Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49716 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endah Hartati
"Jaminan merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam setiap pemberian kredit sebagai upaya meminimalisasi resiko yang akan terjadi apabila debitur wanprestasi atau cidera janji. Jaminan dapat berupa jaminan kebendaan dan perorangan. Saham suatu perusahaan termasu kedalam jaminan kebendaan yang dapat di jadikan jaminan kredit dengan cara di gadaikan berdasarkan pasal 53 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Saham merupakan bukti penyertaan/partisipasi dalam modal perusahaan. Dalam praktek dewasa ini, saham yang digadaikan dapat berasal dari PT yang bersifat tertutup maupun PT yang bersifat terbuka (go public), yang memiliki aturan -aturan tersendiri. Untuk menggadaikan saham suatu perusahaan, mula-mula dilakukan perjanjian gadai dan diikuti dengan penyerahan barang yang dig daikan. Mengacu pada pasal 1155 KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, khusus untuk gadai saham perusahaan go pubic segala transaksi harus melalui Bursa Efek, yaitu gadai saham tersebut harus di laporkan kepada Bapepam dan Bursa Efek dimana saham tercatat, serta harus dicatat dalam daftar pemegang saham yang ada di Biro Administrasi Efek. Apabila debitur cidera janji, kreditur dapat mcngeksekusi gadai saham dengan menjual saham itu di Bursa Efek dengan perantaraan dua orang broker. Pasal 53 Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak secara rinci mengatur tentang gadai saham, sehingga sampai sekarang belum ada ketentuan khusus yang mengatur pelaksanaan gadai saham perusahaan go pubic. Demi adanya kepastian hukum, maka diperlukan adanya ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai gadai saham go public."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S21052
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurul Qomariah
"Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan gambaran secara lengkap dan menyeluruh tentang penggadaian saham sebagai jaminan kredit di PT Bank BNI Persero. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dan metode penelitian empiris, dengan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilaksanakan di Perpustakaan Fakultas. Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Bank BNI dan Ruang Arsip Bagian Hukum Bank BNI. Sedangkan wawancara dilaksanakan dengan pihak Bank BNI di Kantor Pusat Bank BNI di jalan Jenderal Sudirman. Di dalam praktek perbankan di Indonesia dewasa ini, bentuk-bentuk benda yang dapat dijadikan jaminan kredit terus berkembang. Saham, baik saham atas nama (op naam), saham atas unjuk/blangko (aan toonder) maupun saham sebagai efek (saham dari Perseroan Terbatas yang sudah 'go publik', dan diperjualbelikan di Bursa Efek), adalah salah satu benda yang dapat dijadikan jaminan kredit di bank. Berdasarkan pasal 511 KUH Perdata, saham dari suatu Perseroan Terbatas adalah termasuk ke dalam golongan banda bergerak yang tidak berwujud, dan karenanya saham dapat dijadikan jaminan kredit. Di dalam memberikan fasilitas kredit kepada nasabah-nasabahnya, Bank BNI akan meminta jaminan kredit pada nasabah tersebut. Hal ini untuk menjamin kedudukan Bank BNI sebagai kreditur agar terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan akibat debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Jaminan kredit itu dapat berupa jaminan pokok dan jaminan tambahan. Dalam prakteknya di Bank BNI saham hanya dapat dijadikan sebagai jaminan tambahan. Subyek yang dapat menerima fasilitas kredit Bank BNI dengan saham sebagai jaminan tambahan adalah terbatas pada Perseroan Terbatas yang membtuhkan kredit modal kerja, dalam rangka ekspansi dan akuisisi. Bagi Perseroan Terbatas yang tertutup, saham yang dijadikan jaminan kredit haruslah saham yang diterbitkan oleh Perseroan Terbatas (debitur) itu sendiri. Bagi Perseroan Terbatas yang telah 'go public' saham yang dijadikan jaminan tidak harus dari saham yang diterbitkan oleh Perseroan tersebut. Pengaturan mengenai hal ini terdapat di dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/68/KEP/DIR tanggal 7 September 1993 Tentang saham sebagai agunan tambahan kredit. Karena saham adalah tergolong ke dalam benda bergerak yang tidak berwujud, maka pengikatan saham sebagai jaminan kredit adalah dengan gadai. Gadai adalah lembaga jaminan kebendaan untuk benda bergerak. Dalam prakteknya di Bank BNI terdapat perbedaan tata cara penggadaian, waktu lahirnya hak gadai dan tata cara eksekusi (apabila debitur wanprestasi) dalam hal penggadaian saham atas nama, saham atas unjuk/blangko dan saham sebagai efek, sebagai jaminan kredit di Bank BNI. Perbedaan ini timbul karena adanya karakter yang khas dari masing-masing jenis saham. Bank BNI memiliki kebijaksanaan kredit (credit policy) yang konservatif dan ideal dalam menerima dan menentukan nilai saham yang dijadikan jaminan kredit Apabila dengan adanya fluktuasi harga saham akhir akhir ini, tentu penilaian atas saham yang dijadikan jaminan kredit akan seteliti mungkin, sehingga Bank BNI dapat terhindar dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan di kemudian hari."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S20774
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ati Nurbaiti
"Gadai Surat Sanggup sebagai jaminan kredit pada Bank BNI, Skripsi, 1991. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai eksistensi jaminan praktek perbankan fasilitas kredit kredit yang berupa dewasa ini. Bank surat sanggup dalam di dalam memberikan kepada nasabahnya mensyaratkan adanya barang jaminan pasal 24 (1) UU Pokok Perbankan No 14/1967. Berdasarkan perkembangan akhir-akhir ini, bentuk-bentuk banda yang dijaminkan kepada bank mengalami perkembangan pula. Salah satu perkembangan tersebut adalah dengan dijadikannya surat sanggup sebagai salah satu jaminan bagi pelunasan kredit yang diber ikan. Dilihat dari bentuknya surat sanggup merupakan suatu piutang yang dapat dimasukkan kedalam kelompok surat berharga. Bila dihubungkan dengan bentuk kebendaan, surat sanggup termasuk kedalam bentuk benda bergerak. Maka surat sanggup dapat dialihkan kepada pihak lain sehingga apabila dijadikan jaminan untuk pemberian kredit dengan cara menggadaikan. surat sanggup tersebut. Obyek gadai adalah benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tak berwujud. Dewasa ini dalam praktek perbankan surat sanggup semakin banyak dijadikan sebagai jaminan untuk pemberian kredit. Surat sanggup yang dijadikan jaminan untuk pemberian kredit umumnya dapat dijadikan jaminan pokok ataupun jaminan tambahan dalam hal pemberian kredit yang bernilai cukup besar. Sebagai jaminan pokok maka nilai nominal surat sanggup harus sebesar 100% dari limit kredit yang diberikan oleh bank. Dan juga faktor bonafiditas dari debitur akan mempengaruhi besarnya kredit yang diberikan oleh bank. Mengenai tata cara penggadaian surat sanggup tersebut adalah tahap pertama mengadakan perpanjangan kredit, kemudian tahap kedua berulah mengadakan perpanjangan gadai yang mana di ikatkan dengan endossemen serta pengesahan surat sanggup dari debitur kepada bank."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20704
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Devita Purnamasari
"Konsep Build Operate and Transfer (BOT) merupakan suatu konsep yang lahir karena adanya asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Buku III KUHPerdata. Konsep BOT ini merupakan suatu pola kerjasama antara pemilik tanah dengan developer dimana pemilik tanah menyerahkan tanah miliknya kepada pihak developer untuk dibangun berbagai sarana baik yang bersifat infrastruktur dan menyangkut hajat hidup orang banyak maupun yang bersifat komersial. Sebagai imbalan dalam melaksanakan pembangunan tersebut, pihak developer menerima hak istimewa untuk mengelola bangunan tersebut, termasuk memperoleh hak-hak yang timbul dari hak pengelolaan tersebut dengan jangka waktu antara 20 sampai 25 tahun. Setelah jangka waktunya berakhir, hak pengelolaan tersebut dikembalikan kepada pemilik tanah. Untuk menambah modal yang ada, developer mengalami kesulitan dalam masalah jaminan yang disyaratkan karena developer bukan merupakan pemilik dari tanah dan bangunan tersebut. Dengan demikian maka developer hanya dapat membebani tanah dan bangunan tersebut dengan ijin dari pemilik tanah. Cara lain yang dapat ditempuh oleh developer dalam menjaminkan obyek BOT tersebut adalah dengan menggunakan cessie sebagai jaminan (zekerheidscessie) atas hak-hak tagihan yang dimilikinya, seperti hak untuk menerima uang sewa, dan hak atas keuntungan yang diharapkan. Disamping itu, developer juga dapat mengalihkan hak untuk mengelola obyek BOT tersebut kepada bank atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh bank, dengan menggunakan "Perjanjian Pengalihan Hak Alas Pengelolaan ", yang dapat ditunjang dengan adanya "Akta Pernyataan". (IDP)"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S20732
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmala Susanti
Depok: Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S. Henriana Wijarto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Muljadi
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007
332.7 KAR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Eric O.L.
"Dalam suatu perjanjian pemberian kredit dibutuhkan adanya suatu jaminan, dimana jaminan ini berfungsi untuk memperkuat kedudukan Bank selaku pemberi kredit agar piutangnya dilunasi oleh pihak debitur yang meminjam uang dari pihak kreditur atau bank selaku pemberi kredit. Kredit KPR yang diberikan oleh pihak PT. BANK BNI (PERSERO) tbk mensyaratkan adanya suatu jaminan yang berupa Hipotek, Tetapi sekarang sejak berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan no 4 tahun 1996 pihak PT. Bank BNI (Persero) tbk di dalam melakukan pemberian kredit KPR kepada para debiturnya tidak lagi mempergunakan Hipotek lagi melainkan mempergunakan Hak Tanggungan sebagai jaminannya dengan tanah dan rumah dari debitur sebagai agunannya. Pihak PT. BANK BNI (PERSERO) tbk dalam hal ini telah melaksanakan pengikatan jaminan berupa Hak Tanggungan sesuai dengan apa yang telah diatur di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, meskipun dalam prakteknya Undang-Undang Hak Tanggungan ini belum dapat di1aksanakan secara penuh dan konsekwen dikarenakan masih adanya pengecualian-pengecualian tertentu terhadap pasal-pasal dari Undang-Undang Hak Tanggungan ini, dimana contohnya adalah di dalam pemberian kredit KPR ini dimana di dalam pengikatan jaminannya hanya mempergunakan Surat Kuasa Memberikan Hak Tanggungan tanpa diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20725
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia,
S20759
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Harriet Rientuani
"Dalam usaha pembangunan di sektor ekonomi, pemenuhan akan modal merupakan salah satu faktor penting yang tidak dapat dihindari. Di satu pihak terdesak oleh kebutuhan akan modal untuk menjalankan usahanya, dilain pihak lembaga perbankan berusaha untuk mengembangkan dan memperoleh keuntungan melaiui kegiatan kredit perbankannya. Pihak bank akan memberikan pinjaman kredit yang harus disertai dengan pemberian barang jaminan oleh debitor. Permasalahan timbul, ketika pihak peminjam modal atau debitor tidak dapat melunasi pinjaman kreditnya. Ketika bank akan menyita barang jaminan tersebut melalui Badan Urusan Penyelesaian Piutang Negara, hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena barang jaminan tersebut merupakan obyek sengketa. Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan studi kasus di sebuah bank pemerintah di Jakarta. Kasus yang penulis analisa adalah mengenai permasalahan yang timbul terhadap barang jaminan yang dibebani hak tanggungan, dimana barang jaminan tersebut merupakan harta bersama perkawinan. Inti dari permasalahan tersebut adalah seorang suami yang menjual harta bersamanya kepada pembeli, tanpa adanya persetujuan dari istri si penjual. Kemudian pembeli beserta istrinya melakukan perjanjian kredit dengan sebuah bank pemerintah di Jakarta, dengan obyek harta bersama tersebut sebagai jaminan kredit. Ketika terjadi kredit macet dan pihak bank akan menyita barang jaminan tersebut, ternyata istri si penjual tersebut merasa keberatan karena jual-beli yang telah dilakukan sebelumnya dilaksanakan tanpa sepengetahuan dan persetujuan darinya. Kemudian karena jalan damai tidak dapat ditempuh, istri si penjual tersebut menggugat perkara ini ke Pengadilan. Dari pembahasan studi kasus tersebut, penulis dapat menarik kesimpulan mengenai permasalahan apa saja yang menjadi latar belakang timbulnya sengketa terhadap jaminan kredit yang merupakan harta bersama perkawinan, upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh bank pemerintah tersebut, guna melancarkan kegiatan kredit perbankannya, dan upaya apa yang seharusnya dilakukan oleh bank yang bersangkutan untuk mencegah timbulnya sengketa yang serupa, serta bagaimana bentuk surat persetujuan suami atau istri, dan apa konsekuensi yang ditimbulkannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20757
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>