Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154217 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neni Nuraini
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S33012
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Ayu Anggraeni
"Aminofilin merupakan salah satu derivat metilxantin yang dapat digunakan sebagai antiselulit pada sediaan topikal. Untuk membandingkan perbedaan jumlah aminofilin yang terpenetrasi pada sediaan topikal dibuat tiga sediaan yaitu dalam bentuk krim, gel, dan salep kemudian penetrasinya diuji secara in vitro dengan alat sel difusi franz menggunakan membran abdomen tikus galur Sprague-Dawley. Uji penetrasi dilakukan selama 8 jam dengan 11 kali pengambilan sampel dan masing-masing diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 272,5 nm. Jumlah aminofilin yang terpenetrasi sebanyak 3779,51 ± 25,96 μg/cm2 untuk sediaan gel, 2104,13 ± 17,00 μg/cm2 untuk sediaan krim, dan 518,24 ± 21,22 μg/cm2 untuk sediaan salep. Persentase jumlah aminofilin yang terpenetrasi dari sediaan gel adalah 26,25 ± 0,18%, dari sediaan krim 14,62 ± 0,12%, dan dari sediaan salep 3,60 ± 0,15%. Kecepatan penetrasi aminofilin yang paling besar diperoleh dari sediaan gel, kemudian krim, dan terakhir salep, yaitu masing-masing sebesar 472,44 ± 3,24 μgcm-2jam-1, 263,02 ± 2,13 μgcm-2jam-1, dan 64,78 ± 2,65 μgcm-2jam-1.

Aminophyllin is one of the methylxanthine derivate used as an anticellulite in a topical dosage form. To measure the diffusion of aminophyllin from topical dossage form, three kinds of preparation were made as cream, gel, and ointment, and then the penetration through skin were examined by in vitro Franz diffusion cell test using Sprague-Dawley rat abdomen skin as membrane diffusion. The test was done for 8 hours with 11 times samples withdrawn, and the absorption of each sample was measured by spectrophotometer UV-Vis at wavelength 272.5 nm. The diffusion of aminophyllin measured from gel preparation was 3779.51 ± 25.96 μg/cm2, from cream preparation was 2104.13 ± 17.00 μg/cm2, and from ointment preparation was 518.24 ± 21.22 μg/cm2. The percentage of diffused aminophyllin from gel preparation was 26.25 ± 0.18%, from cream preparation was 14.62 ± 0.12%, and from ointment preparation was 3.60 ± 0.15%. The highest flux of aminophyllin was from gel 472.44 ± 3.24 μgcm-2hour-1, followed by cream 263.02 ± 2.13 μgcm-2hour-1, and the last one was from ointment 64.78 ± 2.65 μgcm-2hour-1.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32732
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Haniefah
"Kafein merupakan derivat metilxantin yang dapat digunakan sebagai anti selulit pada sediaan topikal. Untuk melihat perbandingan jumlah kafein yang terdifusi pada sediaan topikal dibuat 3 sediaan dalam bentuk krim, gel, dan salep. Penetrasi kafein melalui kulit diuji secara in vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus galur Sprague-Dawley. Uji difusi dilakukan selama 360 menit dengan 9 kali pengambilan sampel dan masing-masing sampel diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 273,60 nm. Jumlah kafein yang terdifusi sebanyak 964,94 ± 41,46 μg/cm2 untuk sediaan gel, 736,32 ± 39,96 μg/cm2 untuk sediaan krim dan 159,52 ± 4,68 μg/cm2 untuk sediaan salep. Kecepatan penetrasi kafein yang paling besar diperoleh dari sediaan gel, kemudian krim, dan terakhir salep, yaitu masing-masing sebesar 160,82 ± 6,91 μgcm-2jam-1; 122,72 ± 6,66 μgcm-2jam-1; 26,59 ± 0,78 μgcm-2jam-1."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2007
S32895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadyanti
"Banyak sediaan antiselulit yang beredar di pasaran dengan beragam zat aktif dan bentuk sediaan. Akan tetapi, belum diketahui bentuk sediaan dan zat aktif yang memberikan penetrasi yang lebih baik. Zat aktif yang digunakan umumnya golongan metilxantin, yaitu kafein dan aminofilin. Ada sediaan antiselulit yang menggunakan derivat vitamin A. Derivat vitamin A, tretinoin, selama ini secara topikal lazim digunakan sebagai antijerawat. Dalam penelitian ini ingin diketahui pengaruh tretinoin terhadap penetrasi kafein dan aminofilin secara in vitro menggunakan sel difusi Franz dengan kulit tikus sebagai membran. Tahapan yang dilakukan adalah pembuatan dan evaluasi sediaan, serta uji penetrasi. Sediaan dibuat adalah krim, gel dan salep, mengandung kafein 3% atau aminofilin 2%, dengan atau tanpa tretinoin 0,05% pada krim dan salep serta tretinoin 0,01% pada gel. Fluks (μg.cm-2.jam-1) kafein yang terpenetrasi pada jam ke-8 dari sediaan krim, gel dan salep berturut-turut sebesar 70,10 ± 0,75; 444,67 ± 0,97 dan 55,39 ± 5,86 serta dengan adanya tretinoin berturut-turut sebesar 121,33 ± 1,55; 555,47 ± 4,27; dan 63,77 ± 1,04. Fluks (μg.cm-2.jam-1) aminofilin yang terpenetrasi pada jam ke-8 dari sediaan krim, gel dan salep berturut-turut sebesar 86,20 ± 0,32; 240,20 ± 3,00; dan 22,54 ± 1,25 serta dengan adanya tretinoin berturut-turut sebesar 140,33 ± 2,77; 379,45 ± 3,15; dan 27,05 ± 0,78. Hasil ini menunjukkan bahwa kafein dan aminofilin dengan tretinoin dapat digunakan untuk mengembangkan formula baru dengan penetrasi kafein dan aminofilin yang lebih baik.

There are many kinds of anti-cellulite products with various dosage forms and active ingredients. On the other hand, there is not enough information about dosage forms and active ingredients which give the best skin penetration. Subtances properly used in anti-cellulite products are methylxanthines, i.e caffeine and aminophylline. There are anti-cellulite products containing vitamin A derivatives but no informations enough describing its function as an anti-cellulite. So far, vitamin A derivate, tretinoin, in topical dosage forms is widely used as anti-acne agent. In this research, the effects of tretinoin on in vitro skin penetration of caffeine and aminophylline was investigated through rat skin as membrane using Franz diffusion cell. The steps of this research were formulating and evaluating dosage forms, and testing skin penetration. Formulas were made in three dosage forms, i.e cream, gel and ointment, containing 3% caffeine or 2% aminophylline, with 0,05% tretinoin in creams and ointments, and 0,01% tretinoin in gels. All investigations were compared to caffeine or aminophylline cream, gel, and ointment without tretinoin. Eighth-hour flux (μg.cm-2.hr-1) of penetrating caffeine from cream, gel, and ointment without tretinoin were 70,10 ± 0,75; 444,67 ± 0,97 and 55,39 ± 5,86; and with tretinoin became 121,33 ± 1,55; 555,47 ± 4,27; and 63,77 ± 1,04. Eighth-hour flux (μg.cm-2.hr-1) of penetrating aminophylline from cream, gel, and ointment without tretinoin were 86,20 ± 0,32; 240,20 ± 3,00; and 22,54 ± 1,25 and with tretinoin became 140,33 ± 2,77; 379,45 ± 3,15; dan 27,05 ± 0,78.. These results indicated that caffeine and aminophylline combined with tretinoin may be developed into a new formula to improve caffeine or aminophylline skin penetration.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32772
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fraida Aryani
"Telah dilakukan penelitian pengaruh penggunaan emolien sekunder terhadap penetrasi vitamin E asetat melalui kulit dari sediaan krim. Krim vitamin E asetat dibuat dalam tiga formula dengan menggunakan emolien sekunder yang berbeda yaitu trietilheksanoin, isopropil miristat, dan propilen glikol isostearat. Emolien sekunder yang digunakan berdasar pada pendekatan parameter lipofilisitas yang ditentukan dengan metode Relative Polarity Index (RPI). Penetrasi vitamin E asetat melalui kulit diuji dengan alat sel difusi Franz dengan menggunakan membran perut tikus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluks vitamin E asetat dari yang paling besar adalah formula yang mengandung trietilheksanoin, isopropil miristat, dan propilen glikol isostearat yaitu masing-masing sebesar 571,56 ± 2,49 μgcm-2jam-1, 300,54 ± 2,40 μgcm-2jam-1, 266,03 ± 2,54 μgcm-2jam-1.

The influence of secondary emollient to vitamin E acetate penetration through the skin from cream dosage form has been studied. Vitamin E acetate cream was formulated by three kind of secondary emollients, trietylhexanoin, isopropyl myristate, and propylene glycol isostearate. The application of secondary emollient based on lipofilicity parameter approach, which determined by Relative Polarity Index (RPI) method. Penetration of vitamin E acetate through the skin were examined by Franz-diffusion cell and used mouse abdomen skin as membrane diffusion. This study showed the flux of vitamin E acetate cream containing trietylhexanoin, isopropyl myristate, and propylene glycol isostearate through the rat skin were 571,56 ± 2,49 μgcm-2h-1, 300,54 ± 2,40 μgcm-2h-1, 266,03 ± 2,54 μgcm-2h-1, respectively.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2007
S33021
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yurika Lanimarta
"Kurkumin merupakan komponen bahan alam yang berasal dari kunyit dan memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan antitumor. Akan tetapi, kurkumin memiliki kelarutan yang buruk dalam air dan bioavaibilitas yang rendah. Untuk meningkatkan bioavaibilitasnya, kurkumin dibuat kedalam bentuk nanopartikel menggunakan Dendrimer PAMAM G-4 dengan berbagai perbandingan molar ditiap formula, yaitu formula I dengan perrbandingan molar kurkumin : dendrimer PAMAM G4 (1 : 0,2), formula II (1 : 0,02), dan formula III ( 1: 0,002). Tujuan dari penelitian ini adalah membuat dan mengkarakterisasi nanopartikel kurkumin-dendrimer PAMAM G4 dan melakukan uji penetrasi nanopartikel dalam sediaan gel. Formula 1 (1 : 0,2) memiliki ukuran partikel 10.91 ± 3,02 nm dengan efisiensi penjerapan 100 % merupakan formula dengan karakteristik paling baik. Formula 1 kemudian diformulasikan ke dalam sediaan gel menggunakan Karbopol 940 1%. Uji penetrasi in vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membrane abdomen kulit tikus dari gel nanopartikel kurkumin dibandingkan dengan gel kurkumin. Gel nanopartikel kurkumin menunjukkan presentase penetrasi kurkumin lebih besar dari gel kurkumin. Gel nanopartikel memiliki jumlah kumulatif kurkumin terpenetrasi sebesar 19,58 ± 1,44 μg/cm2 dan presentase kumuliatif terpenetrasi sebesear 57,26 ± 4,22 %.

Curcumin is a natural compound found in turmeric and possesses antioxidant, anti-inflammatory and anti-tumor ability. But Curcumin is poorly soluable in water and has lower bioavaibility. In other to improve the bioavaibility of curcumin, Curcumin formed into nanoparticle used dendrimer PAMAM G4 in various molar rasio, which is formula I with molar ratio (1 : 0,2) of curcumin : dendrimer PAMAM G4, formula II (1:0,02), and formula III (1 : 0,002). The aim of this study is to prepare and to characterize nanoparticle curcumin-dendrimer PAMAM G4 and to know skin permeation of curcumin. Formula 1 showed the best characteristic with particle size 10.91 ± 3,02 nm and 100% entrapment efficiency. Formula 1 then formulated into a gel dosage form with Carbopol 940 1%. In vitro penetration study of Nanoparticle curcumin gel compared with curcumin gel was determined with Franz diffusion cell using rat abdominal membrane. Nanoparticle curcumin gel showed greater permeation of curcumin through rat skin as compared to curcumin. Nanoparticle curcumin gel had its cumulative total 19,58 ± 1,44 μg/cm2 and its cumulative percentage 57,26 ± 4,22 %."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S43353
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zuraida Syafara Dzuhro
"Meningkatkan penetrasi mencapai lapisan subkutan. Natrium hialuronat (NaHA), bentuk garam asam hialuronat, merupakan polimer hidrofilik derivat polisakarida. NaHA memiliki kemampuan meningkatkan penetrasi perkutan dengan mengubah susunan sel-sel stratum korneum yang tersusun rapat menjadi lebih renggang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh NaHA terhadap penetrasi kofein sebagai zat aktif antiselulit dalam sediaan hidrogel, hidroalkoholik gel, dan emulsi gel. Masing-masing sediaan mengandung kofein 1,5% dan terbagi atas 3 formula. Formula 1 mengandung basis gel HPMC 2%; formula 2 mengandung basis gel HPMC 2% dan NaHA 0,5%; formula 3 mengandung NaHA 2% sebagai basis gel.
Uji penetrasi dilakukan secara in vitro menggunakan sel difusi Franz dengan kulit tikus sebagai membran selama 8 jam. Persentase kofein terpenetrasi sediaan hidrogel formula 1, 2, 3 secara berturut-turut adalah 9,41 ± 0,01%; 11,74 ± 0,13%; 16,32 ± 0,03%. Persentase kofein terpenetrasi sediaan hidroalkoholik gel formula 1, 2, 3 secara berturut-turut adalah 19,54 ± 0,02%; 22,99 ± 0,23%; 7,42 ± 0,08%. Persentase kofein terpenetrasi sediaan emulgel formula 1, 2, 3 secara berturut-turut adalah 10,47 ± 0,19%; 13,41 ± 0,12%; 18,42 ± 0,06%. Hasil menunjukkan NaHA meningkatkan penetrasi kofein perkutan berbagai sediaan gel, kecuali hidroalkoholik gel formula 3.

Penetration enhancer to reach subcutaneous layer. Sodium hyaluronate (NaHA), the sodium salt of hyaluronic acid, is a hydrophilic polysaccharide derivative polymer. It has ability to enhance percutaneous penetration by loosening the dense of the compact substance stratum corneum. The aim of this research was to observe the effects of NaHA on caffeine penetration as anticellulite active agent in three types of gel preparation: hydrogel, hydroalcoholic gel, and gel emulsion. Each gel type contained caffeine 1,5% and was varied into three formulas. Formula 1 contained HPMC 2% as gel basis; formula 2 contained HPMC 2% and NaHA 0,5%; formula 3 contained NaHA 2% as gel basis.
Caffeine penetration properties were analyzed by Franz diffusion cell in vitro test using rat skin as membrane. Percent caffeine penetration of hydrogel formula 1, 2, 3 were 9,41 ± 0,01%; 11,74 ± 0,13%; 16,32 ± 0,03%, respectively. Percent caffeine penetration of hydroalcoholic gel formula 1, 2, 3 were 19,54 ± 0,02%; 22,99 ± 0,23%; 7,42 ± 0,08%, respectively. Percent caffeine penetration of gel emulsion formula 1, 2, 3 were 10,47 ± 0,19%; 13,41 ± 0,12%; 18,42 ± 0,06%, respectively. The result showed that NaHA enhanced the caffeine percutaneous penetration properties in various gel preparations, except hidroalkoholic gel formula 3.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S1147
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Angeline Agustin
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S32651
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Azizah
"ABSTRAK
Kapsaisin merupakan salah satu senyawa aktif yang terdapat pada tanaman cabai. Kapsaisin memiliki khasiat sebagai analgesik, antioksidan, antikanker, dan antiobesitas. Untuk meningkatkan penetrasi kapsaisin dalam kulit, kapsaisin dibuat ke dalam bentuk vesikel transetosom. Transetosom adalah suatu vesikel yang terdiri dari fosfatidilkolin, surfaktan, dan etanol. Pada penelitian ini, kapsaisin dibuat dalam vesikel transetosom dalam dua metode pembuatan, yaitu pembuatan transetosom secara langsung dan hidrasi lapis tipis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari metode pembuatan transetosom terhadap karakterisasi dari transetosom dan melakukan uji penetrasi transetosom dalam sediaan gel. Pembuatan transetosom dengan metode lapis tipis memiliki karakteristik yang lebih baik dengan ukuran partikel 174,9 ± 2,02 nm dan efisiensi penjerapan 84,85 ± 1,15 %. Kemudian suspensi transetosom diformulasikan kedalam sediaan gel menggunakan karbomer 1 %. Uji penetrasi in vitro dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran abdomen kulit tikus dari gel transetosom kapsaisin dibandingkan dengan gel kapsaisin. Jumlah kumulatif kapsaisin yang terpenetrasi dari sediaan gel transetosom dengan gel kapsaisin secara berturut-turut adalah 1549,68 ± 49,6 μg/cm2 dan 846,05 ± 10,1 μg/cm2. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pembuatan gel mengandung transetosom dapat meningkatkan penetrasi kapsaisin di kulit.

ABSTRACT
Capsaicin is one of the active compounds contained in chili. Capsaicin has been shown to have analgesic, antioxidant, anticancer and anti-obesity properties. Capsaicin formed into transethosome vesicles expected to increase its skin penetration. Transethosome is a vesicle composed of phosphatidylcholine, surfactant, and ethanol. In this study, Capsaicin transethosome was prepared by two methods, which were direct method and thin-layer hydration method. The aims of this study were to determine the effect of the method used to made transethosome on its characteristics and to evaluate the penetration of transethosome capsaicin gel. Transethosome with thin-layer method had better characteristics with particle size of 174.9 ± 2.02 nm and the entrapment efficiency of 84.85 ± 1.15%. The transethosome suspension were incorporated into 1% carbomer gel. In vitro penetration study of transethosome gel compared with capsaicin gel were performed using rat abdominal skin as the permeating membrane in Franz diffusion cell. Transethosome gel and capsaicin gel had cumulative amount of capsaicin penetrated 1549.68 ± 49.6μg/cm2 and 846.05 ± 10.1 μg/cm2, respectively. Therefore it can be concluded that transethosome gel can increase the penetration of capsaicin through skin."
2016
S65694
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seshiana Sebti Pramesti
"Transetosom merupakan vesikel yang dapat meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit, contohnya adalah ekstrak bahan alam. Teh hijau (Camellia sinensis L. Kuntze) merupakan bahan alam yang mengandung katekin sebagai senyawa antioksidan. Transetosom dapat menjerap dan membantu penetrasi senyawa ekstrak daun teh hijau ke dalam kulit. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan formula gel transetosom yang dapat meningkatkan penetrasi ekstrak daun teh hijau ke dalam kulit. Gel yang hanya mengandung ekstrak daun teh hijau juga dibuat sebagai kontrol. Uji penetrasi sediaan secara in vitro dilakukan menggunakan sel difusi Franz dengan kulit tikus betina galur Sprague Dawley. Epigalokatekin galat (EGCG) digunakan sebagai penanda analisis.
Transetosom dibuat dengan metode hidrasi lapis tipis dalam tiga formula yaitu dengan konsentrasi ekstrak daun teh hijau setara dengan EGCG 1% (F1), 1,5% (F2), dan 2% (F3). Hasil menunjukkan transetosom F1 memiliki karakteristik terbaik yaitu berbentuk sferis, Dmean volume 112,14 ± 2,19 nm, indeks polidispersitas 0,163 ± 0,03, potensial zeta -52,05 ± 1,34 mV, dan efisiensi penjerapan 58,06 ± 0,08%. Gel transetosom dan gel kontrol secara berturut-turut memiliki fluks sebesar 61,468 ± 1,66 μg.cm-2.jam-1 dan 31,694 ± 1,02 μg.cm-2.jam-1. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa transetosom dapat meningkatkan penetrasi ekstrak daun teh hijau ke dalam kulit.

Transethosome is a vesicle that can enhance drug?s penetration into the skin, for example are extracts of natural ingredient. Green tea (Camellia sinensis L. Kuntze) is a natural ingredient that contains catechins as an antioxidant. Transethosome is used to entrap the chemical compounds of green tea leaves extract and help their penetration into the skin. The aims of this study are to produce transethosome gel formula that can increase the penetration of green tea leaves extract into the skin. Gel containing only green tea leaves extract was also made as a control. Penetration test of gels performed using in vitro Franz diffusion cell with the skin of female Sprague Dawley rats. Epigallocatechin gallate (EGCG) is used as a marker analysis.
Transethosome were made by using thin layer hydration method in three formulas with different concentration of green tea leaves extract which were equivalent to 1% (F1), 1.5% (F2), and 2% (F3) EGCG. The results showed transethosome F1 had the best characteristics, which had a spherical shape, Dmean volume 112,14 ± 2,19 nm, polydispersity index 0,166 ± 0,03, zeta potential -52,05 ± 1,34 mV, and entrapment efficiency 58,06 ± 0,08%. Transethosome gel and control gel had a flux of 61,468 ± 1,66 μg.cm-2.hour-1 and 31,694 ± 1,02 μg.cm-2.hour-1. It can be concluded that transethosome can increase green tea leaves extract penetration into the skin.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S64791
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>