Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175380 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diah Warastuti
"Salah satu ciri hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang kuat adalah mudah dan pasti pe1aksanaan eksekusinya . UUHT memberikan 3 (tiga) pelaksanaan eksekusi bagi kreditur dalam rangka memperoleh pengembalian piutangnya apabila debitur cidera janJi, yaitu : Parate eksekusi; eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak tanggungan dan menjual objek hak tanggungan di bawah tangan. Dalam prakteknya saat ini berdasarkan SE . No. 23/PN/2000 tentang petunjuk pelaksanaan lelang hak tanggungan, kreditur telah dapat menggunakan lembaga parade eksekusi tanpa terlebih dahulu meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dan juga telah ada kepastian baik secara teori maupun dalam praktek dimana irah-irah "Demi Ke adilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ditempatkan yaitu dalam sertipikat hak tanggungan. Dengan demikian berkaitan dengan kendala-kendala besar yang terjadi dalam rangka eksekusi hipotik, sedikit banyak telah dapat diatasi oleh UUHT, walaupun demikian masih banyak pula ditemui hambatan-hambatan dalam rangka eksekusi hak tanggungan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21000
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlianti Vita
"Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indoneisa. Pemerintah mengambil kebijakan deregulasi yang kemudian diikuti dengan kebijakan debirokratisasi disektor perbankan. Mereka menawarkan berbagai fasilitas kredit dan bunga yang cukup menarik, akibatnya kredit yang disalurkan kepada masyarakat meningkat dengan pesat. Kemudahan mendapatkan kredit mendapatkan mengakibatkan kredit macet kian meningkat. Pemberian fasilitas kredit tersebut memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit khususnya dan kepastian hukuman jaminan termasuk dalam kategori jaminan khusus, dimana jaminan tersebut timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang berupa jaminan yang bersifat kebendaan maupun perorangan. Jaminan hak tanggungan yang saat ini digunakan oleh perbankan dalam pemberian kredit dimana dananya sebagian atau seluruhnya merupakan dana negara dan banyak debitor yang meminjamnya wanprestasi, maka salah satu upaya pengembaliannya secara cepat, antara lain dapat dilakukan oleh kreditor dengan menyerahkan piutangnya kepada yang berwenang atau dapat dilakukan penjualan barang jaminan debitor yang dilakukan secara lelang melalui kantor lelang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S20492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rosliawati Rosmalia
"Pranata hukum bertujuan memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum pada para pihak. Perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas pelaksanaan eksekusi hak tanggungan diberikan oleh undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan. Timbul permasalahan hukum dalam implementasi ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tersebut di Pengadilan Negeri dan Niaga ketika dalam pelaksanaannya bersinggungan dengan implementasi ketentuan Pasal 56 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan).
Dengan metode penulisan yuridis normatif, akan diuraikan ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dan apakah implementasi ketentuan dari kepailitan mempengaruhi pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Benturan antara implementasi ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Hak Tanggungan dengan implementasi ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan terjadi, saat harta debitur yang dibebankan hak tanggungan tersebut termasuk dalam harta debitur yang dipailitkan atau harta pailit dan hak eksekusi kreditur berdasarkan hak tanggungan akan terpasung dengan adanya penangguhan berdasarkan putusan kepailitan selama 90 (sembilan puluh hari).
Penangguhan eksekusi berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan, ternyata tidak taat asas dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan yang menyatakan bahwa setiap kreditur pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Adanya ketidaktaatan asas dari ketentuan kepailitan tersebut, mempengaruhi pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Hak Tanggungan dan meruntuhkan sendi-sendi dari sistem hukum jaminan kebendaan secara keseluruhan. Dengan meletakkan pemahaman bahwa kepailitan sebagai salah satu mekanisme penyelesaian utang tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum jaminan, dapat dilakukan sosialiasi berupa seminar-seminar, diskusi-diskusi dan lokakarya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halimatu Sadiah
"Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat, salah satu cirinya adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi. Di antara pilihan eksekusi yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, secara teori yang paling ideal bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan adalah pelaksanaan Parate Eksekusi, karena dari segi waktu maupun biaya lebih cepat dan lebih murah dibandingkan pelaksanaan eksekusi lainnya. Akan tetapi dalam perkembangannya Pelaksanaan dari Parate Eksekusi tersebut tidak beijalan sebagaimana yang diharapkan. Pokok permasalahan yang diangkat penulis dalam penelitian ini adalah bagaimanakah efekdfitas Parate Eksekusi obyek Hak Tanggungan menurut Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan? dan apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Parate Eksekusi obyek Hak Tanggungan menurut Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, data yang digunakan data sekunder melalui bahan pustaka berupa studi dokumen, dimana tipologi dalam penelitian ini bersifat eksplanatoris yang bertujuan menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam mengenai implementasi eksekusi Hak Tanggungan yang terdapat pada Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa implementasi dari Parate Eksekusi tersebut baru mulai efektif pada satu/dua tahun terakhir, sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya pelaksanaan Parate Eksekusi dapat dikatakan belum beijalan efektif, salah satu penyebabnya, yaitu terdapat Surat Edaran Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor: SE-23/PN/2000, berdasarkan Surat Edaran tersebut banyak sekali permohonan lelang Parate Eksekusi yang ditolak karena Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) tidak ?berani? untuk melakukan lelang Parate Eksekusi. Menurut hemat penulis keefektifan pelaksanaan Parate Eksekusi ditentukan dari ketegasan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) untuk melaksanakan Parate Eksekusi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T36925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hutari Hayuning W.P.
"Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menyebutkan lembaga jaminan atas tanah berupa Hak Tanggungan yang kemudian diatur dalam Undangundang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditu-kreditur lain. Hak Tanggungan merupakan perjanjian accessoir, keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya. Pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui dua tahap. Pertama tahap pemberian dimana pemberi Hak Tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), bila tidak dapat hadir wajib menunjuk kuasanya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Tahap kedua merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan dengan dibuatnya Buku Tanah Hak Tanggungan dan diterbitkannya Sertipikat Hak Tanggungan sebagai bukti keberadaan Hak Tanggungan tersebut. Berdasarkan sifat dan tata cara pemberian Hak Tanggungan terlihat bahwa terkandung aspek perjanjian dalam proses tersebut, yaitu harus dipenuhinya ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai syarat sah perjanjian dalam perjanjian pokok utang piutang dan dalam APHT serta SKMHT. Selain itu terdapat asas-asas perjanjian seperti asas Personallia, Konsensualisme, Kebebasan berkontrak dan asas Pacta Sunt Servanda (Perjanjian Berlaku Sebagai Undang-undang) dalam APHT dan SKMHT yang dibuat para pihak. Terdapat pula unsurunsur perjanjian seperti Unsur esensialia, naturalia dan unsur aksidentalia dalam APHT dan SKMHT. Lebih lanjut termuat ketentuan risiko dan wanprestasi dalam APHT. Selain itu, Hak Tanggungan termasuk perjanjian yang dapat dibagi sekaligus perjanjian yang tidak dapat dibagi prestasinya. Hak Tanggungan tergolong pula perjanjian formil karena harus memenuhi formalitas tertentu dalam pembebanannya sehingga dikategorikan sebagai perjanjian tertulis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21338
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Setyowati
"Penyaluran kredit sudah menjadi tugas pokok bank, dalam setiap pemberian kredit diperlukan adanya jaminan khusus, salah satunya berupa hak tanggungan. Dalam hal debitor cidera janji, pada hak tanggungan, kreditor pemegang hak tanggungan dapat melaksanakan parate eksekusi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak mengatur pelaksanaan parate eksekusi oleh advokat berdasarkan kuasa dari kreditor pemegang hak tanggungan.
Permasalahan timbul saat Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang menolak parate eksekusi yang dilaksanakan oleh advokat berdasarkan surat kuasa dari kreditor pemegang hak tanggungan dengan alasan melanggar ketentuan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan terdapat beberapa pendapat pro dan kontra mengenai kecakapan advokat melaksanakan parate eksekusi berdasarkan surat kuasa dari kreditor pemegang hak tanggungan.
Adapun maksud dan tujuan penyusunan tesis ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tindakan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang menolak permohonan eksekusi Hak Tanggungan oleh advokat pemegang Hak Tanggungan berdasarkan surat kuasa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan peranan advokat dalam memberikan jasa hukum pada pelaksanaan parate eksekusi berdasarkan surat kuasa menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode yuridis kualitatif dan pendekatan yuridis normatif.
Penolakan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang terhadap permohonan parate eksekusi yang diajukan oleh advokat berdasarkan surat kuasa dari kreditor dengan menggunakan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 sebagai dasar hukum tidak tepat karena lembaga SKMHT pada Pasal 15 telah berakhir pada saat APHT dibuat dan didaftarkan, berbeda dengan lembaga parate eksekusi pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Advokat memiliki kecakapan untuk melaksanakan parate eksekusi berdasarkan hak tanggungan karena tidak dilarang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Pelaksanaan parate eksekusi yang dikuasakan kepada advokat dapat mempercepat proses pelaksanaan parate eksekusi dan mengurangi kerugian kreditor dari segi waktu.

The disbursement of credit has basically become the main tasks in almost all banks, in case when such credit was secured, specific security rights/including Hak Tanggungan (HT). In the event the debtor is in default, Hak Tanggungan’s holder may execute the implementation of direct implementation of Hak Tanggungan. Law No. 4 of 1996 on Hak Tanggungan does not regulate the implementation of direct enforcement by advocate based on the power of holders of encumbrance right lenders.
Problems arise when the State Property Office and Auction refuse direct enforcement carried out by advocate based on a power of attorney with the argument that it violates the provisions of the Power of Attorney, Hak Tanggungan’s holders impose on Article 15 of Law No. 4 of 1996 on Encumbrance right and Its Objects Relating to the Land and there are several opinions about the pros and cons of implementing an advocate prowess on direct enforcement based on a power of attorney holder of the encumbrance right lender.
The purpose on the writing of this thesis is to comprehend and analyze more on the actions taken by the State Property Office and Auction which rejected the appeal by an advocate in representing on behalf of their client as well as their role in terms of giving legal services related to the enforcement of Hak Tanggungan. The specification in this thesis is based on descriptive analytical study, using normative juridical approach and qualitative juridical method.
Therefore, it can be concluded that the refusal of the State Property Office and Auction to conduct direct enforcement appeal filed by advocate based on a power of attorney from creditors Hak Tanggungan’s holders by using Article 15 of Law No. 4 of 1996 as a legal basis, cannot be accepted, because deed to place and request Hak Tanggungan as stated in Article 15, automatically expires at the time the deed of Hak Tanggungan is executed, contrary to such condition, institutions related to direct enforcement based on Article 6 of Law No. 4 of 1996 has also reduced the rights of creditors in the implementation of direct enforcement. However, advocates have the right to carry out direct enforcement based on security rights as it is not clearly stated and prohibited by the Law No. 4 of 1996. The direct enforcement of Hak Tanggungan by advocate thereby causes positive impact to creditors as result in time efficiency.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muliani
"Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan kepastian hukum bagi kreditor karena memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor, selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada, memenuhi asas spesialitas dan publisitas f dan mudah serta pasti pelaksanaan eksekusinya. Permasalahanya adalah apa yang terjadi jika antara kreditor dan debitor telah sepakat untuk tidak memperbolehkan roya partial, bagaimana sikap kreditor? dan bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), terutama yang berkaitan dengan roya partial? Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum yuridis dan normatif. Pelunasan hutang debitor sebagian senilai salah satu sertipikat yang dijaminkan mengakibatkan atas sertipikat hak atas tanah bisa dilakukan roya partial senilai tanah dan bangunan yang dijaminkan tersebut.
Maksud penulis membuat tesis ini adalah agar Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) lebih berhati-hati dalam membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Peran PPAT sangat penting dalam memberikan kepastian hukum kepada kreditor yaitu dengan membuat APHT yang harus didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbit sertipikat Hak Tanggungan yang memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditor terhadap kreditor-kreditor lainnya. Bank harus benar-benar memeriksa APHT, agar jika ada kesalahan segera memberitahukan PPAT untuk diperbaiki, PPAT juga hendaknya memberi masukan dalam pembuatan APHT."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T38051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshsi
"Asas parate eksekusi adalah satu di antara asas-asas dari hak tanggungan dalam Hukum Jaminan Indonesia. Pelaksanaan dari asas ini menimbulkan permasalahan tertentu. Permasalahan utama yang timbul adalah mengenai ketidakpastian pelaksanaan parate eksekusi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Secara umum diketahui bahwa eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah telah banyak mengecewakan para kreditor untuk mengeksekusi berdasarkan parate eksekusi karena para hakim lebih mengutamakan kepada eksekusi berdasarkan titel eksekutorial untuk berlaku. Asas parate eksekusi berhubungan erat dengan suatu janji eksekutorial yang terdapat di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Tesis ini disusun dengan menggunakan metode penelitian normatif dan penelusuran literatur, serta wawancara dengan sumber Tumpal Naibaho sebagai Kepala Unit Legal Kredit pada PT. Bank OCBC NISP, Jakarta, kemudian data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Mengacu kepada Pasal 6 dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang mengatur tentang kewenangan menjual atas kekuasaan sendiri, maka hal ini menarik untuk dicermati. Terlebih, blanko Akta Pemberian Hak Tanggungan masih tetap menggunakan rumusan dari peraturan perundang-undangan yang lama daripada menggunakan rumusan dari Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Berdasarkan hasil analisis terhadap janji eksekutorial dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan diketahui bahwa 1) perlu untuk mengubah rumusan janji eksekutorial di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan 2) perubahan dimaksud tersedia dalam tesis ini.

The parate executie principle is one among other principle of encumbrance right in Mortgage Law of Indonesia. Any performance of this principle conduct matters. The first prior matter are about the inconsistency in executing parate executie compare to Law No. 4 of 1996 on Mortgage and Their Land-Related- Objects. It is generally recognized that an execution based on Article 6 of Law No.4 of 1996 on Mortgage and Their Land-Related-Objects has many times fails the creditors to execute under parate executie in which the Judges prefer the executorial titel into performance. Furthermore parate executie principle is closely related with a kind of executorial promises filled in the Deed of Grant of Encumbrance Right (APHT).
This thesis is based on normative and literature research methods and an exclusive interview with Mr. Tumpal Naibaho as a Head Unit of Legal Credit of PT. Bank OCBC NISP, Jakarta as well as data obtained were analyzed qualitatively. Refers to Article 6 of Law No.4 of 1996 on Mortgage and Their Land-Related-Objects, which governs the authority to sell on his own power, then it is interesting indeed to be observe. Moreover, the blank deed of the Deed of Grant of Encumbrance Right (APHT) is still using the late regulation in it is format prior to the Law No.4 of 1996 on Mortgage and Their Land-Related- Objects. Based on an analysis of executorial promises in the Deed of Grant of Encumbrance Right (APHT) is known that 1) it is neccesary to change the format of executorial promises in the Deed of Grant of Encumbrance Right (APHT) refering the Law No.4 of 1996 on Mortgage and Their Land-Related-Objects and 2) the improvements is available herein."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27412
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jenpriwati
"ABSTRAK
Adanya krisis ekonomi di Indonesia sejak tahun 1997
mengakibatkan dunia usaha mengalami kegagalan/kemunduran
dalam usahanya, jika mempunyai pinjaman kepada Bank yang
mengakibatkan pula tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam
hal pembayaran utang. Dengan berlakunya Undang-Undang nomor
4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang berkaitan Dengan Tanah yang kependekkannya
disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan sejak tanggal 9
April dalam Lembaran Negara No. 1996/42, Tambahan Lembaran
Negara No. 3632 diharapkan dapat memberikan perlindungan,
khususnya dalam memberikan perlindungan Hukum terhadap atas
objek Hak Tanggungan dan perlindungan secara administratif.
Adapun pokok permasalahan yang timbul adalah bagaimana
kedudukan kreditor menurut Undang-Undang nomor tentang Hak
Tanggungan?. Dan adakah perlindungan terhadap Kreditor dalam
hal kredit yang diberikannya dijamin dengan Hak Tanggungan
Atas Tanah? Melalui Metode penelitian normatif dan empiris,
yaitu dengan mempelajari terlebih dahulu berbagai jenis
bahan kepustakaan yang terkait, baik bahan Hukum primer,
sekunder dan tertier ditambah dengan melakukan studi
lapangan, melalui wawancara kepada pihak kreditor (PT.Bank
Niaga, Tbk) serta Notaris yang terkait dengan perjanjian
Kredit diharapkan dapat membahas secara mendalam atas
permasalahan yang ada. Ternyata dalam praktek
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan dan
Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Hak Tanggungan
dinyatakan bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai kedudukan yang diutamakan dari kreditur-kreditur
lain. Ada 2 (dua) asas dalam pasal-pasal Undang-Undang
Hak Tanggungan yang ada telah memberikan perlindungan
administratif Kepada Kreditor, seperti dalam : 1. Asas
Spesialitas (Pasal 11 Undang-Undang Hak Tanggunan), dimana
di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan
yaitu : nama, identitas, domisili,tujuan utang yang dijamin,
nilai tanggungan dan objek hak tanggungannya. 2. Asas
Publisitas (Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan), dimana
harus didaftarkannya permohonan Hak Tanggungan di Kantor
Pertanahan untuk dituliskan dalam buku tanah Hak Tanggungan
dan diterbitkannya Sertipikat Hak Tanggungan. Dalam pendaftaran
inilah yang memberikan kedudukan diutamakan kepada
Pihak Kreditur terhadap kreditur-kreditur lainnya."
2006
T37584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>