Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55298 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1999
S21968
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iwan Satyoprodjo
"Di Indonesia telah cukup banyak terjadi kasus yang melibatkan konsumen sebagai korban dalam jumlah yang massal. Contoh kasus biskuit beracun yang terjadi sekitar Oktober 1989 di kota Tangerang. Tegal, Palembang dan Jambi yang dalam kasus tersebut sebanyak 141 konsumen telah menjadi korban. Demikian juga pada Juni 1994 terjadi kasus mie instan yang menyebabkan 33 konsumen sebagai korban. Kemudian pada pertengahan tahun 2001 masyarakat konsumen Indonesia sempat dihebohkan dengan adanya kasus ajinomoto berkaitan dengan penggunaan bahan baku dalam proses pembuatan produk tersebut yang tidak memenuhi kriteria halal. Dari kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa konsumen membutuhkan suatu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-haknya. Karena itu adanya konsep class action yang diadopsi dari negara Anglo Saxon merupakan suatu jalan keluar untuk dapat diterapkan di Indonesia. Perlindungan hukum atas hak-hak konsumen telah diatur secara jelas di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang telah memasukkan 8 macam hak konsumen termasuk hak untuk menerima kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian. Demikian pula pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, UUPK telah mengatumya secara jelas dalam bentuk tanggung jawab hukum pelaku usaha. UUPK menganut prinsip tanggung jawab hukum pelaku usaha karena kesalahan dengan 2 modifikasi, Pertama, pelaku usaha bertanggung jawab dengan praduga lalai/salah dan kedua, pelaku usaha dianggap selalu bertanggung jawab dengan beban pembuktian terbalik. Pengaturan class action sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa konsumen telah diatur baik dari segi materialnya maupun segi prosedur atau formilnya, tetapi masih diperlukan adanya penyempurnaan. Implementasi penyelesaian sengketa konsumen melalui prosedur class action dalam praktek peradilan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sebelum adanya UUPK para pengacara telah mencoba prosedur class action namun keadilan masih belum berpihak pada konsumen. Pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara class action tidak mengakui gugatan class action dengan alasan belum ada dasar hukumnya, masih dibutuhkan surat kuasa khusus sesuai dengan Pasal 123 HIR dan masih terjadi salah penafsiran antara class action dengan legal standing. Setelah adanya UUPK, pengadilan mulai mengakui class action dengan pengakuan kriteria gugatan perwakilan kelompok, pengakuan wakil kelas dan anggota kelas dan adanya usulan Komisi Pemberian Ganti Rugi Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang 14 tahun 1970 maka peradilan mulai berusaha menerapkan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan dan hakim yang memeriksa dan memutus perkara class action telah berusaha menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat"
Lengkap +
Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
T36206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jumi Rahayu
Depok: Universitas Indonesia, 2003
S22123
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kendenan, Florensani
"Gugatan perwakilan (kelompok) atau yang dikenal dengan class action merupakan bentuk prosedur beracara, yang dilakukan dalam perkara perdata, yang memberikan hak prosedural kepada satu orang atau sejumlah orang, untuk dapat bertindak sebagai penggugat, guna memperjuangkan kepentingannya dan kepentingan kelompoknya, yang merasa telah dirugikan.
Bagi Indonesia kehadiran gugatan class action diatur secara khusus dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Jasa Konstruksi. Tanggal 26 April 2002 Ketua Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No.l Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Adapun manfaat mengajukan gugatan secara class action adalah :
Pertama, sarana pengadilan dapat dimanfaatkan lebih efektif dan efisien, karena Class Action mengurangi biaya yang dikeluarkan, yang bila diajukan secara individual menjadi mahal, sebab biaya proses berperkara menjadi tidak ekonomis (judicial economy), karenanya Class Action memberikan akses yang lebih Iuas kepada pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan cara cost efficiency.
Kedua, putusan yang bertentangan atau tidak konsisten mengenai tuntutan sejenis dapat dihindari.
Ketiga, gugatan perwakilan mempermudah penyelesaian tuntutan yang menyangkut ganti kerugian uang, serta menjamin bahwa tuntutan terhadap tergugat yang kemampuan membayarnya terbatas dapat diselesaikan dengan adil.
Keempat, Gugatan perwakilan mencegah pengulangan (repetition) gugatan sejenis, apabila gugatan sejenis tersebut ditangani satu persatu.
Kelima, akses ke pengadilan melalui gugatan perwakilan berpeluang mendorong perubahan sikap (behaviour modification) dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T17972
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Ada beberapa perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan permohonan gugatan perwakilan antara lain UU no. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.."
JHB 22 : 3 (2003)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Adieniyatu Salwa
"Penelitian ini dilakukan dengan melihat maraknya gugatan yang diajukan melalui gugatan class action, namun dari gugatan tersebut terdapat beberapa gugatan yang ditolak oleh hakim karena persyaratan formil yang tidak terpenuhi seperti jumlah anggota kelompok. Dengan melihat keadaan tersebut, penelitian ini membahas mengenai jumlah anggota kelompok yang efisien dalam gugatan class action, karena dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok tidak mengatur mengenai jumlah minimal anggota kelompok dalam gugatan class action, sehingga yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah pemenuhan syarat jumlah anggota kelompok yang efisien dalam gugatan class action di Indonesia dan Australia serta bagaimana cara hakim dalam mempertimbangkan jumlah anggota kelompok yang efisien dalam gugatan class action di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, mengenai jumlah anggota kelompok yang efisien dalam gugatan class action ditentukan dari seberapa besar wakil kelompok dapat membuktikan bahwa dirinya dan anggota kelompoknya merupakan sekelompok orang yang telah dirugikan dengan kesamaan fakta, kesamaan hukum, dan kesamaan tuntutan. Kemudian melihat surat kuasa yang diberikan dalam gugatan class action, yakni hanya wakil kelompok yang diperkenankan memberikan surat kuasa khusus kepada penasihat hukum, wakil kelompok tersebut hanya memberikan satu surat kuasa khusus untuk mewakili dirinya dan anggota kelompoknya dalam gugatan. Sedangkan jika seluruh anggota kelompok ikut memberikan surat kuasanya kepada penasihat hukum maka tidak ada bedanya dengan kumulasi gugatan. Selain itu, dalam prosedur gugatan class action terdapat proses notifikasi atau pemberitahuan, dengan adanya proses tersebut maka akan memudahkan proses pemberitahuan jika jumlah anggota kelompok dalam jumlah yang banyak dan terbagi dalam beberapa wilayah dan membuat biaya beracaranya lebih hemat, sehingga mekanisme gugatan class action akan lebih efektif dan efisien. Sedangkan, jika jumlah anggota kelompok dapat diidentifikasi dengan jelas karena jumlahnya masih dalam jumlah belasan orang atau masih dapat dijangkau, hakim memberikan cara bahwa sebaiknya gugatan diajukan melalui gugatan biasa secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama yang dikenal dengan gugatan kumulasi subjektif yang prosesnya lebih efektif dan efisien. Adanya penjelasan dan ketegasan dalam peraturan perundang-undangan mengenai jumlah anggota kelompok yang efektif dan efisien adalah hal yang sangat diperlukan, selain itu mengenai persyaratan formil lainnya serta proses pemberitahuan dan proses pendistribusian ganti kerugian yang diinginkan oleh para penegak hukum agar diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

This research was conducted by looking at the rise of lawsuits filed through class action lawsuits, but from these lawsuits there were several lawsuits that were rejected by the judges because formal requirements were not met such as the number of group members. By looking at these circumstances, this study discusses the efficient number of group members in class action lawsuits, because PERMA No. 1 of 2002 concering Class Action Lawsuit Events does not regulate the minimum number of group members in class action lawsuits, so that the main problem in this research is this is the fulfillment of the requirements for an efficient number of group members in class action lawsuits in Indonesia and Australia and how judges consider the efficient number of group members in class action lawsuits in Indonesia. This research is a normative juridical research with qualitative methods. Based on the results of the research and discussion, the efficient number of group members in a class action lawsuit is determined by how much the group representative can prove that he and his group members are a group of people who have been harmed by the similarity of facts, the same law, and the same claims. Then look at the power of attorney given in a class action lawsuit, namely only group representatives are allowed to give a special power of attorney to legal counsel, the group representative only gives one special power of attorney to represent himself and his group members in the lawsuit. Meanwhile, if all group members participate in giving their power of attorney to legal counsel, then it is no different from a cumulative lawsuit. In addition, in the class action lawsuit procedure there is a notification or notification process, with this process it will facilitate the notification process if there are a large number of group members and are divided into several regions and make the costs of the proceedings more economical, so that the class action lawsuit mechanism will be more efficient. effective and efficient. So, if the number of group members can be identified clearly because the number is still in the tens of people or can still be reached, the judge provides a way that it is better if the lawsuit is filed through ordinary lawsuits individually or jointly which is known as a subjective cumulation lawsuit whose process is more effective and efficient. The existence of explanation and firmness in laws and regulations regarding the effective and efficient number of group members is very necessary and other formal requirements as well as the process of notification and distribution of compensation desired by law enforces to be regulated clearly in statutory regulations."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Carol Roos Medina
"Menurut Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu demikian pula sebaliknya. Pembuktian untuk peristiwa-peristiwa yang diajukan dapat dilakukan dalam bentuk suatu akta otentik yang dibuat oleh notaris (lihat ketentuan Pasal 1 PJN juncto Pasal 1868 K.U.H. Perdata). Sebagaimana sudah dikatakan bahwa bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti utama, karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan. Adapun metode yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode kepustakaan dengan cara menghimpun ketentuan perundang-undangan serta melakukan penelitian di Pengadilan Negeri. Hasil yang diperoleh dari penulisan tesis ini, penulis selaku notaris semakin mengerti mengenai akta-akta yang mana telah batal dengan sendirinya (batal demi hukum) dan akta-akta yang harus dimintakan pembatalannya karena hakim tidak dapat memutuskan sesuatu yang melebihi dari apa yang diminta_ Suatu akta notaris walaupun dikatakan sebagai alat bukti yang sempurna tetapi didalam suatu proses peradilan dapat diabaikan karena cacat hukum ataupun dimintakan pembatalannya.;Menurut Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu demikian pula sebaliknya. Pembuktian untuk peristiwa-peristiwa yang diajukan dapat dilakukan dalam bentuk suatu akta otentik yang dibuat oleh notaris (lihat ketentuan Pasal 1 PJN juncto Pasal 1868 K.U.H. Perdata). Sebagaimana sudah dikatakan bahwa bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti utama, karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan. Adapun metode yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode kepustakaan dengan cara menghimpun ketentuan perundang-undangan serta melakukan penelitian di Pengadilan Negeri. Hasil yang diperoleh dari penulisan tesis ini, penulis selaku notaris semakin mengerti mengenai akta-akta yang mana telah batal dengan sendirinya (batal demi hukum) dan akta-akta yang harus dimintakan pembatalannya karena hakim tidak dapat memutuskan sesuatu yang melebihi dari apa yang diminta_ Suatu akta notaris walaupun dikatakan sebagai alat bukti yang sempurna tetapi didalam suatu proses peradilan dapat diabaikan karena cacat hukum ataupun dimintakan pembatalannya."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T16660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Carol Rose Meilina
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T00478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aa Dani Saliswijaya
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
347.05 AAD h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>