Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5210 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Naskah ini merupakan alih aksara dari MSB/L.65 yang dikerjakan pada tahun 1943 oleh petugas Panti Boedaja, di bawah pimpinan Tjan Tjoe Siem di Yogyakarta. Naskah ini merupakan ketikan asli, sedangkan MSB/L.66 adalah tembusan karbon. Untuk keterangan selengkapnya tentang naskah babon, lihat Behrend 1990: 250-251. Naskah yang berisi teks Kakawin Bharatayuddha Mawi Jarwa (Bratayuda Kawi Jinarwa) ini berasal dari Cirebon. Teksnya meliputi pupuh pertama bait 14 dalam edisi Gunning (1903) sampai tamat. Teks dilengkapi pula dengan keterangan makna teks Jawa Kuna dalam bahasa Jawa baru (idiom Cirebonan). Menurut keterangan dalam teks, naskah induk untuk salinan ini (MSB/L.65) merapakan sandikirana milik kraton Kanoman, Cirebon. Dalam kata pengantarnya terdapat pernyataan bahwa Bratayuda Kawi'Cerbon ini tidak boleh dibaca oleh siapa pun kecuali bila mendapatkan perintah Sultan. Naskah diketik dengan mempergunakan tinta hitam, tidak ada perbedaan warna tinta antara kata-kata yang diterangkan dengan yang menerangkan, seperti halnya pada naskah aslinya, yang ditulis dengan mempergunakan tiga macam warna yaitu hitam, abu-abu, dan merah."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.15-G 185
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisi salinan Bharatayuddha Kakawin, mulai dari pupuh pertama bait 14 edisi Gunning (1903). Teks kakawin dilengkapi dengan keterangan maknanya dalam bahasa Jawa baru (jinarwa). Dalam naskah ini teks Jawa Kuna ditulis dengan tinta merah, sedangkan uraian (jarwa) ditulis dengan tinta warna hitam."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.10-B 2.03
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisi salinan Kakawin Bharatayuddha, mulai dari pupuh I bait 14 edisi Gunning (1903). Teks kakawin dilengkapi dengan keterangan maknanya dalam bahasa Jawa baru (jinarwa). Dalam naskah ini teks Jawa Kuna ditulis dengan tinta merah, sedangkan uraian jarwa ditulis dengan tinta warna hitam. Naskah ini diperoleh dari Sumenep pada tahun 1893 kemudian diserahkan kepada Pigeaud oleh Kiliaan Charpentier pada bulan Juli 1927."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.11-B 2.04
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisi salinan Kakawin Bhdratayuddha, mulai dari pupuh I bait 14 edisi Gunning (1903). Teks kakawin dilengkapi dengan keterangan maknanya dalam bahasa Jawa baru (Jinarwa). Dalam naskah ini teks Jawa Kuna ditulis dengan tinta merah, sedangkan uraian jarwa ditulis dengan tinta warna hitam. Naskah ini diperoleh dari Sumenep pada tahun 1893 kemudian diserahkan kepada Pigeaud oleh Kiliaan Charpentier pada bulan Juli 1927."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.12-B 2.05
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini, yang berasal dari Pesisir Cirebon, ditulis dengan bentuk huruf yang sangat khas, sehingga pantas jika diteliti lebih jauh demi kepenti'ngan studi paleografi Jawa. Naskah berisi sebuah versi Serat Bratayuda yang jauh berbeda dengan redaksi Yasadipura yang disunting oleh Cohen Stuart (1860). Teks terdiri atas 25 pupuh, sebagai benkut: (1) megatruh; (2) asmarandana; (3) durma; (4) sinom; (5) pangkur; (6) pucung; (7) kinanthi; (8) mijil; (9) dhandhanggula; (10) asmarandana; 11) durma; (12) sinom; (13) pangkur; (14) asmarandana; (15) kinanthi; (16) pucung; (17) dhandhanggula; (18) durma; (19) sinom; (20) asmarandana; (21) mijil; (22) durma; (23) sinom; (24) dhandhanggula; (25) asmarandana. Secara singkat, isi teks ini dapat dipaparkan sebagai berikut: Prabu Darmaputra dibantu oleh para raja pergi menuju Tegal Kuru. Dewi Kunti menengok putra-putranya ke Tegal Kuru disertai Yamawidura. Yamawidura kembali lagi ke Astina melaporkan kesiapan para Pandawa. Raden Arjuna ingin membatalkan perang melawan Kurawa, namun Kresna tidak menyetujuinya. Peperangan kemudian dimulai: Wirasangka, Utara terbunuh oleh Raja Mandraka dan Durna. Rukmarata bunuh oleh Seta. Seta terbunuh oleh Bhisma. Irawan terbunuh oleh Bhisma, dangkan Bhisma terbunuh oleh Srikandi. Bogadenta, senapati Astina, terbunuh oleh Arjuna. Kemudian Abimanyu berhasil membunuh Lesana Mandrakumara. Abimanyu juga terbunuh oleh para Kurawa. Gardapati di pihak Kurawa terbunuh sh Arjuna. Wreksasaya juga terbunuh oleh Werkudara. Arjuna kemudian berniat smbunuh Sindurja. Burisrawa, senapati Astina terbunuh oleh Setyaki dan Sindurja terbunuh oleh Arjuna. Werkudara kemudian berhasil membunuh Partipeja, Anggajaksa, dan Sarabasata. Dilanjutkan Gatutkaca berhasil membunuh Lembusana, Kalasrenggi, dan Kalagawira, namun ia pun terbunuh oleh Karna Raja Awangga. Ringkasan ini dibuat berdasarkan uittreksel Mandrasastra yang dibuat pada tahun 1938, tersimpan bersama naskah asli."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.9-NR 310
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisi teks Bhomakawya, mengisahkan kemenangan Kresna atas Bhoma. Tersebutlah sebuah pertapaan kosong dan rusak. Samba, putra Kresna mendapat berita dari seorang murid Bagawan Wiswamitra, bahwa pertapaan tersebut adalah bekas pertapaan Sang Darmadewa. Setelah Darmadewa wafat, istrinya yang bernama Yadnyawati bertapa di situ juga, tetapi kemudian membakar diri. Mendengar berita itu, Samba menjadi ingat bahwa Darmadewa sesungguhnya dia sendiri. Dia sangat merindukan Yadnyawati (istrinya), dalam kerinduan tersebut datang bidadari Tilotama, seraya mengabarkan bahwa Yadnyawati telah menitis pada putri Raja Utara Negara dan tetap bernama Yadnyawati. Ia diasuh oleh Bhoma, karena kedua orang tuanya gugur di tangan Bhoma. Secara diam-diam, diiringi oleh Tilotama, Samba menjumpai Yadnyawati. Perbuatan itu diketahui oleh Bhoma, dan Yadnyawati segera dibawa ke kraton Prajostisa. Akhirnya Samba kebingungan dan menjadi gila atas kehilangan Yadnyawati. Para dewa minta tolong kepada Kresna, karena Bhoma akan menggempur Keindraan. Prabhu Kresna segera turun ke medan laga dan bertempur secara dahsyat dengan Bhoma. Dalam pertempuran itu Bhoma mati. Dengan kematian Bhoma ditangan Kresna, maka Samba dapat bertemu lagi dengan Yadnyawati. Penomoran h.l dilakukan dua kali, masing-masing diletakkan pada akhir teks (dalam keadaan rusak), dan di awal teks (dalam keadaan baik). Keduanya terdiri dari dua lempir dikancing dengan kawat pada ketiga sisi lubang. Kiranya Bhomakawya FSUI/CP.81 ini belum tamat ceritanya, karena h. 121 (lempir terakhir) belum menampakkan akhir teks, kemungkinan ada beberapa lempir teks yang hilang (h.122 dan seterusnya). Teks ini tidak menyebutkan data penulisan atau penyalinannya. Namun dilihat dari bentuk, corak tulisan, maupun bahan yang dipakai, dapat dikatakan dihasilkan di Bali. Informasi tentang daftar pupuh dari Kakawin Bhomakawya ini, lihat Kakawin Bhomakawya (edisi cetak) yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, pada tahun 1988. Keterangan referensi, lihat pada Brandes I: 185; Vreede: 391; Juynboll I: 128, II: 491; Pigeaud 1970: 195; MSB/L.91, 100, 431, 432; Pratelan I: 10; PNRI/ 27 L 554, 23 L 559, 37 L 728."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.81-LT 233
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini memuat dua teks, yaitu Kakawin Indrawijaya (h.1-26) dan kakawin Lambang Pralambang (h.1-21).
Kakawin Indrawijaya menguraikan kemenangan dewa Indra dalam memerangi raksasa sakti yang diciptakan Twasta Prajapati. Teks diawali dengan kecemburuan Twasta Prajapati kepada Dewa Indra. Dengan ketekunan semadinya, Twasta Prajapati berhasil memperoleh seorang putra berkepala tiga bernama Trisirah. Raksasa ini pun sangat tekun bertapa brata, sebagai upaya untuk merebut Keindraan (Surga Indra). Dewa Indra mengutus para bidadari untuk menggodanya, namun sia-sia. Akhirnya Dewa Indra membunuh Trisirah dengan senjata bajra, ketiga kepalanya dipotong-potong oleh Wiswakarma.
Twasta Prajapati menciptakan raksasa kedua bernama Wreta, ditugaskan untuk memerangi Dewa Indra. Raksasa ini tidak dapat mati baik siang atau malam, tidak dapat dibunuh dengan senjata apa pun walaupun berasal dari bahan keras maupun cair. Dewa Indra hampir saja kalah dalam peperangan. Para dewa berupaya untuk menjadikan Wreta menguap, sehingga banyak korban dapat meloloskan diri. Melihat situasi yang demikian itu, Dewa Wisnu pun turut turun tangan, serta menasihati para dewa agar pura-pura bersahabat dengan raksasa Wreta.
Raksasas Wreta dapat diperdaya sehingga bersedia mengungkapkan rahasia kelemahannya. Akhirnya ketika bertemu di tepi laut, Dewa Indra dapat membunuh Wreta di waktu senja (pertemuan siang dan malam) dengan buih (bukan keras atau cair), yang dimasuki Dewa Wisnu.
Dewa Indra pergi dari Surga karena merasa berdosa atas terbunuhnya Trisirah (seorang Brahmin) dan Wreta. Nawusa (dari bumi manusia) menggantikan kedudukannya dan menuntut hak atas Saci (permaisuri Indra). Para dewa beserta Saci segera mencari Dewa Indra, akhirnya dapat ditemukan di persembunyian dalam sebatang bunga teratai. Indra menyuruh Saci untuk bersedia menikah dengan Nawusa, asal bersedia datang ke pernikahan dengan sebuah tandu yang dipikul para resi.
Nawusa menyetujui serta melaksanakan segala permintaan Saci. Akhirnya Nawusa dihukum dan dikutuk menjadi seekor ular selama sepuluh juta tahun karena menghina para resi. Indra pun kembali ke Surga.
Keterangan pada h.26a (Indrawijaya) menyebutkan bahwa, naskah ini merupakan karya Betara di Sinduwati, selesai ditulis pada hari Kamis Julungwangi, di Lombok pada tahun 1722 Saka (1799 Masehi). Naskah yang semula karya Betara Sinduwati ini telah disalin atau diprakarsai (?) oleh Ida I Gst. Pt. Jlantik sewaktu menjadi camat di Sukasada Buleleng, tahun 1918. Hal ini diperkuat dengan keterangan h.1a yang menyebutkan jlantik (t.t) punggawa distrik sukasada, 1918.
Keterangan tentang teks Kakawin Indrawijaya da"
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.25-LT 223
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Lontar asal Bali ini berisi teks Kresnandaka (juga berjudul Kakawin Kangsa). Menurut Pigeaud (1980:118), kakawin ini mungkin merupakan kreasi relatif baru.
Teks ini diawali dengan kisah para Yadu, Wresni, dan Andaka di negara Madura di bawah pimpinan Raja Basudewa. Tersebutlah Kangsa, keturunan raksasa Lawana, berbuat sewenang-wenang dan menindas para Yadu. Atas ulah Kangsa ini, menjelmalah Dewa Wisnu lewat rahim istri Basudewa. Pada saat itu Sanghyang Narada sempat mendatangi Kangsa dan meramalkan bahwa dalam waktu dekat Kangsa akan tertimpa musibah, karena musuhnya sedang dalam kandungan ibunya.
Mendengar berita ini, Kangsa segera memerintahkan pra raksasa untuk membunuh setiap wanita yang sedang hamil tanpa kecuali. Namun istri raja Basudewa dapat diselamatkan sampai bayi yang tengah dikandungnya lahir dengan selamat. Banyak cara dilakukan Kangsa untuk dapat membunuh bayi tersebut, namun hasilnya sia-sia. Kedua kesatria putra Basudewa (Kresna dan Baladewa) dapat diselamatkan dalam persembunyian di bawah pengwasan Wabru, yang semakin hari semakin gagah, tampan, dan terlukis sifat kesatriannya.
Kangsa semakin bingung untuk melacak dan membunuh kedua putra Basudewa itu. Akhirnya Kangsa memutuskan untuk mengadakan pertandingan adu senjata secara besar-besaran antara pihak Yadu dengan pihak raksasa di Magada. Upaya ini dilakukan dalam rangka membunuh Kresna dan Baladewa.
Berita yang menarik perhatian Kresna dan Baladewa ini cepat didengarnya. Keduanya memutuskan untuk melihat tempat adu senjata, walaupun sebelumnya dilarang keras oleh Wabru. Di tengah perjalanan mereka menemui halangan dan dicegat oleh seekor buaya raksasa dan seekor naga raksasa. Keduanya dapat dibunuh dengan mudah oleh Kresna dan Baladewa. Ternyata buaya dan naga itu jelmaan widyadari. Atas keberhasilan ini, Kresna mendapatkan senjata Cakra Sudarsana dan Baladewa mendapatkan senjata Bajak (Tenggala).
Sesampai di tempat pertandingan, Kresna dan Baladewa bergabung dengan pihak Yadu. Mereka tidak ada yang mengenalnya kecuali Wabru dan Basudewa yang merasa senang dan yakin atas keberanian kedua putranya. Tak terhitung korban di pihak raksasa, malahan pemimpin-pemimpinnya dapat ditewaskan oleh kedua putra Basudewa.
Melihat kenyataan itu, akhirnya Kangsa memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam pertempuran itu. Tidak lama, Kangsa pun menemui ajalnya terbunuh dengan senjata Cakra Sudarsana oleh Kresna. Para raksasa yang tersisa semuanya dimusnahkan. Para dewa sangat gembira menyaksikan keberhasilan Kresna jelmaan Wisnu itu. Akhirnya suasana kembali damai dan sejahtera, karena para Yadu yang tewas dapat dihidupkan kembali oleh Dewa Indra.
"
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.26-LT 218
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisi teks Serat Bratayuda karangan Yasadipura, pupuh 1-69 (tamat). Tentang teks ini lihat Cohen Stuart 1860, Vreede 1892: 129-134, Pratelan I: 56-64, Poerbatjaraka 1964: 129-134, dan Pigeaud 1967:239-240. Naskah induk tidak diketahui, tetapi kemungkinan disalin dari salah satu naskah Panti Boedaja. Penyalinan dilakukan oleh petugas Panti Boedaja pada jaman Jepang, sekitar tahun 1943."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.16-G 191
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah yang diberi judul Serat Panji en Jajanturan Wayang ini berisi beberapa teks, yaitu: 1. Janturan Nata Binathara di Jenggala Manik (h.1-9, berupa gancaran atau prosa); 2. Tembung Wangsalan karya PB V (h.10-19); 3. Petikan dari Serat Centhini dalam bentuk tembang (h. 19-20); 4. Petikan-petikan kecil dari cerita Panji (h.20-25); 5. Catatan tentang obat-obatan (crakeri) salinan dari PB IV (h.24-34); 6. Lampahan Ringgit Purwa dalam bentuk tembang dhandhanggula (h.34-45); 7. Cerita tentang Semar naik ke kahyangan diiringi oleh Bagong dalam bentuk tembang asmaradana (h.45-52); 8. Lampahan R. Jayalengkara dalam bentuk tembang macapat (mulai halaman yang terbalik, h.273-65); 9. Cukilan Serat Panitisastra (h.64-53). Naskah ini dibeli Pigeaud di Surakarta pada tanggal 22 November 1930. Bagian Jajanturan Gedhog telah disalin pada tahun 1930. Teks telah dibuatkan ring-kasannya oleh Mandrasastra pada bulan Juli 1932. Daftar pupuh: (1) sinom; (2) durma; (3) pangkur; (4) sinom; (5) kinanthi; (6) asmarandana; (7) duduk; (8) mijil; (9) kinanthi; (10) mijil; (11) sinom; (12) dhandhanggula; (13) pangkur; (14) dru; (15) mijil; (16) megatruh; (17) pangkur; (18) mijil; (19) sinom; (20) asmarandana; (21) dhandhanggula; (22) megatruh; (23) pangkur; (24) mijil; (25) asmarandana; (26) durma; (27) pangkur; (28) sinom; (29) megatruh; (30) mijil; (31) dhandhanggula; (32) dhandhanggula; (33) dhandhanggula."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.49-NR 137
Naskah  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>