Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 85516 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Maya Roshanti
"Dimulai dengan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, pokok permasalahan, tujuan penulisan, metoda penulisan, landasan teoritis, landasan konsepsianal, dan sistematika penulisan. Kemudian dijeslaskan mengenai pengertian-pengertian perkawinan menurut hukum Islam sampai dengan pengertian perkawinan di bawah tangan , perkawinan mana yang saja menurut agama Islam, dalam perkawinan yang Bagaimana yang sah menurut hukum peraturan negara atau peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya dijelaskan mengenai pengertian-pengertian hukum kewarisan Islam, sumber hukum kewarisan Islam, syarat-syarat kewarisan Islam, penghalang dalam kewrisan islam, dan penggolongan ahli waris dalam hukum kewarisan Islam sehingga dapat diketahui kedudukan janda dari berapa besar bagian warisannya dalam suatu perkawinan. Di jelaskan juga mengenai akibat-akibat hukum dari suatu perkawinan di bawah tangan terhadap istri, janda, anak, dan usaha-usaba yang dapat dilakukan agar anak, janda dari perkawinan di bawah tangan menjadi sah lalu dijelaskan lagi secara terperinci mengenai kedudukan janda itu sendiri menurut sistem kewarisan patrinial Syafi'i, sistem kewarisan bilateral Hazairin, serta menurut Kompilasi Hukum Islam. Pada akhir penulisan, bab ke-enam dirumuskan suatu kesimpulan yang ditarik dari uraian bab-bab terdahulu dan, di tutup dengan sedikit sumbangan pikiran berupa saran-saran yang mungkin berguna."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S20889
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjarifuddin Shaleh
"ABSTRAK
Negara kita adalah negara Kesatuan Republik Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perkawinan Nasional semenjak tahun 1974. Enam belas tahun berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 ini, sampai saat ini belum berlaku secara efektif. Hal ini terbukti masih adanya perkawinan yang dilakukan tidak mematuhi peraturan yang berlaku. Antara lain adalah perkawinan di bawah tangan, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia, memenuhi baik rukun
rukun maupun syarat-syarat perkawinan menurut Islam, tetapi tidak didaftarkan pada pegawai pencatat nikah. Perkawinan di bawah tangan ini walaupun telah memenuhi ketentuan yang diatur Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2). Bahwa penjelasan Undang-undang No.1 tahun 1974 mengatakan pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif belaka, maka ada pendapat bahwa perkawinan itu walaupun tidak dicatatkan adalah sah. Namun walaupun perkawinan di bawah tangan itu dianggap sah, tetapi karena para pihak yang terlibat dalam perkawinan itu tidak mempunyai petikan surat nikah, maka sukar membuktikan adanya pernikahan itu bagi generasi penerus atau untuk pihak ketiga. Karena
perkawinan di bawah tangan itu dianggap sah dengan sendirinya menimbulkan akibat hukum, baik terhadap isteri, anak anak maupun harta bersama. Tapi ada pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan itu tidak sah,
karena itu perlu adanya usaha-usaha agar setiap perkawinan itu selalu dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S20032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idris
"Hukum kewarisan Islam pada dasar nya berlaku secara universal terhadap seluruh umat Islam di mana saja di dunia ini. Sungguhpun demikian sistem kekeluargaan suatu negara atau daerah memberikan pengaruh terhadap hukum kewarisan di daerah tersebut. Pengaruh ini terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad ahli-ahli hukum Islam dalam memahami garis-garis pokok ketentuan kewarisan yang terdapat dalam alqur'an dan sunah Rasul. Hukum kewarisan Islam di Indonesia mengenal adanya sistem kewarisan patrilineal Syafi i (ahlussunah) dan sistem kewarisan bilateral Hazairin. Kedua sistem kewarisan itu pada prinsipnya sama, namun dalam beberapa hal keduanya berbeda satu sama lain. Salah satu perbedaan di antara keduanya ialah dalam memahami kedudukan cucu yang orang tuanya telah meninggal sebelum meninggalnya pewaris. Menurut kewarisan bilateral, cucu yang demikian akan mendapatkan bagian warisan sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup, karena cucu ini merupakan ahli waris pengganti (mawali) yang menggantikan kedudukan orangtuanya. Sedangkan menurut kewarisan patrilineal, kedudukan cucu tersebut dipisahkan antara cucu melalui anak perempuan dan cucu melalui anak laki-laki. Cucu melalui anak laki- laki memperoleh warisan apabila tidak ada anak laki-laki. Sedangkan cucu melalui anak perempuan baru bisa memperoleh warisan apabila sudah tidak ada lagi ahli waris yang lain. Kalangan ahlusunah telah lama menyadari bahwa ketentuan itu sangat janggal dan tidak adil, oleh karena itu mereka memberikan jalan keluarnya melalui wasiat wajibah untuk cucu yang besarnya sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup tetapi tidak boleh lebih dari sepertiga. Di antara kedua sistem kewarisan yang berbeda itu, Kompilasi Hukum Islam mengambil jalan tengah. Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam merumuskan (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173, (2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dalam hal yang menyangkut kedudukan cucu, pasal 185 ayat (1) mengakomodir atau menampung pendapat-pendapat baik dari konsep ahli waris pengganti menurut sistem kewarisan bilateral maupun pendapat-pendapat dari konsep wasiat wajibah menurut sistem kewarisan patrilineal. Karena kedua konsep tersebut pada prinsipnya sama-sama memberikan bagian dari harta warisan kepada cucu yang orangtuanya telah meninggal. Sedangkan mengenai besarnya bagian untuk cucu, dimana menurut konsep ahli waris pengganti (dalam hukum kewarisan bilateral) besarnya bagian cucu sama persis seperti bagian orangtuanya seandainya masih hidup dengan tidak ada pembatasan, dan menurut konsep wasiat wajibah (dalam hukum kewarisan patrilineal) besarnya bagian cucu sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup dengan pembatasan tidak lebih dari sepertiga, pasal 185 ayat (2) memberikan ketentuan sendiri yaitu besarnya bagian cucu tidak boleh lebih besar daripada bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Ketentuan ayat (2) ini sangat adil, karena tidak logis apabila bagian untuk cucu yang menggantikan kedudukan orangtuanya (anak dari pewaris) lebih besar dari pada bagian untuk anak pewaris yang lain (paman atau bibi dari si cucu) yang merupakan ahli waris langsung. Sehingga ketentuan ini dapat diterima baik oleh sistem kewarisan bilateral maupun oleh sistem kewarisan patrilineal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S20646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Zushaniaty I
"Hukum Kewarisan merupakan himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak inewarisi harta peninggalan seorang yang telah meninggal dunia meninggalkan harta peninggalannya. Wasiat merupakan bagian dari hukum kewarisan, dimana wasiat itu adalah suatu pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah ia meninggal kelak.
Menurut KUHPerdata terdapat 2 cara untuk mendapatkan warisan yaitu dengan ketentuan Undang-Undang atau ab in testate, dan karena ditunjuk dalam surat wasiat atau testamentair, Dalam KUHPerdata, wasiat tidak boleh melebihi bagian mutlak (Legitime Portie), sedangkan dalam hukum kewarisan Islam wasiat tidak boleh melebihi 1/3 dari har ta peninggalan.
Wujud harta warisan dimana termasuk didalamnya hutang simati, menurut hukum Islam penyesuaiannya adalah didahulukan pelaksanaannya sebelum warisan dibagikan. Sedangkan menurut KUHPerdata, apa yang diterima oleh ahli waris itu adalah harta peninggalan dalam keadaan bersih, berarti setelah dikurangi dengan hutang-hutang sipewaris."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Sismarwoto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Purwantini
"Penggugat dan Turut Tergugat adalah anak sah dari perkawinan Tn. Suchrisna Chandra dan Ny. Nelly yang sudah dicatatkan, kemudian Tergugat adalah anak sah yang lahir sebelum perkawinan antara Tn. Suchrisna Chandra dan Ny. Nelly dicatatkan, namun setelah para Tergugat lahir, Tn. Suchrisna Chandra dan Ny. Nelly sudah mencatatkan kelahiran para Tergugat di Catatan Sipil karena mereka sudah menikah sesuai dengan hukum adat Tionghoa. Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat ingin mendapatkan hak waris mereka, karena mereka semua adalah anak sah dari Tn. Suchrisna Chandra dan Ny. Nelly. Penggugat menggugat para Tergugat karena telah membuat Akta Keterangan Hak Mewaris tanpa sepengetahuan Penggugat, namun Tergugat membuat akta tersebut untuk kepentingan anak-anak yang menjadi ahli waris dari Tn. Suchrisna Chandra dan Ny. Nelly. Maka, pada penelitian ini ingin mengetahui apakah para tergugat adalah anak sah dan kedudukan hak waris mereka. Penelitian ini berdasarkan dari peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu KUHPerdata dan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.

Plaintiffs and Co-defendant is a legitimate child of the marriage Tn. Suchrisna Chandra and Ny. Nelly has been recorded, then the Defendant is a legitimate child born before the marriage of Mr.. Suchrisna Chandra and Ny. Nelly listed, but after the Defendants birth, Tn. Suchrisna Chandra and Ny. Nelly has recorded births in the Civil Defendants because they were married according to Chinese customary law. Plaintiff, Defendant and Co-defendant wants to get their inheritance, because they are all legitimate son of Mr. Suchrisna Chandra and Ny. Nelly. Plaintiff sued the Defendants for having made ​​the right heir Information Act unbeknownst to Plaintiff, but Defendant makes the act for the benefit of children who become heirs of Tn. Suchrisna Chandra and Ny. Nelly. Thus, in this study wanted to determine whether the defendant is a legitimate child and seat of their inheritance. The research was based on the laws and regulations in Indonesia, the Civil Code and the Law. 1/1974 on Marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45398
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhir Tashin Baaj
"Dengan semakin majunya perkembangan jaman, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan dampak kepada pola pemikiran masyarakat terhadap institusi perkawinan salah satunya perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda adalah perkawinan yang terjadi di antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masingmasing berbeda agama, khususnya laki-laki muslim atau perempuan muslimah yang menikah dengan laki-laki atau perempuan non-Islam. Bukan hanya terkait keabsahannya, namun status hak-hak anak hasil perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda seperti hak nasab, hak hadlonah, hak walayah serta hak waris harus diperhatikan juga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridisnormatif dengan pendekatan konsep serta jenis data adalah data primer melalui wawancara dan data sekunder dengan studi pustaka. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa keabsahan suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan hukum negara. Tidak sahnya perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda menjadikan anak hasil perkawinan tersebut tidak sah karena perkawinan orang tuanya tidak sah. Perlindungan terhadap hak anak luar nikah diberikan sesuai kedudukannya secara proposional berdasarkan status keabsahannya.

As the rapid advancement of changing times both directly and indirectly, it can give impact to the mindset of society against the institution of marriage, as example is an interreligions marriage. Marriage between different religions is a marriage between a man and a woman with different religions between each other, especially muslim or muslimah who married to non-Islamic male or female. Not only related of its legitimate , but the status and the rights of children as the results of interreligions marriage, like, the nasab right, the hadlonah right, the walayah right and legacy rights must be considered also. The methods used in this research is juridical-normative with the conceptual approach, and the type of data such primary data is by interviews and secondary data by literature study .The conclusion of research shows that the validity of a marriage should be based on religious law and state law. Illegitimate of interreligions marriage makes their child of its marriage is also illegitimate. Protection against the rights of the illegitimate child given in accordance benefice in proportional based on its legitate status."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62306
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Santri Panca Nurul Alami
"Dalam hukum waris Islam terdapat penghalang mewaris yaitu tidak saling mewaris antara orang muslim dengan orang non muslim Anak pada dasarnya adalah ahli waris karena hubungan darah dengan orang tuanya Namun apabila seorang anak berbeda agama dengan orang tuanya pewaris maka terhalang baginya untuk dapat mewaris Sehingga ia tidak berhak atas harta waris Namun kemudian sehubungan dengan hal tersebut Mahkamah Agung dan MUI memberikan peluang bagi non muslim untuk mendapat wasiat wajibah Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang membahas kedudukan anak non muslim terhadap harta peninggalan orang tua muslim ditinjau dari hukum kewarisan islam dengan perolehan data melalui pengumpulan data sekunder berupa penelitian kepustakaan Dalam tahap pengolahan data metode yang digunakan adalah deskriptif analitis Dalam hukum waris Islam terdapat penghalang mewaris yaitu tidak saling mewaris antara orang muslim dengan orang non muslim Anak pada dasarnya adalah ahli waris karena hubungan darah dengan orang tuanya Namun apabila seorang anak berbeda agama dengan orang tuanya pewaris maka terhalang baginya untuk dapat mewaris Sehingga ia tidak berhak atas harta waris Namun kemudian sehubungan dengan hal tersebut Mahkamah Agung dan MUI memberikan peluang bagi non muslim untuk mendapat wasiat wajibah Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang membahas kedudukan anak non muslim terhadap harta peninggalan orang tua muslim ditinjau dari hukum kewarisan islam dengan perolehan data melalui pengumpulan data sekunder berupa penelitian kepustakaan Dalam tahap pengolahan data metode yang digunakan adalah deskriptif analitis

In the Islamic inheritance law mewaris barrier which is not mutually mewaris between Muslims and non Muslim people Son is essentially heirs because blood relationship with his parents But when a child with his parents different religion heir then blocked for him to be able to mewaris Until it is not entitled to the estate beneficiaries But then in connection with the case of the Supreme Court and the MUI provides the opportunity for non Muslims to get obligatory will This research discusses the legal position of non Muslim children to inheritance parents Muslims in terms of Islamic inheritance law This research uses secondary data from the research literature In the data processing the method used is descriptive analytical "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44969
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>