Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77456 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Adelia
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S21707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Agustina Pandia
"ABSTRAK
Sebagai seorang individu yang belum matang, anak mempunyai
kecenderungan untuk meniru apa yang mereka terima dari luar tanpa disaring
lebih dahulu. Anak yang kurang/tidak memperoleh kasih
sayang,asuhan,bimbingan dalam pengembangan sikap perilaku serta pengawasan
dari orang tua mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang kurang
sehat, melakukan perbuatan menyimpang bahkan perbuatan melanggar hukum
dan adakalanya terpaksa diajukan ke muka pengadilan karena telah melakukan
tindak pidana. Salah satu kejahatan yang Hilalmigiti oleh anak adalah kekerasan seksual,
di mana yang menjadi korban dari kekerasan seksual ini adalah anak juga. Menyikapi
hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil permasalahan mengenai
“Pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan atas tindak pidana kekerasan
seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak”. Lingkup permasalahan yang
penulis teliti adalah : 1)faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penjatuhan putusan, 2)hambatan-hambatan yang dialami dan upaya mengatasinya,
3)serta bagaimana bentuk sanksi dan apakah hakim telah memberikan
perlindungan terhadap anak.Di Indonesia telah berlaku UU No.3/1997 tentang
Pengadilan Anak dan UU No.23/2002 tentang Perlindungan AnakMelalui dua
ketentuan inilah hakim antara lain mendasarkan penjatuhan putusan dalam perkara
anak,selain tentunya dengan ketentuan lainnya. Hakim harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak, dimana kekerasan seksual telah mengakibatkan
trauma dan rusaknya masa depan korban,namun dari sisi pelaku masa depan dan
hak-haknya juga harus diperhatikan.Disinilah ungkapan “pengadilan sebagai
benteng terakhir keadilan” harus diwujudkan oleh hakim sebagai harapan dari
masyarakat untuk memberikan keadilan. Penulis melakukan penelitian yuridis
normatif yang disajikan secara kualitatif, ternyata didapati kesimpulan bahwa
hakim dalam menyikapi ketentuan pidana minimum khusus dalam UU
Perlindungan Anak adalah kembali menggunakan aturan umum yakni KUHP,oleh
karena hakim menganggap sanksi pidana minimum 3 tahun dalam UU
Perlindungan Anak tidak mewakili kepentingan terbaik bagi anak, pedoman
pemidanaan perlu segera diatur secara tegas dan jelas dalam KUHP yang akan
datang, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah dapat berupa pidana penjara
atau tindakan (kasus per kasus).

ABSTRACT
As an individual who has not been mature,children have a tendency to
imitate what they receive from outside without filtered previously. Children who
are less / not get affection, care, guidancein the development of behavior and
attitude control of the parentseasy trail in the flow of the association community
the less healthy, to act deviate even act against the law and sometimes forced to
face a court asked to do because it was a crime. One of the crimes committed by
children is sexual violence, in which victims of sexual violence is also a child.
That the authors are interested to take the problems on "The judges decision is
throwing up in the crime o f sexual violence committed by children against
children". The scope of the problems that the author is thorough: 1) factors into
consideration in the judge dropping decision, 2) barriers experienced and
overcome the effort, 3) and how the form of sanctions and whether the judge has
given the protection of children. Indonesia has been in effect on the Law
No.3/1997 on Children's Court and Law No.23/2002 on Child Protection.
Through the provision of two judges, among others, this is the base throwing
decision in the matter of children, in addition of course to the other provisions.
Judges must consider the best interests of the children, where sexual violence has
resulted in trauma and damage to the future victims, but from the side of the
future and their rights also must be considered. Is the expression "the court as the
last fortress of justice" must be transformed by the judge as expectations of the
people to give justice. Author juridical non-native research presented in
qualitative, conclusion was found that the judge in the criminal provisions in the
minimum special Child Protection Act is again using the general rule that the
Penal Code, because the judge considered criminal sanctions minimum 3 years in
the Child Protection Law does not represent the best interests of the children,
sentencing guidelines need to be set explicitly and clearly in the Penal Code
which will come, and form of sanctions that can be a form of imprisonment or
criminal action (cases per case)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26088
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Agustina Pandia
"ABSTRAK
Sebagai seorang individu yang belum matang, anak mempunyai
kecenderungan untuk meniru apa yang mereka terima dari luar tanpa disaring
lebih dahulu. Anak yang kurang/tidak memperoleh kasih
sayang,asuhan,bimbingan dalam pengembangan sikap perilaku serta pengawasan
dari orang tua mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang kurang
sehat, melakukan perbuatan menyimpang bahkan perbuatan melanggar hukum
dan adakalanya terpaksa diajukan ke muka pengadilan karena telah melakukan
tindak pidana. Salah satu kejahatan yang Hilalmigiti oleh anak adalah kekerasan seksual,
di mana yang menjadi korban dari kekerasan seksual ini adalah anak juga. Menyikapi
hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil permasalahan mengenai
“Pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan atas tindak pidana kekerasan
seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak”. Lingkup permasalahan yang
penulis teliti adalah : 1)faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penjatuhan putusan, 2)hambatan-hambatan yang dialami dan upaya mengatasinya,
3)serta bagaimana bentuk sanksi dan apakah hakim telah memberikan
perlindungan terhadap anak.Di Indonesia telah berlaku UU No.3/1997 tentang
Pengadilan Anak dan UU No.23/2002 tentang Perlindungan AnakMelalui dua
ketentuan inilah hakim antara lain mendasarkan penjatuhan putusan dalam perkara
anak,selain tentunya dengan ketentuan lainnya. Hakim harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak, dimana kekerasan seksual telah mengakibatkan
trauma dan rusaknya masa depan korban,namun dari sisi pelaku masa depan dan
hak-haknya juga harus diperhatikan.Disinilah ungkapan “pengadilan sebagai
benteng terakhir keadilan” harus diwujudkan oleh hakim sebagai harapan dari
masyarakat untuk memberikan keadilan. Penulis melakukan penelitian yuridis
normatif yang disajikan secara kualitatif, ternyata didapati kesimpulan bahwa
hakim dalam menyikapi ketentuan pidana minimum khusus dalam UU
Perlindungan Anak adalah kembali menggunakan aturan umum yakni KUHP,oleh
karena hakim menganggap sanksi pidana minimum 3 tahun dalam UU
Perlindungan Anak tidak mewakili kepentingan terbaik bagi anak, pedoman
pemidanaan perlu segera diatur secara tegas dan jelas dalam KUHP yang akan
datang, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah dapat berupa pidana penjara
atau tindakan (kasus per kasus).

ABSTRACT
As an individual who has not been mature,children have a tendency to
imitate what they receive from outside without filtered previously. Children who
are less / not get affection, care, guidancein the development of behavior and
attitude control of the parentseasy trail in the flow of the association community
the less healthy, to act deviate even act against the law and sometimes forced to
face a court asked to do because it was a crime. One of the crimes committed by
children is sexual violence, in which victims of sexual violence is also a child.
That the authors are interested to take the problems on "The judges decision is
throwing up in the crime o f sexual violence committed by children against
children". The scope of the problems that the author is thorough: 1) factors into
consideration in the judge dropping decision, 2) barriers experienced and
overcome the effort, 3) and how the form of sanctions and whether the judge has
given the protection of children. Indonesia has been in effect on the Law
No.3/1997 on Children's Court and Law No.23/2002 on Child Protection.
Through the provision of two judges, among others, this is the base throwing
decision in the matter of children, in addition of course to the other provisions.
Judges must consider the best interests of the children, where sexual violence has
resulted in trauma and damage to the future victims, but from the side of the
future and their rights also must be considered. Is the expression "the court as the
last fortress of justice" must be transformed by the judge as expectations of the
people to give justice. Author juridical non-native research presented in
qualitative, conclusion was found that the judge in the criminal provisions in the
minimum special Child Protection Act is again using the general rule that the
Penal Code, because the judge considered criminal sanctions minimum 3 years in
the Child Protection Law does not represent the best interests of the children,
sentencing guidelines need to be set explicitly and clearly in the Penal Code
which will come, and form of sanctions that can be a form of imprisonment or
criminal action (cases per case)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37197
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S21692
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misra Dewita
"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang relatif baru
di Indonesia. Lembaga yang bersifat independen ini didirikan khusus untuk
menangani tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, KPK oleh Undang-Undang diberikan kewenangan untuk
melakukan intersepsi atau penyadapan dan merekam pembicaraan. Kewenangan KPK
melakukan penyadapan ini bersinggungan dengan butir-butir hak asasi manusia,
khususnya hak privasi yang terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tindakan penyadapan oleh
KPK ini dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia serta bagaimana regulasi terkait
dengan lawful interception di Indonesia. Penulisan tesis ini menggunakan metode
penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Data sekunder
ini terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan; bahan hukum sekunder berupa buku, majalah ilmiah, artikel
surat kabar, karya tulis ilmiah maupun sumber dari internet; dan juga bahan hukum
tersier berupa kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. Hasil yang
diharapkan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara jelas mengenai
kedudukan hak asasi manusia dalam tindakan penyadapan dalam penanganan tindak
pidana korupsi serta bisa menjadi masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-
Undang terkait tata cara intersepsi dalam rangka penegakan hukum. Sebagai hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa penyadapan merupakan tindakan yang
melanggar hak asasi manusia. Penyadapan terhadap seseorang, baik menggunakan
alat sadap maupun penyadapan terhadap alat komunikasinya merupakan tindakan
yang telah melanggar hak privasi terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Namun
hak ini dapat disimpangi oleh negara berdasarkan Undang-Undang karena hak
berkomunikasi ini termasuk ke dalam kategori derogable rights. Sebagai bagian dari
hak asasi manusia, hak berkomunikasi ini juga diatur dalam instrumen hukum
internasional, antara lain dalam International Covenant on Civil and Political
Rights(ICCPR). Sebagian negara di dunia telah memiliki Undang-Undang yang
secara khusus mengatur penyadapan, sementara hingga saat ini Indonesia belum
memilki Undang-Undang sama. Saat ini teknis penyadapan yang dilakukan oleh KPK
hanya didasarkan pada peraturan setingkat menteri yaitu Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 11/Per/M.Kominfo/02/2006 tentang Teknis
Penyadapan Terhadap Informasi. Untuk operasionalnya, KPK mempunyai SOP
penyadapan yang mana setiap penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan SOP
ini. Untuk menyempurnakan peraturan terkait lawful interception, pemerintah
berencana membuatnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 31 ayat (4), namun ditentang oleh banyak pihak. Mahkamah Konstitusi kemudian
memutus perkara uji materil terhadap pasal terkait dan menyatakan bahwa pasal
tersebut bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh
karena itu, aturan tata cara lawful interception ini hendaknya dibuat dalam bentuk
Undang-Undang bukan Peraturan Pemerintah.

Abstract
Indonesia. This independent institution is specially established to handle corruption
crime. In implementing its investigation and prosecution, the KPK is authorized by
law to use interception and/or wiretapping. The authority of KPK to conduct this
interception is contradict to the elements of human rights especially privacy right
which related to freedom of communication. A subject of discussion in this research
is how interception conducted by KPK viewed from human rights perspective and
how the related regulation with interception in Indonesia. This thesis writing using
librarian research method with secondary data as the resource. This secondary data
consist of primary law material consist of regulations and court verdict; secondary
law material consist of books, scientific magazine, news paper article, scientific paper
and internet resources as well; also tertiary law material consist of grand dictionary of
Bahasa Indonesia and legal dictionary. The expected result of this research is to
obtain a clear position about human rights perspective in the implementation of
interception in handling corruption crime and to provide suggestion in the drafting of
law related to interception method as well in the frame of legal enforcement. In short,
the research can be concluded that principally an interception is contradict with
human rights. An interception to a person whether using interception device or
interception toward his communication device is contradict to the privacy rights
which related to freedom of communication. However, this privacy right may be
overrided by state based on the law because the right of communication in considered
as derogable rights. As a part of human rights, the freedom of communication is also
governed by international law instrument among others International Covenant on
Civil and Political Rights. Some of the states in the world has owned the laws which
govern specifically about interception, while Indonesia, has not yet govern the
specific law on interception. At this moment, the technical method of interception
conducted by KPK is only based on the regulation in the ministerial level namely
Ministry of Communication and Information Decree Number
11/Per/M.Kominfo/02/2006 concerning Technical Interception Toward Information.
For the operational purpose, KPK has their own standard operational procedure
(SOP) where all interception should be conducted based on this SOP. To the
perfection of regulation related to lawful interception, the government has planned to
enact a government regulation as mandated by law on Information and Electronic
Transaction Article 31 paragraph (4), but this plan has been argued by many parties.
The Constitution Court has decided the judicial review on the related article and
stated that the said Article is contradict to the UUD and has no legal force. Therefore, the provision on the lawful interception is suggested to be made in the form of law
(undang-undang) not in the form of government regulation."
Universitas Indonesia, 2011
T29317
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Stacia Faustine
"Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.

Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bestari Elda Yusra
"Tesis ini membahas permasalahan mengenai penerapan diversi terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika di wilayah Pengadilan Negeri Klas 1 A Khusus Tangerang kendala mengenai penerapan diversi terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak, dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala penerapan diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Perma Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan kasus, dan pendekatan komparatif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian studi kepustakaan dan wawancara mendalam dengan narasumber yang memiliki kompetensi untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Pengadilan Negeri Klas 1 A Khusus Tangerang. Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa secara kualitatif.
Hasil penelitian di wilayah Pengadilan Negeri Klas 1 A Tangerang Khusus terhadap perkara narkotika anak pada tahun 2016 terdapat satu perkara narkotika yang dilakukan diversi dengan landasan Pasal 3 Perma Nomor 4 Tahun 2014. Kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, Petugas Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan PK Bapas Klas II Serang dan Penasihat Hukum yaitu adanya pembatasan kualifikasi tindak pidana yang dapat dilakukan diversi dalam Pasal 7 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 UU SPPA, singkatnya waktu penanganan perkara anak, luas wilayah kerja Bapas, keterbatasan jumlah personil PK Bapas dan kendala mengenai sarana serta prasarana pendukung dalam proses pelaksanaan diversi terhadap perkara narkotika. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut yaitu meningkatkan koordinsi internal dan eksternal antara penyidik, penuntut umum, hakim daan Petugas PK Bapas, membentuk Tim Assesment Terpadu, melakukan sosialisasi mengenai diversi dan hak anak yang berhadapan dengan hukum, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sarana serta prasarana.

This thesis discusses the issue of the application of the diversion of juvenile committing a narcotic crime in the territory of the Tangerang Court Special 1 A, the constraints on the application of the diversion of the narcotic crime committed by children, and the attempts made to overcome the obstacle of the application of the diversion of criminal offenses conducted by children after the enactment of Law Number 11 Year 2012 on Juvenile Justice System UU SPPA and Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Perma Number 4 Year 2014 on Guidelines for Implementation of Diversion in the Juvenile Justice System. The research method used are normative juridical, using the approach of legislation, conceptual approach, case approach, and comparative approach. Methods of data collection are done by research literature study and in depth interviews with resource persons who have competence to answer the problems studied. The location of the study was conducted in the area of Special Court Class A Tangerang. The data obtained from the results of the study were analyzed qualitatively.
The results of this research in Tangerang Court Special Class 1 A on the narcotics cases with juvenile offender in 2016, there is a narcotics case which is done by diversion based on Article 3 Perma Number 4 Year 2014. Obstacles faced by law enforcement officers, Correctional Precaution Officers PK Bapas Class II Serang and Legal Advisor that there is limitation of qualification of criminal acts that diversion can be done in Article 7 paragraph 1 and Article 9 paragraph 1 UU SPPA, short duration on handling juvenile case, the wide of working area of Correctional Hall Bapas, the limited number of personnel of Correctional Precaution Officers PK Bapas, and the obstacles regarding facilities and infrastructure as the supporting system during the process of implementation of the diversion in narcotic cases. Efforts are made to overcome these obstacles improving the internal and external coordination between investigators, prosecutors, judges and Correctional Precaution Officers PK Bapas , forming an Integrated Assessment Team, socialization about diversion and children right on facing conflict with the law, improving the quality of human resources, facilities, and infrastructures.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Utju R. Koesoemahatmadja
"ABSTRAK
Disertasi ini mengemukakan perihal penyalahgunaan kekuasaan (ekonomi dan politik) oleh korporasi, yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korban tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut antara lain, negara, pemerintah, masyarakat, dan warga negara. Pihak-pihak ini merupakan suatu kelompok korban dari tindak pidana korporasi. Permasalahan yang dihadapi oleh kelompok korban dilatarbelakangi oleh masih kurangnya perlindungan hukum dari pihak pemerintah dalam hal penegakan hukum pada proses peradilan pidana.
Adanya perlindungan hukum tidak terlepas pada peranan penegak hukum, yang berfungsi sebagai alat dalam menegakkan hukum untuk mencapai ketertiban dan keadilan pada proses peradilan dan untuk melindungi korban individual maupun kelompok akibat tindak pidana korporasi. Korban tindak pidana korporasi membutuhkan pemulihan kembali bempa kompensasi maupun hukuman kepada pelaku tindak pidana sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban dari pelaku yang melakukan tindak pidana.
Bentuk atau jenis tanggung jawab pelaku tindak pidana (korporasi) dalam proses peradilan pidana (bqmpa putusan pengadilan), masih berorientasi pada kepentingan atau hak individu dad pelaku tindak pidana. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korporasi dalam proses peradilan di Indonesia, khususnya pada putusan sidang pengadilan berlandaskan konsep ? asas retributif? yaitu suatu asas yang menitikberatkan kepada kepentingan dan melindungi hak-hak pelaku tindak pidana. Seyogyanya putusan pengadilan dalam menanggulangi masalah tindak pidana korporasi berdasarkan pada konsep ?rasa keadilan masyarakat" yang berasaskan ?keadilan restoratif" tanpa meninggalkan asas ?keadilan retributif? bagi pelaku tindak pidana.

Abstract
This desertation issues the misuse of power (economicalty and politicalty) by corporation, which violates the social and economic rights of the people. Crime victims caused by those corporation are the state, government, society, and citizens itself. The problem faced by these victims are back grounded by the lack of law protection by the government in law enforcement for judicial crime process.
The existence of law protection cannot be separated from the role of law enforcers, functioning as a tool uphold the law to achieve justice in the judicial process and to protect individual and group victims as the result of corporate crime. Corporate crime victims need some medicine for their trauma in the form compensation, and punishment of the party which committed the crime.
Forms and types of responsibility of the party which committed the (corporate) crime in the judicial crime process (in the form of court devision) still circles on the interest and individual rights of the party which commited the crime. This shows that the law enforcement againts corporate crimes in the judicial process in indonesia, especially on the court decision, is based on the retributive concept, a concept which concentrates on protecting the best interest and the rights of the party which committed the crime.
The court decision in handling a case of corporate crime should be based on the people?s justice concept whith a touch of restorative justice concept without leaving behind the retributive justice concept for the party. Which committed the crime.
ABSTRAK
"
2003
D1134
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Ucu Ruhayati
"ABSTRAK
Disertasi ini mengemukakan perihal penyalahgunaan kekuasaan (ekonomi dan politik) oleh korporasi, yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korban tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut antara lain, negara, pemerintah, masyarakat, dan warga negara. Pihak-pihak ini merupakan suatu kelompok korban dari tindak pidana korporasi. Permasalahan yang dihadapi oleh kelompok korban dilatarbelakangi oleh masih kurangnya perlindungan hukum dari pihak pemerintah dalam hal penegakan hukum pada proses peradilan pidana.
Adanya perlindungan hukum tidak terlepas pada peranan penegak hukum, yang berfungsi sebagai alat dalam menegakkan hukum untuk mencapai ketertiban dan keadilan pada proses peradilan dan untuk melindungi korban individual maupun kelompok akibat tindak pidana korporasi. Korban tindak pidana korporasi membutuhkan pemulihan kembali bempa kompensasi maupun hukuman kepada pelaku tindak pidana sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban dari pelaku yang melakukan tindak pidana.
Bentuk atau jenis tanggung jawab pelaku tindak pidana (korporasi) dalam proses peradilan pidana (bqmpa putusan pengadilan), masih berorientasi pada kepentingan atau hak individu dad pelaku tindak pidana. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korporasi dalam proses peradilan di Indonesia, khususnya pada putusan sidang pengadilan berlandaskan konsep ? asas retributif? yaitu suatu asas yang menitikberatkan kepada kepentingan dan melindungi hak-hak pelaku tindak pidana. Seyogyanya putusan pengadilan dalam menanggulangi masalah tindak pidana korporasi berdasarkan pada konsep ?rasa keadilan masyarakat" yang berasaskan ?keadilan restoratif" tanpa meninggalkan asas ?keadilan retributif? bagi pelaku tindak pidana.

Abstract
This desertation issues the misuse of power (economicalty and politicalty) by corporation, which violates the social and economic rights of the people. Crime victims caused by those corporation are the state, government, society, and citizens itself. The problem faced by these victims are back grounded by the lack of law protection by the government in law enforcement for judicial crime process.
The existence of law protection cannot be separated from the role of law enforcers, functioning as a tool uphold the law to achieve justice in the judicial process and to protect individual and group victims as the result of corporate crime. Corporate crime victims need some medicine for their trauma in the form compensation, and punishment of the party which committed the crime.
Forms and types of responsibility of the party which committed the (corporate) crime in the judicial crime process (in the form of court devision) still circles on the interest and individual rights of the party which commited the crime. This shows that the law enforcement againts corporate crimes in the judicial process in indonesia, especially on the court decision, is based on the retributive concept, a concept which concentrates on protecting the best interest and the rights of the party which committed the crime.
The court decision in handling a case of corporate crime should be based on the people?s justice concept whith a touch of restorative justice concept without leaving behind the retributive justice concept for the party. Which committed the crime."
2003
D700
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>