Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123928 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Paulus W. Mardianto
"Perkawinan adalah suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang sangat mempengaruhi status hukum orang tersebut. Lembaga Perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (B.W) dan Undang Undang Nomor 1/1974. Dalam Pasal undang Undang Nomor 1/1974 disebutkan bahwa yang di maksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan perkawinan antara suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban antara mereka berdua, baik dalam hubungan antara mereka satu sama lain maupun antara mereka dengan masyarakat luas, juga dengan anak-anak yang akan dilahirkan dalam perkawinan itu menyangkut pula hubungan mereka dengan harta benda perkawinan. Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa sejak mulai perkawinan dilangsungkan sudah terjadi percampuran antara kekayaan suami dengan kekayaan isteri jika tidak diadakan perjanjian perkawinan yang mengatur masalah harta kekayaan mereka. Di dalam BW, ada beberapa macam perjanjian perkawinan, yaitu perjanjian perkawinan tentang hak beheer, perjanjian persatuan harta yang terbatas dan perjanjian pisah harta sama sekali. Perjanjian Perkawinan menurut BW dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan tidak bisa dirubah setelah perkawinan berlangsung . Di dalam Undang Undang Perkawinan No. 1/1974 juga diatur tentang perjanjian perkawinan, tetapi pasal mengenai perjanjian perkawinan menurut UU No.1/1974 ini tidak membatasi pada masalah harta perkawinan saja dan bisa dirubah setelah perkawinan berlangsung dengan persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Pada prakteknya, perjanjian perkawinan di Indonesia tidak terlalu di kenal di dalam masyarakat, dan kalaupun ada masih menggunakan ketentuan yang ada dalam BW, sedangkan ketentuan yang ada dalam UU No. 1/1974 masih diragukan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Tujuan dibuatnya tulisan ini adalah untuk lebih memperkenalkan apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan sesungguhnya dan apa manfaatnya bagi kehidupan rumah tangga."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20738
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tambunan, Maria Wendalina Hasudungan
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrian Bondjol
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebahagiaan yang ingin dicapai oleh mereka yang melangsungkan perkawinan tidak hanya dalam bentuk terpenuhinya kebutuhan akan hal-hal yang bersifat kebendaan. Dalam mengarungi mahligai rumah tangga, terpenuhinya kebutuhan batiniah seringkali lebih membahagiakan daripada terpenuhinya hal-hal yang bersifat kebendaan. Salah satu hal yang dapat memenuhi kebutuhan batiniah pasangan suami istri ialah lahirnya anak dalam perkawinan sebagai penerus mereka. Kelahiran anak dalam suatu perkawinan menimbulkan tanggung jawab bersama terhadap anak baik yang bersifat imateril maupun materil yang harus dipikul oleh suami istri. Dengan di kenalnya lembaga perjanjian perkawinan, tanggung jawab bersama diantara suami istri, terutama dalam hal pembiayaan untuk pemeliharaaan dan pendidikan anak diperjanjikan hanya dipikul oleh pihak suami. Hal ini merupakan suatu penyimpangan dari prinsip-prinsip hukum dalam kaitannya dengan masalah pemeliharaan dan pendidikan anak. Selain daripada itu peletakkan tanggung jawab yang hanya dipikul oleh pihak suami dapat megganggu terjaminnya hak-hak anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S20971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adillah Yuswanti
"Perkawinan yang dilangsungkan sesuai dengan syarat-syarat perkawinan adalah sah. Di dalam Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP) dimana perjanjian perkawinan diatur tidak begitu jelas menyebutkan masa berlakunya terhadap pihak ketiga. Oleh karena ada kalanya isi perjanjian tersebut; tidak menyangkut pihak ketiga. Apabila dalam perjanjian perkawinan itu isinya menyangkut pihak ketiga, maka mulai berlakunya sejak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Di dalam UUP, perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 29. Untuk menyelesaikan kasus-kasus mengenai hutang yang dibuat dalam perkawinan, maka perlu melakukan penafsiran secara analogis dari pasal yang ada, yaitu pasal 36 UUP. Pasal 36 mengatakan bahwa harta bersama dan harta bawaannya dapat digunakan atau dipakai oleh suami atau istri atas persetujuan kedua belah pihak. Masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Perjanjian pranikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing,suami ataupun istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah. Asalkan isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, seperti sudah disebutkan diatas. Karena itu pemikiran panjang mengenai perjanjian pra nikah akhirnya dilaksanakan dengan tujuan tetap memiliki hak-hak atas aset-aset maupun harta yang dibawa sebelum, selama dan setelah putusnya pernikahan, tanpa harus melalui proses yang berbelit-belit. Selain itu mengurangi penderitaan, emosi dan rasa tertekan semua pihak akibat putusnya pernikahan bagi ke dua belah pihak terutama penderitaan anak-anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21219
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asni Rizki Agus
"Perkawinan merupakan dambaan setiap manusia untuk membentuk sebuah keluarga. Selain untuk memenuhi kebutuhan biologis, dan untuk memperoleh keturunan. Seiring dengan berkembang nya zaman terkadang dapat terjadi cinta mengalahkan hukum agama sehingga perkawinan antar agama banyak terjadi didalam kehidupan masyarakat. Dalam Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, masalah perkawinan campuran diatur dalam pasa1 57 UUP. Dalam pasal tersebut perkawinan campuran yang dimaksud adalah perkawinan beda kewarganegaraan sedangkan beda agama tidak termasuk didalamnya. Timbul pertanyaan tentang bagaimanakah pengaturan perkawinan antar agama dalam ketentuan yang berlaku di Indonesia, yang berpedoman pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 , apakah perkawinan antar agama menurut Statblaad 1898 No. 158 masih berlaku, dengan melihat ketentuan pasal 66 UU No. tahun 1974? serta apakah perkawinan tersebut dapat dicatat? dan bagaimana akibat hukumnya apabila perkawinan antar agama tersebut tidak dicatat. Di dalam penulisan ini metode/pendekatan yang dipakai adalah metode kepustakaan dan metode lapangan. Perkawinan antar agama tidak diatur dalam UUP No. 1 tahun 1974 yang diatur hanyalah beda kewarganegaraan seperti dalam pasal 57 UUP. Berdasarkan pasal 2 (2) UUP, bahwa perkawinan hanya sah apabila sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing, dengan demikian maka peraturan yang mengatur tentang perkawinan campuran dianggap tidak berlaku lagi dengan merujuk ada pasal (2) jo pasal 8 huruf f UUP jo PP No. 9 tahun 1975. Perkawinan antar agama tidak dapat dicatat oleh pegawai pencatat nikah karena pada umumnya pegawai tersebut menolak untuk mencatatnya dengan berpedoman pada UUP dan PP No. 9 tahun 1975 maupun peraturan-peraturan lain. Apabila perkawinan tersebut tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah maka akibatnya peristiwa perkawinan itu tidak menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain karena tidak adanya surat resmi yang dijadikan sebagai bukti autentik yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk mencegah perbuatan yang tidak di inginkan. Selain itu akan mengakibatkan kesulitan dalam perolehan akta kelahiran anak, penggantian nama, maupun pewarisan."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2005
S21125
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Gracia H.
"Perkawinan merupakan salah satu tonggak kehidupan dari manusia, selain tonggak kelahiran dan kematian. Karena menjadi tonggak kehidupan manusia, perkawinan menjadi penting peranannya dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, tidak mengherankan perkrawinan dijadikan suatu lembaga yang memuat berbagai nilai di dalamnya. Nilai kebahagiaan bersama yang kekal dan abadi di bawah kedamaian dan ketentraman, menjadi tujuan perkawinan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu aturan yang memberikan kepastian. Dengan kata lain, diperlukan adanya ke pastian hukum. Di negara Indonesia, perkawinan dilembagakan dalam suatu aturan hukum , yaitu dalam UU No.1 Tahun 1974 dan juga di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalam perkawinan, dikenal apa yang disebut sebagai perjanjian perkawinan. Perjanjian ini dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, dan akan disahkan di saat akad nikah dilangsungkan. Setelah acara pernikahan dilangsungkan, perjanjian perkiwinan akan mengikat kedua belah pihak dan pihak ketiga. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya memungkinkan diadakannya perjanjian perkawinan mengena harta kekayaan, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengaturnya. Karena itu, timbul permasalahan apakah dimungkinkan adanya perjanjian perkawinan yang mengatur hal-hal diluar harta kekayaan. Dapat jadi, perjanjian perkawinan mengatur hal-hal diluar harta kekayaan, tetapi dapat jadi perjanjian perkawinan tidak boleh mengatur hal-hal di luar harta kekayaan. Hal itu sangat bergantung pada sudut pandang yuridis yang dipakai, karena ada dua aturan hukum yang pengaturannya berbeda terhadap masalah ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S21183
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A Yuliadewi Wijayanti
"Dewasa ini, di Negara kita (Indonesia) pihak-pihak yang melangsugkan perkawinan khususnya yang disertai dengan perjanjian perkawinan masih sedikit. Dari yang sedikit menggunakan perjanjian perkawinan tersebut adalah mereka yang sebagian besar warganegara keturunan asing, namun adapula sebagian kecil warganegara non keturunan. Hal itu disebabkan bagi warganegara non keturunan (Indonesia) mengangqap adanya masalah tabu yang di anutnya yaitu tabu membicarakan perceraian pada waktu hendak melangsungkan pernikahan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 membuka kesempatan kepada pihak-pihak yang hendak melangsungkan perkawinan untuk disertai dengan perjanjian perkawinan perjanjian perkawinan mengandung kesepakatan adanya percampuran harta Kekayaan menjadi harta bersama atau tidak ada percampuran harta kekayaan menjadi harta bersama serta pengurusannya. Bagi pasangann calon suami isteri yang hendak melangsungkan perkawinan disertai perjanjian perkawinan mempuyai benda - benda berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan misal, warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan (Huwelijkesvoorwaarden) . Akibat perkawinan yang disertai dengan perjanjian perkawinan selama menjalankan rumah tangga namun salah satu pihak mengingkari isi perjanjian yang telah disepakati sehingga terjadi perceraian. Bentuk Perjanjian perkawinan tidak mutlak dituangkan dalam akta otentik yang disahkan Notaris, akan tetapi dapat berbentuk perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pejabat Pencatatan Perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyiayu Kurnia Afrianti
"Aktivitas perdagangan dari masa ke masa mengalami pergerakan yang sangat cepat. Perdagangan tidak hanya dilakukan oleh para pelaku dagang yang berada pada satu negara, melainkan juga melibatkan pelaku dagang dari negara lain. Seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan antar negara atau perdagangan intemasional ini semakin kompleks. Oleh karenanya dibutuhkan suatu instrumen hukum guna memperlancar arus perdagangan dari satu negara ke negara lain dan menghilangkan segala yang dapat menghambat akses masuk ke pasar negara lain. Hal inilah yang mendorong suatu negara untuk membuat perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Petjanjian perdagangan bebas dapat dibuat oleh dua negara (bilateral) maupun oleh beberapa negara (multilateral). Baik bilateral maupun multilateral, tujuan peijanjian perdagangan bebas adalan sama, yaitu mengurangi atau menghapuskan harnbatanĀ­ hambatan dalam perdagangan yang dilakukan oleh warga negara yang satu dengan warga negara lainnya. Namun demikian terdapat perbedaan diantara keduanya. Dari segi tujuan dan Jatar belakang, pada perjanjian perdagangan bebas multilateral khususnya yang bersi fat regional memiliki tujuan untuk memperkuat kekompakan dan sating memaksimalkan potensi ekonomi dari masing-masing negara. Sedangkan perjanjian perdagangan bebas bilateral dirnaksudkan untu k mengintensifkan atau mempercepat proses liberalisasi perdagangan d iantara ked ua negara. Dari segi substansi, perjanjian perdagangan bebas bilateral lebih spesiflk dari substansi perjanjian perdagangan bebas multilateraL Hal pokok apa saja yang tercantum dalam perjanjian perdagangan bebas pada umumnya dan bagaimana perbedaan substansi antara perjanjian perdagangan bebas multilateral dengan peijanjian perdagangan bebas bilateral, merupakan beberapa pokok pennasalahan pada penulisan ini.

From time to time, trading activities has rapidly developed. Trading not only executed by traders in one country, but also involves traders from another country. The international trading has become more and more complex. Therefore, legal instrument to enhance trading movement and to overcome any trade barriers in order to expand market access to another country, is needed. This issue has urged a country to make a free trade agreement to another country. Free trade agreement can be arrange either by two countries (bilateral) or more than two countries (multilateral). Both arrangements have the same purpose, is to reduce or eliminate barriers in lrade. Nevertheless, there are differences in both arrangements. From the perspective of purpose and background, multilateral free trade agreement, especially regional, aimed to strengthen their economic ties and to enhahce economic opportunities from each country. In the other hand, bilateral free trade agreement aimed to accelerate the process of liberalization in trade between both countries. From the perspective of substance, bilateral free trade agreement has more specific detail rather than the multilateral free trade agreement. What are the major aspects concluded in "a free trade agreement in general and what are the differences between bilateral free trade agreement and multilateral free trade agreement, are the subjects of this academic writing."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T28505
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Lisdiyanti Devi
"Risa Lisdiyanti Devi, 058900192.2, Tinjauan Yuridis Pengaturan dan Pelaksanaan Perjanjian Charter Pesawat, Skripsi.
Bersamaan dengan dimulainya Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) II dan memasuki era globalisasi dan komunikasi, maka pembangunan nasional sedang giat-giatnya dilaksanakan di Indonesia. Salah satu sarana yang memiliki posisi penting dan strategis dalam memperlancar roda pembangunan yang sedang dilaksanakan adalah sarana transportasi udara. Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi serta dengan meningkatnya permintaan a kan j asa angkutan udara maka bidang angkutan udara juga mengalami perkembangan yang pesat. Namun perkembangan angkutan udara yang pesat tersebut juga menimbulkan beberapa masalah hukum baru yang berkaitan
dengan penyelenggaraan angkutan melalui udara. Salah satu bidang yang perlu mendapatkan perhatian dalam Hukum Angkutan Udara adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan charter pesawat, karena dewasa ini banyak perusahaan angkutan udara yang menye lenggar akan angkutan udara dengan charter. Namun dalam praktek perundang-undangan yang berlaku sekarang belum banyak yang mengatur secara tegas mengenai aspek hukum dari charter pesawat ini. Walaupun angkutan udara menggunakan pesawat yang berteknologi tinggi namun dalam penyelenggaraan pengangkutan udara tidak terlepas dari beberapa resiko yang akan timbul dan harus ditanggung oleh perusahaan pengangkut, misalnya dalam hal terjadi kecelakaan pesawat. Berkaitan dengan hal itu masih banyak maaalah mengenai penyelesaian ganti rugi bagi korban kecelakaan pesawat yang berkaitan erat dengan tanggungjawab
pengangkut. Miaalnya saja, siapa yang harus bertanggung-jawab jika terjadi suatu kecelakaan pesawat dan bagaimana penyelesaian klaim ganti ruginya bagi pihak penumpang atau pengirim barang. Jadi dalam Hukum Penerbangan atau Hukum angkutan melalui udara banyak masalah-masalah yang satu sama lain s aling oerkaitan erat dan semuanya penting diketahui oleh semua pihak terutama oleh kalangan pemakai jasa angkutan melalui udara, termasuk didalamnya masalah charter pesawat. ( Riea Lisdiyanti Devi/0589001922)"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
S20383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>