Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 678 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Naskah ini berisi tiga cerita rakyat yang disusun oleh Mulyadiharja. Menurut keterangan, Mulyadiharja adalah orang desa yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Naskah ini diperoleh Pigeaud pada tanggal 17 April 1939 dari Mas Sastradikrama, Boyolali. Kisah pertama, h.1-9, menceriterakan Dipati Sawunggaling adu jago dengan Dipati Panjer, dengan taruhan seluruh negara beserta isinya. Syarat jago dianggap kalah, tidak hanya kalau berbunyi keok, tetapi lari meninggalkan gelanggang. Aduan pun berlangsung dengan ramai. Dalam arena aduan ini, Dipati Sawunggaling berlaku curang, tetapi sempat diketahui oleh Dipati Panjer. Ketika jagonya terlihat akan kalah, maka Dipati Sawunggaling menghilang dan masuk ke dalam badan jagonya. Dipati Panjer pun tak ketinggalan masuk ke dalam jagonya juga. Pertarungan bertambah seru. Jago Dipati Sawunggaling keluar arena, dan dikejar sampai ke mana pun larinya. Akhirnya Dipati Sawunggaling terlunta-lunta, kemudian bertempat tinggal di hutan. Dia hidup dari bertani, beternak, dan menanam bunga kanthil putih dan kuning dalam satu pohon. Siang malam dia selalu berdoa agar dapat membalas Dipati Panjer, tetapi meninggal sebelum terkabul niatnya. Sepeninggal Dipati Sawunggaling, ayam dan kembang kanthilnya di Hutan Kejaba, tidak ada yang berani mengambil karena seram. Di Hutan Kejaba itu ada pohon beringin besar yang merupakan tempat peristirahatan Dipati Sawunggaling, dan sekarang dijadikan tempat ziarah orang desa sekitarnya. Hutan Kejaba sekarang terkenal sebagai daerah yang menghasilkan ayam jago hutan yang handal. Dipati Panjer setelah mendengar Dipati Sawunggaling meninggal, akhirnya ikut meninggal. Daerah tempat Dipati Panjer sekarang menjadi desa dengan nama desa Panjer. Dan bekas tempat mengadu jago namanya desa Kalasan. Desa Panjer sekarang terkenal dengan jago adu berkaki hitam yang handal, dan burung perkutut yang dapat berbunyi kung. Cerita kedua, h.10-13, menceritakan tentang Gua Songputri di desa Ngleri wilayah Plajen. Di desa Ngleri ada gunung Gua Songputri yang berbentuk lempengan. Guwa ini dulu dipakai bertapa seorang putri selama bertahun-tahun sampai menjadi nenek-nenek. Ada seorang raja mendapat wangsit, agar dia kawin dengan seorang putri. Maka diutusnya patih beserta bala tentaranya untuk mencarikan putri tersebut. Setelah sampai di tempat putri berada, utusan tersebut menceriterakan semuanya. Nenek tersebut berkata bahwa di tempat itu yang ada hanyalah seorang nenek, tak ada putri. Dia begitu kasihan melihat mereka kelaparan, maka ditanakkan nasi satu kendhil. Mereka semua mengganggap tentu tidak akan cukup. Namun setelah nasi diler dan disajikan, ternyata semua merasa kecukupan. Hal ini menimbulkan keheranan mereka semua, sehingga tempat itu kemudian disebut Desa Ngleri. Setelah sampai kembali di istana semua yang sudah dilihat diceriterakan meraka kepada raja. Raja mengetahui bahwa nenek-nenek tersebut adalah putri yang dimaksud. Maka ia menyuruh patih memboyong nenek tersebut. Nenek tersebut menyetujui dengan syarat tidak menyeberangi sungai, dan tidak mau naik kendaraan sekalipun dengan tandu. Dalam perjalanan dijumpai sungai, maka patih mengibaskan tanah yang melektt dikakiya, dan terjadilah jembatan yang bernama Wot Siti. Airnya mengalir sampai desa Muladan. Dalam perjalanan, nenek tersebut sakit, dan tak ada obat yang mempan. Maka diistirahatkan di desa Sudamara (Imagiri) kelurahan Songgraha. Gua tempat bertapa putri disebut Gua Songputri, di dekatnya ada mata air Kali-raman, yang merupakan tempat mandi sang Putri. Sekarang diganti namanya menjadi Sendhang Kalimulya. Cerita ketiga, h.13-15, tentang asal mula Kelurahan Plembutan, desa Plajen wilayah Mulat Plembutan, merupakan kraton lelembut. Lelembut yang tua namanya Raden Tatit dan yang muda Raden Agung. Orang desa sekitar tidak ada yang tahu wujud lelembut. Mereka maju dalam hal bertani, berdagang, membuat gula jawa. Di desa Plembutan tak ada sebuah sumur pun. Berdasarkan cerita Pak Guna, waktu menggali sumur ditemukan batu yang dilinggis dan pecah tiga. Waktu itu terdengar suara, 'Hai Pak Guna, janganlah merusak rumah dan keluargaku, kalau tidak engkau akan menemui celaka. Dengarkan pantanganku ini. Kalau kamu tetap nekat, walaupun dengan seribu linggis sekalipun, tetap tidak akan mengeluarkan air, kecuali orang-orang Plembutan dan Papringan. Salinan naskah ini, lihat FSUI/99, dibuat rangkap empat oleh staf Pigeaud."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CL.98-A 41.09a
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini merupakan alih aksara dari FSUI/CL.98, dilakukan oleh petugas Panti Boedaja pada tahun 1930an. Lihat deskripsi naskah induk untuk ringkasan cerita dan informasi lainnya. Pada koleksi FSUI terdapat empat eksemplar naskah ketikan ini, yaitu ketikan asli (A 41.09b) dengan tiga tembusan karbon (c-e)."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CL.99-A 41.09b
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Prawira
"ABSTRAK
Cerita Sawunggaling ditulis oleh Poerwadhi Atmowihardjo yang memenangkan sayembara mengarang sejarah dan dongeng tokoh Sawunggaling yang diadakan oleh Panjebar Semangat pada tahun 1952. Kemudian cerita Sawunggaling terbitkan oleh Majalah Panjebar Semangat tahun 1953. karya ini berisi tentang nilai moral semangat kepahlawanan dan perjuangan dalam membela keluhuran bangsa. Sawunggaling merupakan tokoh yang diidolakan oleh masyarakat Surabaya bahkan telah menjadi mitos di kalangan masyarakat Surabaya. Sawunggaling rela berkorban dan mempertaruhkan jiwa raganya melawan Kompeni Belanda yang banyak menyengsarakan rakyat. Penelitian meneliti pesan moral yang terkandung dalam cerita Sawunggaling dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Teori yang digunakan untuk menganalisis unsur-unsur karya sastra menggunakan teori struktur dari Burhan Nurgiyantoro. Unsur-unsur yang dibahas dalam penelitian ini adalah penokohan, latar, sudut pandang, dan moral.

ABSTRACT<>br>
Sawunggaling was writen by Poerwadhi Atmowihardjo who won the history and tale of Sawunggaling figure writing contest which was held by Panjebar Semangat 1952. Then the history of Sawunggaling which was published by Panjebar Semangat Magazine in 1953. This works tells the moral value of patriosmen and struggle of fighting for the nations nobility. Sawunggaling is a hero from Surabaya who is willing to sacrifice and risk body and soul to againts the Dutch colony who has tormented the people. This novel analisys uses the descriptive method. The theory of stucture by Burhan Nurgiyantoro. The elements which are discussed in this research are Character, setting, the point of view, and moral. "
2917
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. S. Ranggawaluja
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , 1992
398.216 RAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1993
398.3 HIK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yophie Septiady
"Rumah adat atau rumah tradisional merupakan bahan yang menarik dalam penelitian Antropologi. Beberapa peneliti telah banyak `mengupas' tentang bahan penelitian ini, seperti; Cunningham (1964), Raglan (1964), Rapoport (1969), Singarimbun (1975), Broadbent (1984), Duly (1985), Oliver (1987), Mangunwijaya (1988), Fox (1990, 1993), Waterson (1991, 1993), Egenter (1995), Gintings (1996), Molnar (1996,1999), Suparlan (1999), Woodward (1999), Provencher (1999), dan lain-lain, yang membahas dari tujuan dan sudut pandangnya masing-masing.
Berdasarkan pengetahuan referensi di atas, saya mencoba mengkaitkan antara simbol-simbol pada bangunan rumah adat Karo di desa Lingga dengan cerita prosa rakyat yang ada pada masyarakatnya. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, karena hubungan yang terjadi di dalamnya berkaitan erat sekali dengan unsur-unsur budaya dari masyarakatnya, seperti; agama, ideologi, kekerabatan, status sosial, pranata, dan adat istiadat. Pemakaian folklor (cerita prosa rakyat) sebagai salah satu bagian dari budaya akan lebih mempertajam pemahaman budaya untuk mengetahui budaya pada masyarakatnya.
Cerita prosa rakyat dan simbol memiliki hubungan yang sating mendukung. Cerita prosa rakyat dalam penyampaian atau penuturannya kadang kala menggunakan alat bantu pengingat (mnemonic device), biasanya berupa benda-benda yang memiliki mutan simbol-simbol untuk mempermudah dan memperkuat penuturannya. Begitu pula dengan simbol, beberapa di antaranya membutuhkan cerita prosa rakyat untuk lebih menegaskan pemahaman dan penyampaian maksud dari dibuatnya simbol tersebut.
Cerita prosa rakyat yang terbagi menjadi 3 katagori; mite, legenda, dan dongeng, memiliki ciri dan wujud masing-masing sesuai dengan fungsi dan kegunaannya yang dapat dihubungkan dalam makna dari simbol-simbol yang ada, sehingga makna tersebut menjadi semakin jelas arahnya tujuannya. Cerita prosa rakyat dan simbol-simbol yang ada pada rumah adat Karo menunjukkan suatu hubungan yang saling mendukung untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan dan budaya mereka agar hidup selaras, baik antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan alamnya. Untuk meneliti masalah ini tidaklah mudah, sebagai seorang peneliti haruslah benar-benar `masuk' (dapat menyelami) dan sabar dalam mengamati masalah penelitiannya, karena pengamatan penelitian bukan hanya pada tahap; melihat apa yang mereka kerjakan, mencatat apa yang mereka tuturkan dan benda apa yang mereka gunakan, tetapi juga memahami perilaku dan konsep berfikir yang ada pada diri mereka, serta `mewaspadai' konsep berfikir kita sendiri adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"Kresna merupakan tokoh pendukung dan pelindung (pengayom) tokoh-tokoh yang memiliki- sifat benar, utama, dan adil, yaitu Pandawa. Ia pun juga sebagai tokoh penjaga dan pemelihara alam semesta dan telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Tokoh Kresna mengalami "hidup" cukup lama, baik dalam karya sastra Jawa Kuna rnaupun Jawa Baru.
Bagaimana peran dan sifat tokoh Kresna dalam karya sastra Jawa, mengapa tokoh Kresna memiliki berbagai macam peran dan sifat, mengapa tokoh Kresna tampil berbagai wujud dalam masa yang cukup lama, merupakan permasalahan yang akan dipecahkan.
Penelitian ini bersifat deskriptif bertujuan mendapatkan keterangan yang selengkap-lengkapnya tentang obyek yang diteliti, yaitu peran dan sifat tokoh Kresna dalam karya sastra Jawa.
Metodenya yaitu mencari kemungkinan hubungan keterangan dan mengkaji peran dan sifat tokoh Kresna dari suatu sumber data dengan sumber data lainnya dengan menggunakan prinsip hermeneutik, yaitu dengan melakukan explaining (penjelasan), interpreting (penafsiran), dan translating (penerjemahan). Tokoh Kresna yang hidup di berbagai zaman di dalam karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Baru akan dijelaskan dan diinterpretasikan menurut konteks peristiwa dan zamannya. Metode penelitian ini terdiri dari kajian isi teks dan penjelasan latar belakang budaya. Dalam penelitian ini digunakan teori mengenai simbol. Terdapat 3 kategori simbol, yaitu simbol sebagai tanda konvensional, simbol sebagai suatu jenis dari tanda ikonik, dan simbol sebagai sebuah tanda konotasi. Simbol juga berarti membandingkan dan membuat analogi antara tanda dan obyek yang diacu. Penelitian ini menerapkan simbol sebagai sebuah tanda konvensional. Dalam pengertian (konteks) ini, tokoh Kresna yang hidup di berbagai zaman di dalam karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Baru, secara konvensional dipandang oleh masyarakat Jawa mengandung simbol tertentu, seperti Kresna sebagai simbol raja binathara (dewa raja) dan raja pinandhita (pendeta raja).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa tokoh Kresna memiliki berbagai macam peran dan sifat, ini tergantung pada konteks peristiwa dan zamannya. Tokoh Kresna dapat tampil berbagai wujud dalarn waktu yang cukup lama karena kelompok-kelompok masyarakat pendukung mengangkatnya sebagai simbol dalam kehidupan mereka. Kelompok masyarakat istana yang mewakili penguasa tokoh Kresna tampil sebagai dewa raja (raja binathara = raja yang memiliki sifat bataral dewa) bersifat benar, utama, adil, dan melindungi (mengayomi). Di dalam Kelompok masyarakat yang sering mengolah rohani Kresna tampil sebagai pendeta raja (raja pinandhita = raja yang memiliki sifat pendeta), bersifat arif (wicaksana). Kelompok masyarakat yang kedua ini menyatu dengan lingkungan penguasa. Tokoh Kresna sebagai pendeta ini pada kesusasteraan Jawa Baru didukung oleh wujud boneka wayang kulit."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"ABSTRAK
Masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengembangkan diri menjadi masyarakat modern dalam beberapa hat tidak melepaskan dirinya dari simbol-simbol dan idiom-idiom budaya. Pemanfaatan simbol dan idiom budaya dalam kehidupan modern cenderung dijadikan sebagai pengikat (hook) keterkaitan mereka dengan dunia masa lalu (nenek moyang) sebagai salah satu jati diri bangsa. Selain itu, simbol dan idiom budaya merupakan kekayaan budaya yang efektif untuk dipakai sebagai mnemonic terutama yang berkaitan dengan nilai moralnya.
Salah satu simbol atau idiom budaya yang kerap dipakai dalam upaya membangun manusia Indonesia adalah kesenian wayang purwa. Kesenian yang sarat dengan ajaran dan nilai-nilai luhur ini merupakan sarana multidimensional yang dapat dikatakan lengkap. Karakter tokoh-tokoh pewayangan merupakan satu simbolisasi dari watak manusia, cerita-cerita wayang merupakan pesan keteladanan untuk dihayati oleh masyarakat.
Pemanfaatan tokoh wayang pun ternyata tidak terbatas di daiam rangkaian ceritanya saja, tetapi ada kecenderungan pemanfaatan tokoh-tokoh wayang di luar cerita yang dipakai secara khusus oleh masyarakat untuk menghadirkan citra tertentu. Tokoh Semar, misalnya, muncut secara mandiri, yakni hadir sebagai merek dagang (batik Semar), sebagai jenis makanan khas Solo (semar mendem), sebagai akronim yang bersifat politis (supersemar), sebagai tempat menyimpan uang (celengan semar), bahkan sebagai ilmu pemikat wanita (semar mesem). Tokoh mistis ini kerap pula hadir dalam cerita-cerita mutakhir dalam bentuk novel atau drama, seperti yang dikaji dalam penelitian ini.
Kepopuleran tokoh Semar sebagai sebuah wacana tradisional tidak dapat diragukan lagi, karena pada tokoh ini tergambar suatu citra manusia-dewa yang menjadi representasi dari rakyat jelata, perpaduan dunia laki-laki dan wanita, kearifan manusia, pembimbing moral para ksatria, dan lain sebagainya. Namun, citra yang demikian itu lambat laun menjadi terkontaminasi akibat dari kepopulerannya itu. Artinya, kemunculan Semar tidak terbatas lagi pada kerangka wayang purwa, tetapi juga di dalam kehidupan modern sebagai simbol budaya modern. Pada keadaannya yang demikian, citra Semar tidak lagi utuh tetapi sudah mengalami perubahan makna sesuai dengan bentuk barang yang diperjualbelikan itu. Dengan demikian, telah terjadi massifikasi, proses pemassalan pada tokoh ini.
Dalam kaitan itulah, penelitian ini dilakukan, yaitu mengenai tokoh Semar yang telah mengalami massifikasi seperti yang tampak dari karya Sindhunata dan N. Rtiantiarno. Kedua karya tersebut sama-sama menampilkan tokoh Semar yang kehilangan identitas diri sebagai akibat dari perubahan citra dirinya di masyarakat, Sementara itu, satu karya lakon carangan Semar Mbabar Jatidiri karya Tim Delapan PEPADI Pusat menampilkan citra Semar yang sesuai dengan konvensi budaya, yakni sebagai pembimbing dan pengayom.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dalam dua cerita Semar., Semar Mencari Raga dan Semar Gugat, digambarkan tokoh Semar yang dekaden. Ia kehilangan dan mempertanyakan jatidirinya. Massifikasi tokoh ini sebagai dampak dari popularitasnya di masyarakat. Dalam Semar Mencari Raga, Semar tidak ubahnya seperti botol yang dapat diisi oleh cairan apa saja. Hal itu berkaitan dengan raga Semar yang ditempati oleh roh-roh lain, sehingga begitu banyak wajah Semar. Kaitannya dengan masyarakat Indonesia saat ini, banyaknya wajah Semar (tokoh ini mewakili identitas rakyat jelata yang dekat dengan kesengsaraan sosial) di masyarakat identik dengan banyaknya kesengsaraan yang merebak. Dalam Semar Gugat, tokoh ini meminta keadilan atas perilaku ksatria yang menjadi momongannya, Arjuna. Arjuna telah memotong kuncung Semar --salah satu identitas diri Semar-- sehingga Semar merasa terhina dan peristiwa itu merupakan salah satu wujud simbolik dari kesewenang-wenangan para penguasa terhadap rakyat jelata. Pada Semar Mbahar Jatidiri, tokoh Semar hadir secara utuh dan membeberkan bagaimana mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lakon ini sarat denngan pesan-pesan politik pemerintah.
Mitologi wayang dalam pembangunan budya, sosial, dan politik Indonesia tetap menjadi acuan pokok pemerintah Orde Baru. Hal itu disebabkan oleh kuatnya penghayatan elite politik kita (pemerintah) terhadap budaya Jawa.
Seringnya simbol dan idiom budaya dipakai dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan berkurangnya makna simbolik dari simbol atau idiom tersebut. Massifikasi atas simbol dan idiom budaya tersebut merupakan salah satu akibat dari pengeksposan secara besar-besaran simbol atau idiom itu di masyarakat. Masyarakat tidak mempunyai jarak lagi dengan simbol dan idiom itu. Akibat lainnya, citra simbol atau idiom itu tidak bermakna lagi seperti seharusnya."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Christomy
"Perhatian pada Wawacan Sama'un (selanjutnya disingkat WS) yang menjadi objek penelitian ini timbul ketika saya menemukan catatan Ronkel (1909 :444-481) dalam "Het Verhaa l van den Held Sama'un en van Plariah de 1coptische". Menurut pendapatnya, cerita Sama'un berasal dari bahasa Melayu, selanjutnya disalin ke dalam bahasa-bahasa Nusantara. Berdasarkan perbandingan gejala kebahasaah yang terdapat dalam sejumlah naskah, baik yang tersimpan di Perpustakaan Nasional, (dulu di Museum Nasional), Jakarta maupun yang tersimpan di Leiden, diketahui bahwa terdapat dua redaksi utama. Dari redaksi-redaksi tersebut kemudian diturunkan sejumlah varian naskah, baik dalam bahasa Jawa, Arab, maupun Sunda. Penelitian Ronkel tampaknya ingin mendukung pendapat Snouck Hurgronje yang muncul sebelumnya perihal asal-usul naskah yang bukan berasal dari Timur Tengah. Snouck Hurgronje (1906:187) berpendapat bahwa sulit sekali menghubungkan cerita ini pada tradisi suci Islam karena tokoh Sama?un seperti jatuh dari langit. Hanya di bagian kedua cerita ini ditemukan adanya kesejajaran dengan tradisi Islam yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad menerima hadiah dari penguasa Mesir Roptik seorang putri yang cantik yang bernama Mariah al Qibtiyah. Menurut pendapatnya, Hikayat Sama'un hanya meminjam nama dengan demikian, Hurgronje memang menolak tugas bahwa cerita Sama'un berasal dari tanah Arab.
Ketika saya berkesempatan meneliti naskah Sama'un, pada tahap awal ditemukan 20 naskah Sunda, 8 naskah Melayu, 13 naskah Jawa, dan 2 naskah Arab yang semuanya berisi teks Sama'un. Teks Sama'un tersimpan pula dalam bahasa Aceh (Hurgronje, 1906) dan bahasa Sasak di Lombok (Bahrend, 1987). Hal ini menunjukkan teks Sama'un digemari pada zamannya.
Sampai saat ini, perhatian para ahli filologi terhadap cerita ini terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh Snouck Hurgronje {1906) dan Ronkel {1909) yang hanya terfokus pada asal-usul gejala bahasa semata, itu pun belum mengungkapkan seluruh kekhasannya. Selain itu, belum ada penelitian yang mencoba menggali makna cerita baik dari segi kesusastraan maupun pendekatan lainnya yang bertujuan mengungkapkan makna karya ini?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Im, Young Ho
"ABSTRAK
Teka-teki sebagai salah satu jenis foklor hadir dalam khasanah tradisi lisan. Karena disampaikan secara lisan, belum banyak ahli bahasa maupun sastra yang tergerak untuk mengkajinya. Mencermati kenyataan tentang teka-teki yang ada dalam tiap masyarakat bahasa, beberapa peneliti terdahulu berupaya mengenali sifat keuniversalan teka-teki. Berbagai pendekatan dipakai dalam meneliti teka-teki itu untuk memahami dan mengklasifikasikan teka-teki. Dan para peneliti itu, muncul sejumlah definisi teka-teki yang berbeda-beda Namun, umumnya mereka sepakat bahwa teka-teki terdiri dari pertanyaan dan jawaban.
Penelitian terhadap teka-teki bahasa Indonesia tergolong langka Sampai saat ini pembicaraan mengenai teka-teki masih dalam kerangka tradisi lisan, khususnya folklor. Belum ada ahli bahasa yang memperhatikan secara khusus mengenai teka-teki bahasa Indonesia. Hal ini membuka peluang untuk dilakukannya penelitian teka-teki dari segi kebahasaan, karena bagaimanapun teka-teki merupakan bentuk komunikasi verbal yang menggunakan bahasa.
Sejumlah masalah yang dapat dilihat dalam teka-teki dari segi kebahasaan adalah secara garis besar, masalah pokok dalam penelitian ini adalah menganalisis struktur teka-teki dan ciri keambiguan yang tersirat dalam teka-teki berbahasa Indonesia.
Hal lain yang menjadi masalah adalah berkenaan dengan istilah teka-teki dalam bahasa Indonesia. Selama ini istilah 'teka-teki' bersinonim dengan 'terkaan', 'tebakan'. Sementara di dalam bahasa Inggris setiap istilah yang mengacu pada 'riddles', yaitu 'pun', 'puzzle', dan 'riddle' jelas batasan dan ciri-cirinya, tetapi tidak demikian halnya di dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, perlu dirumuskan istilah dan ciri-ciri setiap teka-teki yang ada di Indonesia
Secara khusus yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) mengklasifikasikan teka-teki berbahasa Indonesia berdasarkan struktur dan ciri keambiguannya; 2) merumuskan istilah dan pengertian teka-teki berbahasa Indonesia; 3) melihat kaitan antara wit dan humor dalam masing-masing jenis teka-teki. Dalam hal ini jenis teka-teki mana saja yang mengandung wit dan humor, mana yang hanya humor saja tetapi tidak mengandung wit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasikan tipe wacana teka-teki dalam bahasa Indonesia dengan menganalisis ciri keambiguan yang membentuk teka-teki dan strukturnya. Selain itu, penelitian ini bertujuan memberikan argumentasi tentang adanya ciri keambiguan dalam masing-masing tipe teka-teki yang timbul akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama serta menimbuikan kelantipan dan humor. Untuk mencapai tujuan itu, yang dibahas di dalam penelitian ini mencakup pokok-pokok berikut:
(1) analisis. struktur dan ciri keambiguan dalam teka-teki,
(2) klasifikasi teka-teki,
(3) teka-teki dan pelanggaran prinsip kerja sama,
(4) kelantipan dan humor dalam teka-teki.
Keistimewaan permainan bahasa, dalam teka-teki adalah suatu proposisi yang sering kali terasa aneh atau sulit dan menggelikan atau mengejutkan setelah dihubungkan dengan jawabannya. Salah satu unsur yang unikan dalam teka-teki adalah adanya keambiguan untuk menangkap pesan penutur, yaitu berupa unsur yang disengaja yang akan mengaburkan analog informasi. Keambiguan dalam informasi-informasi yang tidak sempurna itu ditunjukkan oleh hadirnya berbagai aspek kebahasaan selain aspek kontekstual.
Keambiguan merupakan unsur terpenting dalam teka-teki, karena tanpa adanya kedua unsur tersebut, proposisi itu bukan teka-teki, melainkan pertanyaan biases Dengan demikian, dapat disebutkan di sini bahwa keberadaan keambiguan yang disebabkan melalui permainan bahasa (manipulasi informasi) merupakan unsur penting yang hams ada dalam teka-teki.
Ciri keambiguan dalam teka-teki ditunjukkan melalui permainan bahasa, mulai dari segi fonologis sampai dengan segi wacana, maupun permainan kontekstual berdasarkan pengetahuan sosial budaya atau pengalaman sendiri (pertautan).
Perrnainan atau manipulasi kebahasaan yang ada di dalam teka-teki juga dapat dipandang sebagai kecerdasan penutur dalam berbahasa. Hal itu merupakan wujud kemampuan seseorang dalam mengeksplorasi bahasa secara kreatif. Dengan demikian, dari segi kebahasaan dapat dikatakan bahwa teka-teki tidak saja menyangkut masalah verbal tetapi juga berhubungan dengan kemampuan manipulasi kebahasaan oleh penutur, yaitu munculnya kelantipan (wit) sebagai akibat adanya permainan atau manipulasi kebahasaan.
Berdasarkan ciri keambiguitasan, diperoleh tipe teka- teki berbahasa Indonesia, yaitu 'teka-teki terkaan', 'teka-teki soalan', 'teka--teki permainan wacana', dan 'teka-teki plesetan'. Tipe-tipe ini sekaligus menunjukkan pula istilah teka-teki berbahasa Indonesia, sehingga tidaklah istilah 'teka-teki', 'terkaan', dan 'tebakan' sebagai bentuk sinonim"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
D511
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>