Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146863 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
Rizky Amalia
"ABSTRAK
Pencatatan sangat penting untuk keabsahan suatu perkawinan karena demi kepastian hukum
dan ketertiban hukum bagi subyek hukum. Karena Perkawinan menurut Kompilasi Hukum
Islam adalah pernikahan yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah, untuk melaksanakannya harus memenuhi
rukun dan syarat menurut hukum perkawinan Islam dan tidak boleh melanggar rukun dan
syarat tersebut. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat
hukum. Untuk membuktikan adanya perkawinan tidak cukup hanya dibuktikan dengan
adanya peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis berupa Akta nikah yang merupakan
alat bukti sempurna. Menurut Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, untuk perkawinan
yang tidak mempunyai akta nikah, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada
mereka yang beragama Islam untuk melakukan itsbat nikah. Untuk dapat melakukan itsbat
nikah terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemoho Itsbat nikah. Dalam tesis ini
penulis mengangkat permasalahan mengenai itsbat nikah yang dilaksanakan sebelum dan
setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan melakukan penelitian pada
pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Kota Depok. Untuk mendapatkan bahan hukum
primer, penulis melakukan wawancara dan menggunakan peraturan perundang-undangan.
Untuk memperoleh bahan hukum sekunder menggunakan literatur-literatur. Dari penelitian
yang dilakukan ditemukan bahwa Hakim dalam mengabulkan itsbat nikah harus berpedoman
pada pedoman perilaku Hakim Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam."
Universitas Indonesia, 2012
T29831
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutari Hayuning W.P.
"In Indonesian Marriage Law under Law number I year 1974 have stipulated that for the legal marriage is comply under the religion's norms of the parties and existing regulations. The case on inter-religians marriage can be percepted from the article 2 section I of the law the couple ought to conduct under their's religion norms. Ana' genera! thought in differents religions norms have also restricted inter-religions marriage. This explanation then will also effective to all Indonesian citizen?s whom have got their married in foreign country. The author suggested that the most favour ways to do is by change his/her religion to same of their couple's religion to solve this problem."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
HUPE-36-2-(Apr-Jun)2006-219
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yuristianto Purnomo
"Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, memiliki aneka ragam suku bangsa, agama dan bahasa. Diantara warga negara saling berinteraksi dan dari basil interaksi itu ada yang sampai pada jenjang perkawinan. Kebanyakan dari mereka hidup bahagia dan mempunyai anak, akan tetapi tidak sedikit diantara mereka mengalami problem rumah tangga yang pada akhirnya sampai pada perceraian. Hal ini dapat berakibat buruk terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinannya, yaitu mengenai siapa yang berhak untuk memeliharanya, memdidiknya termasuk terhadap harta bendanya. Topik ini sangat menarik untuk diangkat dalam skripsi, karena anak yang dilahirkan dalam perkawinan merupakan titipan Allah, sehingga sudah selayaknya orang tua wajib memelihara, memdidiknya menjadi anak yang Saleh dan dapat hidup mandiri. Perceraian dapat berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa si anak dan masa depannya kelak. Hal yang menjadi inti :permasalahan adalah: 1. Bagaimana konsep Hukum Islam, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam di Indonesia tentang pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya hubungan perkawinan karena perceraian. 2. Bagaimana praktek di Pengadilan agama dalam putusannya mengenai pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya hubungan perkawinan karena perceraian. Skripsi ini berusaha i untuk mengupas masalah-masalah pemeliharaan anak setelah petceraian dan penyelesaiannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sehingga pihak-pihak yang berperkara mendapat kepastian hukum terutama mengenai pemeliharaan anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Asmarini
"ABSTRAK
Dengan kemajuan teknologi telekomunikasi belakangan ini maka dapat mempengaruhi seseorang berpikir untuk melakukan ijab qabul melalui media telekomunikasi khususnya melalui telepon. Ijab qabul yang dilakukan melalui telepon ini terjadi pada kasus yang akan dibahas dalam tesis ini dimana wali pihak perempuan mengajukan isbat nikah pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang disebabkan penolakan pegawai pencatat nikah untuk mencatatkan ijab qabul yang dilakukan melalui telepon karena ragu apakah ijab qabul tersebut telah memenuhi syarat perkawinan. Perkara ini diajukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan perkara No. 1751/P/1989. Permasalahan yang timbul dikemudian hari adalah bagaimana pandangan hukum Islam tentang ijab qabul yang dilakukan melalui telepon dan bagaimana pandangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terhadap ijab qabul yang dilakukan melalui telepon serta bagaimana persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan ijab qabul yang dilakukan melalui telepon dan mengapa ada persyaratan khusus. Penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dengan memakai metode yuridis normatif dengan didahului dengan penelitian kepustakaan maupun penelitian di lapangan dengan jalan wawancara dengan beberapa narasurnber yang berkaitan dengan kasus tersebut. Ada beberapa pokok bahasan dalam tesis ini yaitu landasan-landasan teori dalam perkawinan berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, setelah mernbahas landasan teori maka pembahasan akan beralih pada deskripsi perkara yang diajukan ke Pengadilan agama Jakarta Selatan, pokok bahasan selanjutnya mengenai ijab qabul yang dilakukan melalui telepon berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Pada akhirnya penulis akan mernberikan kesimpulan dan saranyang berkaitan dengan pokok permasalahan bahwa ijab qabul yang dilakukan melalui telepon adalah sah menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sedangkan saran yang diberikan oleh penulis adalah sudah seharusnyalah pemerintah membuat peraturan yang baru mengenai perkawinan atau dapat juga dengan merevisi undang-undang yang telah ada agar dasar hukum perkawinan menjadi lebih jelas
"
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Muflichah
"Menurut hukum Islam tujuan perkawinan adalah menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari'at Islam. Demikian juga dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, undang-undang perkawinan kita telah mengatur prinsipprinsip serta asas-asas perkawinan dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia. Salah satu asas-asas perkawinan tersebut adalah "asas monogami" yaitu seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri dan sebaliknya. Namun apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat melakukan poligami yaitu perkawinan dengan lebih dari seorang istri. Meskipun dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan, harus ada alasan-alasan serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, dan ditetapkan oleh Pengadilan. Mengenai alasan-alasan untuk dapat berpoligami diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yaitu :
  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
  2. Istri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang hendak berpoligami ditentukan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 yaitu :
  1. Persetujuan dari istri/istri-istri.
  2. Kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
  3. Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.
Apabila diperhatikan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami seperti yang ditentukan oleh Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tersebut di atas, nampaknya alasan-alasan termaksud dirumuskan pembentuk undang-undang secara umum.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kasus tentang permohonan untuk melakukan poligami di Pengadilan Agama Purwokerto selama kurun waktu 7 tahun, yaitu dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1996, 20 kasus yang dijadikan sampel penelitan. Dari 20 kasus permohonan izin poligami tersebut, ada 17 permohonan dikabulkan dan 3 permohonan ditolak oleh Pengadilan Agama Purwokerto. Dari kasus tentang permohonan izin poligami, ternyata alasan yang paling banyak dijadikan dasar untuk melakukan poligami adalah karena istri tidak dapat melahirkan keturunan, yaitu 10 kasus (50%), sedangkan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri ada 5 kasus (25%), alasan isterinya sakit ada 5 kasus (25%).
Di samping alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk melakukan poligami seperti tersebut di atas, ternyata perkawinan poligami juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti faktor pendidikan, faktor sosial ekonomi, faktor lingkungan dan sebagainya.
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dideskripsikan bahwa ada korelasi negatif (hubungan terbalik) antara perkawinan poligami dengan faktor pendidikan, sosial ekonomi, dan lingkungan. Artinya semakin rendah tingkat pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan, semakin banyak terjadi perkawinan poligami. Sebaliknya semakin tinggi tingkat pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan, justru semakin jarang terjadi perkawinan poligami.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, masalah poligami belum diatur secara tuntas, karena yang diatur baru menyangkut alasan-alasan, syarat-syarat serta tata cara untuk melakukan poligami. Ini berarti baru mengatur masalah-masalah sebelum terjadinya poligami. Sedangkan masalah-masalah setelah terjadinya poligami belum diatur. Seperti hak dan kewajiban para pihak, hak istri pertama (dengan anak-anaknya) terhadap penghasilan suami, hak untuk mendapat perlindungan hukum apabila suami tidak berlaku adil, dan sebagainya.
Sikap masyarakat terhadap poligami ternyata oukup beragam, terbukti dari 20 orang responden yang dijadikan sampel, 10 orang responden (50%) menyatakan tidak setuju sama sekali dengan perkawinan poligami apapun alasannya karena dalam kenyataannya hanya akan membawa kesengsaraan bagi istri dan anak-anaknya, dan sulit diharapkan suami akan berlaku adil. Enam orang responden (30%) menyatakan setuju adanya poligami dengan syarat bahwa poligami tersebut benar-benar didasarkan kepada alasan-alasan yang rasional dan masuk akal sehat. Selebihnya yaitu empat orang responden (20%) menyatakan setuju adanya poligami dengan alasan poligami justru dapat mengatasi masalah keluarga.
Sikap atau pandangan responden yang tidak setuju dengan poligami mendapat pembenaran secara empiris, karena apapun alasannya, sebagian besar kaum wanita tetap tidak dapat menerima poligami dengan perasaan ikhlas. Kenyataan juga menunjukkan betapa pahitnya keluarga yang berpoligami."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>