Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146206 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
cover
Rizky Amalia
"Pendekatan follow the money berupaya menemukan uang/harta benda/kekayaan lain yang dapat dijadikan sebagai alat bukti obyek kejahatan dan sudah barang tentu setelah melalui analisis transaksi keuangan dan dapat diduga bahwa uang tersebut sebagai hasil kejahatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi kepustakaan yaitu dengan meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturan-peraturan dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Pendekatan follow the money dalam memberantas tindak pidana khususnya tindak pidana pencucian uang dirasakan masih lemah, dari segi penegakan hukum di Indonesia masih banyak yang enggan untuk menerapkan pendekatan ini. Di dalam follow the money terdapat tindakan progresif yang didasarkan kepada pengungkapan kasus yang dimulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pembuktian di persidangan melalui pendekatan follow the money sebagai complementary dari pendekatan follow the suspect yang sudah mendarah daging dipahami dan dipedomani oleh penegak hukum, sehingga apabila follow the suspect juga dilengkapi dengan pendekatan follow the money maka akan memperoleh hasil yang maksimal.

Follow the money approach tries to find the money property other property that can be used as evidence the object of the crime after going through the analysis of financial transactions and can be presumed that the money as proceeds of crime. By using normative juridical research method in the form of a literature study to examine the document in the form of literature books, regulations, and also conduct interviews with sources. Follow the money approach in combating the crime of money laundering in particular is still weak, in terms of law enforcement in Indonesia many are reluctant to adopt this approach. In follow the money there is a progressive action based on the disclosure of the starting level of inquiry, investigation, prosecution, and proof at trial through approaches follow the money as a complementary approach of follow the suspect ingrained understood and guided by law enforcement, so that if follow the suspect is also equipped with an approach follow the money it will get the maximum results."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47431
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranahumaira Savira Putra
"Saat Ini Korporasi dan Trust sering digunakan oleh pelaku pencucian uang sebagai sarana untuk melakukan pencucian uang dengan menyembunyikan identitas mereka sebagai pemilik sebenarnya dari sumber uang tidak sah di dalam korporasi ataupun Trust sehingga otoritas akan menghadapi kesulitan untuk melacak penerima manfaat dari korporasi dan Trust. Jika data mengenai pemilik manfaat serta sumber aset sudah tersedia untuk pihak berwenang, maka kejahatan pencucian uang akan berikurang dikarenakan pihak berwenang dapat melacak pemilik manfaat daru suatu perusahaan dan trust. Sejauh data tersebut dibuat tersedia, itu akan memfasilitasi lembaga keuangan untuk menerapkan persyaratan due diligence (CDD) terhadap customer mereka. Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah Bagaimana peraturan perundang-undangan mengenal pemilik manfaat di Indonesia dan Singapura dan Bagaimana implementasi peraturan tentang mengenal pemilik manfaat untuk mencegah pencucian uang di Indonesia dan Singapura. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis sarjana ini adalah pendekatan normatif yuridis dan tipologi penelitian deskriptis analitis. Kesimpulan adalah 1) peraturan tentang mengenal pemilik manfaat di Indonesia dan Singapura terdapat perbedaan dimana di Indonesia diatur dalam peraturan presiden yaitu peraturan presiden No 13 tahun 2018 sedangkan singapura mengatur peraturan mengenal pemilik manfaat di dalam undang-undang perusahaan. Selain itu peraturan mengenal pemilik manfaat di Singapura lebih di atur secara mendalam dan merinci dibandingkan peraturan mengenal pemilik manfaat di Indonesia. 2) dalam hal implementasi, terdapat beberapa kesulitan yang di hadapi oleh Indonesia dan Singapura dalam menerapkan peraturan mengenal pemilik manfaat. Rekomendasi adalah Indonesia harus mengatur peraturan mengenal pemilik manfaat di dalam undang-undang dan mengatur secara rinci lagi mengenai peraturan tersebut

At Present Corporations and Legal arrangement (Trust) is often used by the criminal as a means to conduct money laundering by hiding the real owner of the source of illicit money inside the corporations or legal arrangement (Trust). If data concerning the beneficial owner were readily available to the authorities, then concealing crime are going to be reduced as the result of those perpetrators cannot hide their identity through companies and legal arrangement any longer. To that the extent such data is created available, it going to facilitate financial institutions (FIs) to implement the customer due diligence (CDD) requirements on company vehicles and legal arrangements. The formulation of the problem is how the regulations and implementation of transparency on Beneficial Ownership in Indonesia and Singapore. The research method which is used is the juridical normative approach. The conclusion is 1) there are differences in the regulations regarding transparency on beneficial owners in Indonesia and Singapore, wherein Indonesia it is regulated in a presidential regulation No. 13 of 2018 while Singapore regulates transparency on beneficial owners in their Company Law. In addition, the regulations of the transparency on beneficial owners in Singapore are more detailed than the regulations of transparency on beneficial owners in Indonesia. 2) In terms of implementation, there are several difficulties faced by Indonesia and Singapore in implementing the regulations on transparency on beneficial owners. The recommendation is that Indonesia must regulate the regulations of transparency on beneficial owners in the Law and regulate more detail about these regulations"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Natassja Emmanuela Rawung
"Pencucian uang merupakan tindak kriminal tergolong baru namun berdampak fatal dalam perekonomian global. Urgensi negara-negara untuk menangani masalah tersebut mendorong terbentuknya Financial Action Task Force (FATF) yang berfungsi untuk menegakkan rezim anti pencucian uang internasional dan mempromosikan rezim tersebut ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan proses pembentukan rezim anti pencucian uang di Indonesia serta keterlibatan FATF dalam proses tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat deduktif berdasarkan data dari studi pustaka dengan menggunakan teori siklus hidup norma sebagai landasan argumen. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, mengambil kesimpulan bahwa FATF berfungsi sebagai norm entrepreneur yang mendorong pemerintah Indonesia untuk membentuk rezim anti pencucian uang. Penulis menemukan bahwa FATF menggunakan mekanisme sosialisasi norma berupa daftar hitam untuk mempromosikan norma sekaligus memberikan tekanan kepada Indonesia untuk patuh. Hal ini menunjukkan bahwa FATF memiliki keterlibatan yang signifikan dalam proses pembentukan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Keseluruhan proses tersebut merupakan bagian dari tahapan siklus hidup norma, yaitu kemunculan norma, norm cascade dan internalisasi norma.

Money laundering is a relatively new crime, yet it has a fatal impact on the global economy. The urgency of countries to deal with these problems has prompted the formation of a Financial Action Task Force (FATF) whose function is to enforce the international anti-money laundering regime and promote the regime to other countries, including Indonesia. This paper aims to explain the process of establishing an anti-money laundering regime in Indonesia and the involvement of the FATF within the process. The research method used is a qualitative approach that is deductive in nature based on data from literature studies, while using the norm life cycle theory as the basis of the argument. Based on the analysis that has been done, it can be concluded that the FATF functions as a norm entrepreneur which pressured the Indonesian government to establish an anti- money laundering regime. The author finds that the FATF uses a norm socialization mechanism in the form of a blacklist in order to promote norms as well as to put pressure on Indonesia to comply. This shows that the FATF has a significant involvement in the process of establishing an anti-money laundering regime in Indonesia. The whole process is part of the stages of the norm life cycle, namely the norm emergence, the norm cascade and the norm internalization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junior B. Gregorius
"Menurut ketentuan ICUHP, ancaman pidana seorang pelaku pembantu d~kurangi sepertiga dari pidana pokok bagi pelaku utama. Sebaliknya dalam UUTPPU, pelaku pembantu diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama. Ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam Tesis ini, pertama: apakah ratio legis pembentuk UUTPPU menentukan sanksi pidana yang sama bagi pelaku pembantu dan pelaku utama, sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) UUTPPU; kedua: bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam Money Laundering Act di negara-negara lain? ketiga: bagaimanakah penerapan konsep-konsep teoritis yuridis kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu eks Pasal 56 dan 57 KUHP dalam UUTPPU pads kasus-kasus pencucian uang?;
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama; bahwa badan legislatif menganggap UUTPPU adalah undang-undang pidana khusus yang mcngatur dan menentukan pidana secara khusus, dimana perbuatan pelaku pembantu dianggap sama akibatnyanya dengan perbuatan pelaku utama, yaitu dapat membahayakan perekonomian negara dan masyarakat, sehingga secara yuridis sanksi pidananya ditentukan same. Selain itu, Indonesia harus mengikuti model hukum pidana pencucian uang yang diberikan oleh FATF, dimana FATF berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang tidak mengenal pengurangan pidana terhadap pembantuan;
Kedua; Baik dalam UUTPPU maupun dalam Money Laundering Act di negara-negara lain, pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu same dengan pertanggungjawaban pidana pelaku utama, kecuali penerapan ancaman pidananya yang jauh lebih tinggi di Indonesia.
Ketiga; tanggungjawab pembantuan (penyertaan) yang dalam KUHP termasuk sebagai dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund), dalam UUTPPU, tanggungjawab pembantuan termasuk dasar perluasan tindak pidana (tatbestandaushdehnungsgrund); selain itu, penerapan kesalahan pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman pada teori ilmu hukum Pasal 56 KUHP, sedangkan penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUTPPU.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa putusan kasus pencucian uang, Penulis menyarankan supaya kemampuan teoritis dan praktis para penegak hukum terutama jaksa dan hakirn perlu ditingkatkan, sehingga dengan kemampuan yang memadai, dalam membuat dakwaan dan putusan dapat menjamin kepastian hukum.

Based on Indonesian Criminal Code, the criminal sanction against the accomplice should be reduced one-third from total criminal sanction against the principal. In the other hand, it is stated in Indonesian Money Laundering Act that the criminal sanction for accomplice is equal with the principal. There are three research questions appointed: firstly; in what legal reasoning was Legislator determine the same criminal sanction both for principal and accomplice so as stipulated in Article 3 (2) of Indonesian Money Laundering Act?;
Secondly: how is the implementation of accomplice's criminal responsibility according to Indonesian Money Laundering Act in comparison with the accomplice's criminal responsibility in other countries Money Laundering Act? thirdly: how is the implementation in Indonesian Money laundering Act relating to the legal theoretical concepts of accomplice's offence and criminal responsibility based on Article 56 and 57 of Indonesian Criminal Code?.
This research which is using qualitative descriptive interpretive method, has had the following conclusion:
Firstly, according to the Legislator, Indonesian Money Laundering Act is including one of special criminal code model, which is regulated and applied the special terms and conditions, considered therefore that the accomplice's offence has the same danger and impacts as the principal against Indonesian economic stability, so that it is legal to determine the same criminal sanction for both principal and accomplice. Beside that, Indonesia should also follow money laundering regulation guideline' prepared by Financial Action Task Force (FATF), which in this case, FATF orientated on various international conventions stipulated no differences on criminal sanction between principal and accomplice. Secondly, both in Indonesian Money Laundering Act and other countries Money Laundering Act, the implementation of accomplice's criminal responsibility is just the same, except the criminal sanction applied in Indonesia seems to be higher than other countries.
Thirdly; the accomplice's responsibility which in Indonesian Criminal Code is subject to 'an extensive basis of criminal responsibility' (Strafausdehnungsgrund); and in Indonesian Money Laundering Act, become 'an extensive basis of criminal act' (Tatbestandausdehnungsgrund). Also, the implementation of accomplice's offence in Indonesian Money Laundering Act should be referred to Article 56 of Indonesian Criminal Code, and concerning to accomplice's criminal responsibility should be based on Article 3 (2) of Indonesia Money Laundering Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Rykcar Gavril Balint Pardjoendjoengan
"Penulisan tesis ini menggunakan metode yuridis normatif yang mengutamakan studi kepustakaan dan berfokus kepada implementasi prinsip Customer Due Diligence (CDD) di Indonesia sebagai upaya pencegahan terjadinya kejahatan pencucian uang. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk memahami pentingnya implementasi prinsip Customer Due Diligence pada operasional perbankan secara tepat dan maksimal untuk mencegah aktivitas pencucian uang yang disertai dengan sistem regulasi dan supervisi yang efektif pula.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui kajian kepustakaan terhadap berbagai sumber hukum primer mencakup berbagai peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional serta data sekunder seperti pendapat para ahli, referensi terkait dan wawancara.
Hasil penelitian penulis menemukan bahwa kejahatan pencucian uang sudah menjadi musuh dan ketakutan bagi seluruh bangsa di dunia bahkan berbagai kesepakatan internasional terkait upaya memerangi pencucian uang berkembang semakin dinamis mengikuti perkembangan zaman, kejahatan dan juga sistem hukum yang semakin maju di seluruh dunia. Oleh karena itu, semua bangsa, termasuk Indonesia, harus sepakat bahwa pencucian uang adalah suatu kejahatan yang harus diperangi bersama-sama melalui berbagai upaya baik dalam bentuk regulasi, pengawasan, hukuman dan penghargaan sehingga Indonesia juga dianggap sebagai Negara yang koperatif dan berkomitmen untuk ikut mencegah terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). UU No.8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU sebenarnya sudah cukup representatif bahkan memuat juga tentang tugas, tanggung jawab dan wewenang PPATK sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) yang juga memiliki wewenang terhadap operasional perbankan secara terbatas terkait pelaporan dan pengawasan terhadap penerapan prinsip Customer Due Diligence dan transaksi mencurigakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/28/PBI Tahun 2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
Penulis menyarankan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selaku legislator untuk melakukan pembaharuan terhadap UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodir semangat pencegahan TPPU dalam kegiatan operasionalnya serta memberikan penegasan dan kepastian hukum terhadap tugas, wewenang dan koordinasi antara Bank dengan Bank Indonesia serta PPATK khususnya terkait penerapan prinsip CDD. Selain itu penulis juga menyampaikan beberapa saran dan rekomendasi terkait dengan permasalahan tersebut.

This thesis using juridical normative analyse method and library researches which focuses on the implementation of the principle of Customer Due Diligence (CDD) in Indonesia as the prevention of money laundering. The objective of this thesis is to understand the importance of implementing the principle of Customer Due Diligence on the right bank operations and the maximum to prevent money laundering activity is accompanied by a system of effective regulation and supervision as well.
This research is qualitative by using method of juridical normative literature through the study of the various sources of primary law covers a wide range of legislation and international conventions as well as secondary data such as opinions of experts, related references and interviews.
The study authors found that money laundering has become the enemy and fear for the whole nation in the world and even the various international agreements related to combating money laundering is growing increasingly dynamic with the times, crime and legal systems are also more advanced in the world. Therefore, all nations, including Indonesia, have agreed that money laundering is a crime that must be fought together through various efforts in the form of regulation, supervision, punishment and reward so that Indonesia is also regarded as a cooperative state and is committed to help prevent the Money Laundering (AML). Law No. 8 of 2010 on the prevention and eradication of AML is already quite representative even includes also the tasks, responsibilities and authority PPATK as Financial Intelligence Unit (FIU), which also has the authority of a limited banking operations related to reporting and monitoring the implementation of the principles of Customer Due Diligence and suspicious transactions as formed in Peraturan Bank Indonesia No.11/28/PBI Tahun 2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
However, it is still not adequate because if the government realized that the banks are very vulnerable to be exploited by moneylaundering activity, especially at the placement stage of the author recommends to the Government and Parliament as a legislator for reform of the Act No.7 of 1992 to accommodate prevention of Money Laundering in the spirit of its operations and provide legal certainty to the affirmation and duties, authority and coordination between Bank Indonesia and Bank with PPATK, especially related to the application of the principle of CDD. Moreover, the authors also present several suggestions and recommendations related to the problem.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30002
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Agustiano
"Tesis ini dibatasi pada kasus dengan terpidana Hesham Al Warraq yang disidangkan secara in
absensia dengan lingkup pembahasan pada analisis mengenai praktek ekstradisi terhadap
terpidana tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, untuk menjawab permasalahan
penelitian bahwa ektradisi terhadap terpidana kasus korupsi dan pencucian uang yang
disidangkan secara in absensia sulit dilakukan karena terdapatnya faktor kepentingan
nasional, faktor ketersediaan perjanjian ekstradisi, faktor alasan mutlak dan fakultatif
penolakan ekstradisi. Merujuk dari temuan penelitian diketahui beberapa hal. Pertama,
praktek ekstradisi terhadap terpidana kasus korupsi dan pencucian uang Hesham Al Warraq
yang disidangkan secara in absensia, jika hanya mengandalkan Model Treaty on Extradition
sebagai hukum kebiasaan internasional ekstradisi akan menyebabkan peluang dikabulkannya
permohonan permintaan ekstadisi dari Indonesia sebagai negara peminta oleh Arab Saudi
sebagai negara diminta menjadi sangat tipis kemungkinannya. Hal ini mengingat dalam
Model Treaty on Extradition tersebut terdapat ketentuan yang secara tegas mengatur bahwa
peradilan secara in absensia merupakan alasan yang bersifat mutlak untuk menolak ektradisi,
selain ketentuan mengenai warga negara yang bersifat fakultatif. Kedua, Resolusi PBB
Nomor 55/25 tanggal 15 Nopember 2000 tentang United Nation Convention against
Transnational Organized Crime (UNTOC) dan Resolusi PBB Nomor 58/4 tanggal 31
Oktober 2003 tentang United Nation Convention against Corruption (UNCAC) telah tepat
dijadikan landasan hukum pada praktek ektradisi ini, di tengah kekosongan perjanjian
ektradisi kedua negara, karena tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan
Hesham Al Warraq merupakan tindak pidana yang pelakunya wajib diektradisikan oleh
negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketiga, praktek ektradisi terhadap kasus
korupsi dan pencucian uang Hesham Al Warraq yang disidangkan secara in absensia menjadi
sulit untuk dilaksanakan akibat adanya faktor kepentingan nasional, ketersediaan perjanjian
ektradisi, alasan yang bersifat mutlak berupa peradilan in absensia dan alasan yang bersifat
fakultatif berupa kewarganegaraan orang yang diminta untuk menolak ektradisi yang masingmasing
memiliki keterkaitan satu sama lain. Rekomendasi dari penelitian ini adalah (1)
ektradisi lebih berorientasi pada landasan hukum berupa UNTOC dan UNCAC; (2)
mempersiapkan permintaan agar terpidana dapat menjalani hukuman di negara diminta sesuai
Artikel 16 butir 12 UNTOC dan Artikel 44 butir 13 UNCAC; (3) meningkatkan frekuensi
diplomasi untuk mewujudkan perjanjian ektradisi bilateral.

The thesis focuses on the case of Hesham Al Warraq, a convict tried in an absentia trial of
corruption and money laundering. The study is limited to the analysis of the extradition
process and factors influencing such process in order to answer the problem stating that an
extradition process of a convicted of corruption and money laundering cases who is tried in
absentia trial is difficult to execute due to some factors, such as: the existing national
interests, the availability of extradition treaties, the absolute reasons and the facultative
rejection of extradition. The results of the research reveals that: first, it is almost never
successful to execute an extradition if the requesting country only relies on the Model Treaty
on Extradition as the customary law of international extradition due to the fact that the Model
Treaty on Extradition clearly states that an absentia trial is an absolutely reason to reject an
extradition request in addition to facultative stipulations on citizenship; second, it is
appropriate to employ the UN Resolution No. 55/25 dated November 15, 2000 on the United
Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) and the UN
Resolution No. 58/4 dated October 31, 2003 on the United Nations Convention against
Corruption (UNCAC) as the legal basis on the extradition because the two countries do not
have an extradition treaty yet; and third, the extradition process of Hesham Al Warraq as the
convict of corruption and money laundering case cannot easily be executed because of some
reasons as mention above. The author recommends (1) to execute an extradition that is
oriented on legal bases such UNTOC and UNCAC; (2) to prepare a request so that the
convict can serve his or her sentence in the requested country as stated in Article 16 Clause
12 of UNTOC and Article 44 Clause 13 of UNCAC; and (3) to improve diplomatic
relationships in order to realize a bilateral extradition treaty.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>