Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111537 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christine
"Serangga atau insekta merupakan hewan dengan jumlah spesies
terbesar di dunia, yaitu ± 900.000 spesies. Di antara spesles-spesles
serangga tersebut, cukup banyak yang dapat memberikan manfaat bag!
kehidupan manusia. Tetapi selain itu juga terdapat banyak serangga yang
merugikan bag! manusia, khususnya dari segi kesehatan, di mana seranggaserangga
ini menjadi vektor berbagai penyakit. |viil ik PERPusTfiKflAf^""!
FfVilPA-U i I
Untuk mengatasi serangga-serangga yang me?up
diperlukan suatu bahan yang dapat menolak serangga-serangga itu, yang
dikenal sebagai insect repellent atau repelen serangga. Sudah tentu
dibutuhkan bahan repelen serangga yang murah dan tidak bersifat toksik.
Oleh karena itu pada peneiitian ini diusahakan untuk membuat salah satu
bahan aktif repelen serangga, yaitu di-n-butil suksinat, dari n-butanol dan
asam suksinat.
Pembuatan di-n-butil suksinat dilakukan dengan merefluks campuran
n-butanol, asam suksinat, dan H2SO4 pekat pada variasi suhu 40°, 60°, dan
80°C: masing-masing seiama 4 jam. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi
esterifikasi, dengan H2SO4 pekat sebagai katalisnya. Data uji bercak TLC
yang didapat menunjukkan bahwa reaksi sudah optimum ketika pemanasan
telah berlangsung seiama 2 jam Pemanasan pada suhu tinggi dapat menyebabkan di-n-butil suksinat
terdekomposisi. Hal Ini ditandai dengan terjadlnya perubahan warna cairan
di-n-butil suksinat dari jernih menjadi kuning. Refluks pada suhu 80°C
menghasilkan cairan produk di-n-butil suksinat yang berwarna kuning muda
jernih, sedangkan di-n-butil suksinat yang didapat dari refluks pada 40°, dan
60°C masing-masing berupa cairan yang jernih. Pencucian dan ekstraksi din-
butil suksinat yang diperoleh dilakukan dalam corong pisah, dengan
berturut-turut menambahkan akuades dan larutan jenuh NaHCOa untuk
menetralisir H2SO4 yang masih terdapat dalam campuran produk.
Pemisahan produk di-n-butil suksinat yang diperoleh, dari n-butanol yang
merupakan pereaksi berlebih, serta air yang berasal dari hasil samping reaksi
maupun sisa-sisa pencucian, dilakukan dengan destilasi vakum pada suhu
80°-90°C.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
pemanasan, maka semakin rendah rendemen produk yang didapat. Hal ini
didukung pula oleh data analisis FT-IR dan GC-MS yang didapat"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2003
S30099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prayitno
"Istilah ?Ramah Lingkungan? untuk kulit dapat diartikan sebagai kulit tersamak yang bebas krom. Hampir 80% penyamakan saat ini menggunakan krom, karena kemudahan dalam proses dan keunggulan dalam sifat-sifat fisis kulit samaknya. Namun saat ini masyarakat menghendaki suatu produk yang ramah lingkungan. Bahan penyamak nabati dapat dikatakan sebagai bahan penyamak ramah lingkungan sebab limbah produknya mudah terdegradasi. Salah satu kelemahan dalam penggunaan samak nabati adalah kemampuan penyerapan airnya yang tinggi. Pada penelitian ini digunakan bahan water repellent yang mempunyai sifat untuk menekan kemampuan penyerapan air.
Maksud dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh dari water repellent pada penyerapan air, sifat-sifat fisis dan morfologi kulit yang disamak dengan bahan penyamak nabati. Penelitian dilakukan dengan memvariasi jumlah water repellent dari 5; 7,5; 10; 12,5 dan 15%. Sifat-sifat fisis yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan analisis sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan dalam sifat penyerapan airnya walaupun tidak signifikan dari 77,6% menjadi 65,39%, penurunan kuat sobek dari 41,64 menjadi 20,05 kg/cm, kuat tarik dari 227,10 menjadi 163,53 kg/cm2 dan kemuluran dari 57,11 menjadi 49,68% masing-masing untuk water repellent berturut-turut 5 dan 15%, kuat bengkuk dan WVA tidak ada perubahan yang signifikan, sedangkan untuk WVP maksimum terjadi pada penggunaan water repellent 12,5%. Hasil SEM menunjukkn adanya lapisan tipis pada serat kulit yang dapat menghambat penyerapan air.

The term of eco-friendly leather can be interpreted as chrome-free tanned leather. Recently, almost 80% of leather is tanned using chrome tanning agent because of the ease in processing and excellence of the physical properties. Nevertheless, people nowadays want an eco-friendly leather product. Vegetable tanning materials can be said as eco-friendly tanning material because their waste degrades easily. One of the weaknesses in the use of vegetable tanning is a high water absorption capability. In this research used a water repellent material that has the properties to suppress the ability of water absorption.
The purpose of the research was to determine the effect of water repellent on physical properties and morphology of leather tanned by vegetable tanning materials. Because one of the weaknesses in the vegetable tanning is its high water absorption capability, in this research, water repellent was used and varied by 5; 7.5; 10; 12.5; and 15% . Physical properties obtained were compared with analysis of variance with the significance level of 95%. The water repellent increased from 5% to 15%.
The results showed a decrease in water absorption capability from 77.6% to 65.39%, tearing strength from 41.64 to 20.05 kg/cm, tensile strength from 227.10 to 163.53 kg/cm2, and elongation at break from 57.11 to 49.68%, strong swelling and WVA have no significant changes, while for WVP, the maximum use of water repellent at 12.5%. SEM results indicate the presence of a thin layer on the leather fiber that can inhibit the absorption of water.
"
[Place of publication not identified]: Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, 2016
530 KKP 32:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Beni Ernawan
"ABSTRAK
Aedes aegypti merupakan vektor penting beberapa virus penyakit antara lain dengue, chikungunya, deman kuning yellow fever dan Zika. Pengendalian populasi vektor menggunakan teknik serangga mandul TSM adalah salah satu metode potensial untuk mencegah dan membatasi penyebaran virus penyakit tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh laju dosis iradiasi gamma pada parameter kualitas nyamuk jantan mandul steril . Ae. aegypti jantan pada stadium pupa disterilisasi dengan iradiasi gamma dosis 70 Gy dengan variasi laju dosis, yaitu 0 kontrol , 300, 600, 900, 1200 dan 1500 Gy/jam menggunakan iradiator panorama. Nyamuk dewasa yang berkembang dari stadium pupa dievaluasi parameter kualitasnya, yaitu persentase kemunculan nyamuk dewasa, umur nyamuk, sterilitas, daya saing kawin, kandungan testosteron dan analisis sekuen pada faktor penentu nyamuk jantan, yaitu gen Nix. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada pengaruh signifikan laju dosis iradiasi gamma terhadap persentase kemunculan nyamuk dewasa, sterilitas dan kandungan testosteron. Secara umum, umur nyamuk iradiasi gamma lebih rendah dibanding kontrol. Data juga menunjukkan bahwa umur nyamuk naik secara signifikan dari laju dosis 300 Gy/jam hingga 900 Gy/jam, kemudian menurun hingga laju dosis 1500 Gy/jam. Daya saing kawin nyamuk jantan iradiasi gamma meningkat dari laju dosis 300 Gy/jam hingga 1200 Gy/jam, kemudian nilainya menurun secara signifikan pada laju dosis 1500 Gy/jam. Laju dosis iradiasi gamma menyebabkan mutasi gen Nix, faktor determinasi jantan pada nyamuk Ae. aegypti. Hasil penelitian memberikan informasi dan berkontribusi dalam upaya optimasi proses sterilisasi dengan iradiasi gamma dan parameter kualitas nyamuk jantan Ae. aegypti dalam TSM.

ABSTRACT
Aedes aegypti is the most important vector for dengue, chikungunya, yellow fever and Zika viruses. Vector population control program utilizing radiation based sterile insect technique SIT is one of the potential methods for preventing and limiting the dispersal of these viruses. The present study was undertaken to evaluate the dose rates effects of irradiation on quality parameters of sterile males. Males Ae. aegypti at the pupal stage were sterilized by applying 70 Gy rays in varies dose rates, i.e. 0 control , 300, 600, 900, 1200 and 1500 Gy h utilizing panoramic irradiator. Adult males that emerged from the pupal stage were assessed for their quality parameters, which are the percentage of emergence, longevity, sterility, mating competitiveness, testosterone level and sequence analysis of the male determination factor, Nix gene. The results herein indicate that there was no major effect of dose rate on the percentage of emergence, sterility and testosterone level. Generally, the longevity of irradiated males was lower compared to control. The data also demonstrated that longevity was significantly increased at the dose rate from 300 to 900 Gy h, then decreased at the dose rate 900 to 1500 Gy h. Mating competitiveness of irradiated males was increased at the dose rate from 300 to 1200 Gy h, then the value was decreased significantly at the dose rate 1500 Gy h. The dose rate was causes Nix gene mutation, Ae. aegypti male determination factor. The results give information and contribute to better understanding towards sterilization optimization and quality parameters of sterile male Ae. aegypti on SIT methods."
2017
T47268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayuning Widiastuti
"Opheodesoma grisea merupakan timun laut dari Family Synaptidae dengan pertahanan fisik yang minim sehingga lebih mengandalkan metabolit sekunder sebagai pertahanan kimiawi. Metabolit sekunder yang dimiliki salah satunya dapat berpotensi sebagai antifeedant yang mampu mencegah organisme tersebut dimakan oleh predatornya. Penelitian dilakukan untuk menganalisa aktivitas antifeedant ekstrak kasar Opheodesoma grisea terhadap ikan Gymnocorymbus ternetzi, menganalisa toksisitas ekstrak kasar Opheodesoma grisea terhadap ikan Gymnocorymbus ternetzi dan larva Artemia salina, serta mengkategorikan mode pertahanan kimiawi Opheodesoma grisea terhadap ikan Gymnocorymbus ternetzi. Sampel Opheodesoma grisea yang diuji berasal dari Perairan Pulau Pramuka sebanyak 10 individu dan diekstrak secara maserasi menggunakan metanol. Ekstrak yang dihasilkan memiliki persentase rendemen ekstrak kasar dan konsentrasi fisiologis berturut-turut sebesar 4,62% dan 24,74 mg/mL. Nilai dosis efektif (ED50) pada uji antifeedant sebesar 1,380 mL menunjukkan ekstrak Opheodesoma grisea bersifat palatable. Hasil pengujian ikhtiotoksisitas menghasilkan nilai Weighted Mean (WM) = 2 yang artinya ekstrak Opheodesoma grisea memiliki toksisitas rendah. Hasil pengujian Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menunjukkan LC50 ekstrak Opheodesoma grisea sebesar 174,735 ppm yang tergolong toksisitas sedang sehingga adanya potensi pertahanan kimiawi dari Opheodesoma grisea terhadap predatornya. Hasil uji antifeedant dan ikhtiotoksisitas mengkategorikan mode antipredator pada Opheodesoma grisea termasuk ke dalam Weak Responses (WR).

Opheodesoma grisea is a sea cucumber from the Family Synaptidae with minimal physical defenses, relying more on secondary metabolites as chemical defenses. One of the secondary metabolites it possesses has the potential to act as an antifeedant, preventing the organism from being consumed by its predators. The study was conducted to analyze antifeedant activity of crude extract from Opheodesoma grisea on Gymnocorymbus ternetzi fish, analyze toxicity of crude extract from Opheodesoma grisea on Gymnocorymbus ternetzi fish and Artemia salina larvae, and categorize chemical defense mode of Opheodesoma grisea on Gymnocorymbus ternetzi fish. The Opheodesoma grisea samples, consisting of 10 individuals, were collected from Pramuka Island and extracted using methanol through maceration. The resulting extract had a crude extract yield percentage of 4,62% and a physiological concentration of 24,74 mg/mL. The effective dose (ED50) in the antifeedant test was determined to be 1,380 mL, indicating that the Opheodesoma grisea extract is palatable. The ichthyotoxicity test resulted in a Weighted Mean (WM) value of 2, indicating that the Opheodesoma grisea extract has low toxicity. The Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) showed an LC50 value of 174,735 ppm, indicating moderate toxicity and has the potential chemical defense for Opheodesoma grisea against its predators. The antifeedant and ichthyotoxicity test results categorized the antipredator mode in Opheodesoma grisea to Weak Responses (WR)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handayani
"ABSTRAK
Pitcher plants (Nepenthes spp.) included in carnivorous plants which are often visited by nectar-seeking insects, such as bees, beetles, butterflies and ants. In order to be visited by insects, pitcher plants provide a lure prize in the form of nectar produced by flowers (floral nectar) and nectar in other parts outside the flower (extrafloral nectar). In an effort to get the nectar, visitor insects can fall into the hole of the pitcher which will eventually become the food of the pitcher plants."
Bogor: Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, 2019
580 WKR 17:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chicago : Department of Anthropology, 1927
595.7 DEP i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Diversity of the parasitoid waps of the eulophid subfamily eulophinenae (Insecta: hymenopptera,eulophidae) of Java , Indonesia and their distribution is presented for the first time...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Ismail Gani
"Penyakit tular vektor merupakan masalah kesehatan masyarakat, diantaranya demam berdarah dengue (DBD) yang ditularkan oleh Aedes aegypti dan Aedes albopictus serta filariasis yang ditularkan Culex quinquefasciatus. Pemberantasan penyakit tersebut dilakukan dengan memberantas vektornya terutama menggunakan insektisida. Untuk mengurangi efek negatif insektisida, dewasa ini pemberantasan vektor diupayakan dengan pemberantasan biologik antara lain dengan Bacillus thuringiensis israelensis (Bti).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama efek residu Bti terhadap Ae.albopictus dan Cx.quinquefasciatus. Desain penelitian ini adalah eksperimental. Sebanyak 100 larva instar III Ae.albopictus dan Cx.quinquefasciatus yang berasal dari koloni laboratorium dimasukkan ke dalam bak fiber glass, keramik, dan semen yang berukuran 60 x 60 x 60 cm3 dan berisi 125 L air. Selanjutnya diteteskan Bti dengan konsentrasi 2 ml/m2 lalu diobservasi selama 24 jam kemudian dihitung jumlah larva yang mati. Selanjutnya dilihat perkembangan pada minggu-minggu berikutnya dan penelitian ini dihentikan sampai jumlah larva yang mati <70%. Sebagai kontrol 100 larva dimasukkan ke bak dengan jenis dan ukuran yang sama namun tidak diberikan Bti. Lama efek residu Bti dalam membunuh larva Ae.albopictus di ketiga bak adalah dua minggu sedangkan terhadap Cx. quinquefasciatus di bak semen dan keramik adalah satu minggu, dan di bak fiber glass dua minggu. Pada uji McNemar didapatkan p <0,05 yang berarti terdapat perbedaan bermakna. Disimpulkan efek residu Bti terhadap Ae. albopictus lebih lama dibandingkan Cx. quinquefasciatus.
Vector borne diseases is a public health problem, such as dengue hemorrhagic fever (DHF) which is transmitted by Aedes aegypti and Aedes albopictus and filariasis transmitted by Culex quinquefasciatus. The control of the disease by controlling vector mainly using insecticides. To reduce the negative effects of insecticides, today?s control of the vector attempted with biological eradication, among others, with Bacillus thuringiensis israelensis (Bti).
This study aims to determine residual effect of Bti against Ae. albopictus and Cx. quinquefasciatus. This experimental study was performed using 100 third instar larvae Ae. albopictus and Cx. quinquefasciatus from laboratory colonies introduced into containers of fiber glass, ceramics, and cement which measures 60 x 60 x 60 cm3 and containing 125 L of water. The concentrations of Bti was 2 ml/m2 then observed for 24 hours and then counted the number of dead larvae. After that, the progress of the study seen in the following weeks and the study was stopped until the number of larvae that died <70%. As control 100 larvae introduced to the same type an size containers but not given Bti. Residual effect of Bti against Ae. albopictus larvae in the three containers is two weeks whereas against Cx. quinquefasciatus in the containers of cement and ceramic is one week, and in the fiber glass is two weeks. McNemar test showed p <0,05, which means there is significant difference. It was concluded that residual effect of Bti against Ae. albopictus is longer than Cx. quinquefasciatus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>