Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141964 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djoko Yuwono
"ABSTRAK
Dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Indonesia (KUHAP) dikenal lima alat bukti yang sah, yaitu 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. surat-surat 4. petunjuk 5. keterangan terdakwa. Kelima alat bukti tersebut memiliki nilai yang sama untuk mernberi keyakinan kepada hakim, namun masing-masing alat bukti menjalankan peran yang berbeda-beda sesuai dengan sifat dari alat bukti tersebut. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, ialah keterangan yang diberikan/disampaikan seseorang di sidang Pengadilan, yang sebenarnya patut untuk diragukan kebenarannya. Hal ini disebabkan karena sifat yang terdapat pada umumnya dalam diri seseorang yang tidak juga terlepas dari keterbatasan-keterbatasan. Dengan demikian persoalannya adalah bagaimana dari pada alat bukti keterangan saksi itu berperan dalam rangka pembuktian tindak pidana"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanto Agung Wibowo
"Peran pelaku kejahatan yang merupakan 'orang dalam' dianggap mempunyai potensi dalam membuka tabir kejahatan lebih signifikan. Terlebih lagi pada kejahatan yang melibatkan beberapa pelaku. Ia dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan. Agar 'orang dalam' ini mau bekerjasama dalam pengungkapan suatu perkara, para penuntut umum di berbagai negara menggunakan perangkat hukum yang ada di masing-masing negaranya itu.
Di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Italia dan Belanda, pelaku kejahatan yang merupakan 'orang dalam' yang mau bekerja sama dengan menjadi saksi terhadap pelaku kejahatan lainnya ini diberikan perhargaan atas peranannya tersebut. Dengan memberikan penghargaan merupakan cerminan perlindungan terhadap saksi. United Nations Convention Against Corruption, memberikan 2 macam bentuk perlindungan, yaitu pengurangan hukuman, dan kekebalan dari penuntutan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui konsep saksi mahkota di Indonesia dan perbandingannya dengan negara lain, mengetahui bagaimana saksi mahkota dalam praktik peradilan pidana di Indonesia dan mengetahui pengaturan mengenai saksi mahkota dalam hukum acara pidana di Indonesia yang akan datang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep saksi mahkota di Indonesia adalah saksi yang diambil dari tersangka atau terdakwa dalam kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dan kesaksian yang diberikannya dipandang sebagai alat bukti dan atas kesaksiannya itu dapat diberikan pengurangan hukuman. Sedangkan saksi mahkota yang ada di Amerika Serikat, Italia dan Belanda, yaitu pelaku kejahatan yang mau bekerja sama dengan penegak hukum dengan memberikan informasi dan/atau menjadi saksi terhadap pelaku kejahatan lainnya dan atas kerjasamanya itu dimungkinkan untuk diberikan kekebalan dari penuntutan. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah memasukkan ketentuan pemberian kekebalan dari penuntutan dan ketentuan perlindungan hukum lainnya kepada saksi mahkota yang telah turut serta berperan dalam upaya penanggulangan kejahatan.

A criminal's role who inner-cicle criminal is considered has a potency in revending crime more significant. More over in crime which involve a few doers. He can provide important evidence about who involved, what is role each does, how is crime is done, and where is another evidence can be found. In order that inner-cicle criminal wants to collaborate in revealing a case, prosecutor at various state utilize law's instrument which it's own in each state.
At amount state, such as United States, Italy and Dutch, a criminal that is innercicle criminal who want to cooperate as witness for other criminal can be gived reward for his role. With gives appreciation to constitute protection reflection to witness, United Nations Convention Against Corruption give 2 kind of protection which is mitigating punishment and immunity from prosecution.
The objective of this reseach to know crown witness concept at Indonesia and its compare with other state, know how crown witness in criminal justice praticaly at Indonesia. Method that is used in research is normatif's judicial formality.
Of research result can be know that crown witness concept at Indonesia is witness that takes from suspected or defendant in a crime was done by together and witness that be given viewed as evidence and witness up it that can give mitigating punishment. Meanwhile crown witness that is at United States of America, Italy and Dutch, which is criminal who wants to cooperate with law enforcement officer with give information or as witness to another criminal and up that its cooperation is enabled to be given immunity from prosecution. The draft of Criminal Code Procedure dan the draft of Witness Protection Law of 2006 revision have inserted immunity from prosecution rule and other witness protection rule that senteced crown witness who participate in effort tacling crime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28577
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Purwanto
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S22308
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Flora Dianti
"Penelitian dilakukan dalam rangka melakukan: l.identifikasi permasalahan hukum pembuktian dalam proses penyelesaian perkara pidana terkait dengan keterangan saksi anak sebagaimana rumusan peraturan perundangan-undangan, UU Nomor 8 Tahun 1981 serta Revisi UU Nomor 8 Tahun 1981; 2. Melakukan analisis atas permasalahan hukum pembuktian secara khusus yang ditemukan dalam praktik peradilan di Indonesia mengenai saksi anak; 3.Memberikan suatu pemikiran akademis dalam rangka revisi UU Nomor 8 Tahun 1981 demi tercapainya suatu pembaruan hukum pembuktian mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi anak dalam proses penyelesaian perkara pidana. Pasal 171 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)menyatakan anak di bawah 15 tahun tidak berkompeten menjadi saksi, sehingga saksi yang kurang umurnya dari 15 tahun tidak boleh memberi keterangan di bawah sumpah. Penjelasan Pasal 171 tersebut menyatakan saksi anak dapat dijadikan petunjuk. Adapun petunjuk yang dimaksud bukanlah alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud pasal 188, karena sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang sah yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2), yaitu alat bukti Keterangan Saksi; Surat; dan Keterangan Terdakwa. Keterangan saksi anak sendiri tidak dilakukan di bawah sumpah, sehingga saksi anak tidak dianggap sebagai alat bukti keterangan saksi. Secara maksimal keterangan anak hanya dapat menambah keyakinan hakim, jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lainnya. Di sisi lain, karakteristik tindak pidana yang menyangkut anak sendiri, sangat komplek. Salah satu permasalahan, pelaku pidana terhadap anak kebanyakan adalah orang dekat, atau bahkan keluarga atau lingkungan keluarga/ teman korban, sehingga tindak pidana terhadap anak jarang memiliki saksi lain yang berkompeten untuk memberikan keterangan yang dapat mendukung. Dengan kata lain tidak ada alat bukti saksi yang melihat, mengalami dan mendengar langsung peristiwa pidana, sehingga saksi yang paling berkompeten adalah anak itu sendiri. Akibatnya, putusan peradilan mengenai tindak pidana tersebut sangat bergantung pada kredibilitas dan kemampuan anak sebagai saksi utama untuk memberikan keterangan yang selengkap dan seakurat mungkin mengenai tindak pidana tersebut. Praktek pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan anak, memperlihatkan kenyataan adanya keadaan saksi anak yang kurang kompeten dan distabil, karena traumatis akan pemeriksaan yang penuh tekanan serta intimidatif, sehingga akhirnya mengakibatkan saksi anak mengundurkan diri ketika pemeriksaan sampai di tahap persidangan. Dari identifikasi di atas jelas bahwa perlu diciptakan suatu prosedur penanganan perkara yang memberikan perhatian yang lebih difokuskan pada perlindungan saksi korban terutama saksi anak, demi meningkatkan kompetensi serta kekuatan pembuktian saksi anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sri Rejeki
"ABSTRAK
Kedudukan Pelapor dan Saksi tindak pidana pencucian uang dalam sistem
peradilan pidana berpotensi mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang tidak
menginginkan kasusnya terbongkar sehingga mereka tidak berani
mengungkapkan kesaksiannya. Kebutuhan atas perlindungan terhadap Pelapor
dan Saksi suatu tindak pidana pada umumnya tidak terlepas dari pentingnya
peranan Pelapor dan Saksi dalam proses peradilan pidana. Khusus untuk
perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU, ketentuannya telah ada sejak
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan pertama kali tahun
2002, selanjutnya diubah pada tahun 2003 hingga pada tahun 2010 disahkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang menggantikan Undang-Undang yang lama.
Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi
kepustakaan yaitu meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturanperaturan
dan pedoman-pedoman, dan juga melakukan wawancara dengan
narasumber. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan : Apa yang
menjadi dasar pemikiran dari ketentuan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan
Saksi tindak pidana pencucian uang?, Bagaimana pelaksanaan ketentuan
pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU setelah keluarnya Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010? dan Kendala apa yang akan muncul dalam
pelaksanaannya?. Teknis pelaksanaan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan
Saksi TPPU mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2003 dan Peraturan Kapolri
Nomor 17 Tahun 2005 yang mengamanahkan pelaksanaan pemberian
perlindungan khusus bagi Pelapor dan Korban kepada Kepolisian RI. Pada tahun
2006 disahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban yang berlaku sebagai ketentuan payung dalam pemberian
perlindungan Pelapor, Saksi dan/atau Korban di tanah air. Undang-Undang
tersebut mengamanahkan pemberian perlindungan dilaksanakan oleh lembaga
khusus bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Undang-
Undang Perlindungan Saksi dan Korban ternyata memiliki berbagai kelemahan
yang sedikit banyak akan mempengaruhi implementasi dalam pemberian
perlindungan. Dalam pelaksanaan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi
TPPU, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi lain yang menjadi sub sistem
dalam Sistem Peradilan Pidana yakni, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu LPSK juga dapat bekerja sama dengan
PPATK yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang.

ABSTRACT
The position of Reporting Parties and Witnesses of money laundering in
the criminal justice system, potentially under threat from those who do not want
the case revealed that they did not dare reveal his testimony. The need for the
protection of Reporting Parties and Witnesses of a crime is generally not
independent of the importance of the role of Reporting Parties and Witnesses in
the criminal justice process. Especially for the protection of Reporting Parties
and Witnesses of money laundering, the terms have existed since the law of
money laundering was first enacted in 2002, further it was amended in the year
2003. In the year 2010, The Legislature enacted Law No. 8 of 2010 Concerning
Prevention and Eradication of Money Laundering legislation replacing the old
law. By using the research method of normative juridical in which one of them is
library study, which is analysing documents such as books, provisions, guidance,
and also interview with experts. This study is aimed at answering some research
questions : What was the rationale thought of granting protection for Reporting
Parties and Witnesses of money laundering?, How the implementation of the
provisions granting protection for Reporting Parties and Witnesses after
discharge anti money laundering law No. 8 years 2010? and what obstacles
would arise in its implementation?. Technical provisions for the implementation
of Reporting Parties and Witnesses Protection of Money Laundering refer to
Regulation number 57 in 2003 and Chief of Police rule Number 17 0f 2005 which
mandated the implementation of granting special protection to Reporting Parties
and Witnesses to The Indonesian Police. In the year 2006 came out Law No. 13 of
2006 on the protection of witnesses and victims, which acted as a main provision
to protection Reporting Parties, Witnesses and/or victims in Indonesia. The Law
mandated the responsibility for providing protection implemented by specialized
institutions called the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). The law of
protection of the witnesses and victims had a weaknesses that influenced the
implementation of granting protection. In the implementation of granting
protection for reporting parties and witnesses in Money laundering, LPSK could
cooperate with other institutions that included in sub system of criminal justice
system such as Police, Attorney, Court, and Prison. Besides, LPSK also could
cooperate with PPATK that has duty to prevent and eradicate of money
laundering.
"
2013
T32556
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Mafia peradilan merupakan cap buruk yang melekat pada budaya kerja aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, penasehat hukum , serta petugas permasyarakatan) yang mengesampingkan tata cara penegakan hukum secara benar serta melakukan perbuatan-perbuatan yang memperjualbelikan keadilan. Walaupun belum merupakan jaringan terorganisasi dan dan memiliki aturan-aturan yang mengikat pelaku mafia sebagai sebuah organisasi kejahatan telah nyata terlihat. Apabila tidak ditanggulangi secara serius, maka mafia peradilan akan menjadi organisasi kejahatan yang menguasai lembaga peradilan yang bertugas memerangi kejahatan."
JMHUMY 7:2 (2000)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>