Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54886 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1993
S20385
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiyanto
"Eksistensi Undang-Undang Nomar 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK, sebagai Undang-Undang yang mengintegrasi dan memperkuat hak-hak konsumen Indonesia, membawa dampak juga terhadap hak-hak konsumen pengguna jasa kesehatan atau pasien. Karena, Undang-Undang ini, pasien semakin sadar akan hak-haknya. Beberapa kasus gugatan maupun tuduhan malpraktek terhadap tenaga kesehatan kerap kita haca dan dengar di media massa. Hal ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa masyarakat sebagai health receivers kini telah menuntut pelaksanaan hak-hak yang mereka miliki. Dokter gigi sebagai salah satu tenaga kesehatan tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan kesehatan. Bahkan, dokter gigi menempati posisi yang strategis, karena menentukan langsung langkah medic yang dilakukan dalam menyembuhkan problem kesehatan gigi yang diderita oleh pasien. Posisi ini, menyebabkan dokter gigi harus herhati-hati dan penuh pertimbangan dalam menjalankan tugasnya. Karena, salah dalam mengambil tindakan medik, bukan hanya merugikan pasien tetapi jugs merugikan dokter gigi itu sendiri.
Tindakan dokter gigi yang tidak memenuhi standar profesi dan ketentuan hukum kesehatan dapat disebut sehagai tindakan malpraktek. Tanggung jawab dokter gigi terhadap tindakan malpraktek dikategorikan menjadi duo, yaitu tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan profesi dan tangggung jawab terhadap ketentuan hukum seperti pidana, perdata dan adminstratif, praktek kedokteran dan UUPK. Jasa pelayanan kesehatan merupakan jasa yang memiliki karakteristik. OIeh karena itu, dalam penerapan UUPK, dalam bidang kesehatan harus memperhatikan karakteristik tersebut. Hal ini membawa pengaruh terhadap jasa yang diberikan oleh dokter gigi. Dimana, tidak semua ketentuan yang terdapat dalam UUPK berlaku bagi dokter gigi.

The existence of Act Number 8 Year 1999 on Customer Protection, as an Act which integrates and strengthens customer rights, has consequences on health's customers (patients) as well. Because of this Act, patients get more realize and understand on their rights. Cases on malpractice indictment or accusation of paramedics tend to increase in the media. This fact describes us that people as health receivers have already claimed their rights execution. Dental as one of health people could not be excluded from health service system. Even, Dental has strategic position on health service system because they directly decided each medical steps on handling their patients. This position affects on the carefulness and consider ness of such Dental in accomplishing their duties. The medical failure of handling their patients would not be harmed their patients, but would be harmed their self as well.
Dentals attitude which not carry out as professional standard and health legislation could be known as malpractice. Dental responsibility on this malpractice could be categorized as two things, there are Dentals responsibility on professional matters and Denials responsibility on legal aspects, such as criminal law, commercial law, administration law, Act on Medical Practice, and Act on Customer Protection. Health service is a service which has characteristic; therefore implementation of Customer Protection Act should consider such characteristics. It would be affected on services give by Dental, however, not entirely stipulation on Customer Protection Act could be applied to all Dental."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlista Puspaningrum
"Masyarakat di Indonesia masih banyak yang be etahui hak-hak yang dimilikinya di dalam pelayanan kesehatan, Di sisi lain, masih ada anggapan bahwa dokter tidak mempunyai suatu kesalahan. Akibatnya perlindungan konsumen di bidang jasa pelayanan kesehatan selama ini Bering terabaikan. Perlindungan hukum kesehatan terhadap pasien memang diperlukan untuk menjamin agar tidak terjadi pelanggaran dari tenaga kesehatan.
PermasaIahan dalam tesis ini dibagi menjadi tiga pokok permasalahan, pertama mengenai bentuk hukum dari hubungan antara dokter dengan pasien adalah dalam bentuk transaksi terapeutik dan informed consent. Transaksi terapeutik merupakan perjanjian (kontrak) yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, Sedangkan informed consent merupakan kesepakatan atau persetujuan. Kedua, mengenai implementasi UU No. 8 tahun 1999 dalam hubungan antara dokter dengan pasien. UU No. 8 tahun 1999 meskipun pada dasarnya tidak bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran, tetapi bukan berarti UU No. 8 tahun 1999 dapat iangsung diterapkan pada jasa pelayanan kesehatan. Apabila UU No. 8 tahun 1999 diimplementasikan dalam hubungan antara dokter dengan pasien, berarti pasien dapat diposisikan sebagai konsumen dan dokter sebagai pelaku usaha, hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa hubungan pasien dengan dokter adalah hubungan dimana seolah-olah dokter menjual jasanya dengan jaminan sembuh. Selain itu, bila pasien atau keluarganya telah menandatangani informed consent bukan berarti pasien atau keluarganya mendapatkan suatu jaminan "pasti sembuh". Berbeda dengan pelaku usaha yang memberikan jaminan barang dan/atau jasa yang diberikan "pasti baik" dan terjamin mutunya kepada konsumen. Ketiga, mengenai pelaksanaan perlindungan hak-hak pasien dalam hubungan antara dokter dengan pasien. Praktek kedokteran betapapun berhati-hatinya dilaksanakan, selalu berhadapan dengan kemungkinan terjadinya resiko, yang salah satu diantaranya adalah kesalahanikelalaian dokter dalam menjalankan profesinya. Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum kedokteran dalam hal dokter melakukan kesalahanikelalaian dengan dasar hukum Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 55 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992. Untuk mencegah terjadinya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya, bagi pasien adalah dengan menjadi pasien yang bijak yaitu dengan mengambil peran aktif dalam setiap keputusan mengenai pemeliharaan kesehatan. Untuk mengatasi buruknya komunikasi antara dokter dengan pasien, adalah rumah sakit sejak dini menginformasikan hak-hak pasiennya.
Saran yang dituangkan dalam tesis ini adalah bahwa pemerintah diharapkan mengatur transaksi terapeutik dalam suatu undang-undang agar dapat menyeragamkan isi dari transaksi terapeutik. Dengan adanya UU Praktek Kedokteran diharapkan memberikan panduan hukum bagi pare dokter agar lebih berhati-hati dan bertanggung jawab alas profesinya."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19873
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Hedwin Kadrianto
"Tujuan: mengetahui tingkat pengetahuan, persepsi, sikap, dan tindakan dokter gigi di DKI Jakarta terhadap HIV/AIDS dan prosedur kontrol infeksi, serta kesediaan merawat pasien HIV/AIDS.
Metode: Survei ini memiliki desain potong lintang, dan dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 189 dokter gigi di 15 kecamatan di provinsi DKI Jakarta yang dipilih secara acak. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah dokter gigi yang memiliki pengalaman studi pascasarjana dalam bidang kedokteran maupun kedokteran gigi.
Hasil: Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah (76,7%) dan sikap yang negatif (58,2%), dengan persepsi dan tindakan berada pada tingkat netral. Dari 5 parameter yang diujikan dalam bagian pengetahuan, nilai terendah ditunjukkan pada parameter tatalaksana gigi dan mulut, sedangkan nilai terbaik pada parameter transmisi. Hanya 47,1% responden yang bersedia merawat pasien HIV/AIDS. Alasan utama dokter gigi yang belum bersedia merawat pasien HIV adalah rasa takut akan risiko transmisi dan kurangnya pengetahuan mengenai tatalaksana gigi mulut pada pasien HIV/AIDS. Analisis multivariat menunjukkan sejumlah faktor yang dapat dijadikan prediktor kesediaan merawat pasien HIV/AIDS: persepsi positif (OR 7,26; 95% CI, 1,33-39,72; p = 0,022), sikap netral (OR 6,63; 95% CI, 2,99-14,68; p = 0,000), tidak bekerja di praktik pribadi (OR 3,66; 95% CI, 1,01-13,27; p = 0,048), dan jenis kelamin pria (OR 3,48; 95% CI, 1,36-8,90; p = 0,009).
Kesimpulan: Kesediaan responden penelitian ini paling kuat berkorelasi dengan sikap responden, diikuti persepsi dan tindakan. Pengetahuan berkorelasi dengan persepsi dan sikap; persepsi berkorelasi dengan pengetahuan, sikap, dan kesediaan; sikap berkorelasi dengan pengetahuan, persepsi, tindakan, dan kesediaan; serta tindakan berkorelasi dengan persepsi, sikap, dan kesediaan.

Objectives: The purpose of this study was to assess knowledge, perception, attitudes, and practices of dentists in Jakarta towards HIV/AIDS and infection control procedures, and willingness to treat HIV/AIDS patients.
Methods: A cross-sectional survey was conducted using a self-administered questionnaire toward 189 dentists in 15 subdistricts randomly selected in Jakarta. Dentist with experience of any postgraduate study related to medicine or dentistry was excluded.
Results: Majority of respondents had poor knowledge (76.7%) and attitudes (58.2%), with average level of perception and practices associated with dental treatment for patients with HIV/AIDS. Among 5 topics in the knowledge section, the lowest result was about dental management, while the highest was about HIV transmission. Only 47.1% showed willingness to give dental treatment for patients with HIV/AIDS. Two main reason of refusal reported by the dentists was fear of HIV transmission and lack of knowledge about dental management for HIV/AIDS patients. Multivariate analysis revealed several factors which could be used to predict dentist willingness: positive perception (OR 7.26; 95% CI, 1.33-39.72; p = 0.022), average attitude (OR 6.63; 95% CI, 2.99-14.68; p = 0.000), not working in private practice (OR 3.66; 95% CI, 1.01-13.27; p = 0.048), and male gender (OR 3.48; 95% CI, 1.36-8.90; p = 0.009).
Conclusion: Willingness of dentists in this study had strongest correlation with attitudes, followed by perception and practices. Knowlege was correlated with perception and attitudes; perception was correlated with knowledge, attitudes, and willingness; attitudes was correlated with knowledge, perception, practices, and willingness; and practices was correlated with perception, attitudes, and willingness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1999
S23353
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perseroan Terbatas merupakan bentuk usaha kegiatan
ekonomi yang berstatus badan hukum. Perseroan sebagai
kesatuan hukum, mempunyai kapasitas yuridis yang sama
dengan orang-perorangan, yaitu dapat melakukan perbuatan
hukum. Dalam melakukan perbuatan hukum, perseroan diwakili
oleh organ-organnya, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham,
Direksi dan Komisaris. Organ-organ tersebut bertindak untuk
kepentingan perseroan sesuai dengan kewenangannya yang
telah ditentukan dalam UUPT dan Anggaran Dasar perseroan.
Tindakan organ perseroan yang diluar kewenangannya (ultra
vires) tidak mengikat perseroan, melainkan menjadi tanggung
jawab pribadi organ yang bersangkutan. PT. Usaha Sandang
(Penggugat) mengadakan perikatan dengan PT. Dhaseng dan PT.
Interland (Tergugat I dan II), yang kemudian ternyata bahwa
perikatan tersebut dibuat oleh direksi kedua badan hukum
(Tergugat III) dengan melampaui batas kewenangannya. Dalam
hal ini Penggugat sebagai pihak ketiga yang beritikad baik
dapat mengemukakan bahwa pihaknya tidak mengetahui bahwa
perikatan tersebut dibuat oleh Tergugat III dengan
melampaui kewenangannya, sehingga perikatan tersebut tetap
sah. Sesuai dengan ketentuan dalam UUPT, Tergugat III harus
bertanggung jawab penuh secara pribadi. Sehubungan dengan
perlindungan pihak ketiga, akan terasa lebih adil apabila
perikatan tersebut tetap mengikat perseroan, sehingga
perseroan dibebani kewajiban pemenuhan perikatan tersebut
beserta dengan ganti kerugiannya. Kemudian perseroan dapat
menagih hak regressnya terhadap direksi yang telah bersalah
atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Alternatif ini
diberikan dengan mengingat bahwa kekayaan perseroan lebih
likuid dibandingkan dengan kekayaan direksi."
[Universitas Indonesia, ], 2004
S23372
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Tariq Islamie G.P.
"Skripsi ini membahas mengenai aspek hukum perjanjian antara dokter gigi spesialis ortodonti dan pasien dalam hal tindakan perapihan gigi di Rumah Sakit. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif. Perawatan ortodonti ini termasuk dalam resultaatsverbintenis karena dokter gigi spesialis ortodonti tidak menjanjikan sebuah kesembuhan kepada pasien, melainkan menghasilkan sesuatu seperti yang telah diperjanjikannya. Hasil penelitian menyarankan informed consent menjadi salah satu syarat seorang dokter gigi spesialis ortodonti untuk melakukan perawatan. Hal ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan.

This thesis discusses the legal aspects of the agreement between the dentist and the patient's orthodontic specialist in dental Hospital for dental maintenance. This Thesis is qualitative and descriptive research. Orthodontic treatment was included in the resultaatsverbintenis because a specialist orthodontist not promises to cure patients, but rather produce something as he had promised. The results suggest that informed consent to be one of the requirements of a orthodontics for maintenance. It is related to professional responsibility regarding the maintenance agreement."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S243
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Nasution, Keren Esterlita
"Latar Belakang : Ketakutan dan kecemasan dental (KKD) orang tua dapat menghambat perawatan gigi pada anak. KKD orang tua dapat menyebabkan kunjungan perawatan yang ireguler, perilaku menghindar dari perawatan, hingga transmisi KKD pada anak. Salah satu perawatan gigi yang paling banyak menyebabkan KKD adalah injeksi intraoral dengan prevalensi sekitar 11,7% - 91%. Metode Cognitive Behavioural Therapy (CBT) merupakan gold standard manajemen ketakutan dan kecemasan saat ini. Metode ini dikembangkan untuk memberi akses yang lebih mudah bagi orang yang membutuhkan yakni melalui CBT bantu diri yang dapat dilakukan secara mandiri melalui berbagai media. Alat bantu diri CBT diketahui mampu mengatasi KKD. Salah satu media yang paling unggul adalah aplikasi seluler yang menyediakan audiovisual yang interaktif. Tujuan : Menganalisis perbedaan antara tingkat KKD terhadap injeksi intraoral sebelum dan sesudah menggunakan aplikasi “Siap ke Dokter Gigi” sebagai alat bantu diri dengan prinsip CBT. Hasil : Terdapat perbedaan bermakna antara tingkat KKD terhadap injeksi intraoral sebelum dan sesudah menggunakan aplikasi “Siap ke Dokter Gigi” (p<0,05) dengan penurunan rerata skor tingkat KKD terhadap injeksi intraoral sebelum dan sesudah menggunakan aplikasi yakni 40,5 dan 28,97 secara berurutan Kesimpulan : Aplikasi “Siap ke Dokter Gigi” mampu menurunkan tingkat KKD terhadap injeksi intraoral pada orang tua pasien anak.

Backgrounds : Parental dental fear and anxiety (DFA) can hinder dental care in children. Parental fear and anxiety can lead to irregular treatment visits, treatment avoidance behavior, and transmission of fear and anxiety to the child. One of the most common dental treatments that cause dental fear and anxiety is intraoral injection with a prevalence of around 11.7% - 91%. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) is the current gold standard of fear and anxiety management. This method was developed to provide easier access for people in need through self-help CBT that can be done independently through various media. CBT self-help tools are known to be able to overcome dental fears and anxiety. One of the most excellent media is a mobile application that provides interactive audiovisuals. Objective : To analyze the difference between the level of DFA towards intraoral injection before and after using the "Siap ke Dokter Gigi" application as a self- help tool with CBT principles. Results : There was a significant difference between the level of DFA towards intraoral injection before and after using the "Ready to Dentist" application (p<0.05) with a decrease in the mean score of the level of MHI towards intraoral injection before and after using the application, namely 40.5 and 28.97 respectively. Conclusion : The “Siap ke Dokter Gigi” application was able to reduce the rate DFA for intraoral injection in pediatric patient’s patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>