Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144242 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Prasadi
"Menurut Hukum Islam dikenal dua ajaran kewarisan yaitu ajaran kewarisan Patrilinial dan ajaran kewarisan Bilateral yang merupakan hasil ijtihad dari Prof.Dr.Hazairin. Sistem mawali dapat ditemukan pada ajaran kewarisan Bilateral yaitu merupakan penafsiran terhadap Q.IV ; 33 (S. An Nisa). Sedangkan pada ajaran Kewarisan Patrilinial tidak mengenal masalah mawali (ahli waris pengganti). Dan untuk menghadapi masalah mawali ini, maka ajaran Patrilinial menggunakan ajaran Zaid bin Tsabit mengenai perolehan cucu. Karena menurut ajaran Patrilinial, masalah mawali tidak ditegaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Dari kedua ajaran tersebut akan timbul perbedaan dalam pembagian hasil warisan mengenai masalah mawali ini. Seperti diketahui bahwa mawali dapat terjadi pada mawali terhadap anak pewaris (cucu), mawali melalui saudara (keponakan), mawali melalui ibu pewaris (Nenek) dan mawali melalui bapak pewaris (kakek/datuk). Apabila kita ambil contoh mengenai perolehan mawali terhadap anak pewaris (cucu) seperti dalam kasus Said bin Bandul tersebut diatas, maka dapat terlihat perbedaannya yaitu: menurut ajaran Patrilinial, cucu tidak berhak mewaris karena terhijab oleh anak laki-laki pewaris, sedangkan menurut ajaran Bilateral, cucu berhak mewaris (mendapat bagian waris) karena cucu merupakan mawali bagi mendiang orang tuanya (anak pewaris). Pengadilan Agama Jakarta Tiraur dalam menghadapi kasus tersebut biasanya mengadakan persetujuan dengan para ahli waris yang lain agar cucu juga dapat mewaris. Karena umumnya Pengadilan Agama menganut ajaran Patrilinial, sedangkan menurut ajaran ini cucu tidak berhak mewaris selama masih ada anak laki-laki. Untuk menghindari hal tersebut, penulis menyarankan agar sebaiknya dibuat suatu ketetapan/peraturan mengenai mawali ini agar terdapat suatu kepastian dalam pembagian warisan tersebut khususnya mengenai mawali. Dan sebagai bahan perbandingan dalam skripsi ini juga dikemukakan mengenai kedudukan dan perolehan ahli waris pengganti yang ditinjau dari segi Hukum Perdata (KUHPerdata)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Zushaniaty I
"Hukum Kewarisan merupakan himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak inewarisi harta peninggalan seorang yang telah meninggal dunia meninggalkan harta peninggalannya. Wasiat merupakan bagian dari hukum kewarisan, dimana wasiat itu adalah suatu pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah ia meninggal kelak.
Menurut KUHPerdata terdapat 2 cara untuk mendapatkan warisan yaitu dengan ketentuan Undang-Undang atau ab in testate, dan karena ditunjuk dalam surat wasiat atau testamentair, Dalam KUHPerdata, wasiat tidak boleh melebihi bagian mutlak (Legitime Portie), sedangkan dalam hukum kewarisan Islam wasiat tidak boleh melebihi 1/3 dari har ta peninggalan.
Wujud harta warisan dimana termasuk didalamnya hutang simati, menurut hukum Islam penyesuaiannya adalah didahulukan pelaksanaannya sebelum warisan dibagikan. Sedangkan menurut KUHPerdata, apa yang diterima oleh ahli waris itu adalah harta peninggalan dalam keadaan bersih, berarti setelah dikurangi dengan hutang-hutang sipewaris."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Sismarwoto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvi Rosini
"Hukum kewarisan merupakan himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur peralihan hak dan kewajiban dari seseorang yang meninggal dunia atau pewaris kepada orang yang masih hidup atau ahli waris. Hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia adalah pluralistis, karena belum adanya Undang-Undang Kewarisan Nasional, sehingga masih berlakunya aturan-aturan hukurn Barat, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan hukum Islam, yaitu hukum kewarisan Islam patrilinial (syafi'i), serta hukum Adat, yang sudah berkurang para pendukungnya. Dalam hukum kewarisan Islam ada ijtihad dari Hazairin, yaitu hukum kewarisan Islam bilateral (Hazairin). Penulis mengadakan perbandingan hanya diantara hukum kewarisan Islam patrilinial (Syafi'i), hukum kewarisan bilateral (Hazairin) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pandangan hidup dan sistem menarik garis keturunan yang berbeda, menyebabkan ketiga sistem hukum tersebut berbeda dalam pengaturan mengenai kewarisan. Masalah kedudukan dan perolehan warisan untuk saudara menurut hukum kewarisan Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menarik untuk dibahas, karena kalaulah sebagai syarat saudara tampil mewaris berbeda dalam hukum kewarisan Islam patrilinial dan hukum kewarisan Islam bilateral. Kalaulah suatu keadaan khusus dan memperlihatkan hubungan anak dengan saudara dimana saudara tampil mewaris, jika tidak ada anak walad. Pengertian walad ini berbeda antara hukum kewarisan patrilinial dan hukum kewarisan Islam bilateral. Dalam Undang-Undang Hukum Perdata saudara ditempatkan sebagai golongan kedua bersama-sama dengan orang tua berbagi sama rata, dengan perolehan orang tua tidak boleh kurang dari seperempat bagian. Dari perbandingan itu, akan didapat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang ada diantara ketiga sistem hukum tersebut. Untuk itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan dari persamaan dan perbedaan yang ada, agar dapat dipertemukan bagi pembentukan hukum kewarisan nasional. Perbedaan yang ada bukan untuk dipertentangkan tapi didekatkan, agar semua pihak bisa menerima prinsip yang sama dan prinsip itu dapat menjadi ketentuan dalam Hukum Kewarisan Nasional."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Nurdin
"ABSTRAK
Saat ini di Indonesia ada beberapa ajaran yang dijadikan
landasan oleh Pengadilan Agama untuk menetapkan Fatwa
ahli waris dalara hal ahli waris pengganti, seperti ada
ajaran kewarisan Syafii yang patrilinial dan ajaran kewawarisan
Hazairin yang bilateral, sudah dapat diduga keputusan
ataii penatapan Fatwa antara pengadilan yang satu dengan
lainnya berbeda sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Lauza Putri
"Dalam menetapkan ahli waris, hakim harus menerapkan prinsip keadilan dan kehati-hatian untuk melindungi hak ahli waris dan pihak ketiga dari pelanggaran hak mewaris mereka. Penelitian ini menganalisis kedudukan anak dan keturunan dari bibi melalui pihak ayah sebagai ahli waris dalam Hukum Kewarisan Islam dan perbedaan pertimbangan hakim mengenai hak mewaris anak dan keturunan dari bibi melalui pihak ayah. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dalam tesis yang berbentuk eksplanatoris. Permasalahan hukum tersebut diawali dengan seorang pewaris yang menuliskan wasiat kepada Masjid N. Kemudian, pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan 1 (satu) orang anak perempuan dari bibi melalui pihak ayah serta 5 (lima) keturunan dari anak lelaki dari bibi melalui pihak ayah. Menurut Bilateral Hazairin, ahli waris merupakan mawali. Sedangkan menurut Patrilineal Syafi’i, mereka merupakan zul-arham. Kemudian, menurut KHI, mereka merupakan ahli waris pengganti kelompok derajat keempat. Pertimbangan hakim mengenai hak mewaris ahli waris dalam Penetapan PA Bantaeng No. 27/PDT.P/2020/PA.Batg sudah benar, namun kurang tepat karena hakim tidak menambahkan Pasal 185 KHI dalam pertimbangannya. Lalu, dalam Putusan Nomor 82/Pdt.G/2021/PTA.Mks yang dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 34 K/AG/2022, hakim telah salah dalam menerapkan hukum dalam pertimbangan atas keabsahan wasiat pewaris. Jika hakim menggunakan Patrilineal Syafi’i, maka ahli waris adalah zul-arham. Namun, jika hakim berpedoman pada KHI, maka mereka adalah ahli waris pengganti kelompok derajat keempat. Dengan demikian, wasiat seharusnya berlaku 1/3 (satu per tiga) dari harta peninggalan pewaris. Akan tetapi, SEMA No. 3 Tahun 2015 membatasi ahli waris pengganti sampai derajat cucu. Hakim dapat menggunakan ajaran Bilateral Hazairin yang sejalan dengan asas bilateral KHI. Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap KHI dengan menjelaskan bagian dari ahli waris pengganti. Selain itu, peraturan internal Mahkamah Agung juga hendaknya mengacu pada Hukum Kewarisan Islam yang berlaku. Hakim hendaknya juga berpedoman pada KHI dalam menyelesaikan perkara kewarisan untuk menghindari perbedaan hasil ijtihad dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara. Terakhir, Pemerintah, Mahkamah Agung, ulama, dan/atau institusi pendidikan Islam hendaknya berkolaborasi untuk memberikan sosialisasi mengenai Hukum Kewarisan Islam kepada masyarakat.

In determining heirs, judges must apply the principles of justice and caution to protect the rights of heirs and third parties from violations of their inheritance rights. This research analyzes the position of children and descendants of aunts through the paternal line as heirs in Islamic Inheritance Law and the different considerations of judges regarding the inheritance rights of children and descendants of aunts through the paternal line. This research uses a doctrinal method in a thesis in the form of explanatory. The legal problem begins with a woman who wrote a will to a mosque. Then, the woman died leaving 1 (one) daughter from an aunt through the paternal line and 5 (five) descendants from the son of an aunt through the paternal line. According to Bilateral Hazairin, the heirs are mawali. Whereas according to Patrilineal Syafi'i, they are zul-arham. Then, according to KHI, they are substitute heirs of the fourth degree group. The judge's consideration regarding the inheritance rights of the heirs in Decision. 27/PDT.P/2020/PA.Batg was correct, but not entirely accurate because the judge did not add Article 185 of the KHI to his considerations. Then, in Decision 82/Pdt.G/2021/PTA.Mks which was ratified by Supreme Court Decision 34 K/AG/2022, the judge made a mistake in applying the law in considering the validity of the testator's will. If the judge uses Patrilineal Syafi'i, then the heirs are zul-arham. However, if they base themselves on the KHI they are substitute heirs of the fourth degree group. Thus, the will should apply to 1/3 (one third) of the inheritance of the testator. However, SEMA 3 of 2015 limits substitute heirs to the degree of grandchildren. The judge can use the principles of Bilateral Hazairin which are in line with the bilateral principles of the KHI. Thus, the government needs to revise the KHI to explain the portion of substitute heirs. In addition, the internal regulations of the Supreme Court should also refer to the applicable Islamic Inheritance Law. Judges should also be guided by the KHI in resolving inheritance cases to avoid differences in ijtihad and provide legal certainty for the parties involved. Finally, the Government, Supreme Court, theologian, and/or Islamic educational institutions should collaborate to provide socialization regarding Islamic Inheritance Law to the community."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mursalih
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
S20591
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suripto Irianto
Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.R. Dhiani Listyawati
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfia Eka Wirianti
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>