Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126510 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Carolina Kusuma Wardani
"Dewasa ini perkembangan dunia kedokteran semakin bertambah pesat sehingga tidak saja berfungsi dalam hal penyembuhan namun juga memberikan suatu peluang yang positif terhadap dunia kecantikan. Salah satunya ialah bedah plastik. Dulu suatu tindakan bedah plastik selalu dikaitkan dengan suatu keadaan di mana pasiennya menderita suatu indikasi medis sehingga memerlukan penanganan bedah plastik. Namun dunia kedokteran kini tidak lagi hanya berfungsi apabila adanya indikasi medis, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik kecantikan seseorang. Bedah plastik mempunyai suatu karakteristik yang khusus misalnya dalam hal bedah plastik estetik yang berbeda dengan tindakan medis lainnya. Hal ini disebabkan karena bedah plastik estetik lebih mengutamakan kepad suatu hasil kerja dari dokter bedah plastik yang bersangkutan (Resultaatverbintenis), walaupun memang bedah plastik rekonstruksi merupakan bedah plastik yang lebih mengutamakan daya upaya atau usaha maksimal dari tindakan dokter (Inspaningverbin tenis). Dalam hal bedah plastik ada beberapa permasalahan yang dapat timbul seperti tidak ada pengaturan secara eksplisit yang mengatur mengenai dokter yang berwenang untuk melakukan tindakan bedah plastik. Hal ini menyebabkan banyak dokter yang mengklaim dirinya mampu Bentuk melakukan bedah plastik. Misalnya saja selain dokter spesialis bedah plastik, dokter spesialis mata, dokter spesialis kulit dan kelamin serta dokter spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT), namun hanya sebatas kepada bidang spesialisasinya saja. Kemudian permasalahan lainnya ialah apabila seorang dokter melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) maupun wanprestasi yang biasanya disebut dengan Malpraktek. Apabila terjadi suatu tindakan malpraktek dalam bidang perdata, maka dapat diselesaikan baik melalui pengadilan maupun diluar pengadilan yaitu dengan cara musyawarah serta dapat diadukannya permasalahan kepada organisasi profesi yang terkait yaitu MKEk (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran). Beberapa permasalahan tersebut di atas dapat dicegah ataupun dikurangi dengan cara diberikannya penyuluhan kepada masyarakat mengenai bedah plastik secara lebih menyeluruh serta perlunya tindakan tegas terhadap para pihak yang tidak berwenang untuk melakukan bedah plastik, sehingga malpraktek dalam tindakan bedah plastik dapat dikurangi dan masyarakat dapat lebih terlindungi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S21201
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Setiap orang membutuhkan jasa seorang dokter untuk membantu
proses penyembuhan ataupun perbaikan kondisinya
(rehabilitasi) sehingga menjadi lebih baik. Hal tersebut
juga terjadi pada pasien bedah plastik yang ingin melakukan
perubahan maupun perbaikan pada dirinya. Untuk melakukan
hal itu, dokter bedah plastik dan pasien membutuhkan
perjanjian medis dalam operasi bedah plastik. Skripsi ini
memberikan pemahaman atas aspek hukum perjanjian medis
antara dokter dan pasien dalam operasi bedah plastik.
Skripsi ini juga memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan
pelaksanaan operasi bedah plastik dan memberikan pemahaman
tentang tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam
pelaksanaan operasi tersebut. Disamping itu, skripsi ini
membahas tentang pengaturan hukum kesehatan terhadap
tindakan bedah plastik Siti Nurjazilah. Perjanjian medis
yang dibuat antara Tim Dokter Rumah Sakit Dr. Soetomo,
Surabaya dengan Siti Nurjazilah telah sesuai dengan aspek
hukum kesehatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya
perjanjian yaitu kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan
sebab yang halal dan Undang-undang Nomor 23 tahun 1992
tentang kesehatan yang berisikan tentang hak dan kewajiban
para subyek hukum, tanggung jawab dokter dan rumah sakit."
[Universitas Indonesia, ], 2007
S21438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hayati
"Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dalarn beberapa dekade belakangan
ini berkembang sangat pesat, terutarna sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2. Diantara
kemajuan di bidang kedokteran yang saat ini banyak diminati orang adalah bidang bedah
plastik (plastic surgery). Menurut Ensiklopedi Indonesia, bedah plastik adalah cabang
ilmu bedah yang mempelajari cara melakukan perbaikan bentuk organ tubuh yang tidak
sempurna (hal.269-270). Oleh sebab itu tujuan dati ilmu yang di Indonesia dikembangkan
pertama kali oleh Prof Moenadjat Wiraatmaja adalah untuk peningkatan fungsi organ
tubuh yang tidak/kurang sempurna serta mengurangi kecacatan yang mengganggu.
Dalam perkembangannya, ternyata ilmu bedah plastik ini juga dipergunakan untuk
mempercantik diri, memperbaiki penampilan fisik yang dirasa kurang sempurna meski
tidak cacat. Melalui pemaduan dengan ilmu kecantikan, maka lahirlah ilmu bedah kosmetik
(cosmetic surgery). Tindakan-tindakan dalam bidang bedah plastik biasanya barn dapat
dikatakan berhasil bila pasien puas setelah tindakan itu dilakukan. Namun hila yang terjadi
sebaliknya, pasien merasa tidak puas akan hasilnya maka besar kemungkinan hal ini akan
menjadi masalah hukum. Narnun mungkinkah hila pasien tidak puas itu berarti ada
kesalahan dokter? Tentu perlu ditelaah lebih jauh lagi, misalnya apakah tindakan dokter
sudah sesuai dengan Standar Profesi? Memang kasus tuntutan terhadap kegagalan operasi
menunjukkan peningkatan bila kita baca di surat kabar belakangan ini. Hal ini karena
dalam tindakan bedah plastik terdapat banyak aspek hukumnya. Salah satu aspek
hukumnya adalah bahwa hubungan dokter dengan pasien dalarn bidang bedah plastik ini
termasuk Inspanningverbintenis dan bukan Resultaatverbintenis. Artinya bahwa dok1er
tidak dapat menjamin hasil dari setiap tindakan bedah plastik tetapi hanya akan berupaya
semaksimal mungkin. Juga perihal kewenangan yakni dokter apa yang berwenang untuk
melakukan tindakan bedah plastik itu? Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
selain Dokter Spesialis Bedah Plastik, yang berwenang juga Dokter Spesialis THT,
Dokter Spesialis Mata dan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Tentunya kewenangan
tersebut tergantung pada bidang spesialisasinya. Juga seorang dokter yang melakukan
tindakan bedah plastik harus tetap memperhatikan hak-hak pasien, khususnya penerapan
hak atas informed consent. Dengan informasi itu diharapkan pasien tidak akan mempunyai
harapan yang berlebihan akan hasilnya, tapi juga tidak merasa takut yang tidak wajar pula.
lni akan banyak memberi manfaat kepada pasien maupun dokternya serta dapat menghindari dati tuntutan malapraktek medis. Hal yang disebutkan di atas hanyalah
sebagian kecil dari masalah-masalah hukum yang timbul dari tindakan bedah plastik
disarnping masalah lain seperti bagaimana tanggung jawab dokter dan rumah sakit bila
terjadi malapraktek, bagaimana aturan hukum yang ada mengenai penyelenggaraan
bedah plastik yang mempunyai keunikan dan kekhususan dibanding tindakan bedah lain.
Oleh sebab itu menarik penulis untuk mengungkap lebih jauh hal itu dalam skripsi ini.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Agustini
"Dewasa ini perkembangan dunia kedokteran semakin bertambah pesat sehingga tidak saja berfungsi dalam hal penyembuhan namun juga memberikan suatu peluang yang positif terhadap dunia kecantikan. Salah satunya ialah bedah plastik. Dulu suatu tindakan bedah plastik selalu dikaitkan dengan suatu keadaan dimana pasiennya menderita suatu indikasi medis sehingga memerlukan penanganan bedah plastik. Namun dunia kedokteran kini tidak lagi hanya berfungsi apabila adanya indikasi medis, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik kecantikan seseorang. Bedah plastik mempunyai karakteristik yang khusus misalnya dalam hal bedah plastik estetik yang berbeda dengan tindakan medis lainnya. Hal ini disebabkan karena bedah plastik estetik lebih mengutamakan kepada suatu hasil kerja dari dokter bedah plastik yang bersangkutan (Resultaatverbintenis), walaupun memang bedah bedah plastik rekonstruksi merupakan bedah plastik yang lebih mengutamakan daya upaya atau usaha maksimal dari tindakan dokter (Inspaningverbintenis).
Perlindungan hukum atas hak-hak konsumen (pasien) di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Begitu juga hak-hal pasien telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Salah satu hak tersebut adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atas tindakan pelaku usaha yang menyebabkan kerugian itu. Aspek hukum perlindungan konsumen (pasien) menjadi fokus penting karena tindakan dokter bedah plastik yang sering merugikan konsumen. Dalam hal bedah plastik ada beberapa permasalahan yang dapat timbul seperti tidak adanya pengaturan secara eksplisit yang mengatur mengenai dokter yang berwenang untuk melakukan tindakan bedah plastik. Hal ini menyebabkan banyak dokter yang mengklaim dirinya mampu untuk melakukan bedah plastik.Permasalahan lainnya ialah apabila seorang dokter melakukan Perbuatan Melawan Hukum maupun wanprestasi yang biasanya disebut dengan Malpraktek.
Pemberlakuan klausula-klausula yang bersifat baku sehingga konsumen (pasien) hanya bisa menerima dan tidak adanya kesempatan bernegosiasi dan terkadang klausula tersbut berisi pembebasan tanggung jawab dari pihak dokter bedah plastik. Klausula tersebut sering terdapat dalam Informed consent. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa antara konsumen (pasien) dengan dokter bedah plastik apabila terjadi suatu tindakan malpraktek dalam bidang Perdata, maka dapat diselesaikan baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan yaitu dengan cara musyawarah serta dapat diajukan permasalahan kepada organisasi profesi yang terkait yaitu MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1995
617.95 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Rifa Rahadina
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang inspanningverbintenis dan resultaatverbintenis dalam praktik bedah plastik serta kaitannya dengan tanggung jawab hukum dokter yang melakukan praktik diluar kompetensinya. Pembahasan dilakukan melalui studi kasus pada putusan No.1207/Pid.S/1992/PN.SBY dan No. 944/Pid.Sus/2015/PN.JKT.SEL, serta wawancara dengan ahli bidang hukum kesehatan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa antara inspanningverbintenis dan resultaatverbintenis, keduanya dapat diterapkan dalam praktik bedah plastik. Inspanningverbintenis dapat diterapkan pada bedah plastik rekonstruksi, sedangkan resultaatverbintenis dapat diterapkan pada bedah plastik estetik. Tindakan bedah plastik haruslah dilakukan oleh dokter yang kompeten di bidangnya, apabila seorang dokter terbukti melakukan pelanggaran disiplin profesi, maka dapat dikenakan sanksi disiplin.

ABSTRACT
This thesis discusses inspanningverbintenis and resultaatverbintenis in the practice of plastic surgery and its relation to the legal responsibility of doctors who practice outside of its competence. The study was conducted through case studies on the decision number 1207 Pid.S 1992 PN.SBY and number 944 Pid.Sus 2015 PN. JKT.SEL, as well as interviews with the experts in the field of medical law. This research is a qualitative research in the form of normative juridical study. The results of this study concluded that between inspanningverbintenis and resultaatverbintenis, both of which can be applied in the practice of plastic surgery. Inspanningverbintenis can be applied to reconstructive plastic surgery, while resultaatverbintenis can be applied to aesthetic plastic surgery. Plastic surgery should be performed by doctors who are competent in their fields, if a doctor was guilty of violation of professional discipline, he or she could be subjected to the disciplinary sanctions."
2017
S67310
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Sari
"Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan sempurna, tetap merasa ada yang kurang dengan fisik dirinya. Dalam rangka memenuhi ketidakpuasan tersebut, manusia berupaya untuk menemukan jalan keluar. Bedah plastik merupakan salah satu hasil perkembangan teknologi ilmu kedokteran yang dapat memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memulihkan keadaan fisiknya pada kondisi optimal. Suatu organ atau jaringan tubuh yang rusak akan dapat diperbaiki kembali fungsinya dengan melakukan bedah plastik. Bedah plastik terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu bedah plastik rekonstruksi dan estetik. Adapun permasalahan yang terkait dengan bedah plastik, yaitu pengaturan mengenai bedah plastik menurut hukum kesehatan, hukum positif di Indonesia, serta hukum Islam yang bersumber dari al Qur’an, al Hadits dan ijtihad. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan. Adapun data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari buku-buku, laporan penelitian, majalah, peraturan perundang-undangan dan tulisan-tulisan lain yang mendukung penelitian ini. Penelitian lapangan juga dilakukan dengan cara mewawancarai pihak yang terkait dengan objek penelitian. Kesimpulan yang dicapai yaitu menurut hukum kesehatan, bedah plastik dapat dilakukan asalkan sejalan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang untuk itu, serta dilaksanakan pada suatu sarana kesehatan yang memenuhi standar tertentu. Mengenai pengaturan bedah plastik di Indonesia baru diatur dalam UU Kesehatan, sedangkan peraturan pelaksanaannya masih berupa rancangan. Menurut hukum Islam, bedah plastik yang dilakukan untuk tujuan pengobatan (bedah plastik rekonstruksi) hukumnya boleh (mubah). Sedangkan bedah plastik yang dilakukan semata-mata untuk mempercantik diri dan dengan merubah ciptaan Allah SWT (bedah plastik estetik) hukumnya adalah haram. Adapun saran yang disampaikan yaitu perlu segera diadakannya peraturan pemerintah dan fatwa para ulama Indonesia tentang bedah plastik, adanya penyuluhan agar masyarakat mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai bedah plastik, adanya tindakan tegas terhadap pihak yang melakukan praktek bedah plastik tanpa adanya kewenangan dan penggunaan implan yang berbahaya, sebagai upaya preventif untuk mengurangi malpraktek medis di Indonesia."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2005
S21175
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Faadhilah
"Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana hukum medis dan etika kedokteran itu berlaku di Indonesia mengatur operasi plastik, rekonstruksi wajah total dan hukum tanggung jawab dokter dan rumah sakit yang melakukan operasi rekonstruksi wajah, dengan menganalisis praktik total rekonstruksi wajah Pasien X yang dilakukan di RSUP dr Rumah Sakit Universitas Airlangga. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif penelitian yuridis dengan penelitian deskriptif. Secara hukum, operasi rekonstruksi wajah diatur dalam beberapa pasal yang tercantum dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dilihat dari kode etik kesehatan yang berlaku di Indonesia, praktik facial Rekonstruksi termasuk dalam pelayanan kesehatan kuratif, yaitu kegiatan dan / atau a
serangkaian kegiatan medis yang bertujuan menyembuhkan penyakit. Dalam praktiknya total wajah rekonstruksi Pasien X, unsur kerusakan yang diderita pasien bukanlah a akibat kelalaian dokter karena dokter telah melaksanakan kewajibannya untuk berjuang untuk mengubah bentuk dan meningkatkan fungsi wajah Pasien X, sehingga menjadi dokter tidak bisa dimintai pertanggungjawaban dalam hukum perdata. Teori sentral paling tepat tanggung jawab digunakan dalam menentukan tanggung jawab rumah sakit atas tindakan rekonstruksi dokter dalam praktek rekonstruksi wajah, karena di operasi rekonstruktif, terutama kasus-kasus sulit memerlukan banyak ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu, dan rumah sakit dapat menggunakan konselor dan dokter yang tidak terus berlatih di rumah sakit. Diperlukan peraturan yang memadai untuk mengatur rekonstruksi wajah sebagai diuraikan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan.

This study aims to analyze how the medical law and medical ethics apply in Indonesia regulating plastic surgery, total facial reconstruction and the legal responsibilities of doctors and hospitals that perform facial reconstruction surgery, by analyzing the total practice of facial reconstruction in Patient X which is carried out in RSUP from Hospital Airlangga University. The form of research used in this study is juridical normative research with descriptive research. Legally, facial reconstruction operations are regulated in several articles listed in Law No. 36 of 2009 concerning Health. Judging from the health code of ethics that applies in Indonesia, the practice of facial Reconstruction is included in curative health services, namely activities and / or a a series of medical activities aimed at curing diseases. In practice the total facial reconstruction of Patient X, the element of damage suffered by the patient is not due to the negligence of the doctor because the doctor has carried out his obligation to struggle to change the shape and improve the facial function of Patient X, so that becoming a doctor cannot be held accountable in civil law. The most appropriate central theory of responsibility is used in determining the hospital's responsibility for physician reconstruction actions in the practice of facial reconstruction, because in reconstructive surgery, especially difficult cases require many experts from various disciplines, and hospitals can use counselors and doctors who do not continue to practice in the hospital. Adequate regulations are needed to regulate facial reconstruction as described in Government Regulations and Minister of Health Regulations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2006
S21329
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildatun Aziza
"Ambiguous genitalia merupakan kondisi medis dimana alat kelamin seseorang tidak dapat secara sederhana ditentukan dengan tegas dan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum karena dapat mengakibatkan kekeliruan antara identitas pada dokumen kependudukan dengan jenis kelamin seseorang yang sebenarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan bentuk yuridis normatif dan bersifat deskriptif untuk menjelaskan pengaturan operasi penggantian kelamin di Indonesia, menjelaskan tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam operasi penggantian kelamin berdasarkan kondisi ambiguous genitalia dan menganalisis kedudukan ambiguous genitalia sebagai pertimbangan Hakim dalam Penetapan No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung. Dari hasil penelitian diketahui bahwa: (1) operasi penggantian kelamin di Indonesia diatur secara khusus dalam Kepmenkes No. 191 Tahun 1989; (2) sebagai pihak yang terlibat aktif dalam operasi penggantian kelamin, sebagai salah satu metode penanganan ambiguous genitalia, dokter dan rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum administrasi, perdata, dan pidana; (3) ambiguous genitalia tidak disebutkan secara spesifik dalam pertimbangan Hakim pada Penetapan No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung namun merupakan faktor medis sebagaimana tertuang dalam keterangan saksi dan alat bukti surat, yang bersama-sama faktor yuridis, agama, dan psikologis dipertimbangkan oleh Hakim sebelum mengabulkan permohonan penggantian kelamin.  Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan beberapa hal seperti revisi dan pembentukan peraturan terkait penggantian kelamin, sosialisasi serta penelitian akademis lanjutan terkait ambiguous genitalia dan operasi penggantian kelamin.

Ambiguous genitalia is a medical condition where a persons genitals cannot be simply determined firmly and potentially cause legal problems because it can lead to errors between identity in the document of population and the actual sex of a person. The research method used in this study is a normative-descriptive juridical to explain the provisions of sex reassignment surgery in Indonesia, explain the responsibilities of doctors and hospitals in sex reassignment operations based on ambiguous conditions of genitalia; and analyze the position of ambiguous genitalia as Judges consideration in Couert Decree No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung. From the results of the study it was revealed that: (1) sex reassignment operations in Indonesia is specifically regulated in Kepmenkes No. 191 of 1989; (2) as parties actively involved in sex reassignment operations, doctors and hospitals have administrative, civil and criminal legal responsibilities; (3) ambiguous genitalia is not specifically mentioned in consideration of the Judge in Court Decree No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung but it is a medical factor as stated in the witness statement and proof of letter, which together with juridical, religious and psychological factors are considered by the Judge before granting the request for sex change. Based on the results of the study, the authors suggest several things such as revisions or establishment to the law, socialization and further academic research about ambiguous genitalia and sex reassigment surgery."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>