Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139949 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Fakhry Amin
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji tentang mekanisme pemberhentian Kepala Daerah sebagai pejabat publik oleh DPRD di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia dan permasalahan dalam proses pemberhentian Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD sejak berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta memperbandingkan dengan proses impeachment untuk mendapatkan titik temu dalam persepsi yang selama ini berkembang bahwa pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD merupakan mekanisme impeachment, sebuah mekanisme pendakwaan untuk memberhentikan pejabat publik dari jabatannya yang berkembang di negara federal. Penelitian ini dikaji dengan melalui pendekatan yuridis-normatif. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis-historis dan yuridis-komparatif. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus tetapi, dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai informasi pendukung. Pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang dianalisis menggunakan silogisme dan interpretasi. Sementara itu, penelitian empiris dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui berbagai diskusi dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan pengetahuan yang mendalam di bidang hukum tata negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan mekanisme pemberhentian Kepala Daerah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dalam perkembangannya, saat ini mekanisme yang hadir dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bukanlah mekanisme “impeachment” karena desentralisasi yang tercipta di Indonesia bersifat “desentralisasi eksekutif”, sehingga dalam proses pemberhentian tersebut tidak melibatkan lembaga legislatif, tetapi lembaga pembuat kebijakan yang dikenal dengan istilah “council” di Inggris yang mirip dengan peran DPRD di Indonesia saat ini. Selain itu, mekanisme “Pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD” belum secara rinci diatur di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dewasa ini, termasuk dalam hal beracara di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, untuk menjamin asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, sekiranya apabila dilakukan revisi terhadap Undang-undang Pemerintahan Daerah mekanisme “Pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD” harus diatur lebih rinci lagi di dalam Undang-Undang.

ABSTRACT
This thesis examines the mechanisms "Dismissal of Head of region as public officials by (DPRD/council) in Indonesian" in legislation ever prevailing in Indonesia and the problems in the dismissal process conducted by the Regional Council since enactment the "Act Number 32 of 2004 on Regional Government" as well as to compare with the "impeachment" process to get a common ground in which during the growing perception that the dismissal of the Head of the Regional Council is the mechanism by "impeachment", a mechanism to suspend the prosecution of public officials from office that developed in the federal state. This study examined the juridical-normative approach. In addition, this study also uses juridical-historical and juridical-comparative. The method used in the study are normative legal research methods and empirical legal research methods as well but, in this study is more focused on normative legal research, while empirical legal research serves as supporting information. Approach juridical-normative will be done by means of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary and legal materials were analyzed using "syllogisms" and "interpretation". Meanwhile, empirical research in this study was done by collecting data through various discussions with the parties who have the competence and in-depth knowledge in the field of constitutional law.
The results showed that the developmental mechanism dismissal Regional Head amended from time to time. During its development, the current mechanism is present in the provisions of "Act Number 32 of 2004 on Regional Government" is not a mechanism of "impeachment" because decentralization created in Indonesia is "decentralized executive", resulting in the dismissal process does not involve the legislature, but the policy-making body, known by the term "council" in the English country which is similar to the role "DPRD" in Indonesia today. In addition, the mechanism of "Dismissal Regional Head by (DPRD/Council)" has not been regulated in detail in the Local Government Act today, including in the case of proceedings in the Supreme Court. Therefore, to ensure fairness, expediency and legal certainty, in case if the revision of the Local Government Act mechanism "Dismissal Regional Head by (DPRD/Council)" shall be regulated in more detail in the Act."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Arif Maulana
"Tesis ini mengkaji tentang perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia dan permasalahan konstitusionalitas pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini. Masalah konstitusional kedudukan wakil kepala daerah dan persoalan pemaknaan pemilihan kepala daerah secara demokratis haruskah untuk seluruh daerah, termasuk daerah istimewa menjadi bagian dari kajian. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konsep juga pendekatan sejarah digunakan untuk mengkaji permasalahan penelitian. Bahan hukum yang ada dianalisis dengan menggunakan silogisme dan interpretasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dalam perkembangannya pernah diberlakukan pengaturan pengisian jabatan kepala daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah tersebut dipengaruhi dan ditentukan oleh corak peraturan perundang-undangan otonomi daerah yang ditetapkan oleh rezim pemerintahan yang berlaku. Pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini tidak memiliki landasan konstitusional yang kuat.
Dasar hukum pelaksanaannya cenderung merujuk pada politik hukum dari pembentuk undang-undang yang menafsirkan makna pemilihan demokratis sebagai pemilihan umum. Kedudukan Wakil Kepala Daerah dan pemilihan umum untuk memilih wakil kepala daerah yang dilaksanakan satu paket dengan kepala daerah meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam konstitusi adalah konstitusional. Pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan demokratis tidak harus dimaknai dengan pemilihan langsung untuk seluruh daerah. Menurut konstitusi pengaturan pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat berbedabeda untuk setiap daerah termasuk untuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa.

This thesis examines the development of position filling mechanism of regional and vice regional head in the constitution that has been issued by Indonesian Government before and the constitutionality of position filling problem through the current elections of regional and vice regional head. The constitutional position problem of the Vice Regional Head and meaning issue in democratic local elections, whether or not it should be for the entire region including a special area, becomes part of the study. This study examines the use of normative legal research methods. Law approach, case and concept approach, and historical approach are used to assess research problems. Legal materials are analyzed by using syllogisms and interpretation.
The results show that the development of position filling mechanism of the regional and vice regional head amended from time to time. In its development, direct and indirect position filling regulations have ever been imposed. Changes in the mechanism of position filling of the regional head is affected and determined by the mode of legislation of regional autonomy regime stipulated by government regulations. The position filling through the current elections of regional and vice regional head does not have a strong constitutional basis.
The legal basis for its implementation tends to refer to the legal politics of the legislators who interpret the meaning of democratic elections as elections.Position of Regional Head and general elections to elect representatives of regional heads that was conducted together with the head region election is constitutional, although not set explicitly in the Constitution. Filling the position of the regional head through democratic elections should not be interpreted as direct elections for the entire region. According to the constitution, regulation for the position filling of regional and vice regional head may be different for each local unit of government, including special regions. According to the constitution, regulation for the position filling of regional and vice regional head may be different for each local unit of local government.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30110
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vino Devanta Anjaskrisdanar
"ABSTRAK
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia serta sama-sama menjalankan tugas konstitusional. Salah satu amanah konstitusional antara PTUN dan MK yaitu sama-sama menjadi lembaga pengadilan dalam memeriksa perselisihan yang muncul dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kewenangan antara PTUN dan MK sudah dibedakan secara tegas dalam Pemilukada. PTUN untuk menangani perselisihan administrasi Pemilukada dan MK untuk menangani perselisihan hasil Pemilukada. Namun, kedua putusan di lembaga pengadilan yang berbeda tersebut juga bisa memberikan implikasi hukum yang berbeda terhadap legalitas pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Secara teoritis, apabila melihat prinsip kekuatan hukum yang mengikat erga omnes, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Problem yang muncul adalah KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang wajib untuk selalu melaksanakan putusan pengadilan berada dalam dilema yuridis untuk melaksanakan putusan antara putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK yang memiliki implikasi hukum yang berbeda. Di sisi yang lain, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK memiliki kendala dalam penerapannya apabila terkait dengan proses Pemilukada baik itu diakibatkan oleh kultur hukum, kendala teknis, posibilitas konflik sosial yang ditimbulkan, dan sebagainya. Perbedaan implikasi putusan antara PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK diakibatkan oleh tidak adanya batasan waktu penanganan perselisihan administrasi dan tidak harmonisnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan politik hukum terkait dengan pengaturan pengisian posisi jabatan pasangan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya setiap periode selalu harus ada perbaikan dan evaluasi.

ABSTRACT
State Administrative Court (PTUN) and the Constitutional Court ( MK ) has an important role in law enforcement in Indonesia and constitutional duties equally. One of the constitutional mandate of the Administrative Court and the Constitutional Court is equally into the courts in examining the disputes that arise in the General Election of Regional Head (Pemilukada) process. Authority between the Administrative Court and the Court has explicitly distinguished in the General Election. The Administrative Court to handle administrative disputes and the Constitutional Court to handle election result disputes. However, two decisions on different courts could also provide different legal implications of the legality the chosen of Regional Head and Deputy Head. This study is a juridical-normative research using qualitative methods of data analysis. Theoretically, based on principle legally enforceable erga omnes, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has the same binding legal force. The problem is KPU/ KPU Province/Regency/City (election commission) as officials are obliged to execute court decisions are always in a dilemma between the judicial decision to execute the decision of the permanent legal binding Administrative Court or the Constitutional Court which has different legal implications. On the other hand, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has disadvantages in its application if either linked to Election process was caused by the legal culture, technical constraints, posed for the possibility of social conflict, etc. The difference between the implications of the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court due to the absence of a time limit and has a problem about the harmony of electoral legislation. This reflects the ‘politics of law’ related to the charging arrangements positions of Regional Head and Deputy Head that always should be improvements and evaluation periodically."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2009
352 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
[Universitas Indonesia, ], 2007
S22434
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mokhammad Samsul Arif
"Indonesia pada 9 Desember 2020 akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Berbeda dengan Pemilu Serentak yang mengalami kenaikan angka partisipasi, Pilkada Serentak 2020 dibayangi oleh rendahnya minat masyarakat untuk datang ke TPS karena Pilkada dilaksanakan ditengahdi tengah Pandemi Covid-19. Kendati demikian, KPU tetap optimis jika partisipasi pada Pilkada nanti tetap tinggi sehingga KPU berani memasang target angka partisipasi sebesar 77,5%. Untuk mewujudkan optimisme tersebut diperlukan sebuah strategi untuk mendongkrak minat pemilih. Strategi tersebut antara lain pertama, menyusun strategi komunikasi dan teknis guna mendorong minat serta memberi kemudahan pelayanan pemberian suara. Kedua, penyelenggara dapat memaksimalkan sosialisasi secara daring dengan platform berbagai bentuk media sosial. Ketiga, penyelenggara memberikan insentif kepada pemilih dengan pemberian masker saat pemilih datang ke TPS sebagai bentuk kepedulian penyelenggara atas jaminan kesehatan setiap pemilih."
Jakarta: KPU, 2020
321 ELE 2:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>