Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 204960 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novra Saibi
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1981
S16647
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Komaruddin
Jakarta : Bumi Aksara , 1991
336 KOM u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Rheyna A. Marnala
"Seiring dengan berkembangnya sektor industri manufaktur ternyata menghasilkan juga fenomena baru, yaitu munculnya industri-industri dengan tingkat konsentrasi yang tinggi. Industri dengan tingkat konsentrasi yang tinggi biasanya dihasilkan dari industri-indusri yang bersifat monopoli maupun oligopoli, yang seperti diketahui, bahwa mereka mampu menetapkan harganya di atas biaya marjinal. Kemampuan para monopolis untuk menetapkan harga yang lebih tinggi, ataupun para oligopolis dalam melaksanakan kolusi atau menetapkan harga yang tidak fleksibel diyakini mempunyai kontribusi terhadap tingginya inflasi di Indonesia. Dan rasio konsentrasi yang tinggi dianggap mempunyai hubungan yang positif terhadap penyesuaian harga. Oleh sebab itu tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk melacak seberapa besar perubahan penyesuaian harga pada barang-barang industri manufaktur yang diakibatkan oleh perubahan pada harga input baik material maupun tenaga kerja (upah), dan perubahan pada harga barang-barang industri itu sendiri. Dan akhirnya melacak seberapa besar pengaruh konsentrasi industri terhadap percepatan penyesuaian harga di atas. Ruang lingkup penelitian dimulai dari tahun 1983 hingga tahun 1997 dengan menggunakan data tahunan (time series) dan data silang (cross section). Dimana pada tahun 1993 ditemukan peningkatan tingkat konsentrasi pada sektor industri manufaktur. Untuk meneliti hipotesis di atas maka digunakan model yang dikembangkan oleh Simon Domberger. Dan pada pengujian ini digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dan GLS (Generalized Least Square). Dad hasil pengujian time series ditemukan beberapa industri yang mempunyai koefisien penyesuaian parsial di atas 1, berarti bahwa mereka sangat cepat dalam melakukan penyesuaian harganya. Hal ini menunjukkan bahwa industri-industri tersebut dalam rnenetapkan harganya selalu berdasarkan ekspektasi terhadap inflasi belaka. Dan dari pengujian silang maka ditemukan bahwa memang konsentrasi industri mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap penyesuaian harga. Dari hasil yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa Para oligopolis yang datang dari industri-industri yang terkonsentrasi tersebut mampu mempercepat terjadinya keseimbangan harga yang barn sesuai dengan perubahan atau perkembangan kondisi perekonomian. Meskipun dengan konstribusi yang kecil, keberadaan mereka mampu untuk mempengaruhi terjadinya perubahan pada percepatan penyesuaian harga. Namun hasil penghitungan di atas didapatkan hanya melalui salah satu sisi cara penghitungan konsentrasi, yaitu pangsa pasar yang di dapat dari nilai penjualan. Masih terdapat beberapa cara penghitungan konsentrasi lainnya, yaitu melalui nilai tambah, jumlah aset, dan jumlah tenaga kerja. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan, hal ini berguna untuk melihat apakah melalui cara penghitungan konsentrasi lainnya, seperti yang telah disebutkan, akan menghasilkan kesimpulan yang sama seperti yang didapat di atas. Selain itu memasukkan unsur eksogen lainnya seperti penggunaan variabel dummy proteksi mungkin akan menghasilkan nilai yang lebih baik. Karena proteksi oleh pemerintah merupakan salah satu penyebab terjadinya industri yang terkonsentrasi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
S19267
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sonny Harry Budiutomo Harmadi
"Adanya faktor skala ekonomi dalam pemilihan lokasi menyebabkan beberapa perusahaan yang sej erns memilih berada pada lokasi yang berdekatan, sehingga membawa dampak menurunnya biaya produksi perusahaan. Berkumpulnya beberapa perusahaan sejenis dalam suatu Iokasi industri disebut aglomerasi industri. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa suatu kota memiliki perusahaan yang jenisnya sama lebih darn sate, dan adanya kecenderungan bahwa kota akan berkembang di sekitar lokasi industri. Suatu kota industri yang besar terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi dalam produksi. Ada dua jenis aglomerasi ekonomi, yaitu localization economies dan urbanization economies.
Menurut Henderson (1988), localization economies terjadi jika biaya produksi perusahaan-perusahaan sebagai bagian darn suatu industri menurun pada saat total output darn industri meningkat. Sedangkan urbanization economies terjadi jika biaya produksi sebuah perusahaan secara individual menurun saat total output clan wilayah urban/ perkotaan meningkat. Terdapat kontroversi darn efek yang ditimbulkan oleh localization economies (dikemukakan oleh Alfred Marshall) dengan urbanization economies (diidentifikasi oleh Jane Jacobs). Mills, Henderson, 0 hllallachain dan Satterthwaite mengatakan bahwa localization economies lebih panting dibanding urbanization economies, karena pertumbuhan tenaga kerja suatu sektor lebih tergantung pada besarnya sektor tersebut daripada besarnya wilayah perkota nl metropolitan sektor tersebut berada.
Secara umum, pro duktifitas modal dan tenaga kerja sektor industri di Jakarta cukup bank, dimana modal per tenaga kerja dan upah per tenaga kerja mempengaruhi output per tenaga kerj a. Artinya kenaikan modal dan upah akan mampu mendorong kenaikan output. Aglomerasi ekonomi yang terjadi pada mayoritas sub-sektor industri di Jakarta merupakan aglomerasi jenis localization dan urbanization economies, dimanaperusahaan-perusahaan di sektor industri memilih berlokasi di Jakarta karena pertimbangan biaya produksi yang lebih murah, dan juga karena pertimbangan besarnya jumlah penduduk. Hal inn didukung oleh kenyataan bahwa infrastruktur yang ada di DKI Jakarta lengkap, terutama untuk akses transportasi dankomunikasi, serta posisi Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional.
Analisis regresi data panel menunj ukkan bahwa terdapat perbedaan basil yang mendasar antara data industri dengan klasifikasi ISIC 2 digit dengan industri berdasarkan klasifikasi ISIC 3 digit dalam observasi. Sub-sektor industri di DKI Jakarta yang mengalami aglomerasi industri ialah sub-sektor Industri Tekstil, Pakaian Jadi, dan Kulit, Industri Kertas dan Barang Barang darn Kertas, Percetakan dan Penerbitan, Industri Kimia dan Barang-Barang darn Kimia, Petroleum, Batu Bara, Karat, dan Barang darn Plastik, Industri Barang-Barang Ban Logam, Mesin dan Perlengkapannya, Industri Pengolahan Lainnya. Sedangkan sub-sektor Industri Makanan, Minuman Serta Tembakau, Industri Kayu dan Barang-Barang dari Kayu, Termasuk Alat-Alat Rumah Tangga darn Kayu, Industri Barang-Barang Galian Bukan Logam, dan Industri Dasar Logam tidak mengalami aglomerasi. Pada golongan pokok industri teridentifikasi tidak terjadi aglomerasi industri.
Perlu ada penyusunan kebijakan industri yang lebih diarahkan hanya pads industri yang memang mengalami aglomerasi. Sebaiknya pemerintah daerah DKI Jakarta lebih mengutamakan sub-sektor industri yang sudah terkonsentrasi kuat, dan mengalami aglomerasi jenis localization economies sekaligus urbanization economies."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T20643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonny Harry Budiutomo Harmadi
"Adanya faktor skala ekonomi dalam pemilihan lokasi menyebabkan beberapa perusahaan yang sejenis memilih berada pada lokasi yang berdekatan, sehingga membawa dampak menurunnya biaya produksi perusahaan. Aglomerasi industri ini dapat menjelaskan mengapa suatu kota memiliki perusahaan yang jenisnya sama lebih dari satu, dan adanya kecenderungan bahwa kota akan berkembang di sekitar lokasi industri. Suatu kota industri yang besar terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi dalam produksi, dimana terdapat dua jenis aglomerasi ekonomi, yaitu localization economies dan urbanization economies.
Analisis regresi data panel menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil yang mendasar antara industri dengan klasifikasi ISIC 2 digit dengan industri berdasarkan klasifikasi ISIC 3 digit. Sub-sektor industri di DKI Jakarta yang mengalami aglomerasi industri ialah subsektor Industri Tekstil, Pakaian Jadi, dan Kulit, Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan, Industri Kimia dan Barang-Barang dari Kimia, Petroleum, Batu Bara, Karet, dan Barang dari Plastik, Industri Barang-Barang dari Logam, Mesin dan Perlengkapannya, Industri Pengolahan Lainnya. Sedangkan sub-sektor Industri Makanan, Minuman Serta Tembakau, Industri Kayu dan Barang-Barang dari Kayu, Termasuk Alat-Alat Rumah Tangga dari Kayu, Industri Barang-Barang Galian Bukan Logam, dan Industri Dasar Logam tidak mengalami aglomerasi. Pada golongan pokok industri teridentifikasi tidak terjadi aglomerasi industri."
2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dandun Prakosa
"Tesis ini bertujuan mengetahui tingkat konsentrasi geografi industri pengolahan besar dan sedang di Jawa Tengah selama periode 1990 -- 2000 serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menggunakan data panel sembilan sub sektor industri pengolahan besar dan sedang.
Hasil studi menunjukkan bahwa sub sektor industri makanan, minuman dan tembakau di Jawa Tengah memiliki konsentrasi geografi tinggi dibandingkan tingkat nasional dan variabel persentase input yang diimpor, rata-rata upah tahunan tenaga kerja, indeks kompetisi, persentase produk yang diekspor, skala ekonomi dan intensitas penggunaan sumberdaya mempengaruhi tingkat konsentrasi geografi industri yang ditunjukkan dengan nilai Location Quotient.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Perindustrian RI, 1982
338.09 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Shuki
"Dampak Dihapuskannya Bidang Usaha Pertunjukan Film dari Daftar Negatif Investasi di Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Industri Film Termaju Setelah bertahun-tahun menutup seluruh industri perfilmannya dari investor asing, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, pada tahun 2016 seluruh industri perfilman secara umum dan bidang usaha pertunjukan film secara khusus dihapuskan dari Daftar Negatif Investasi di Indonesia. Semenjak dilakukannya pencabutan Daftar Negatif Investasi, terlihat bahwa beberapa investor asing telah mulai memasuki ranah pertunjukan film di Indonesia. Untuk mengetahui, memahami, sekaligus menganalisis ketepatan dari dampak yang telah terjadi selama empat tahun setelah dilakukannya pencabutan Daftar Negatif Investasi, dilakukan penelitian secara analisis yuridis, dimana selain melakukan perbandingan peraturan mengenai investasi asing dalam bidang pertunjukan film di Indonesia dengan tiga negara industri film yang termaju, yakni Amerika Serikat, Cina, dan India, juga dilakukan wawancara kepada pelaku industri perfilman yaitu pengusaha bioskop independen dan produser film nasional, serta kepada pihak-pihak lain yang terkait dengan pencabutan Daftar Negatif Investasi ini yakni konsumen dan pihak pemerintah. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara garis besar dampak dari pencabutan Daftar Negatif Investasi tersebut bersifat positif, dimana layar bioskop yang bertambah secara signifikan membawa pengaruh besar atas perkembangan kondisi perfilman nasional. Namun, pengusaha bioskop independen yang banyak beroperasi di daerah menjadi satu-satunya pihak yang merasa dirugikan atas pencabutan Daftar Negatif Investasi atas ekspansi bioskop jaringan ke daerah-daerah, dimana pada sisi lain, sampai saat ini pun Indonesia masih kekurangan layar bioskop apabila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Untuk itu, pemerintah harus menemukan solusi yang tepat untuk terus melancarkan iklim investasi secara keseluruhan, namun tetap tidak mengabaikan kepentingan pengusaha bioskop independen sebagai salah satu komponen masyarakat dan pelaku usaha perfilman nasional. Kata kunci: Bioskop, Daftar Negatif Investasi, Penanaman Modal Asing, Pencabutan, Perfilman, Pertunjukan
He Impacts of The Abolishment of The Sector of Film Exhibitions From The Negative Investment List in Indonesia and Its Comparison With The Most Advanced Film Industry CountriesAfter years of closing the entire film industry from foreign investors, for the first time in the history of Indonesia, in 2016 the entire film industry in general and the sector of film exhibitions were specifically removed from the Negative Investment List in Indonesia. Since then, it appears that some foreign investors have begun to enter the realm of film exhibitions in Indonesia. To find out, understand, and analyze the accuracy of the impacts that’d occurred during the four years after the abolishment, a juridical analysis of research was conducted, which in addition to comparing regulations on foreign investment in film exhibitions in Indonesia with the three most advanced film industry countries, United States, China, and India, interviews were also conducted with the players of film industry, which are independent cinema entrepreneurs and national film producers, as well as other parties related, which are the consumers and the government. The results of the study showed that the impact of the abolishment in general was positive, where the significant increase of cinema screens had a big influence on the development of the entire film industry. However, independent cinema entrepreneurs that mostly operate in the regions are the only parties who feel disadvantaged over the abolishment for the expansion of network cinemas to the regions, where on the other hand, even until now Indonesia still lacks cinema screens when compared to the number of its inhabitants. To that end, the government must find the right solution to continue incite the overall investment climate, but not ignoring the interests of independent cinema entrepreneurs as one of the components of society and players in the national film industry. Keywords: Abolishment, Cinema, Film, Film Exhibitions, Foreign Investment, Negative Investment List."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erniati Husni
"ABSTRACT
This Study proves that the validity of Cobb-Douglas production function with constant return to scale and Hicks neutral technological change at manufacturing industry in Indonesia during 1985-1990, especially for two-digit ISIC 31, 32, 33. The author found that the output elasticities of capital is much more than its labor in each sub-manufacturing industries. Therefore, industries in Indonesia have been developed with capital intensive and labor saving biases in technological progress. In addition, the empirical results indicated that the Cobb-Douglas production function is decreasing return to scale.
On the other hand, the substitution elasticities for ISIC 31 is inelastic, but others are elastic. This results indirectly linked to the government policy. In the economy as a whole, the capital induce become more expensive with the government policy. Consequently, the ISIC 32, 33 will tend to labor intensive, except for ISIC 31. However, actual rate of return on capital is much more greater than its marginal product, reflecting the higher cost of expansion and development of sub-manufacturing industries in Indonesia from social welfare point of view.
Beside that, actual return to labor is lower than value of its marginal product every year during the observed period. Essentially, for the period observed, the sub-manufacturing industries in Indonesia has not benefited the labor cost comparative advantage which should be enjoyed in the labor market with excess supply of labor. Therefore, the prospect of output of the sub-manufacturing industries do not achieve a satisfactory from the Hecksher-Ohlin theory point of view. However, Indonesia should increase the output of industry in order to lower the fixed cost of production per unit through optimality the utilized capacity. "
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>