Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153116 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diah Permata
1989
S33400
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Abrasi merupakan peristiwa alam yang patut menjadi perhatian,terutama para nelayan dan penduduk di sepanjang pantai khususnya di pantai Sukaoneng, Pulau Bawean
"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arifin U
"ABSTRAK
Keberhasilan suatu kebijaksanaan yang telah di rumuskan dan ditetapkan cleh pemerintah sangat ditentu-kan oleh implementasinya. Suatu kebijaksanaan, walaupun bagaimana baiknya tidak akan mencapai sasaran sebagai-mana yang diinginkan bila tidak diimplementasikan atau dapat juga dikatakan bahwa suatu kebijaksanaan belum mempunyai arti apabila bslum di implementasikan.
Salah satu kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu kebijaksanaan perlindungan hutan bakau yang bertujuan untuk melindugi atau raencegah kerusakan hutan bakau dan hasilnya serta mempertahankan hak-hak negara atas hutan bakau, hal ini dimaksudkan agar hutan bakau tetap lestari.
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Teluk Kolono Kecamatan Lainea (Kelurahan Kolono dan Desa Awunio) dan Kecamatan Koramo (Desa Moramo dan Desa Lalowaru) Kabu-paten Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara dengan menggu-nakan analiais data secara kualitatif.
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui : (1) Bagaimana implementasi kebijaksanaan perlindungan hutan bakau, (2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi imple-mentasi kebijaksanaan perlindungan hutan bakau, dan (3) Masalah-masalah apa yang dihadapi dalaro implementasi kebijaksanaan perlindungan hutan bakau. Tahap pertama, dilakukan studi literatur terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan hutan bakau, teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian ini, yakni meliputi: teori kebijaksanaan, teori implamentasi dan teori pendekatan terhadap implementasi kebijaksanaan. Tahap keciuaf dilakukan studi kebijaksanaan sekaligus menganalisis kebijaksanaan (Bromley, 1989), yakni terhadap kebijaksanaan perlindungan hutan bakau mulai pada tingkat Policy level sampai pada Operational level, dan juga menganalisis pendekatan implementasi kebijaksanaan (George Edward III, 1980 dan Hoogerwerf, 1983), yakni terhadap impleeentasi kebijaksanaan perlindungan hutan bakau.
Tahap ketiga, mendiskripsikan data sekunder tentang implementasi kebijaksanaan perlindungan hutan bakau. Data ini diperoleh melalui studi kepustakaan. Tahap keempat, melakukan analisis implementasi kebijak-sanaan perlindungan hutan bakau, dengan menggunakan teori yang dikeinukakan oleh George Edward III, 1980 dan Hoogerwerf 1983) dengan menggunakan data primer dari hasil wawancara mendalam terhadap informan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para implementor di Kabupaten Kendari belum dapat mengimp lamentasi-kan kebij aksanaan perlindungan hutan bakau sebagaimana mestinya. Karena dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; ( 1) faktor isi kebijaksanaan (2) faktor komunikasi, (3) faktor sumber daya, dan (4) faktor disposisi atau sikap para pelaksana (implementor).
Dengan adanya faktor-faktor yang berpengaruh tersebut diatas, mengakibatkan masih tetap berlangsung-nys. pengslolaan kayu bakau secara liar dan adanya pembuatan tambak udang yang tidak memperhatikan kelestarian hutan bakau. Bahkan telah tarjadi kolusi antara pengelola kayu bakau dan pihak kehutanan, abrasi laut sekitar 20 meter, rusaknya tambak udang penduduk sekitar 400 meter karena terkikis oleh hantaman ombak dan kurangnya hasil tangkapan ikan bagi para nelayan.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Moesmariniwijati
"Hutan mangrove mempunyai manfaat ekologi dan sosial-ekonomi. Manfaat ekologis adalah bahwa hutan mangrove berfungsi dalam kemampuannya mendulcung eksistensi lingkungan fisik dan lingkungan biota. Manfaat sosial-ekonomi adalah bahwa hutan mangrove menjadi tumpuan bagi masyarakat sekitar untuk memenuhi keperluan akan bangunan, kayu bakar, dan mencari ikan. Pada kawasan hutan mangrove yang diusahakan untuk tambak, terbukti memberikan pengaruh positif bagi perluasan lapangan kerja. Oleh karena itu perlu dilestarikan melalui pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Keberhasilan pembangunan berwawasan lingkungan (hutan mangrove) tergantung pada efektivitas perangkat hukum yang ada yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selannjutnya disingkat UULH. Efektivitas implementasi ketentuan pasal-pasal dalam UULH dalam pengelolaan hutan mangrove tidak hanya ditentukan oleh kualitas perangkat hukum itu sendiri, tetapi oleh akumulasi berbagai faktor. Salah satu faktor penting keberhasilan pengelolaan hutan mangrove adalah peranserta masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove tersebut. Peranserta tersebut tidak hanya meliputi peranserta individu yang terkena berbagai peraturan atau keputusan administratif, tetapi meliputi pula peranserta kelompok dan organisasi masyarakat. Slamet (1988) mengemukakan bahwa peranserta masyarakat sangat mutlak demi berhasilnya pembangunan. Tanpa peranserta masyarakat, suatu pembangunan harus dinilai tidak berhasil.
Dengan semakin pesatnya pembangunan dan pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan lahan akan semakin meningkat, baik untuk kepentingan tempat tinggal maupun lokasi industri. Mangrove yang luasnya relalif kecil (3% dari luas hutan Indonesia), bahkan akan semakin kompleks apabila masyarakat di sekitar kawasan tersebut mempunyai tingkat sosial ekonomi rendah. Oleh karena itu, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah sejauh mana hak dan kewajiban berperanserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hutan mangrove.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hak dan kewajiban berperanserta dalam pengelolaan lingkungan hidup (ekosistem hutan mangrove). Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk melakukan pengujian apakah terdapat perbedaan nyata di antara peran Serta masyarakat dan identifikasi faktor-faktor yang mempengamhi tiokat peranserta masyarakat dalam pengelolaan linglcungan hidup (hutan mangrove).
Hipotesis penelitian adalah diduga bahwa hak dan kewajiban berperanserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup (hutan mangrove) pada lima propinsi di Indonesia belum optimal, serta diduga dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional masyarakat setempat.
Penelitian ini akan bermanfaat bagi pinak pemerintah sebagai bahan informasi dan evaluasi implementasi UULH dan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup lainnya, khususnya dalam upaya mendorong peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup (ekosistem hutan mangrove) dan sebagai umpan balik dalam penetapan kebijaksanaan di masa yang akan datang.
Sifat penelitian ini adalah explorative research. Pada penelitian jenis ini akan menghasilkan deskripsi atau gambaran ciri-ciri dari suatu obyek yang diteliti untuk mendapatkan penjelasan suatu keterkaitan. Pelaksanaan pengumpulan data primer pada penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu: (1) tahapan pengamatan (observasi), dan (2) tahapan survai. Metode untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan cara wawancara secara langsung pada responden dengan menggunakan daftar kuesioner yang telah dipersapkan sebelumnya.
Data primer diambil dari sampel. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan adanya keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya, disebabkan jumlah populasi yang besar dan jarak lokasi satu dengan lainnya cukup jauh, jumlah sampel ditetapkan sebanyak 120 orang yang didistribusikan secara merata pada enam lokasi.
Metode dalam mendapatkan sampel adalah non-random sampling, di mana tidak setiap individu mendapatkan kesempatan atau probabilitas yang sama untuk terpilih menjadi sampel. Untuk itu terpilih orang-orang yang langsung dapat dijumpainya, tetapi orang tersebut mempunyai keterkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove. Oleh karena itu metode ini disebut juga purposive sampling.
Metode analisis data dilakukan dnegan dua pendekatan. Pendekatan pertaman adalah dengan melakukan uji statistik dengan cara chi-square (X2). Pendekatan kedua memberikan apa yang dilihat dan didengar dari responden dan observasi di responden. Untuk memberikan data hasil wawncara terhadap responden, maka salah satu metode yang dipakai adalah analisis tabel, dengan menggunakan persentase.
Dalam penelitian ini juga digunakan data sekunder terutama dari BAKORSURNATAL, Biro Pusat Statistik dan referensi terkait lainnya yang sangat mendukung data primer.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: bahwa hak dan kewajiban berperanserta penduduk di sekitar kawasan mangrove belum berkembang secara optimal. Belum optimalnya peranserta masyarakat berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, sedikitnya arus informasi yang diperolehnya, rendahnya tingkat penghasilan per kapita, serta masih banaknya pencurian, penebangan liar dan pelanggaran-pelanggaran lainnya yang dapat menyebabkan rusak atau menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove. Disamping itu juga belum adanya penyuluhan, pengarahan dan pembinaan secara langsung pada masyarakat yang memadai oleh aparat pemerintah.
Pola pengembangan peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove pada dasarnya dapat dilakukan pada empat hal, yakni:
a) Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia
b) Meningkatkan tingkat sosial ekonomi masyarakat dengan pola silvofishery
c) Pengembangan kelembagaan
d) Pentaatan pelaksanaan peraturan perundang-undangan."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Budiman
"Mangrove molluscs data collected from some mangrove forest in Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Java, Mollucas, and Papua) are used in order to understand the mangrove molluscs distribution and pattern of species abundance. The result of the present study strongly suggest three models (or combination of them) of distribution (1) molluscs (especially bivalve ) only recruit into certain microhabitat, in which they reach larger densities; (2) certain species of mollusc may recruit widely, but suffer increase mortality in certain microhabitats; and (3) molluscs (especially for mobile animals, such as many gastropods) may actively move among macrohabitats, increasing local densities in some of those. The correlation between features of habitat and abundance of molluscs which can be described as preference are discussed "
Bogor: Pusat Penelitian Biologi, 2009
BBIO 9:4 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sofya Umi Labiba
"[ABSTRAK
Malaria merupakan penyakit tular vektor yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Pengendalian malaria yang dilakukan lebih berfokus pada diagnosis dan pengobatan ACT serta upaya pencegahan gigitan nyamuk lainnya sehingga diperlukan upaya berbasis lingkungan salah satunya dengan konservasi hutan mangrove mengingat tantangan resistensi parasit dan vektor malaria dan perubahan iklim yang terjadi saat ini. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara konservasi hutan mangrove, dengan kejadian malaria. Disain penelitian yang digunakan adalah ekologi korelasi yang berbasis populasi. Didapatkan 18 kabupaten/kota dari total 28 sampel yang berada di pantai utara Pulau Jawa. Data yang digunakan adalah Riskesdas tahun 2013 dan RTK-RHL DAS Mangrove dan Sempadan Pantai tahun 2010. Hasil menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengelolaan hutan mangrove dengan kejadian malaria (r =-0,675) dengan (p = 0,002). Konservasi hutan mangrove dapat menjadi upaya pengendalian malaria berbasis lingkungan karena memiliki hubungan kuat yang negatif dengan kejadian malaria sehingga semakin besar pengelolaan hutan mangrove maka semakin kecil kejadian malaria pada suatu wilayah. Konservasi hutan mangrove didukung dengan adanya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mangrove.

ABSTRACT
, Malaria is a vector-borne disease that still remains as a health problem in Indonesia. Malaria control focus more on the diagnosis and treatment of ACT and other mosquito bite prevention efforts so the environmental-based efforts are necessary, one of them is mangrove forests conservation in view of the resistance challenges of parasite and vector of malaria and climate change that is happening now. This study aim to examine the relationship between the conservation of mangrove forests with the prevalence of malaria. The design study is a population-based ecological correlations. 18 districts / cities were obtained of a total of 28 samples that were on the north coast of Java Island. The data used are Riskesdas in 2013 and RTK-RHL DAS Mangrove dan Sempadan Pantai Ministry of Forestry in 2010. The results showed significant relationship between the management of mangrove forests and malaria incidence (r = -0,675) with (p = 0,002). Mangrove forests conservation can be an environmental-based malaria control effort because it has a strong negative correlation with the incidence of malaria, so the larger the mangrove forests management the smaller the prevalence of malaria in the region. Mangrove forests conservation is supported by the community empowerment around the forests]
"
2015
S60349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Marzuki
"Hutan mangrove merupalan ekosistem hutan yang khas terutama karena posisinya sebagai peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem taut. Kondisi lingkungan fisiknya yang sangat khusus menyebabkan ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang terbatas dan ekosistem ini sangat rentan terhadap adanya pengaruh luar terutama karena species biota pada hutan mangrove memiliki toleransi yang sempit terhadap adanya perubahan dari luar.
Hutan mangrove di Indonesia saat ini tinggal 3,24 juta hektar (Yayasan Mangrove, 1993). Sulawesi Tengah salah satu propinsi yang memiliki luas hutan mangrove hanya 28.000 ha, namun ancaman untuk eksploitasi menjadi tambak dan kegiatan Iainnya cukup tinggi.
Hutan mangrove di Banawa Selatan yang luasnya 1167 hektar pada tahun 1973 dan pada tahun 1998 tersisa 167 hektar. Penurunan jumlah tersebut disebabkan beberapa faktor yakni :
  1. Konversi hutan mangrove
    Kawasan pesisir Banawa Selatan yang ditumbuhi oleh hutan mangrove telah di dikonversi menjadi tambak udang dan ikan bandeng.
  2. Areal Permukiman
    Bertambahnya jumlah penduduk baik karena pertumbuhan alamiah maupun karena migrasi telah mendorong meningkatnya permintaan akan areal permukiman.
  3. Sistem Pertanian
    Sistem pertanian yang dikembangkan di Banawa Selatan sangat variatif mulai dari perladangan berpindah, pertanian menetap, maupun pertanian tambak telah mendorong meningkatnya tekanan terhadap hutan mangrove.
  4. Pengelolaan tataguna lahan
    Pengelolaan tataguna lahan yang tidak memperhitungkan daya dukung dan kesesuaiannya, telah menyebabkan zona lindung pun telah berubah fungsi menjadi areal permukiman dan pertanian.
  5. Perubahan struktur mata pencaharian
    Perubahan struktur mata pencaharian dialami oleh etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde sebagai peladang dan nelayan tradisional menjadi petani tambak, menyebabkan degradasi hutan mangrove terus meningkat.
Kelima faktor tersebut menjadi dasar pertimbangan penulis melakukan penelitian dengan judul Perubahan Pofa Adaptasi Etnik Kaili Dalam Pengelolaan Mangrove, Studi kasus etnik Kalil Data dan Kaili Unde di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah.
Maksud dilaksanakannya penelitian ini untuk menyusun tesis sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Magister Sain (M.Si) Ilmu Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah urrtuk memperoleh gambaran kaitan antara perubahan pola adaptasi dan degradasi hutan mangrove, serta menghasilkan suatu konsep pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan di Banawa Selalan.
Gambaran hubungan perubahan pola adaptasi etnik Kaili dalam pengelolaan hutan mangrove di Banawa Selatan dan pola pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan sebagai berikut :
  1. Hubungan perubahan pola adaptasi dengan eksploitasi hutan mangrove. Eksploitasi hutan mangrove terjadi pada akhir tahun 1970-an dan mencapai puncaknya pada awal 1990-an, ini terjadi karena masuknya kaum migran Bugis, Toraja dan Mandar yang mulai memanfaatkan hutan mangrove sebagai kawasan pemukiman dan areal tambak. Sementara bagi etnik Kaili hutan mangrove adalah kawasan yang terlarang untuk kegiatan pertanian dan permukiman, sebab ada nilai magis yang dikandungnya. Namun akibat proses interaksi dengan kaum migrant, lambat laun etnik Kaili mulai terlibat memanfaatkan hutan mangrove untuk pemukiman dan kegiatan pertanian tambak.
  2. Penabahan pola adaptasi terhadap perubahan fungsi hutan menjadi lahan permukiman.
    Konsepsi etnik Kaili Da'a dan Kaili Uncle yang memagiskan kawasan hutan mangrove untuk kegiatan permukiman berubah, bersamaan dengan masuknya kaum migran Bugis, Toraja dan Mandar yang telah memanfaatkan hutan mangrove untuk perrnukiman tetapi tidak mengalami gangguan apa pun seperti wabah penyakit.
  3. Perubahan pola adaptasi terhadap sistem pertanian. Erik Kaili Da'a dan Kaili Linde adalah peladang dan nelayan tradisional yang cenderung menjauhi hutan mangrove sebagai csmber mata pencaharian.
    Perubahan terjadi saat ini peladang menjadi petani tambak, maka yang terjadi adalah sistem perladangan tebang-bakar ditransformasikan dalam kegiatan pertanian tambak.
  4. Perubahan pola adaptasi dengan pendapatan dan kesejahteraan.
    Berubahnya mata pencaharian dari peladang dan nelayan tradisional menyebabkan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan etnik Kalil Da'a dan Kaili Uncle pada sisi yang lain menjadi faktor penekan yang potensial terhadap eksploitasi hutan mangrove karena meningkatnya pendapatan akan meningkat pula akses modal terhadap hutan mangrove.
  5. Sistem Empang Parit sebagai bentuk pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan.
    Berangkat dari empat fenomena yang tergambar di atas, maka penerapan sistem empang parit, yakni suatu model empang/tambak yang tetap mempertahankan ekosistem mangrove antara 30 -- 70 % peneliti yakin dapat mempertahankan ekosistem mangrove yang ada, serta dapat mempertahankan fungsi daya dukung dari hutan mangrove baik dari sudut fisik ekologis maupun dari fungsi sosial ekonominya.
Berdasarkan temuan tersebut maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Ekosistem hutan mangrove yang ada di lokasi penelitian telah mengalami penurunan luasan dari 1167 hektar pada tahun 1973, tersisa 167 hektar pada tahun 1998.
  2. Perubahan lingkungan hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak udang dan bandeng oleh para migran merupakan salah satu faktor perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde. Perubahan pola adaptasi tersebut dalam hal memanfaatkan hutan tidak hanya sebagai sumber bahan ramuan rumah tinggal, namun diolah menjadi areal tambak.
  3. Cara pandang dan persepsi tentang kawasan hutan mangrove yang tidak lagi magis, salah satu faktor perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde dari menjauhi kawasan hutan mangrove menjadi memanfaatkan kawasan hutan mangrove untuk pemukiman.
  4. Perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kalil Unde juga terjadi pada sistem budidaya perladangan yang berpindah-pindah menjadi petani menetap baik pada sistem budidaya teresterial maupun pada sistem budidaya aquatik.
  5. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan menjadi faktor daya tarik bagi etnik lokal untuk memanfaatkan hutan mangrove yang berasal dari pembagian hak ulayat seluas 2 (dua) hektar, sebagai sumber pendapatan dan ekonomi keluarga.
  6. Untuk mencegah berlanjutnya konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan yang tidak ramah lingkungan, maka penerapan sistem pengelolaan tambak yang ramah Iingkungan mendesak untuk dilaksanakan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan untuk :
  1. Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala perlu segera mendata kembali luas kawasan yang tersisa, selanjutnya mengeluarkan peraturan daerah tentang penetapan kawasan lindung pada kawasan yang tersisa tersebut.
  2. Segera menerapkan sistern budidaya empang parit (silvofishery) pada kawasan yang telah berubah menjadi areal tambak.
  3. Meningkatkan peran lembaga adat bagi masyarakat lokal setempat.
  4. Perlu dilakukan suatu studi antropologis yang Iebih komprehensif, terutama menyangkut nilai dan tradisi masyarakat setempat.

Change in Adaptation Patterns in Mangrove Management.Mangrove forest is a special forest ecosystem due to, mainly, its position as a transition zone between terresterial ecosystem and a marine ecosystem. Its special physical environmental conditions have caused the mangrove ecosystem to possess limited biodiversity. This ecosystem is very susceptible to the presence of external influences, especially since the biota species in the mangrove forest have limited tolerant changes from outside.
Mangrove forests in Indonesia currently cover 3,24 million hectares (Yayasan Mangove, 1993). Central Sulawesi is one of the provinces that has mangrove forests, about 28.000 hectares, but exploitation by conversion to fishponds and other activities is quite high.
South Banawa had 1167 hectares of mangrove, but when this research was conducted only 167 hectares remained. This decrease is due to some factors as follows :
  1. Conversion.
    The coastal area of South Banawa planted to mangrove forest has been changed into areas of milk fish and shrimp ponds.
  2. Settlement Area.
    Increasing population both naturally and by migration has led to an expansion of settlement area.
  3. Agriculture System.
    The agriculture system in South Banawa including shifting cultivation, permanent cultivation and fish pond culture, has led to increased pressure on the mangrove forest.
  4. Land Use Management.
    Land use management without concern for its carrying capacity has caused the alteration of protected areas into settlement and agriculture areas.
  5. The alteration of livelihood source structure.
    The conversion of the Kaili Da'a and Kalil Unde peoples from field farmer and traditional fishers to fish pond farmers has degraded the mangrove forest significantly.
This research was aimed at descriptively obtaining the relationship between change of adaptation patterns and mangrove forest degradation and to produce a concept of sustainable mangrove forest management for South Banawa. Changes in the adaptation patterns of the Kaili people in mangrove management can be described as follows :
  1. The relationship between changes of adaptation pattern with mangrove forest exploitation :
    The exploitation of mangrove forests has occurred since the end of the 1970's and reached its peak in the early of 1990's. This Is caused by the coming of Bug is, Toraja and Mandar people to South Banawa where they converted mangrove Forest into settlements and fish pond. For the Kalil people the mangrove forest was considered forbidden for any activity including agriculture and settlement However, through the interaction process between them and the newcomer groups they slowly have become involved in converting mangrove forests into settlement and fishpond areas.
  2. Change of adaptation pattern in the change of forest function into settlement area :
    The concept of Kalil Da'a and Kalil Untie people, who originally considered the mangrove forest as a forbidden zone, has changed simultaneously with the coming of Bugis, Toraja and Mandar ethnic groups to South Banawa. These newcomer groups have converted mangrove forests into settlement areas without ever experiencing any problems such as disease epidemics.
  3. Change of adaptation pattern in agriculture systems :
    Kaili Da'a and Kalil Untie people were farmers and traditional fishermen who tended to avoid the mangrove forests as their livelihood source but since they have been influenced by other ethnic groups, from they have converted cut-andbum farming to fishpond culture.
  4. Change of adaptation patterns with income and prosperity.
    Change of livelihood source from farming and traditional fishing has increased their income and prosperity but on the other hand this is a potential pressure factor on the existing mangrove forest.
  5. The application of the ditch-embankment (sllvofishery) system as one type of sustainable mangrove forest management.
    The application of the ditch-embankment system (a model of embankment that maintains 30-70 % of the original mangrove ecosystem) can preserve the existing mangrove ecosystem and its carrying capacity both ecologically or economically.
Based on the research result, it can be concluded that :
  1. Mangrove forest in the research field has decreased its width from 1167 hectares in 1973 into 167 hectares in 1998.
  2. Change of physic environment has caused Kalil Da'a and Kaili Untie people after their adaptation pattern from exploiting mangrove forest as housing materials to becoming fish farmers that converting mangrove forest into open fishpond areas.
  3. The new perspective and perception of Kaili Da'a and Kaili Untie people about the mangrove forest zone, i.e. that the mangrove forest has no magic value, again hs pushed them to convert mangrove forest to settlement areas.
  4. Their relationship with Bugis, Toraja, Mandar and Javanese people since 20 years ago has stimulated the conversions of their cultivation system into fish pond farming in the mangrove forest.
  5. The increase of income and prosperity of Kaili Da'a and Kaili Untie people has raised pressure to exploit the existing natural resource including mangrove forests.
  6. To prevent the exploitation of mangrove forest continuously both by migrants and by local peoples, sustainable mangrove forest management with a ditch-embankment should be applied.
Therefore some suggestions are :
  1. The local government (Donggala Regency) must resurvey existing areas of mangrove forest and then make a regional regulation about protecting this area.
  2. The ditch-embankment system should be applied immediately within fish pond areas.
  3. Increase the role of custom any institutions in the area.
  4. Conduct a comprehensive anthropology study, focused on the culture system, a specially on local environmental knowledge and practices.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T4570
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Senyawa lipid tak tersabunkan (non-saponifiable lipid/NSL) dari daun dan akar dua spesies mangrove sekresi, yaitu Aegiceras corniculatum (L.) Blanco dan Avicennia alba Bl, dua spesies mangrove non-sekresi, yaitu Acrostichum aureum L. dan Excoecaria agallocha L dianalisis dengan penekanan khusus pada triterpenoid dan fitosterol. Identifikasi triterpenoid dan fitosterol dikonfirmasi dengan perbandingan waktu retensi pada kolom GC dengan standar otentik dan interpretasi spectrum GC-MS. Triterpenoid dan fitosterol merupakan proporsi utama NSL. Triterpenoid dan fitosterol masing-masing terdiri dari 7 dan 4 senyawa. Triterpenoid merupakan konstituen terbesar dari spesies Ac. aureum dan Ae. corniculatum di jaringan daun dan akar, dan di akar spesies E. agallocha. Berbeda dengan spesies tersebut yang kaya kandungan triterpenoid, senyawa fitosterol relatif dominan dalam akar Av. alba. Spesies Av. alba dan E. agallocha di daun dibedakan dari spesies yang lain bahwa kedua spesies tersebut mengandung jumlah yang lebih besar dari senyawa fitol. Spesies Ae. corniculatum mengandung sejumlah besar konten betulin dan α-amyrin di akar, serta lupeol di akar spesies Av. alba. Keragaman dalam komposisi NSL tercatat dengan jenis mangrove untuk kedua jaringan daun dan akar, studi ini menyarankan bahwa komposisi NSL pada daun dan akar tumbuhan mangrove dapat digunakan sebagai karakter kemotaksonomi untuk membedakan spesies.

Non-saponifiable lipid (NSL) of the fresh leaves and roots from two salt-secretor mangrove species, namely Aegiceras corniculatum (L.) Blanco and Avicennia alba Bl. and two non-secretor mangroves, i.e. Acrostichum aureum L. and Excoecaria agallocha L. was analyzed with special emphasize to triterpenoids and phytosterols. Identification of the triterpenoids and phytosterols was confirmed by comparison of their retention time on the GC column with those of authentic standards and on the interpretation of GC-MS spectra. Triterpenoids and phytosterols comprised the major proportion of NSL. The triterpenoids and phytosterols mainly consisted of 7 and 4 compounds. Triterpenoids were the largest constituent of Ac. aureum and Ae. corniculatum leaves and roots, and E. agallocha roots. In contrast to these triterpenoids-rich species, phytosterols were relatively dominant in the roots of Av. alba. The species of Av. alba and E.agallocha in the leaves were distinguished from the others in that both species contained a larger quantity of phytol. Ae. corniculatum contained a large amount of betulin and α-amyrin in the roots, as well as lupeol in the roots of Av. alba. The diversity in the NSL composition noted with mangrove species in both the leaves and roots suggested that NSL of mangrove leaves and roots can be used as chemot axonomical character to differentiate species. "
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke . Indonesia memiliki berpuluh ribu kilometer panjang pantai di mana di sepanjang pantai inilah dan di muara sungai yang melengkapinya....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>