Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47030 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1990
S21972
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Wahyu Hapsoro
"Tesis ini membahas mengenai hadirnya KPK sebagai lembaga negara independen anti korupsi yang mempunyai kewenangan penuntutan. Kewenangan yang selama ini telah menjadi domain institusi Kejaksaan dengan asas universal bahwa Kejaksaan sebagai dominis litis dalam bidang penuntutan dan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi kewenangan penuntutan tersebut. Secara institusional atau kelembagaan terjadilah dualisme penuntutan dimana fungsi penuntutan di KPK dikendalikan oleh ketua KPK dan fungsi penuntutan di Kejaksaan dikendalikan oleh Jaksa Agung.
Pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah bagaimana mekanisme penuntutannya apabila terjadi penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK dan Polri secara bersamaan, apakah kewenangan penuntutan yang ada pada KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme penuntutan suatu tindak pidana korupsi bila penyidikannya dilakukan oleh institusi Polri dan KPK secara bersamaan, untuk mengetahui apakah kewenangan penuntutan KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan untuk mengetahui apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu.
Metode penelitian dalam menjawab permasalahan tersebut adalah dengan suatu kajian yuridis normatif dan penelitian lapangan berupa wawancara terhadap para guru besar atau akademisi dalam bidang Hukum Acara Pidana dan Kriminologi serta para praktisi dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa kewenangan penuntutan yang dimiliki KPK sudah sesuai dengan tujuan politik kriminal dari pemerintah dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu extraordinary crime dengan membentuk lembaga negara adhoc anti korupsi yang mempunyai kewenangan superbody, namun dalam prakteknya kewenangan tersebut juga menyimpangi sejumlah asas antara lain asas een ondeelbaar yaitu jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan dimana Jaksa Agung berada di puncaknya sebagai pengendali, menyimpangi asas dominis litis yang berlaku universal dimana Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan dengan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi, serta adanya kekeliruan perihal ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat bertindak selaku penuntut umum, padahal mereka bukan lah seorang jaksa sehingga seharusnya pengendalian penuntutan terhadap jaksa-jaksa di KPK tetap berada pada Jaksa Agung.

This thesis discusses the existence of KPK as an anti-graft independence agency that has prosecutorial power. The authority that has been the domain of the District Attorney’s Office with universal principle that District Attorney’s Office as Dominus litis in prosecution and the Attorney General as the supreme official controlling the prosecutorial powers. Institutionally, there is a dualism in prosecution where the prosecutorial function at KPK is controlled by the KPK Chairman and the prosecutorial function is controlled by the Attorney General.
The research question in this thesis is: how is the mechanism of the prosecution if the corruption case is handled by KPK and police investigators at the same time? Is the existing prosecutorial power of the Anti-Corruption Commission contrary to the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility) and is the dualism in prosecutorial powers in conformity with the integrated criminal justice system?
The research methodology to answer the research question is by conducting a judicial normative study and a field research by interviewing professors or academia who are experts in Law of Criminal Procedure and Criminology as well as the practitioners of the graft eradication.
The research findings state that the prosecutorial powers possessed by the Anti-Corruption Commission has conformed to the criminal politics objectives of the government in combating graft/corruption as an extraordinary crime by establishing an ad hoc anticorruption state agency which has the authority of a superbody; however, in practice this power also violates a number of principles, among others the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility), i.e. there is only one prosecutor and is inseparable in which the Attorney General is at the top as the controller, deviates from the principle of dominus litis that is applicable universally in which the District Attorney’s Office is the only prosecution agency with the Attorney General as the supreme controller, as well as the existence of errors in the provision stating that KPK Chairman can act as public prosecutor, despite the fact that he is not a prosecutor; therefore, the prosecution control of the prosecutors at KPK shall remain in the hands of the Attorney General.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36003
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Saputra
"ABSTRAK
Pembebasan bersyarat merupakan bagian dari sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia, dimana setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan, kecuali anak didik berhak memperolehnya setelah menjalani pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari masa pidana dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari sembilan bulan. Dalam menjalankan pembebasan bersyarat, terpidana diharuskan mentaati persyaratan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembebasan bersyarat, yaitu Kejaksaan Negeri dan Balai Pemasyarakatan. Salah satu persyaratan yang harus ditaati oleh terpidana selama menjalani pembebasan bersyarat terdapat dalam Pasal 16 ayat (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas, bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat dilarang pergi keluar wilayah Indonesia kecuali mendapatkan izin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Persyaratan tersebut terkait dengan pencegahan yang merupakan larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk ke luar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu, dimana keputusan pencegahan tersebut merupakan kewenangan dari Jaksa Agung yang merupakan pimpinan dari lembaga Kejaksaan Republik Indonesia termasuk di dalamnya adalah Kejaksaan Negeri, pengawas pelaksanaan pembebasan bersyarat. Dalam skripsi ini, penulis akan menguraikan mengenai keharusan pihak Kejaksaan Negeri melakukan pencegahan terhadap terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan melakukan studi kasus pelaksanaan pengawasan pembebasan bersyarat terpidana David Nusa Wijaya, dimana pada saat menjalani pembebasan bersyarat, David Nusa Wijaya pergi ke Hongkong tanpa seizin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

ABSTRACT
Release with requirements is a part of prison system carried out by Indonesia, in which each accused, except under age accused, has the right after being in prison 2/3 (two per three) of the criminal term, which is not less than nine months. During having a release with requirements, the accused should obey all of the requirements stipulated in the laws and regulations made by parties having the rights to construct supervisions on the implementation of release with requirements, namely: Domestic Attorney and Correction Center. One of the requirements should be obeyed by the accused during having he release with requirements is stated in Article 16 paragraph (4) of the Regulation of the Minister of Law and Human Rights No. M.2.PK.04-10 of 2007 regarding Assimilation, Release with Requirements, and Leave Before Released, that the accused having release with requirements is forbidden to go out form the Indonesian territory without permission of the Minister of Law and Human Rights. The requirement is related to the prevention, which is a temporary forbid for certain people to go out from the territory of the Republic of Indonesia based on certain reasons, in which the prevention stipulation is the right of General Attorney, the leader of Attorney institution of the Republic of Indonesia, including the Domestic Attorney, the supervisor for the implementation of release with requirements. In this script, the writer shall describe the significance for the Domestic Attorney to conduct prevention against the accused having release with requirements based on the effective laws and also performed a cases study on the implementation of release with requirements supervision to the accused David Nusa Wijaya, in which when having release with requirements, David Nusa Wijaya left for Hongkong without any permission of the Minister of Laws and Human Rights."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], [2009;2009;2009;2009;2009, 2009]
S22595
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjono Reksodiputro
Jakarta: Lembaga Kriminologi UI., 1997
345.02 MAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Adhi Nugraha
"Penulisan tesis ini membahas mengenai permasalahan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dalam praktek di pengadilan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta bertentangan atau tidaknya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan asas legalitas.
Dari hasil penelitian yang bersifat yuridis normatif, di mana penelitian ini dilakukan berdasarkan sumber data sekunder dengan cara meneliti bahan pustaka yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, diperoleh kesimpulan bahwa pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dapat dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum khusus, kendati pengaturan mengenai hal tersebut belum ada (sebelum diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Pemidanaan di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tersebut dijatuhkan dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Selanjutnya, Penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tidaklah bertentangan dengan asas legalitas, karena di sini hakim bukan sebuah "corong" atau "terompet"-nya undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya menerapkan hukum yang ada secara apa adanya, melainkan hakim juga memiliki tugas untuk melakukan rechtvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman, salah satunya dengan cara melakukan interpretasi atau menafsirkan undang-undang dalam rangka memperjelas atau melengkapi undang-undang tersebut.

This thesis is to discuss the issues of punishment for the accused children who threatened by special minimum sentence in court practice before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System, the basic consideration of judges in imposing capital below the special minimum sentence against the accused children who threatened by special minimum sentencing before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System, as well as whether or not the judge's decision which below the special minimum sentence against the accused children who threatened by special minimum sentencing before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System contradicts with the principle of legality.
From the research that is normative, where the research was conducted based on secondary sources and examine library materials including primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, we concluded that the punishment for the accused children who threatened by special minimum sentence, could be below the special minimum sentence, although the regulation on that matter not already yet (before the promulgation and enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System).
Punishment below the special minimum sentence imposed by certain considerations. Furthermore, the punishment below the special minimum sentence for the accused children who threatened by special minimum sentence is not against the principle of legality, because here the judge is not a "funnel" or "horn" of the law (la bouche de la loi) that just simply apply existing law as it is, but the judge also has a duty to perform rechtvinding which means aligning legislation with the spirit of the age, one way to interpretation the law in order to clarify or supplement the law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guruh T. Kusumo
"ABSTRAK
Gagasan akan adanya Hakim Komisaris semakin gencar dilakukan setelah diratifikasinya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 dalam salah satu ketentuan konvensi tersebut, mengisyaratkan bahwa apapun tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum harus segera dihadapkan ke depan sidang pengadilan. Hakim Komisaris juga diperlukan untuk mengurangi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa menggantikan lembaga praperadilan yang dinilai kurang bisa mengantisipasi kesewenang-wenangan tersebut. Hal yang menarik dengan dimasukkannya Hakim Komisaris dalam rancangan hukum acara pidana adalah persoalan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi, kemerdekaan dan kebebasan seseorang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang dan bentuk perampasan hak lainnya. Hal ini menjadi perhatian yang serius karena dalam proses pemeriksaan perkara pidana, prosedur pemeriksaan perkara pidana melalui tahapan-tahapan pemeriksaan merupakan instrumen keadilan pada tahap pertama yang dikenal dengan keadilan prosedural. Pada bagian ini dituntut ditegakkannya asas-asas hukum dalam rangka penghormatan terhadap hak-hak tersangka. Oleh sebab itu, proses peradilan yang adil merupakan hak mutlak bagi tersangka/terdakwa yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum pidana. Sedangkan bagian kedua adalah keadilan substansial yang bergantung kepada keadilan yang pertama. Artinya jika prosedurnya yang adil yang diatur dalam hukum acara pidana atau hukum pidana formil sudah ditegakkan, merupakan prasyarat terwujudnya keadilan substansial yang diatur dalam hukum pidana materiil, sebaliknya prosedur yang tidak adil tidak dapat melahirkan keadilan substansial. Atas dasar argumen hukum tersebut, persoalan keberadaan hakim komisaris tidak bisa dilepaskan daripada fungsi hukum acara pidana yang bertujuan mencari dan menemukan kebenaran materiil atau kebenaran hakiki dalam menegakkan hukum pidana materiil.

ABSTRACT
More and more idea on Hakim Komisaris is highly conducted upon identification of International Covenant in terms of International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR) by Laws of 2005 No.12 in which had been required that whatever forceful efforts by law enforcer(s) immediately, it should be brought before the court. For reducing arbitrary commitment conducted by law enforcer(s) then, also it is required Hakim Komisaris in order to substitute other institution who may not be able to minimize it. Any interesting case to include Hakim Komisaris into draft of criminal procedural law is insurance of human right protection for theaccused in criminal proceedings. Illegal detention and arrest is serious violation on human rights, independence and individual freedom. Illegal seizure is serious violation against individual property and illegal shakedown is serious violation against individual residential conveniency/privacy and other rights deprivation. It had become serious case because in investigation process of criminal case there are stages, i.e, procedural judicial, in this stage the enforcement of law principles in order to revere the accused rights is very required. However fair/justice judical process is absolute right for the accused to be met for enforcement of criminal law. And subsequently, substancial judicial it is depend on the first one. It means provided that fair/justice procedure as setout in criminal procedural law or formil criminal law had been met, it is prerequisite of substantial judicial manifestation as setout in material criminal law, conversely, untair/unjustice one may not bring about substantial judicial. Based on such law argument, existence problem of Hakim Komisaris may not be released from function of criminal procedural law which of target if finding out or discovering material or real truth in order to enforce material procedural law."
2013
T32709
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.K. Moc. Anwar
Jakarta: Ind-Hill, 1989
345 MOC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>