Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109425 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 2001
S21686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Sawitri
"Sepeti halnya. pencipta lainnya, seorang desainer pakaian seharusnya memperoleh perlindungan terhadap karyakaryanya. Perlindungan terhadap Hak atas kekayaan intelektual dari desainer inilah yang sering diabai kan. Hal inilah yapg akan diperlihatkan penulis dalam kenyataannya. Dan dalam melakukan penelitian ini, digunakan metode penelitian kepustakaan, dengan disertai dengan wawancara dengan para narasumber. Seperti kita ketahui, apabila seorang desainer bekerja pada suatu perusahaan, maka hubungan antara desainer dengan perusahaan tersebut adalah hubungan kerja. Dan menurut pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) No. 12/1997, apabila terjadi hubungan kerja, maka hak tetap pada pencipta, kecuali bila diperjanjikan lain. Dan pada penjelasan asal 3 undang-undang yang sama, dijelaskan bahwa perjanjian tersebut harus dalam bentuk tertulis. Sehi ngga, apabila pengalihan hak tidak dibuat dalam suatu perjanjian tetulis, maka, segala hak tetap pada pencipta. Namun dalam kenyataannya, desainer dianggap sebagai pegawai biasa dan seluruh hak atas seluruh ciptaannya dipegang oleh perusahaan tempat dia bekerja, padahal tidak dibuat suatu perjanjian tertulis mengenai pengalihan hak. Disinilah diasumsikan terjadi suatu penyalahgunaan keadaan (misbruik van de omstandigheden) yang dilakuakan oleh perusahaan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20616
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Setiabudi
"Film merupakan media multi dimensional, dan menyangkut aneka hak cipta. Banyak ciptaan-ciptaan yang ada hak ciptanya dimanfaatkan. Ciptaan-ciptaan itu diantaranya adalah cerita, lagu (musik), dan mungkin suatu tarian. Produser film tidak boleh menggunakan suatu hak cipta tanpa ijin tertulis pemegang hak cipta itu. Bahwa era film bisu dan hitam putih telah lama berlalu. Film berwarna dengan efek suara dan tehnologi yang menunjangnya semakin membuat semaraknya hiburan bagi masyarakat. Kemajuan tehhologi ternyata menimbulkan masalah hak cipta yang sangat kompleks sedangkan Undang-undang Hak Cipta 1912 (Auteurswet 1912) yang dibuat di masa pemerintahan Hindia Belanda tidak memadai 1agi. Padahal eksistensi undang-undang tersebut ' adalah melindungi pencipta beserta ciptaannja, maka digantinya Auteurswet 1912 dengan Undang-undang No. 6 tahun 1 982, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang No. 7 tahun 1987, merupakan langkah maju untuk menjawab tantangan tehnologi, termasuk film. Undang-undang yang baru itu diharapkan dapat memecahkan masalah hak cipta dalam film, baik terhadap pembajakan film dengan sarana video, maupun berbagi pelanggaran lainnya. Hal ini demi memajukan dan menggairahkan bangsa Indonesia untuk berfikir kreatif supaya lahir beraneka ciptaan yang baru. Tanpa perlindungan, maka banyak pencipta dan pegang hak cipta yang dirugikan. Demikian pula masyarakat kita, serta pemerintah yang sedang mengusahakan pembangunan di segala bidang. Hak cipta bukan sekadar kata yang bernilai hukum, hak cipta juga suatu peluang bisnis dan ekonomi yang sangat tinggi. Permasalahan yang menarik ini akan diungkap dan dibahas dalam skripsi ini. Agar memperoleh gambaran yang je1as ten tang hak cipta yang bersangkutan dehgan film, penulis akan membahas masalahmasalah tersebut sejak film dipersiapkan, diproduksi, dan sampai saat film itu diedarkan ke tengah masyarakat luas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Berliana
"Manusia dalam perkembangannya menghasilkan berbagai karya, baik karya ilmiah, kesusatraan, kesenian, teknologi dan masih banyak lagi. Semua bentuk hasil karya yang sudah terwujud dan dapat dirasa oleh panca indra kita dilindungi oleh hak cipta. Hal ini karena kreativitas dan inisiatif manusia dihargai tinggi oleh manusia lain. Salah satu bentuk karya adalah musik. Musik sangat dibutuhkan manusia dan ternyata dapat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi Tanpa musik hidup terasa hampa. Oleh karena itu orang rela membayar suatu harga untuk dapat menikmati keindahan musik. Dalam karya tulis hubungan hukum antara artis ini akan dibahas bagaimana dan produser dalam suatu perjanjian kerja rekaman. Perjanjian yang digunakan Penulis untuk ditinjau secara yuridis adalah pedoman perjanjian pembuatan karya rekaman yang dikeluarkan oleh ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) dan dari itu dapat terlihat bahwa hak cipta milik artis dapat beralih kepada pihak produser perjanjian (penyanyi) Selain itu, Penulis juga akan mencoba mengupas sedikit tentang hak cipta yang dimiliki oleh artis dan produser untuk menambah pengetahuan kita bahwa artis dalam mempersembahkan karya musiknya mempunyai hak-hak yang bernilai tinggi dan produser dalam membuat hasil rekaman juga dilindungi hak cipta."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S21200
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Christine S.T. Kansil
Jakarta: Sinar Grafika, 1997
346.048 KAN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Carolina Parera
"Ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta dalam TRIPS Agreement membebaskan anggota untuk membuat pengaturannya sendiri, dengan syarat memenuhi tiga syarat dalam Pasal 13 TRIPS Agreement. Hal ini menimbulkan menimbulkan perbedaan pengaturan diantara anggota WTO. Skripsi ini hendak menjawab permasalahan mengenai pengaturan, penerapan dan keselarasan ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta di Indonesia, anggota WTO lain dan TRIPS Agreement. Metode penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif dengan menganalisis norma-norma hukum dan penerapannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua ketentuan pengecualian dan pembatasan hak cipta yang berbeda diantara anggota WTO.

Agreement membuat ketentuan three step test yang bersifat terbuka sebagai penengah dari perbedaan tersebut. Ketentuan pengecualian dan pembatasan yang berdasarkan doktrin fair use, maupun fair dealing perlu memenuhi ketentuan three step test. Indonesia sebagai penganut fair dealing memiliki beberapa ketentuan pembatasan hak cipta yang tidak sesuai dengan TRIPS Agreement, yakni ketentuan Pasal 43 huruf C, E dan Pasal 49 ayat (2) UU Hak Cipta.

Exception and limitations regulations in TRIPS Agreement give leniency for contracting members, to regulate their own exception and limitations as long as they are in accordance to the three conditions in Article 13 of TRIPS Agreement. This has caused differences in regulations among WTO members. This thesis answers matters regarding regulations, applications and conformity of exception and limitations of copyright in Indonesia, WTO members and TRIPS Agreement. This research is conducted using juridical-normative method by analyzing legal norms and their implementation. The result of this thesis shows that there are two different doctrines used in exception and limitations regulations among the WTO members, fair use and fair dealing. TRIPS Agreement regulates an open-ended wording regulation called the three step test to intermediate the difference. Both exception and limitations regulations based on fair use and fair dealing must fulfill the three step test. Indonesia as a fair dealing adherent has a few copyright limitations that are not in accordance to TRIPS Agreement. They are article 43 C, E and article 49 (2) Indonesia Copyright Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tomi Suryo Utomo
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010
346.048 TOM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Handi Nugraha
"Penelitian tentang perlindungan hak moral dalam UU hak cipta ini pada awalnya timbul karena adanya rasa penasaran penulis atas pernyataan dari International Intellectual Property Allience (IIPA) yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 24 (2) Jo. Pasal 55 (c),(d) UUHC 2002, telah melebihi ketentuan Article 6bis(l) Konvensi Berne yang mengatur tentang hak moral, sehingga perlu direvisi. Selanjutnya, penulis juga melihat terdapat kejanggalan dalam pengaturan hak moral dalam UUHC 2002, di mana dalam penjelasan umum UUHC 2002 ini disebutkan bahwa Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights) . Di sini, hak moral diartikan sebagai hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan (inalienable rights). Sedangkan bila merujuk Pasal 3 UUHC 2002 menunjukkan bahwa hak cipta merupakan hak kebendaan yang dapat beralih atau dialihkan berdasarkan hal-hal tertentu baik seluruhnya ataupun sebagian. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerancuan konsepsi mengenai hak moral dalam UUHC 2002. Terlebih tidak ada satu pasal pun yang mengatur hak moral bagi palaku dalam UUHC 2002. Lalu bagaimanakah konsep hak moral itu sesungguhnya, dan benarkah ketentuan hak moral dalam UUHC 2002 telah melebihi Pasal 6bis Konvensi Berne?. Berdasarkan hasil penelitian, konsepsi hak moral ternyata tidaklah sama meskipun di negara-negara yang menjadi anggota Konvensi Berne, baik dari segi sifat maupun ruang lingkupnya. Bahkan, di negara asal konsepsi hak moral ini yaitu Perancis, pengaturan hak moral jauh melebihi ketentuan dalam Konvensi Berne. Sehingga, rekomendasi IIPA tersebut di atas adalah sangat tidak relevan. Selain itu, Hak moral ternyata tidak sama dengan hak cipta dan juga bukan merupakan bagian dari hak cipta. Hak moral lebih merupakan hak pelengkap atau hak tambahan {additiona1 rights) bagi pencipta dan/atau pelaku."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Manual of Indonesian intellectual property rights."
Tangerang, Banten, Indonesia: Dirjen HAKI, 2004
346.048 IND b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>