Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214297 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Telah dilakukan penelitian mengenai pertumbuhan mangrove Rhizophora
mucronata Lmk. dan Nypa fruticans Wurmb. di Pulau Waii yang merupakan area
sedimentasi tailing PT. Freeport Indonesia. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengetahui pengaruh jarak tanam (1 m x 0,5 m dan 1 m x 1 m untuk
R. mucronata; 2 m x 2 m dan 2 m x 3 m untuk N. fruticans) dan zona penanaman
(tepi, tengah, dalam) terhadap pertumbuhan kedua mangrove tersebut. Parameter
pertumbuhan untuk R. mucronata meliputi tinggi total tanaman, jumlah cabang,
diameter batang, dan jumlah akar di atas permukaan substrat. Parameter
pertumbuhan N. fruticans meliputi tinggi tanaman, jumlah pelepah, dan keliling
pangkal pelepah. Hasil sidik ragam menunjukkan jarak tanam memengaruhi
seluruh parameter pertumbuhan kedua tanaman, kecuali keliling pangkal pelepah
N. fruticans. Sementara zona penanaman tidak memengaruhi seluruh parameter
pertumbuhan kedua tanaman."
Universitas Indonesia, 2010
S31638
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jane Jorita Sabbara
"Penelitian ini mengenai struktur komunitas mangrove di Muara Sungai Ajkwa, Papua. Data dikumpulkan dari 6 stasiun di Muara Sungai. Hasil menunjukkan bahwa komunitas tersebut terdiri 24 spesies dari 13 suku. Keanekaragaman pohon dan pancang di bagian hulu lebih tinggi dibandingkan bagian hilir. Pada bagian hulu, indeks keanekaraman pohon 1,428 dan pancang 1,715. Sebaliknya, pada bagian hilir indeks pohon 0,920 dan pancang 1,355. Kerapatan vegetasi didasarkan pada Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), yaitu 0,56. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh komponen lingkungan, seperti pasang surut, salinitas, dan nutrien."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S31604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sokoy, Fredrik
"Ada kecenderungan para ekonom mengabaikan aspek-aspek non ekonomi yang biasanya ikut berpotensi mendorong sekaligus mengganjal sebuah kemajuan dan pengembangan masyarakat. Aspek-aspek non ekonomi atau yang sering disebut aspek sosio kutural dalam aktivitas pembangunan menjadi unsur yang begitu penting karena perwujudannya berada di `belakang' sebuah tindakan dan baru dapat dipahami melalui tindakan sosial dan hasil karya.
Gagasan tentang pentingnya aspek-aspek sosio kultural inilah yang membuat saya meneliti di lingkungan perusahaan PT. Freeport Indonesia Mimika, terutama pada departemen Bisnis Incubator. Secara kelembagaan PT. Freeport Indonesia menganggap program pengembangan masyarakat melalui projek Incubator akan melahirkan dan mengikubasi penduduk asli untuk menjadi calon pengusaha. Dengan cara ini, pengusaha asli selain menyuplai sejumlah materi yang di butuhkan PT. Freeport Indonesia (tanaman hias, sample bag, kebutuhan sembilan bahan pokok [sembako], pallet, pupuk kompos, meubel rotan, meubel kayu, batu batako dan lain sebagainya) juga melalui program Incubator akan menjadi sarana yang dapat memberi peluang kerja bagi penduduk setempat yang sedang mencari pekerjaan.
Hasil penelitian saya terhadap 10 orang pengusaha dengan menggunakan metode evaluasi etnografi dan pendekatan kostruksi menunjukkan bahwa program pengembangan incubator di kategorikan kurang berhasil. Dari 10 orang yang menjadi sampel pengusaha hanya 2 orang yang berhasil dan seorang kurang berhasil selebihnya gagal total. Faktor-faktor sosio kultural seperti: pranata kekerabatan orientasi ekonomi konsumtif, tidak disiplin dalam hal waktu, sikap hidup tidak hemat, tidak mau menunda keinginan untuk memperoleh sesuatu pada saat itu juga. Mereka yang dikelompokan dengan kategori berhasil selain memiliki pengetahuan dalam hal bagaimana melakukan aktivitas bisnis secara benar, juga memiliki sistem manajemen yang lebih modern, misalnya sistem komputerize, sistem bonus, menempatkan karyawan atas dasar profesi dan seterusnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Permenas Mandenas
"ABSTRAK
Implementasi program corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan oleh PTFI pada prinsipnya merupakan upaya terstruktur dan sistematis guna membangun relasi resiprokal antara korporasi (PTFI) dengan komunitas lokal (Secara khusus Suku Amungme dan Kamoro) sehingga tercipta kesinambungan program dan dapat meningkatkan taraf kesejahteraan komunitas lokal.
Dengan menggunakan analisa konflik, peneliti mencoba menjelaskan bagaimana implementasi program CSR ini diterima dan bagaimana relasi antara korporasi dengan komunitas lokal (Suku Amungme dan Kamoro) dibangun, karena sebagai perusahaan multinasional, setiap kebijakan apapun pasti memiliki muatan nilai (value) yang sengaja diciptakan.
Untuk mengetahui lebih jauh implementasi program seta relasi yang terjadi, maka metode kualitatif digunakan supaya penjelasan yang utuh tentang fenomena yang terjadi antara Suku Amungme-Kamoro dengan PTFI dapat diuangkap secara kritis dan mendalam.
Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk membangun dan menjamin relasi yang baik antara korporasi dengan Masyarakat Amungme dan Kamoro. Untuk itu, peneliti menjabarkan secara lengkap apa (definisi) dan bagaimana (metode) impelementasi program CSR PTFI dilakukan, serta bagaimana implikasi (signifikansi) hasil penelitian ini secara teoritis, dan bagi pengambil kebijakan.

ABSTRACT
Implementation of corporate social responsibility (CSR) conducted by Freeport in principle a structured and systematic efforts to build reciprocal relationships between corporations (PTFI) with the local community (Specifically Amungme and Kamoro) so as to create continuity programs and will improve the welfare of local communities. With conflict analysis, researcher try to explain how the implementation of CSR programs is acceptable and how the relationship between corporations and local communities (Amungme and Kamoro) was built, because as a multinational corporation, any policy whatsoever certainly have a charge value and that is deliberately created. To learn more about the program implementation seta relationship occurs, the qualitative method is used so that a complete explanation of the phenomena that occur between Amungme-Kamoro with PTFI will be critically and deeply. This research is very important to establish and guarantee the relations between corporations with Amungme and Kamoro. To that end, the researchers describe in full what (definitions) and how (method) implementation of CSR programs PTFI done, and what are the implications (significance) theoretically results of this research, and for policy makers."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T38907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Setya Putra
"Mangrove di Indonesia mempunyai luasan yang cukup besar, akan tetapi dalam 3 dekade terakhir luasannya berkurang hingga 40%. Mangrove selain mempunyai fungsi sebagai pelindung pesisir pantai juga mampu menjaga kualitas perairan di sekitarnya. Saat ini, sedang dilaksanakan pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta dimana akan memberikan dampak terhadap hutan mangrove yang ada di sekitarnya. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui dampak reklamasi pulau di Teluk Jakarta terhadap sedimentasi dan perkembangan mangrove disana. Penelitian ini dilakukan dengan studi literatur, analisis vegetasi, analisis kualitas air dan juga analisis spasial dengan citra satelit WorldView-2. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hutan mangrove yang ada di pesisir Jakarta Utara khususnya di kawasan
Muara Angke cenderung meningkat terutama di areal pulau reklamasi. Tegakan mangrove bertambah luas kira-kira 1,32
ha/tahun. Hasil analisis menyimpulkan nilai kerapatan dan diameter batang yang berbeda-beda di 5 lokasi. Kadar oksigen
di lokasi penelitian sangat rendah akan tetapi hutan mangrove yang ada mampu menyerap logam berat yang terlarut.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa luas areal yang berpotensi untuk ditanami mangrove adalah 30 ha. Secara
keseluruhan, proses sedimentasi membantu perluasan hutan mangrove secara alami sedangkan kualitas air yang buruk
tidak terlalu berpengaruh terhadap perkembangan mangrove. Justru sebaliknya, mangrove eksisting mampu menjaga kualitas air di sekitarnya tetap stabil"
Bandung : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2019
551 JSDA 15:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lambertus Tebay
"Salah satu masalah lingkungan Sosial yang dihadapi oleh PTFI ialah bagaimana memindahkan masyarakat Amungme dari Kampung Waa yang letaknya hanya 8 Km dari Kota Tambang Tembagapura ke Desa Harapan Kwamki Lama dan Masyarakat Kamoro Subsuku Nawaripi dari Kampung Kali Kopi ke Desa Nayaro, Kecamatan Mimika Baru, untuk menghindari kemungkinan terjadinya dampak negatif akibat pengelolaan PTFI.
Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua bekerjasama dengan PTFI untuk memindahkan masyarakat Amungme dan Kamoro dari lokasi lama ke lokasi pemukiman yang baru dengan tujuan, di samping menghindari kemungkinan terjadinya bahaya, agar mereka dekat dengan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi sehingga dapat melepaskan kebiasaan ladang berpindah, berburu, meramu, dan bergantung pada kemurahan alam dan berpenghasilan menetap. Dengan demikian ada perbaikan mutu kehidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan. Namun sayangnya harapan itu tidak terwujud pada masyarakat Amungme, karena Bapak Kepala Suku Tuarek Natkime beserta para pengikutnya sejak awal tidak ikut pindah ke lokasi yang baru. Hal ini disebabkan karena menurut kepercayaan orang Amungme daerah kawasan tengah sampai kawasan pantai adalah kawasan yang terlarang, daerah pamali, tidak boleh dilihat oleh anak-anaknya karena di kawasan inilah terdapat alat kelamin vital Ibu Amungme, yang selalu menyusui dan memberi mereka kehidupan. Daerah ini enak untuk dilihat karena panoramanya yang indah tetapi tidak untuk dihuni, hanyalah tempat untuk cari makan. Bila melanggar maka resikonya adalah mara bahaya, sakit malaria, dan berbagai macam penyakit panu, kurap, kadas, sipilis, aids, dan lainnya. Yang pindahpun bertahan selama bantuan Pemerintah dan PTFI masih mengalir. Setelah terhenti, sebagian lagi kena penyakit malaria dan mati, sebagian lagi karena takut kena konfrontasi antara TNI dan Gerakan OPM pada tahun 1977, mereka semua melarikan diri ke lokasi lama. Kemudian hanya sebagian kecil kurang lebih 12 KK yang kembali ke pemukiman baru pada tahun 1980.
Memang disadari bahwa pemindahan masyarakat dari kawasan pegunungan ke kawasan tengah atau pesisir pantai membutuhkan daya adaptasi di lingkungan yang baru, apalagi secara budaya daerah ini dianggap sebagai daerah terlarang (pamali). Perbedaan iklim, jenis lahan pertanian, lingkungan alam dan sosial menjadi hambatan.
Melalui penelitian ini ingin diketahui:
1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap penduduk masyarakat Amungme dan Kamoro yang berkaitan dengan upaya pemukiman kembali.
2. Pola adaptasi di lokasi yang baru.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola adaptasi tersebut.
Sasaran penelitian adalah masyarakat Amungme dan Kamoro yang berada di lokasi lama maupun yang baru.
Dalam penelitian ini diajukan dua hipotesis yaitu:
1. Keterikatan kepada leluhur, tingkat pendidikan, usia, dan penghasilan tidak berpengaruh terhadap pola adaptasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Amungme dan Kamoro dalam menghadapi perubahan lingkungannya.
2. Kegiatan PTFI tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan kelima fungsi sosial lingkungan hidupnya dan penyesuaian diri masyarakat Amungme dan Kamoro.
Yang menjadi responden penelitian ini adalah para Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM baik yang ada di lokasi lama maupun lokasi yang baru sebanyak 84 orang.
Data diperoleh melalui wawancara berstruktur, menggunakan kuesioner, wawancara mendalam melalui tokoh-tokoh: Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM yang ada di lokasi lama dan lokasi yang baru serta pengamatan di lapangan. Data sekunder di peroleh dari DSRID PTFI, dan berbagai lembaga Pemerintah di Kabupaten Mimika, Propinsi Papua.
Sikap dan pola adaptasi masyarakat Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali dianalisis dengan membandingkan keteguhan melaksanakan upacara adat, pendidikan, usia (tua/muda), dan tingkat penghasilan di pemukiman lama dan baru.
Pola adaptasi masyarakat juga dianalisis ada-tidaknya kegiatan PTFI yang telah menimbulkan dampak lingkungan yang pada gilirannya mendorong masyarakat Amungme dan Kamoro untuk menyesuaikan diri kembali terhadap perubahan ke lima fungsi sosial lingkungan hidupnya.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan jawaban para responden terhadap dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Hasil yang diperoleh penelitian ini adalah:
1. Yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap warga Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali di Desa Harapan Kwamki Lama dan Desa Nayaro, ialah:
a, keterikatan yang cukup kuat terhadap leluhur yang ditunjukkan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Para kepala keluarga yang kembali terbukti secara signifikan lebih terikat kepada leluhur.
b. pendidikan formal kepala keluarga terbukti ikut mempengaruhi sikap mereka terhadap pemukiman kembali; Artinya kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal (walau hanya sampai kelas III SD) cenderung menerima upaya pemukiman kembali dan menetap di lokasi baru.
2. Adaptasi warga Amungme dan Kamoro di Kwamki Lama dan Desa Nayaro lebih cepat terjadi pada aspek sosial ekonomi dari pada budaya kebersihan lingkungan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh:
a. perubahan pola pertanian dari pola subsistem ke tingkat produksi untuk pasar, perubahan pola pemanfaatan waktu luang dengan mencari penghasilan tambahan. Dengan demikian pendapatan rata-rata perkapita warga Amungme dan Kamoro di Desa Kwamki Lama dan di Desa Nayaro mengalami peningkatan hampir 75% di bandingkan dengan warga Amungme di lokasi lama.
b. perubahan makanan pokok sudah terjadi pada warga masyarakat Amungme dan Kamoro dengan menganggap nasi adalah makanan pokok ideal. Walau pun dalam kenyataan sebagian besar masih memakan umbi-umbian, karena keterbatasan keadaan ekonomi.
c. perubahan bentuk rumah, dapat dilihat dari rumah yang direnovasi menjadi rumah permanen, artinya mereka sudah meninggalkan bentuk rumah bulat dan panggung (inokep) dari lokasi lama.
d. budaya kebersihan lingkungan di lokasi baru belum di terima. Hal ini ditunjukkan oleh kebiasaan yang masih membudaya pada masyarakat Amungme dan Kamoro di lokasi baru yaitu membuang hajat tidak di MCK.
3. Pelaksanaan upacara-upacara ritual oleh warga Amungme dan Kamoro dapat di kelompokkan atas dua kategori yaitu:
a. upacara yang masih sering dilakukan yaitu upacara "Perang", "Perdamaian", "Pembayaran Kerugian Perang", "meminta kesuburan ", "kesejahteraan , "Kekayaan ", "Ibodewin ", dan "Hai". Kemudian "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Ti: Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Sikap terhadap pelaksanaan upacara tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia dan penghasilan.
Mereka yang berusia lanjut dan berpenghasilan lebih baik, memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan tradisi upacara. Dalam hal ini terlihat bahwa upacara-upacara tersebut mempunyai fungsi sosial di samping fungsi sarana "penghubung" dengan leluhur, selain sebagai media pertemuan antar kerabat, baik yang ada di Waa maupun Kwamki Lama dan Nayaro.
b. upacara yang sudah mulai ditinggalkan yaitu upacara perang, pembayaran kerugian perang, ibodewin dan Hai pada masyarakat Amungme dan upacara kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro.
Upacara-upacara perang, perdamaian, pembayaran kerugian perang, ibode win dan hal pada masyarakat Amungme sudah mulai ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan pada masyarakat Kamoro lainnya seperti rumah bujang dilarang oleh Belanda dan sudah hilang secara total, dan Heni Tarapao, Qfo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao mulai hilang karena tambelo yang biasanya dipergunakan dalam upacara adat ini mulai punah akibat pencemaran air limbah oleh PTFI.
Di sisi lain upacara ini sudah mulai ditinggalkan karena sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan sosial ekonomi, pendidikan formal, faktor usia, dan penghasilan warga Amungme dan Kamoro di lokasi yang baru. Artinya para kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal, berusia muda, dan penghasilan lebih baik mempunyai kecenderungan meninggalkan tradisi tersebut.
Sebagai pengakuan hak ulayatnya jumlah dana rekognisi yang di alokasikan adalah dana 1% untuk 7 suku dan dana perwalian sebesar 500 ribu dollar Amerika setiap tahun selama 25 tahun diberikan kepada suku Amungme (masyarakat di kawasan pegunungan). Sedangkan Suku Kamoro atas alih fungsi lahan 5000 hektar dusun sagu, tempat berburu, sungai sebagai tempat cari ikan, (kehilangan sungai, sampan, dan sagu) diberikan dana Rekognisi sebesar 25 Juta dollar Amerika selama 5 tahun yaitu mulai tahun 1998 - 2003 nanti. Walau pun mendapat pengakuan hak ulayat masyarakat adat namun masih dipermainkan oleh pihak ketiga. Sedangkan kerugian yang diderita tak ada bandingannya dengan nilai uang sebesar itu sehingga tak dapat menutupi segala kerugian yang dideritanya akibat pengelolaan PTFI. Kalau ada bandingan jika disediakan Dana Abadi bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung untuk sekian generasi yang akan datang.
Implikasi Penelitian
1. Di lokasi yang baru (Di Desa Harapan Kwamki Lama maupun di Desa Nayaro) warga Amungme dan Kamoro merasa diri "tidak aman" akibat pelayanan di segala sendi kehidupan yang mereka peroleh terutama perlakuan dari aparat keamanan di PTFI maupun operasi DOM dari TNI dan POLRI, dan Pemerintah. Untuk itu perlu ada usaha untuk menghilangkan kesan ini demi suksesnya upaya pemukiman kembali oleh PTFI, Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua.
2. Membiarkan warga Amungme tetap di lokasi lama, mengingat mereka lebih memiliki falsafah kearifan lingkungan, dengan menganggap alam bagaikan seorang Ibu yang memberi makan, dan menyusui mereka setiap saat tanpa kenal lelah.
3. Untuk menghindari perusakan lingkungan, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang kebiasaan bertani secara menetap, berladang dengan Cara terrasering, memakai pupuk alam, bibit unggul, dan penghijauan kembali lahan-lahan yang pemah diolah.
4. PTFI telah memberikan program REKOGNISI untuk menjamin keberhasilan penduduk setempat memelihara, meningkatkan kesejahteraan, dan kemampuan penduduk untuk mengembangkan pola-pola adaptasi (Strategic Behavior). Perubahan pada fungsi lingkungan yang drastis menuntut pengembangan strategic behavior maupun adaptive behavior secara perorangan maupun kolektif dengan mengembangkan ketrampilan dan keahlian kerja di luar sektor tradisional.

Environmental Changes Within The PT. Freeport Indonesia Mining Area (Studi of Adaptation Amungme community resettlement to Harapan Kwamki Lama regency and Kamoro community resettlement to Nayaro regency, District Mimika, Papua Province)The expansion of wasteland environmental sosial issues changes and disturbance of the PTFI is how to Amungme community resettlement at Kwamki Lama villages and Kamoro community resettlement at Nayaro villages in the middleland probably antisipation changes impact from PTFI operation area. This is an important issue in environmental problem management.
Depsos, Depnakertrans, and Governor Papua Province joint with PTFI for Amungme and Kamoro community resettlement a new location in middleland Kwamki Lama and Nayaro. Purpose is antisipation to probably pra accident near the central economic development, and the lost of semi nomads community from the highlands to the middleland which changes their way of living as nomade communities into permanent settlers. It is hoped, that as middleland settlers they would changes their method of slash and burn of into modern agriculture, and central economic development. In reality, Mr. Tuarek Natkime, Kepala Suku Amungme and several community people to choose to the still live in Waa village, because their believed one place (Danau Wanagon) is holy place and middle place until lowland place is bad place, many of them went back to their, former settlement during the first phase of the government's resettlement program, because they could not adapt their way of life to the new environmental conditions at the New location. Differences in climate, conditions of farmsland and social environment make it hard for them to adapt their way in the new settlement.
Their considerat resettlement community from highland to middleland, theirs need adaptation in the new environment, because culture community people this place is bad condition area.
This research was held with several objectives:
1. Factors that influence the attitude of the resettled community to wards the settlements project.
2. The adaptation patterns in their new location 3, Factors that influence the adaptation patterns
Respondents were chosen numbering of 80 family heads, from the Amungme 40 family heads and 40 family heads from Kamoro. Primary data for this research were obtained by questionaires, next to depth interviews with the community leaders as Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Government, and LSM in both locations. Secondary data were obtained from the OSTRID, PTFI, LEMASA, LEMASKO, District Mimika, and Papua Provincial Government Publications.
Research hypothesis that were tested in this research, were:
1. The bond between the resettled population and their ancestors, the level of formal education, age, and income factor not influence on the adaptation pattern, social, economic, and culture to the Amungme and Kamoro community in to face in the changes environment.
2. The activity PTFI operations have not grown environmental impact to motivate community some time to adapt to the changes social environment function.
The member's attittude of both Amungme and Kamoro communities to wards the resettlement program were analyzed by comparing the upper Amungme and Kamoro community with the middle Amungme and Kamoro community in consistency of performing their traditional rites, level of educations and age. Analysis were made by The Sign Tests Statistics, with two independent samples.
Research findings
1. Positive influence as factor in attittude formation for decision to resettle at Kwamki Lama and Nayaro:
a) Strong bond between respondents and their ancestors was the primar influencing factor for the community member to return to their old settlement.
b) Family Head's formal education has a strong correlation with decision to resettle. There were tendencies, that the family's head who went to the primary school could receive the resettlement program and therefor moved to Kwamki Lama and Nayaro
2. Adaptation of the middle Amungme dan Kamoro community was faster in socio-economic aspects than in cultural aspects especially at the environmental hygiene.
These findings were concluded from:
a) The average per capita incomes were higher 75% for the middle Amungme and Kamoro community much than the average incomes for the upper Amungme and Kamoro community 50%. Income was raised by changing agricultural technology from subsistence practices to the market production approach. Their spare time was also used more effectively used by doing labour jobs at the local market outside the Waa and Kali Kopi villages.
b) Change also happened at their staple food composition. The middle Amungme and Kamoro community had chosen rice as their main staple food, instead of sweetpotatoes, cassava and taro. Only lack of money, forced members of the Amungme and Kamoro community to choose non-rice as their main staple food.
c) Changes also took place at their house's construction form. The middle Amungme and Kamoro community has expanded their rowhouses, rather than restored into their traditional houses.
d) The habit to make cleanliness as part of their way of life was still not accepted. The middle Amungme and Kamoro community still did not use the latrines.
3. Performance of traditional rites can be categorized into two classes:
a) Traditional rites are still performed as usual, such as: "war", "peace", "paying to loss war", "to request to propose richness", "successful", "riches", "Ibodewin", "Hai", from Amungme community and "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao from Kamoro community. Age and Income of family heads had stronger correlation with attitude in performing those rites than level of education.
b). Old age and better income in the Amungme and Kamoro Community were strong reasons for following those rites. These rites have social and spiritual meaning for them apart from fuel filling social functions of social; gathering meeting the upper Community relations.
c) Abandoned traditional rites, such as "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" from Amungme community and "kware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" from Kamoro community., because these rites were not compatible with the new way of life as a result of the resettlement program, and not relevant with the present. The missing mollusca Tambelo to begin exterminated the impact from PTFI operation.
Level of education, age and income have strong association with attittude in performing the "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" and "kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" rites. Young family's heads have stronger tendencies in abandoning the "ceremonys" rite.
Research Implications
1. The middleland Amungme and Kamoro Community at Kwamki Lama and Nayaro, felt that they belong into the category of "underprivileged", because of the less attention given to them, compared to other ethnic group of the same village. Thus, the village officials need to change their attittude in this respect, to ensure success of the resettlement program.
2. The allocated land to the original group, was not calculating the high birt rate after resettlement. In this case, a solution must be formed to solve the land problem to ensure economic progress of the resettlement program. It is also hoped, that the Upper Amungme community would become attracted to be resettled at Waa village.
3. Another option is to let care the Upper Amungme and Kamoro community live at Kwamki Lama and Nayaro into new function such as managers of the forest ecosystem. To ensure that the environment won't be harmed, the Government can educate them with proper knowledge in agricultural methods.
4. Recognitive have to supported from the Freeport Indonesia company but cannot be abble to succesfully community in increase their living such as calculate from Government, FTFI Company, NGO's, without develop strategic behavior from community. Because drastis changes to environmental function to demand individual although collective developing strategic behavior and adaptive behavior with developing skill, and training programme the another traditional sector.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chris Rumansi
"ABSTRAK
Tulisan ini berjudul Dampak Operasional Multinational Corporations terhadap masyarakat lokal yang mengambil objek penelitian pada PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika. Tulisan ini berisi telaah akademis tentang implementasi dari program pengembangan masyarakat (Community development) dalam bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR). CSR PT Freeport Indonesia adalah program yang lazim digunakan sebagaimana perusahaan pada umumnya dalam menunjukan tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat yang telah terkena dampak akibat eksploitas pertambangan yang dilakukan. Kasus ini dikaji dengan perspektif hubungan internasional karena keberadaan MNC sebagai Non state actor yang kiprahnya melintasi batas kedaulatan negara dan beroperasi melalui foreign direct investment (FDI) dan berinteraksi di wilayah negara lain. MNC di wilayah negara berkembang diperlakukan sama dan merata sebagaimana kapasitas sebuah negara, bahkan kadang-kadang negara penerima (host country) tidak bisa berbuat apa-apa terhadap tindak-tanduk perusahaan raksasa tersebut. Untuk melindungi masyarakat dan meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat, pemerintah meminta PT Freeport Indonesia serius dalam program pengembangan masyarakat ini. PT Freeport Indonesia menanggapi hal tersebut dengan melakukan program yang disebut dengan program Dana Kemitraan yang bekerjasama dengan yayasan dan lembaga pengembangan masyarakat adat yang biasa disebut LPMAK. Lembaga ini dibentuk bersama sama oleh Perusahaan, Lembaga Adat, dan Pemerintah untuk menyalurkan dan mengelola dana kemitraan atau biasanya disebut dana 1% dalam beberapa program utama seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, penguatan lembaga adat, dan kegiatan keagamaan.
Berdasarkan hasil penelitan, dapat dijelaskan dalam tulisan ini mengenai besaran alokasi dana kemitraan dan peruntukannya berdasarkan program program diatas. Dalam implementasi di lapangan secara umum program pengembangan masyarakat ini sudah berjalan baik dan dievaluasi dan diperbaharui setiap tahunnya. Hanya saja dalam implementasinya masih terdapat banyak kekurangan dan penyimpangan dana bantuan dari tujuan utamaanya. Selain penjelasan mengenai dana kemitraan dipaparkan juga tentang penerimaan negara dan manfaat lainnya yang telah diberikan oleh PT Freeport Indonesia, baik untuk Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten, dan masyarakat adat pemegang hak ulayat yaitu Amungme dan Kamoro. Pada bagian terakhir tesis ini menjelaskan mengenai perkembangan iklim investasi. Menjelaskan mengenai kehawatiran investor akan kurangnya kepastian hukum dalam berinvestasi bagi MNC dan PMA lainnya. Selain itu membahas juga persoalan renegosiasi Kontrak Karya generasi kedua PT Freeport Indonesia. Kemudian membahas mengenai perubahan kebijakan negara tentang penanaman modal di Indonesia yang dianggap sangat liberal dan berpihak kepada kaum kapitalis global.

ABSTRAK
The title of this thesis is Dampak Operasional Multinational Corporations (MNC) Terhadap Masyarakat Lokal: Studi Kasus PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika-Papua Periode 2001-2005 which object is based on the research at PT. Freeport Indonesia Mimika District. The thesis is an academic writing about the implementation of community development program in the shape of corporate social responsibility (CSR). The CSR of PT. Freeport Indonesia is a program that is accustoms to be used as the general companies do in order to show the responsibility to the societies that are affected by the mine exploitation that is conducted. The case is studied in the international relations perspective since the establishment of MNC as Non state actor which their roles across the nation sovereignty, operate through foreign direct investment (FDI), and interact in the region of other countries. MNC in the developing countries is treated equally based on the capacity of a country, and sometimes the host country is helpless for things that are conducted by this gigantic company. To protect the society and to minimize the negative effect to the environment and socio culture, the government orders PT. Freeport Indonesia to seriously handle the community developing program. As the answer, PT. Freeport Indonesia establish Dana Kemitraan program under the cooperation with institution and culture developing society yang which is called LPMAK. The institution was established in co operation between Company, Culture Society, and Government in order to distribute and process the partnership budget or it is usually called as 1% budget in some of main programs, such as education, health, economy, culture, and religion.
Based on the research, it can be explained in this thesis about the amount of the budget and its posts according to the program mention above. The implementation, generally, the program has run well and they are evaluated annually. However, there are still some lack ness and miss posting of budget from its main goal. Besides the explanation about the partnership, the benefits that are given by PT. Freeport Indonesia, to the government, Central, Province, District, and culture society the owner of ulayat right, that are Amungme and Kamoro are also mentioned. At the end of the thesis describes the investment progress. Describe the worrisome and the weakness of regulation or law in investing for MNC and other PMA. Besides, it discusses the problem of Kontrak Karya PT. Freeport Second Generation renegotiate. Also discuss the change of policy about investment in Indonesia that is considered liberal and on the side of global capitalism.
"
2007
T22911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Auri, Nikanor
"Kemerosotan lingkungan hidup Etnik Amungme dan Kamoro dalam tiga dimensi lingkungan hidup manusia, yaitu kemerosotan Lingkungan AIam/Fisik, Kemerosotan Lingkungan Budaya, dan Kemerorosotan Lingkungan Sosial, mengindikasikan adanya distorsi pembangunan di Kabupaten Mimika Provinsi Papua.
Kemerosotan lingkungan alam/fisik suku Amungme dan Kamoro, berupa : Pertama, terlenyapkannya puncak-puncak gunung (ErtsAerg, dan Grasberg), perubahan bentangan alam, adanya terowongan di dalam beberapa puncak gunung. Kedua, terjadinya longsoran, pecahnya danau Wanagong dan tercemarnya air danau Wanagong oleh air asam tambang, serta tercemamya air permukaan maupun air tanah. Ketiga, tercemarnya air sungai Wanagong, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan kali Kopi oleh tailing penambangan bijih dari pabrik pengolahan dan dibuang Iangsung ke sungai-sungai tersebut. Dan Keempat, penyempitan lahan sebagai ruang hidup serta penyangga kehidupan warga suku Amungme dan Kamara masa kini, maupun generasi mereka masa depan.
Kemerosotan lingkungan budaya etnik Amungme dan Kamoro, terwujud dalam tiga hal, Pertama, goncangan Kosmologi suku Amungme dan Kamoro, Kedua, Kekaburan Penghayatan diri Amungme dan Kamorowe dengan Lingkungan Hidup, dan Ketiga, Kearifan Lokal (Local Wisdom) : Modal Pembangunan Altematif yang Terkacau-balaukan. Kawasan puncak-puncak gunung (ninggok), dijadikan kawasan proteksi dengan menjadikannya sebagai daerah keramat. Kawasan yang ramah untuk ditinggali dan dihuni serta kaya dengan sumber daya alam untuk kehidupan mereka (Menomarin) dijadikan kawasan ekonomi. Kawasan dataran rendah (Onisa), dimana mereka tidak terbiasa hidup dan menemukan banyak kesulitan dijadikan daerah penyangga antara kehidupan mereka dengan pihak luar. Local wisdom ini sangat sesuai dengan konsep pengelolaan lingkungan hidup modem yang kits pelajari saat ini, namun telah dikacaubalaukan, berkenaan dengan kehadiran PT. FIC. Penggambaran struktur, lingkungan dan tatanan sosial suku Amungme maupun Kamoro sebelum kehadiran PT. FIC dan setelah kehadirannya, memperlihatkan suatu fenomena perubahan sosial, yakni perubahan pada struktur sosial maupun fungsinya yang menata pola-pola interaksi antar individu dalam lingkungan sosial keluarga, individu dengan sesama anggota dan, dan individu dengan sesama anggota phratry, maupun individu dengan sesama anggota moiety. Perubahan dimaksud adalah perubahan yang tidak terarah, alias perubahan sosial dan budaya yang kacau-balau dan membawa petaka berkepanjangan dalam kehidupan mereka. Berhubung hasil-hasil penelitian dan diagnosis teoribsnya mengukuhkan asumsi yang mendasari penelitian ini, yakni "adanya distorsi pembangunan dan kemerosotan lingkungan hidup Etnik Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika-Papua", maka saran-saran yang dikemukakan penulis dalam rangka mewujudkan pembangunan yang tidak menyimpang adalah sebagai berikut :
1. Transformasi Paradigma Pembangunan
Menyadari kelemahan paradigma Growth Centre , yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas nilai manusia dan lingkungan, maka transformasi paradigma Growth Centre ke People Centre Development tidak dapat ditawar lagi.Transformasi paradigma pembangunan clan sberpugit pertumbuhan ke berpusat manusia menaruh perhatian penting pada model pembangunan yang mensinkronisasikan pembangunan yang memfokuskan perhatian kepada peningkatan kualitas hidup manusia, keberlanjutan ekologi, dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dalam pembangunan yang terfokus pada manusia, didalamnya juga terkandung unsur partisipasi rakyat, lntegrasi sosial, otonomi personal serta komunitas, demokratisasi dan Ham, pemberdayaan dan multikultur.
2.Transformasi Arti "Pembangunan" Redefrnisi Pembangunan,
Menyadari adanya pendangkalan makna "pembangunan" yang sesungguhnya (meaningful!) sebagaimana yang berkembang dalam paradigma pertumbuhan ekonomi, maka definisi pembangunan yang lebih berorientasi kerakyatan, mengartikan pembangunan sebagai proses dimana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber-sumber daya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dalam kualitas hidup yang sesual dengan aspirasi mereka, periu dianut dan diterapkan.
Berarti, perlu transformasi konsep pembangunan yang semata-mata memaknai "pembangunan" sebagai pertumbuhan ekonomi, atau lndustrialisasi, termasuk modernisasi bahkan westernisasi, menjadi suatu proses perubahan yang lebih berorientasi pada peningkatan Kapasitas perorangan dan institusional, atau yang lebih dikenal dengan konsep "people centre development?. Kapasitas perorangan yang dimaksud disini ialah kapasitas/kemampuan manusia, sedangkan institusional bukan organisasi atau lembaga, tetapi adanya pranata-pranata, nilai-nilai dan norma-norma budaya yang tahan lama dan menata sikap, perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam suatu masyarakat atau komunitas.
3. Transformasi Indikator Keberhasilan Pembangunan
Upaya terfokus pada pembangunan manusia memunculkan paradigma baru pembangunan manusia yang diukur dengan menggunakan Human Development Index (HDI). Munculnya index pembangunan manusia ini bukan berarti mengesampingkan peran indikator makro ekonomi seperti GNP/PDRB, tetapi justru sebagai upaya menterjemahkan peningkatan GNP/PDRB tersebut kedalam pembangunan manusia.
Pergeseran kebljaksanaan pembangunan provinsi Papua yang menempatkan pembangunan manusia Papua sebagai prioritas utama, sebagaimana tertera didalam tisi pembangunan provinsi Papua : "Mewujudkan Orang Papua Menjadi Tuhan di Negerinya , sangat membutuhkan alat ukur baru. HDI atau Index Pembangunan Manusia (IPM) merupakan jawaban untuk keperluan itu dengan konsep pembangunan manusianya. Apalagi telah muncul reaksi penolakan terhadap indikator keberhaslian pembangunan yang semata-mata didasarkan pada GNP/PDRB suatu wilayah karena indikator dimaksud sesungguhnya belum menggambarkan keadaan kualitas manusia yang telah dicapai melalui suatu proses pembangunan.
HDI/IPM mencakup tiga dimensi pembangunan manusia yang dianggap memiliki nilai strategis. Ketiga dimensi itu adalah (1) longevity/usia hidup, (2) knowledge (pengetahuan), dan (3) decent living (standard hidup layak). Tidak cukup disini, HDI/IPM terns menerus mengalami pergeseran seiring dengan tuntutan keadaan masyarakat yang disponsori oleh IJNDP, yaitu dengan adanya penambahan tiga dlmensi baru menurut model UNDP dalam Humman Development Report, 1993 (Britha Mikkelsen 2001), yakni (4) Human Freedom Index (Index Kebebasan Manusia) yang diukur dengan Political Freedom Index (Index kebebasan Politik) termasuk Kepekaan Gender, (5) Dimensi Nilai-Nilai Budaya, dan (6) Dimensi Kesinambungan Lingkungan.
Jelas bagi kita bahwa usaha terus-menerus untuk memperbaiki HDI agar iebih jelas menggambarkan situasi kehidupan yang nyata, yakni dipertimbangkannya kebebasan politik, faktorfaktor budaya dan kepekaan terhadap lingkungan merupakan upaya terfokus yang lebih peka dalam menggambarkan situasi pembangunan manusia yang lebih obyektif dan relevan dengan visi maupun prioritas program pembangunan di provinsi Papua."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>