Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118760 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sudarsono
Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lutfi Suryawicaksono
"Skripsi ini membahas tentang pencatatan dan perkawinan beda agama di Indonesia yang diatur tidak hanya di dalam peraturan hukum nasional yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, tetapi lebih khusus lagi diatur dalam Undang-Undang 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Skripsi ini dibuat untuk menganalisa penetapan nomor 85/PDT.P/2014/PN. PTI menurut ketentuan yang berlaku mengenai perkawinan beda agama di Indonesia setelah berlakunya Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.

This Thesis about Registration and Cross Religion Mariage in Indonesia, despite the regulation under Burgerlijk Wetboek and regulation number 1 / 1974 about marriage, the scope of this thesis is to analyze court judgement number 85/PDT.P/2014/PN. PTI under Civil Administration regulation number 23 / 2006."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63945
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dollys Sulaiman
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S26097
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basri
"Masalah perkawinan antar pemeluk agama atau perkawinan beda agama merupakan masalah yang sangat rumit, Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, yang mengatur mengenai perkawinan beda agama ialah Regeling op de Regemengde Huwelijken, 5. 1898 No. 158 (SHR) namun ketentuan-dari GHR ataupun dari Ordornansi perkawinan Indonesia, Kristen {S.1933 No. 74 tidak mungkin dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar dengan Undang-undang Perkawinan, jika diteliti pasal-pasal dalam Undang-undang perkawinan tidak akan ditemukan satu pasal pun yang yang mengatur secara jelas dan tegas, hal ini menimbulkan perbedaan dalam penafsirannya, bagi sebagian menganggap perkawinan beda agama adalah dilarang, bagi yang lain membolehkan, Pasal 2 Undang-undang perkawinan menentukan bahwa, (1)Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2)Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi yang beragama Islam pencatatan Perkawinan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama, sedangkan yang beragama selain Islam dilaksanakan di Kantor Catacan Sipil. Hal tersehut mengharuskan perkawinan dilakukan menurut Negara dan tanpa mengabaikan agamanya akan membingungkan jika perkawinan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, pasal ini berlaku untuk perkawinan pasangan yang seagama, sehingga dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya Undang-undang Perkawinan melarang perkawinan beda agama.
Dalam penelitian yuridis normatif ini, analisis yang digunakan ialah dengan cara mengumpulkan data untuk kemudian diolah dan dianalisa sesuai dengan sifat data yang terkumpul, untuk selanjutnya disajikan secara evaluatif analis. Terutama mengenai alasan mengapa Mahkamah Agung dapat mengijinkan perkawinan yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Sehingga walau perkawinan dapat dialaksanakan, namun bagaimana dengan keabsahannya. Dengan kata lain perkawinan perkawinan tersebut memenuhi syarat perkawinan perdata, namun belum memenuhi syarat perkawinan agama, seperti yang dimaksud Pasal 2 Undang-undang Perkawinan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ridzka Maheswari Djasmine
"Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris sudah seharusnya memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta perjanjian perkawinan agar tidak melanggar batas-batas hukum dan agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Jika kemudian pasangan suami-istri yang berbeda agama ingin membuat perjanjian perkawinan (postnuptial agreement) yang isinya tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, apakah sesuai kewenangannya Notaris kemudian dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut atau justru Notaris tidak dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut. Permasalahan yang diangkat mengenai batasan para pihak dalam membuat perjanjian perkawinan dan akibat hukum pembuatan klausula moralitas dalam perjanjian perkawinan terhadap perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri. Bentuk penelitian ini yuridis-normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah batasan dalam membuat perjanjian perkawinan terdiri dari batasan hukum berupa peraturan perundang-undangan seputar harta kekayaan dan batasan agama berupa hukum agama para pihak. Apabila Notaris membuatkan perjanjian perkawinan antara para pihak yang perkawinannya dilangsungkan di luar negeri akan tetapi perkawinan tersebut merupakan perkawinan beda agama dan kehendak para pihak yang akan dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, maka akan memiliki implikasi terhadap tiga pihak, yaitu terhadap Notaris, terhadap para pihak, dan terhadap pihak ketiga. Saran berupa dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan yang memperjelas ketentuan Pasal 29 dan mempertegas larangan perkawinan beda agama serta timbulnya kewenangan PP-INI untuk mengadakan seminar dengan pembahasan mengenai substansi perjanjian perkawinan yang hanya berisikan tentang harta kekayaan.

Notaries as public officials who are authorized to make authentic deeds and have other authorities based on the Notary Office Law should provide legal explanation regarding the formulation of a marriage agreement deed so as not to violate legal and religious boundaries as stated in Article 29 paragraph (2) of the Marriage Law. If then a married couple of different religions wants to make a postnuptial agreement whose contents not only stipulate the assets of the parties but also regarding the religion that will be adhered to by the children of the parties, is it within the Notary's power to draft such an agreement or even the Notary cannot draft the marriage agreement. Issues raised regarding the limitations of the parties in making marriage agreement and the legal consequences of including morality clauses in marriage agreement for interfaith marriage held abroad. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. The results of the analysis are the limitations in making a marriage agreement consisting of legal restrictions in the form of laws and regulations regarding assets and religious restrictions are in the form of religious laws of the parties. If a Notary draws up a marriage agreement between parties whose marriage was held abroad, but it is an interfaith marriage and the will of the parties to be poured into the marriage agreement regulates not only the assets of the parties but also regarding the religion to which the children will adhere, it will have implications for three parties, namely the Notary, against the parties, and against the third party. Suggestions in the form of revising the Marriage Law which clarifies the provisions of Article 29 and reinforces the prohibition on interfaith marriage as well as the emergence of PP-INI's authority to hold seminars with a discussion of the substance of the marriage agreement, which only comprises assets."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus W. Mardianto
"Perkawinan adalah suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang sangat mempengaruhi status hukum orang tersebut. Lembaga Perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (B.W) dan Undang Undang Nomor 1/1974. Dalam Pasal undang Undang Nomor 1/1974 disebutkan bahwa yang di maksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan perkawinan antara suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban antara mereka berdua, baik dalam hubungan antara mereka satu sama lain maupun antara mereka dengan masyarakat luas, juga dengan anak-anak yang akan dilahirkan dalam perkawinan itu menyangkut pula hubungan mereka dengan harta benda perkawinan. Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa sejak mulai perkawinan dilangsungkan sudah terjadi percampuran antara kekayaan suami dengan kekayaan isteri jika tidak diadakan perjanjian perkawinan yang mengatur masalah harta kekayaan mereka. Di dalam BW, ada beberapa macam perjanjian perkawinan, yaitu perjanjian perkawinan tentang hak beheer, perjanjian persatuan harta yang terbatas dan perjanjian pisah harta sama sekali. Perjanjian Perkawinan menurut BW dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan tidak bisa dirubah setelah perkawinan berlangsung . Di dalam Undang Undang Perkawinan No. 1/1974 juga diatur tentang perjanjian perkawinan, tetapi pasal mengenai perjanjian perkawinan menurut UU No.1/1974 ini tidak membatasi pada masalah harta perkawinan saja dan bisa dirubah setelah perkawinan berlangsung dengan persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Pada prakteknya, perjanjian perkawinan di Indonesia tidak terlalu di kenal di dalam masyarakat, dan kalaupun ada masih menggunakan ketentuan yang ada dalam BW, sedangkan ketentuan yang ada dalam UU No. 1/1974 masih diragukan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Tujuan dibuatnya tulisan ini adalah untuk lebih memperkenalkan apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan sesungguhnya dan apa manfaatnya bagi kehidupan rumah tangga."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20738
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Ulfa Zuhardi
"Pengakuan dan pengesahan anak luar kawin (ALK) yang dilahirkan dari perkawinan campuran orangtuanya seharusnya memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Hal ini dilakukan guna memberikan kedudukan ALK tersebut menjadi anak sah dan memiliki hubungan hukum dengan kedua orangtuanya. Namun, pada kenyataannya masih terdapat pelaksanaan perkawinan campuran yang hanya dilaksanakan menurut ketentuan agama dan tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini dapat menyebabkan kerancuan status anak yang dilahirkan. Penelitian tesis ini membahas mengenai akibat hukum dan upaya hukum yang dapat diberikan kepada anak dari hasil perkawinan campuran yang lahir pada saat perkawinan belum sah berdasarkan Studi Putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor: 284/Pdt.P/2020/PA.Bgr. Metode yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini ialah penelitian yuridis normatif dengan sumber data sekunder dan bersifat eksplanatoris. Hasil penelitian ini adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah meskipun telah sah secara agama memliki status sebagai ALK dan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya saja apabila pernikahan orangtua biologisnya tidak sah dimata hukum hal ini berdampak kepada status anak, waris dan kewaganegaraan anak tersebut. Upaya hukum terhadap ALK tersebut agar statusnya berubah menjadi anak sah adalah melalui pengesahan anak.

Recognition and ratification of Out of Wedlock children born from mixed marriages of their parents should fulfill the provisions of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and Law Number 24 of 2013 concerning Amendments to Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration (Population Administration Law). This is done in order to give the illegitimate children position to become a legal child and have a legal relationship with both parents. However, in reality there are still mixed marriages which are only carried out according to religious provisions and are not recorded at the Office of Religious Affairs. This can lead to confusion in the status of the child being born. This thesis research will discuss the legal consequences and legal remedies that can be given to children from mixed marriages who were born during an illegitimate marriage based on the Bogor Religious Court Decision Study Number: 284/Pdt.P/2020/PA.Bgr. The method used in writing this thesis is a normative juridical research with secondary and explanatory data sources. The results of this study are children born outside of legal marriage even though they are religiously legal have status as Out of Wedlock children and only have a legal relationship with their mother if the marriage of their biological parents is not legal in the eyes of the law this has an impact on the rights, inheritance and citizenship of the child. Legal efforts against the Out of Wedlock children so that its status changes to a legal child is through ratification the Out of Wedlock children."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Loebis, A.B. (Ali Basja)
Jakarta: [Publisher not identified], [Date of publication not identified]
346.016 598 LOE h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>