahnya. Peranan Notaris sangat dibutuhkan untuk melayani kepentingan masyarakat umum dalam hal membuat akta otentik maupun legalisasi akta dibawah tangan. Perbedaan antara akta notaril dengan dibawah tangan terletak pada daya pembuktiannya. Akta notaril memiliki daya pembuktian secara lahiriah sehingga menjamin kepastian hukum dan tanggal. Dengan metode kepustakaan dan wawancara dengan informan, terbukti bahwa semua akta perjanjian kawin yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan semuanya dibuat secara notariil."
2005
T14532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>