Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202749 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noersari Handayani
"Karena masalah yang menyangkut wanprestasi perjanjian pokok (kredit) dengan jaminan (bipotek) kapal masih langka sekali yang diselesaikan melalui badan peradilan (Pengadilan), dengan demikian sampai saat ini belum merupakan problema hukum yang menuntut pembahasan tersendiri (khusus) di lingkungan peradilan. Sehingga masalah hipotek kapal tidak berkembang seperti halnya hipotek pada umumnya (tanah).
Adapun penyebabnya menurut pendapat penulisa antara lain adalah:
1. Pemberian pinjaman dalam bentuk perjanjian kredit dengan jaminan kapal di anggap rnengandung resiko yang lebih besar jika dibanding dengan perjanjian kredit dengan jaminan lainnya (tanah)
2. Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kurang atau tidak memahami peraturan-peraturan yang berlaku.
Oleh karena itu timbulah suatu persepsi dikalangan kreditur sebagai pemilik modal bahwa eksekusi penjualan lelang (Executorial Verkoop) hipotek kapal kurang memberi kepastian (jika dihubungkan dengan sita eksekusi). Sehingga pada akhirnya penulis berpendapat bahwa mengenai masalah perjanjian kredit, dengan jaminan kapal, perlu kiranya diatur secara khusus tanpa bermaksud mengesampingkan prinsip-prinsip keterbukaan dari hukum perjanjian. Sebab menurut pendapat penu1is kapal sebagai obyek hipotek mempunyai sifat dan fungsi yang sama sekali berbeda dengan benda obyek hipotek lainnya (tanah).
Apalagi mengingat peraturan perundangan yang berlaku saat ini adalah merupakan warisan pemerintah colonial Belanda. Maka sebagai konsekuensinya banyak peraturan perundangan produk kolonial Belanda pada waktu itu, semata-mata hanya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pemerintah colonial Belanda saja.
Namun demikian sejak diproklamirkannya Indonesia Merdeka (17 Agustus 1945) dan ditetapkan undang undang dasar 1945 (18 Agustus 1945) berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, peraturan perundangan produk pemerintah kolonial Belanda ini masih tetap berlaku sebelum ada peraturan baru yang menggantikannya.
Adapun ratio dari pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ini adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hokum (recht vacuum). Tetapi sebagai konsekuensinya situasi yang demikian ini telah menimbulkan/menciptakan sesuatu keadaan yang dilematis dibidang hukum. Sedangkan kebutuhan hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat saat ini sudab sangat maju, sehingga peraturan perundangan yang berlaku khususnya mengenai hipotek kapal menurut pendapat penulis perlu kiranya untuk disempurkana agar lebih sesuai dengan tujuan hukum nasional.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20302
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariam Darus Badrulzaman, 1931-
Bandung: Alumni, 1981
346.02 MAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mariam Darus Badrulzaman, 1931-
Bandung: Alumni, 1987
346.02 MAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mariam Darus Badrulzaman, 1931-
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
346.02 MAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mariam Darus Badrulzaman, 1931-
Bandung: Alumni, 1979
346.02 MAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mariam Darus Badrulzaman, 1931-
Bandung: Alumni, 1981
346.02 MAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman
Bandung: Alumni, 1985
346.04 ABD b (3)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Kuswinda Purwati
"Endah Kuswinda Purwati. Pemberian Kuasa Kepada Bank Dalam Kaitannya Dengan Pembebanan Hipotik Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Rakyat Indonesia. - SKRIPSI, 1992.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai praktek pemberian kuasa untuk memasang hipotik alam dunia pe rbankan , berikut masalah hukum yang terjadi diaalam praktek dan penyelesaiannya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Pasal 24 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, menentu kan oahwa bank d ilarang untuk memberikan kredit tanpa adanya jami nan. Dan salah satu bentuk jaminan adalah hipotik hak atas tanah. Hipotik hak atas tanah merupakan lembaga jaminan yang terkena wajib daftar pada register umum. Pendaftaran ini memberikan kedudukan preferent kepada pemegang hipotik, sehingga pelunasan piutang pemegang hipotik itu dapat didahulukan. Namun ketentuan yang bermaksud memberikan perlindungan pada kreditur tidak selamanya diikuti dalam praktek. Dilihat secara teoritis, praktek semacam ini bagaimanapun juga akan mendatangkan kesulitan bagi bank karena terdapat kemungkinan bank akan kehilangan hak istimewanya. Pihak bank sendiri menganggap praktek tersebut tidak menyulitkan, karena bank mempunyai cara tersendiri untuk menghindari hal semacam itu. Walaupun demikian didalam prakteknya, terkadang terjadi juga masalah-masalah yang membutuhkan penanganan yang profesional tanpa harus menimbulkan kesulitan bagi kedua belah pihak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20356
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Sulistyowati Saptowulan
"Perkembangan dan pembangunan ekonomi negara kita tentu tidak lepas dari campur tangan Pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijaksanaan moneter. Langkah yang baru-baru ini diambil oleh Pemerintah, yang dikenal dengan nama Pakto 27, ternyata telah memberikan peluang bagi tumbuhnya bank-bank swasta dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank. Keadaan tersebut menimbul kan persaingan yang ketat diantara bank-bank yang ada, baik pada bank pemerintah maupun bank swasta asi g/nasional, untuk menjaring nasabah sebanyak-banyaknya. Persaingan dalam bidang perbankan tersebut secara jelas dapat terliat melalui promosi yang dilakukan secara besar- besaran oleh pihak bank. Bentuk kegiatan yang ditawarkan untuk menarik nasabah bank, antara lain berupa tawar an pelayanan yang cepat dan efisien, pemberian fasilitas kemudahan berupa proses birokrasi yang biasanya berbelit-belit, perangsang tabungan dalam bentuk undian berhadiah yang jumlahnya menggiurkan, penurunan suku bunga pinjaman dan penaikan suku bunga tabungan/deposito/jasa giro serta bentuk hadiah langsung bagi nasabah proyek tertentu, misalnya hadiah perlengkapan sholat/pakaian ihrom bagi nasabah penyetor O.N.H.
Dalam kegiatan perkreditan sendiri, pihak bank banyak memberi kemudahan kepada masyarakat (debitur) yaitu dengan mengurangi persyaratan pemberian kredit, termasuk aturan birokrasi yang memerlukan waktu relatif lama. Sedangkan mengenai syarat pokok pembenian kredit, bahwa kredit tidak dapat diberikan t anpa a danya jaminan, tidak dapat dikurangi atau dihilangkan oleh pihak bank karena hal itu diatur dalam pe aturan perundang-undangan. Pasal 24 Undang-undang no. 14/1967 mengatur secara jelas tentang penyediaan jaminan atas kredit yang diberikan. Hal ini terasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi di negara kita. Walaupun secara yuridis tidak mengalami hambatan, teeapi bila dilihat lebin jauh mengenai hubungannya dengan perkembangan ekonomi negara, maka peraturan tersebut diatas, khususnya tentang keharusan penyediaan jaminan bagi kredit yang diberikan, adalah sangat menghambat. Atau dengan perkataan lain, perkembangan ekonomi negara kita tidak diikuti oleh perkembangan hukum, sehingga aturan yang ada tidak dapat mengcover perkembangan ekonomi yang terjadi. Contoh yang paling aktual adalah mengenai berkembangnya konglomerat yang menguasai perekonomian masyarakat kecil/lemah. Dipihak lain, aturan itu sendiri tidak sesuai dengan idea kredit yang berarti kepercayaan, juga tidak sesuai tujuan pemberian kredit untuk membantu permodalan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah/pribumi mengembangkan usahanya.
Hal-hal tersebut diatas merupakan pokok tulisan ini, dan ia dimaksudkan sebagai usaha untuk meninjau masalah jaminan dalam perkreditan, baik menurut teori maupun praktek."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernie
"Ernie, 0587007125, Praktek Penggunaan Grosse Akta hipotik dalam kaitannya dengan Eksekusi Hipotik dewasa ini skripsi. Dalam era pembangunan dewasa ini fasilitas kredit yang diberikan oleh pihak bank maupun perorangan mempunyai peran
yang sangat besar. Jenis kredit yang diberikanpun semakin beraneka ragam mencakup banyak kebutuhan hidup.
Untuk menja in kedudukan pihak kreditur sebagai pemberi kredit (pinjaman) maka dibutuhkan adanya jaminan berupa benda milik debitur dan diadakan perjanjian penanggungan hutang yang merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian kredit antara kreditur dan debitur. Hak yang diberikan oleh debitur kepada kreditur ada lah hak tanggungan sesuai dengan UUPA yang berlaku sebagai unifikasi hukum tanah di Indonesia.
Untuk kredit yang jaminannya tanah maka digunakan Hipotik (hak tanggungan yang menggunakan ketentuan-ketentuan hipotik), yang hanya dapat dibebani diatas tanah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan yang berasal dari konversi hak-hak barat. Untuk tanah-tanah hak yang berasal dari kenversi hak-hak adat digunakan ketentuan-ketentuan credietverband.
Sertifikat hipotik sebagai tanda bukti bagi kreditur sebagai pemegang hipotik diberikan sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria (PMA) No.l5/1961 yang kemudian dikukuhkan oleh Undang-Undang Rumah Susun (UURS) atau UU no 16/1985 yang merubah/ memperbaharui penggunaan akte Hipotik sebagai Grosse Akta Hipoti~ yang berlaku selama ini . Dengan demikian yang kini berfungsi sebagai Grosse Akta Hipotik yang berkekuatan Eksekutorial adalah Sertifikat Hipotik bukan Akta Hipotiknya.
Namun sejauh itu dalam praktek penggunaan sertifikat hipotik sebagai grosse akta hipotik banyak mengalami kesulitan-kesulitan/kendala yang tentu saja dilatarbelakangi oleh beberapa hal, diantaranya dari pihak penegak hukum sendiri maupun para praktisi hukum belum mempunyai persepsi khususnya apabila dikaitkan dengan eksekusi hipotik itu sendiri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20392
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>