Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146895 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Universitas Indonesia, 2000
S20777
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gafur
"Pertumbuhan industri iklan yang terjadi dewasa ini dirasakan cukup pesat. Periklanan merupakan salah satu metode promosi yang mempunyai hubungan dengan pemasaran barang. Keberadaannya tersebut berdasarkan atas daya kreatif seseorang yang mampu mempersuasi konsumen untuk membelinya. Daya kreativitas seseorang dalam mengkomunikasikan pesan, opini atau apapun lainnya untuk kepentingan produsen ataupun pihak lain haruslah selalu dilandasi prinsip jujur dan bertanggung jawab sehingga tidak berbenturan dengan tatanan sosial budaya yang ada. Iklan obat bebas merupakan sarana informasi yang penting bagi konsumen dalam berswamedikasi, namun seringkali terjadi iklan obat bebas itu malah menjerumuskan konsumen kedalam penyakit yang lebih serius akibat salah menggunakan obat, ini terjadi akibat iklan obat bebas itu menyesatkan, baik di tinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku ataupun kode etik periklanan itu sendiri bagaimanakah pelaku usaha periklanan mempertanggungjawabkan produksi dan segala akibat dari iklan obat bebas yang menyesatkan itu jika di lihat dari prinsip syarat-syarat material untuk mengajukan gugatan ganti kerugian sehingga konsumen dapat mengajukan permintaan ganti rugi sesuai dengan aturan bentuk-bentuk ganti kerugian yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20611
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Bulan Trisna
Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elza Puspa Mardiani
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai wasiat yang melanggar bagian mutlak (Legitime Portie) anak kandung menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Skripsi ini mengambil studi kasus putusan Pengadilan Negeri tangerang atas perselisihan yang terjadi antara penerima wasiat dengan ahliwaris legitimaris. Permasalahan terjadi pada saat Pewaris membuat wasiat yang isinya menyatakan bahwa memberikan seluruh hartanya kepada salah satu anak kandungnya saja, padahal disini pewaris masih mempunyai ahliwaris lain yang merupakan ahliwaris legitimaris, yang berhak terhadap bagian mutlak dari harta warisan tesebut,da n bagian tersebut tidak dapat dikesampingkan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pewaris seringkali menggunakan kebebasannya untuk memberikan sebagian atau bahkan seluruhnya harta benda miliknya kepada siapa saja yang dikehendakinya, tanpa ia menyadari bahwa bagian mutlak ahliwaris yang seharusnya mendapatkan harta benda tersebut telah tersinggung pemberian wasiat yang dilakukannya. Dalam putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 29/PDT.G/2010/PN.TNG, para ahliwaris legitimaris berhak mendapatkan bagiannya yang tidak bisa dikesampingan oleh pewaris. Karena dalam undangundang sendiri sudah diatur mengenai bagian mutlak (legitime portie), yang besarnya menurut pasal 914 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan cara pembagian seperti yang diatur dalam pasal 916a Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Penulis juga menyimpulkan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 29/PDT.G/2010/PN.TNG tertanggal 11 Oktober 2010 yang dikeluarkan oleh majelis Hakim kurang tepat, dengan membatalkan Akta Wasiat No.08 tanggal 05 Mei 2009, karena seharusnya terhadap tuntutan bagian mutlak tersebut dilakukan pemotongan (inkorting) bukan pembatalan

ABSTRACT
This paper will discuss about the violation of the absolute part (Legitime Portie) biological children according to the Book of Law Civil Law. This paper takes a case study tangerang Court ruling on disputes between the receiver testament with legitimate legacy receiver. The set of problems occurs when the heir to make a testament stating that it gave his entire estate to one of the only biological child, but here the heir still have another the legitimate legacy receiver, have the right to the absolute part (Legitime Portie), and that part can not be ruled out. The author uses the method of juridical normative research, using secondary data.
This study concluded that the heirs are often using their freedom to provide some or even all of his property to whomever it chooses, without realizing that the absolute part (legitime portie) legitimate legacy receiver should get the property has offended the administration testament do. Within the decision Tangerang District Court No. 29/PDT.G/2010/PN.TNG, the legitimate legacy receiver have the part that can not be ruled out by the heir. Because the statute itself is set on the absolute part (legitime portie), which in this case there are three (3) legitimate legacy receiver, the amount under section 914 of Act Book of the Civil Code which each of the three-quarters (3/4) part, by the division as provided in section 916a of Act Book of the Civil Code. Authors also conclude that the Tangerang District Court Decision No. 29/PDT.G/2010/PN.TNG dated October 11, 2010 issued by the presiding judge who tried the case has been very proper, the judge's will cancel the testament Deed No.08 dated May 5, 2009, basic consideration is that the judge in deciding is the treasure to EA are the entire property ED. Judge to consider other than the ED has legitimate legacy receiver EA should get his share, EI and MH as a child of the ED has the absolute that can not be contested by the ED. These actions have resulted EI and MH can be lost their rights.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43713
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Aryati
"Badan hukum sebagai salah satu subyek hukum yang dikenal didalam lapangan hukum perdata memiliki organ organ didalam melaksanakan hak dan kewajiban yang ada pada dirinya. Organ-organ tersebut bertindak atas nama dan mewakili kepentingan badan hukum tersebut dengan pihak lain. Didalam bertindak atas nama badan hukum dapat terjadi organ badan hukum itu melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan pihak ketiga. Atas kerugian yang dideritanya itu, pihak ketiga dapat meminta ganti rugi kepada badan hukum atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh organnya berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang Ungang Hukum Perdata. Pertanggungjawaban badan hukum adalah sama jika badan hukum itu sendiri yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Hal ini karena perbuatan organ atas nama badan hukum adalah dianggap sama dengan perbuatan badan hukum itu sendiri. Tanggung jawab badan hukum adalah terbatas terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum pada saat organ itu sedang melakukan perbuatan hukum atas nama badan hukum dimana ia memiliki wewenang untuk itu. Ganti rugi yang dapat dituntut oleh pihak ketiga dapat berupa uang, pengembalian dalam bentuk barang, keuntungan yang sekiranya dapat diperoleh jika tidak terjadi perbuatan melanggar hukum itu. Dalam menentukan besarnya ganti rugi yang dapat diberikan, hakim harus berpedoman pada asas ex aequo et bono."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20829
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I G. Nyoman Suartana
"ABSTRAK
Dalam skripsi ini, penulis membahas masalah ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum secara umum, yang di atur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW. Masalah ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum ini, menarik bagi penulis, karena kasusnya sering atau banyak kita jumpai di dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sementara itu, terdapat kecenderungan, bahwa sebagian besar dari masyarakat kita, sering kali tidak menggunakan hak mereka untuk menuntut ganti rugi, manakala mereka merasa dirugikan, pada hal oleh hukum mereka dimungkinkan untuk menuntut ganti rugi ini. Kecenderungan ini, dapat disebabkan karena tingkat pendidikan msyarakat dan pengetahuan masyarakat masih relatif rendah, termasuk pengetahuan dibidang hukum, disamping juga karena rendahnya kesadaran hukum masyarakat, serta adanya rasa enggan dikalangan warga masyarakat untuk mengajukan persoalan atau perkara mereka ke muka Pengadilan. Untuk itulah penulis mencoba membahas masalah ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum, yang pengaturannya terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam skripsi ini, penulis Juga membahas mengenai pengertian perbuatan melanggar hukum secara umum, beserta unsur—unsurnya dan hal-hal yang menghilangkan sifat melanggar hukum dari suatu perbuatan, dan guga membahas mengenai pengertian ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum, bentuk ganti rugi serta mengenai wujud dan besar-kecilnya jumlah ganti rugi. Dan dalam bagian akhir penulis juga menguraikan tentang cara penyelesaian perselisihan apabila timbul masalah ganti rugi ini. B. Methode Research. Di dalam dunia ilmu pengetahuan dikenal adanya dua macam methode research yaitu, library research metode penelitian kepustakaan dan field research metode penelitian lapangan. Untuk dapat melakukan penyusunan skripsi ini, penulis mempergunakan methode library research, Jadi bahan-bahan yang kami kumpulkan dalam usaha membahas masalah-raasalah pokok tersebut tadi, antara lain penulis peroleh dari Kepustakaan Ketentuan-ketentuan Undang-undang Gatatan-catatan kuliah Buku-buku yang ada hubungannya dengan materi sekripsi ini Keputusan-keputusan dari Badan-badan Peradilan, terutama dari Putusan Mahkamah Agung Terakhir kami mencoba menggunakan segala pengeta huan yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. C. Hal-hal Yang Ditemukan Dalam Pembahasan Sekripsi Ini. 1. Mengenai masalah ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum, ternyata Undang-undang tidak mengaturnya secara lengkap dan jelas, sehingga lebih, banyak penafsirannya atau perumusannya diserahkan pada Hakim melalui yurisprudensi, dan para sargana hukum melaui doctrine. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan-kesulitan bagi Hakim dalam menangani kasus-kasus gugatan ganti rugi karena suatu perbuatan melanggar hukum 2. Menurut doctrine maupun yurisprudensi, dimungkinkan adanya penggantian kerugian karena perbu atan melanggar hukum dalam wugud materiil atau vmgud uang terhadap kerugian yang bersifat imma teriil, seperti rasa sedih, mengalami gangguan mental, rasa malu dan lain-lainnya. Kamun kesulitannya adalah dalam menentukan jumlah ganti ruginya secara obyektif. D. Saran-saran. Di dalam usaha pembentukan hukum perdata yang bersifat Rasional, maka masalah-masalah ganti rugi karena suatu perbuatan melanggar hukum, baik itu mengenai pengertiannya, bentuk ganti ruginya, wujud ganti ruginya maupun besar kecilnya ganti rugi itu, hendaknya diberikan pengaturan yang jelas. Oleh karena masalah ganti rugi ini, memang sering kita hadapi dalam pergaulan hidup bermasyarakat, sebab dalam pergaulan hidup ini, kita tidak bisa luput dari kesalahan-kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Nurul Wicaksono
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S23569
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Tanziel Aziezi
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pertanggung jawaban pidana dari seorang pelaku tindak pidana yang telah mengalami praktik cuci otak (brainwash) sebelum melakukan tindak pidana. Penulis menjabarkan hal tersebut dengan menjelaskan bagaimana proses cuci otak (brainwash) terjadi, khususnya pada perekrutan anggota terorisme dan NII, lalu mengaitkan proses tersebut dengan ajaran kesalahan, untuk dapat menentukan apakah terdapat kesalahan dalam pelaku tindak pidana yang mengalami praktik cuci otak (brainwash), sehingga berdasarkan asas geen straf zonder schuld, pelaku tersebut dapat dimintai pertangggung jawaban pidana. Penulis juga menjabarkan bagaimana peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat menyikapi soal cuci otak (brainwash) yang muncul dalam persidangan.
Hasil dari skripsi ini adalah pelaku tindak pidana yang sebelumnya mengalami praktik cuci otak (brainwash) memiliki kesalahan dalam melakukan hal tersebut, sehingga dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Cuci otak (brainwash) ini juga tidak diterima sebagai dasar untuk menghapus pertanggung jawaban pidana, baik dalam peradilan pidana Indonesia, maupun peradilan pidana Amerika Serikat, dikarenakan pelaku tetap memiliki kesadaran dalam melakukan tindak pidana serta melakukan hal tersebut berdasarkan free will yang ia miliki.
Saran yang dapat penulis berikan adalah perlunya pendefinisian yang tegas mengenai apa yang dimaksud dengan cuci otak (brainwash) mengingat masih banyak pihak yang mendifinisikan cuci otak (brainwash) secara salah, seperti menyamakan cuci otak (brainwash) dengan indoktrinasi, padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Kemudian, penulis juga menyarankan adanya sosialisasi, khususnya kepada aparat penegak hukum mengenai pertanggung jawaban pidana dari pelaku tindak pidana yang mengalami praktik cuci otak (braiwnash) agar tidak terjadinya kesalahan dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku tersebut.

This thesis discusses about how the criminal responsibility of a perpetrator who had suffered brainwashing practices before committing a crime. The author describes this by explaining how the brainwashing process occurs, particularly in the recruitment of members of terrorist and NII, then associate that process with the doctrine of fault, to be able to determine if there is an fault in the criminal suffered brainwashing practices, so based on the principle of geen straf zonder schuld, the perpetrators be held criminal responsibility. The author also describes how criminal justice in Indonesia and the United States address the problem of brainwashing that appear in the proceedings.
The results of this thesis are perpetrators who previously suffered brain washing practices have a fault in doing so, so it can be held responsible criminal. Brainwashing is also not acceptable as a basis for removing criminal responsibility, both in Indonesian criminal justice and the United States criminal justice, because the perpetrators remain conscious in committing a crime and do so by free will which he had.
The advice that the author can give is the need for a clear definition of what is meant by brainwashing, since there are many parties that defines brainwashing are wrong, such as equating brainwashing with indoctrination, even though both are different things. Then, the authors also recommend the existence of socialization, especially for law enforcement officers regarding criminal responsibility of perpetrators who suffered brain washing practices, to prevent the occurrence of errors in imposing the punishment of the perpetrators.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57599
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1995
332.1 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>