Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35850 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ahmad Syaukat
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor apa saja yang diperkirakan mempengaruhi keputusan penduduk Jawa Barat untuk memilih daerah tujuan migrasi. Faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor individu seperti umur, pendidikan, jenis kelamin, dan status kawin; serta faktor-faktor sosial ekonomi daerah asal dan daerah tujuan seperti tingkat pengangguran dan kondisi ekonominya yang didekati melalui nilai pertumbuhan PDRB, PDRB perkapita dan peran sektor industri terhadap PDRB.
Alat statistik yang digunakan untuk menganalisis masalah yang ingin dipelajari adalah Multinomial Logistik. Model ini digunakan karena variabel tak bebas dari permasalahan yang dihadapi, yaitu pilihan daerah tujuan migrasi, adalah kategorik dan kategorinya lebih dari dua.
Ada empat kelompok pilihan daerah tujuan migrasi, yaitu migrasi intra Jawa Barat, migrasi ke DKI, migrasi ke Jawa, dan migrasi ke luar Jawa.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mentah (raw data) dari SUPAS 1985 untuk data tingkat individu. Sedangkan untuk data tentang kondisi sosial ekonomi diambil dari data sekunder yang telah dipublikasikan.
Signifikansi yang diperoleh dari hasil estimasi terhadap model yang digunakan adalah pada pengaruh variabel bebas terhadap proporsi relatip migran memilih tujuan migrasinya. Selanjutnya melalui tabel MCA dapat dilihat bagaimana pengaruh variabel bebas terhadap proporsi migran memilih suatu tujuan migrasi, meskipun tingkat signifikansinya tidak diketahui.
Dari hasil estimasi, ternyata untuk variabel individu hanya tingkat pendidikan yang signifikan pengaruhnya terhadap proporsi relatip. Sedangkan untuk variabel sosial ekonomi, semuanya mempunyai pengaruh signifikan terhadap proporsi relatip.
Pendidikan mempengaruhi pola migrasi penduduk Jawa Barat. Untuk migran antar WP, semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi proporsi responden untuk bermigrasi antar WP. Sedangkan proporsi responder yang pindah ke DKI ternyata semakin kecil dengan semakin tingginya pendidikan. Proporsi migran menuju luar Jawa, nampak yang lebih tinggi adalah yang tidak tamat SD.
Dalam memilih daerah tujuan migrasi, penduduk Jawa Barat tampaknya sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi daerah tujuan dan daerah asal.
Untuk migran Antar Wilayah Pembangunan di Jawa Barat, mereka ini nampaknya berasal dari daerah dengan angka penganggurannya dan peran sektor industri manufaktur nya yang agak rendah dan mereka cenderung menuju ke daerah yang angka penganggurannya relatif tinggi dan peran sektor industrinya juga relatip tinggi pula dibandingkan di daerah asal, atau jika mereka berasal dari derah yang angka penganggurannya atau peran sektor industrinya sudah tinggi, maka nampaknya mereka berusaha untuk pindah ke daerah yang tidak banyak berbeda dengan daerah asal. Sementara itu migran antar WP ini berasal dari daerah dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan daerah tujuan dalarn hal pertumbuhan PDRB dan PDRB perkapita.
Migran dari Jawa Barat yang menuju ke DKI umumnya berasal dari daerah yang angka penganggurannya relatip rendah, pertumbuhan PDRB yang relatip rendah dan PDRB perkapita yang relatip rendah. Migran yang menuju ke Jawa nampaknya kurang dipengaruhi oleh perbedaan angka pengangguran daerah tujuan dan daerah asal. Sedangkan perbedaan pertumbuhan PDRB dan PDRB perkapita mempunyai hubungan yang negatip terhadap probabilitas pindah ke Jawa. Probabilitas migran yang menuju ke luar jawa semakin rendah dengan semakin kecilnya perbedaan angka pengangguran."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahfirin Abdullah
"ABSTRAK
Saat ini semakin disadari pentingnya penyebaaran kegiatan ekonomi dan pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Perkembangan kegiatan ekonomi luar Jawa diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi perpindahan penduduk ke Palau Jawa yang pada gilirannya akan mengurangi permasalahan kependudukan di Indonesia
Propinsi Lampung sejak lama menjadi daerah tujuan migrasi penduduk Pada jaman penjajahan, Lampung ditetapkan sebagai salah satu daerah kolonisasi oleh pemerintah penjajahan Belanda Pada jaman awal kemerdekaan hingga masa orde baru daerah Lampung juga dijadikan sebagai daerah penempatan transmigran.
Mengingat sejarahnya yang panjang sebagai wilayah penempatan transmigran, di Propinsi Lampung banyak terdapat wilayah dengan mayoritas penduduk pendatang terutama dari Palau Jawa sehingga banyak tempat tempat di propinsi Lampung yang mempunyai nama yang lama dengan di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Karena penduduk yang berasal dari daerah lain jumlah cukup banyak, naaka hubungan antara penduduk Lampung dengan penduduk dari daerah lain, khususnya Jawa menjadi sangat intensif. Didukung dengan letak geografis daerah Lampung sangat berdekatan dengan Pulau Jawa, kondisi ini menyebabkan daerah Lampung merupakan salah satu tujuan utama transmigrasi swakarsa dari Pulau Jawa. Oleh karena itu, walaupun penempatan transmigrasi umum oleh pemerintah ke Lampung telah dihentikan sejak tahun 1980, tetapi penduduk Jawa yang masuk ke Lampung masih tetap besar. Mengingat sumber daya alam dan pembangunan masing-masing daerah atau kabupaten di daerah Propinsi Lampung juga berbeda-beda, maka distribusi atau persebaran penduduk tidak tersebar secara merata.
Melihat kenyataan-kenyataan yang telah disebutkan di atas, menarik untuk diselidiki faktor apa saja yang mempengaruhi migrasi masuk ke Lampung dan migrasi masuk antar kabupaten di Propinsi Lampung berikut karakteristik migran yang masuk ke Lampung. Dengan itu diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang migran sehubungan dengan karakteristik kependudukan individu migran itu sendiri (umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan lain-lain) dan karakteristik latar belakang daerah asalnya. Untuk tujuan itu, dalam penelitian ini digunakan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1985.
Ada dua tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pertama, memperoleh gambaran mengenai migran yang masuk ke Propinsi Lampung yaitu yang menyangkut karakteristik individu dan latar belakangnya. Kedua, melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi probabilita seseorang untuk melakukan perpindahan ke Propinsi Lampung baik yang berasal dari propinsi lain maupun yang berasal dari Propinsi Lampung sendiri (migrasi antar kabupaten).
Berkaitan dengan tujuan kedua di atas, akan dilihat berapa besar pengaruh dari masing-masing faktor yang bersangkutan dalam hal ini dilakukan dengan analisis inferens. Selain itu juga akan dilakukan analisis deskriptif mengenai karakteristik migran yang ada di Propinsi Lampung. Hal terakhir ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai migran yang ada di daerah tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu analisis deskriptif (analisa tabulasi silang) dan analisis inferens. Analisis inferens dilakukan dengan membuat fungsi multinomial logistic untuk mengetahui probabilita migrasi masuk ke Propinsi Lampung. Variabel babas yang digunakan dalam analisis adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan dua variabel kontekstual yaitu pendapatan per kapita dan peran sektor industri dalam PDRB. VariabeI kontekstual diperoleh dengan satuan analisis kabupaten (wilayah di propinsi Lampung) dan Propinsi untuk wilayah di luar Lampung.
Di antara penduduk muda (berumur di bawah 25 tahun) proporsi bukan migrannya adalah lebih kecil dibandingkan dari pada di antara penduduk tua (berumur 25 tahun atau lebih). Sementara itu proporsi migran antar Kabupaten di antara penduduk muda (di bawa 25 tahun) adalah sedikit lebih tinggi di banding pada penduduk umur tua, namun perbedaan proporsinya relatif kecil
Penduduk yang berpindah dan propinsi lain, baik dari Jawa maupun dari propinsi lainnya nampaknya terdiri dari orang-orang muda yang berumur di bawah 25 tahun. Hal ini terlihat pada beda proporsi migran dari propinsi lain di antara penduduk berumur kurang dari 25 tahun jauh lebih besar dibandingkan dengan yang berumur 25 tahun atau lebih. Pada penduduk muda proporsinya adalah sebesar 0,062 sedangkan pada penduduk tua hanya sekitar setengahnya atau sebesar 0, 031.
Kenyataan ini nampaknya sesuai dengan dugaan kita sebelumnya yang mana migran terdiri dari kaum muda yang produktif. Keputusan migran nampaknya merupakan keputusan ekonomi yang memperhitungkan kemungidnan memperoleh pekerjaan, dan jangka waktu bekerja di daerah tujuan. Pada penduduk muda, masa kerja di daerah tujuan adalah lebih lama dibandingkan dengan penduduk tua Semakin lama masa kerja di daerah tujuan semakin besar manfaat ekonomi yang diperoleh dari perpindahan yang telah dilakukan. Sebaliknya kesempatan ekonomi yang diharapkan oleh penduduk tua adalah lebih kecil, mengingat kemampuan yang semakin terbatas. Sementara itu masa kerja yang mungkin dapat dilakukan oleh penduduk tua lebih sedikit.
Nampaknya tidak ada perbedaan yang berarti antara laki-laki dan perempuan dalam hal proporsi bukan migran. Proporsi bukan migran pada laki-laki adalah 0,880 sedangkan pada perempuan sebesar 0,878. Proporsi migran antar kabupaten pada penduduk wanita adalah lebih rendah dibandingkan pada penduduk laki-laki, yang mana pada laki-laki proporsinya sebesar 0,081 sedangkan pada wanita sebesar 0,069.
Proporsi migran antar kabupaten pada laki-laki maupun perempuan adalah lebih besar dibandingkan dengan proporsi migran dan luar propinsi. Kendala jarak nampaknya menyebabkan probability pindah antar kabupaten menjadi lebih besar dari pada probability pindah antar propinsi. Selain itu, dalam propinsi yang sama pengetahuan mengenai kondisi daerah tujuan lebih dapat diketahui secara seksama. Sementara itu bagi penduduk asal luar propinsi informasi ini lebih terbatas.
Migran dari luar propinsi Lampung nampaknya lebih banyak yang berstatus belum kawin dari pada yang pernah kawin. Ini terlihat dari migran asal luar propinsi yang mana proporsinya lebih besar dikalangan penduduk belum kawin dibandingkan dengan pada penduduk yang pemah kawin. Pada penduduk yang berstatus belum pernah kawin proporsinya adalah sebesar 0,053 sedangkan pada penduduk yang pernah kawin proporsinya sebesar 0,04.
Kenyataan ini nampaknya berhubungan dengan beban yang harus dipikul dalam bermigrasi. Pada penduduk yang belum kawin beban yang harus ditanggung dalam perjalanan migrasi maupun beban moral dalam meninggalkan daerah asal adalah lebih rendah. Pada penduduk yang berstatus kawin, beban yang harus ditanggung lebih besar, misalnya harus membawa serta anak dan istri. Dalam kondisi yang belum pasti di daerah tujuan, adanya beban tanggungan ini bukan masalah sederhana. Biaya yang harus ditanggung, apalagi apabila migran tidak langsung memperoleh penghasilan yang cukup adanya beban tanggungan akan sangat memberatkan.
Variabel pendidikan formal nampaknya tidak begitu diperhatikan dalam menentukan keputusan migrasi ke dareah lampung. lni terlihat pada tidak adanya perbedaan proporsi migran menurut pendidikan Proporsi migran antar kabupaten pada penduduk berpendidikan tamat SD atau lebih adalah sebesar 0,074 dan pada penduduk yang berpendidikan lebih rendah adalah sebesar 0,075. Hal yang sama juga terjadi pada proporsi migran asal luar propinsi, yang mana pada penduduk yang berpendidikan rendah (tidak tamat SD atau tidak sekolah) maupun berpendidikan tamat SD atau lebih sama-sama sebesar 0,045.
Kenyataan ini diduga karena sebagian besar migran yang datang ke Propinsi Lampung tujuannya adalah bekerja di sektor pertanian (perkebunan). Pada sektor pertanian, pendidikan formal bukanlah suatu hai yang penting dalam menentukan penghasilan pekerja. pengalaman bertani dan bercocok tanam malah lebih diperlukan. Selain itu diperkirakan, pendatang ke propinsi Lampung, selain petani adalah pedagang sektor informal, yang mana sama halnya dengan pertanian, pendidikan formal bukan hal yang menentukan penghasilan pekerja.
Setelah kita perhatikan perbedaan proporsi migrasi berdasarkan variabel individu, sekarang mari kita perhatikan pengaruh variabel lingkungan terhadap proporsi migrasi. Keputusan migrasi nampaknya tidak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah. Bila dibandingkan proporsi migran pada penduduk yang daerahnya mempunyai PDRB perkapita rendah dengan yang tinggi nampak tidak ada perbedaan.
Variabel tingkat industrialisasi nampaknya mempunyai pengaruh yang berbeda antara kelompok migran maupun antara tingkat industrialissisi rendah dan tinggi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa proporsi bukan migran lebih besar pada daerah yang tingkat industrialisasinya lebih tinggi. Sedangkan proporsi migran antar kabupaten daerah yang tingkat industrinya rendah proporsi migrannya tinggi.. Proporsi migran dari luas propinsi ternyata hampir tidak ada perbedaan menurut tingkat industrialisasi. "
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
J.B. Daliyo
Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1986
304.8 DAL m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Inzuarlis
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S33290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Nurhardjo
"Kelompok penduduk usia 65 tahun keatas (lanjut usia) di Indonesia jumlahnya relatif masih rendah dibanding kelompok penduduk usia lainnya. Meskipun demikian jumlahnya cenderung meningkat, baik secara absolut maupun proporsinya terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan. Berdasar data Biro Pusat Statistik (BPS), penduduk lanjut usia di Indonesia berjumlah 2,41 juta atau 2,51 % dari seluruh penduduk pada tahun 1971, meningkat menjadi 4,77 juta (3,25 7) tahun 1980 dan di tahun 1990 menjadi 8,92 juta atau sebesar 3,77 % dari keseluruhan jumlah penduduk. Dengan kata lain penduduk Indonesia sedang bergerak kearah struktur usia penduduk yang semakin menua (ageing population).
Peningkatan jumlah maupun proporsi penduduk lanjut usia tersebut merupakan implikasi dari keberhasilan pembangunan di segala bidang, khususnya di bidang kesehatan masyarakat yang semakin membaik di samping menurunnya angka kelahiran. Dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kesehatan masyarakat tampak adanya suatu peningkatan.
Disamping hal tersebut diatas, pemerintah berhasil dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB). Hal tersebut di atas memberikan indikasi bahwa semakin membaik derajat kesehatan masyarakat dengan penurunan angka kematian dan peningkatan angka harapan hidup serta penurunan angka kelahiran menjadikan salah satu faktor meningkatnya penduduk lanjut usia dimasa mendatang.
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia dimasa mendatang akan menyebabkan pola penduduk Indonesia akan berubah dari struktur usia penduduk muda (median umur dibawah 20) menjadi penduduk dewasa (intermidiate, yaitu dengan umur rata-rata 20 s/d 30 tahun), dan akhirnya akan menjadi struktur penduduk tua (median umur 30 tahun atau lebih). Proses perubahan dari penduduk muda kearah penduduk tua bersamaan dengan jumlah absolut serta prosentase penduduk lanjut usia (Agung, 1992)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Putri Permata
"Indonesia memiliki komitmen untuk menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 225/100.000 menjelang tahun 2000. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut khususnya dalam meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, pemerintah telah melaksanakan program GSI sejak tahun 1996.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan GSI dalam meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Penelitian ini memadukan metode kuantitatif dan kualitatif.
Data primer diambil dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi sementara data sekunder menggunakan laporan pelaksanaan GSI.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berhubungan secara statistik dengan keefektifan GSI dalam meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pendidikan istri dan suami, pendapatan dan perencanaan persalinan. Ambulans dan donor darah tidak berhubungan secara statistik tetapi penting khususnya pada kasus-kasus gawat darurat. Sebagian besar ibu mengetahui bahwa lebih aman bersalin dengan pertolongan bidan tetapi kebanyakan mereka tidak mampu membayar biaya persalinan tersebut. Karena itu, Tabulin dapat menjadi sarana yang panting dan efektif untuk meningkatkan cakupan karena dapat digunakan untuk mengantipasi biaya persalinan. Sementara itu, dukungan tokoh formal dan informal juga merupakan faktor yang sangat penting walaupun secara statistik tidak berhubungan.
Berdasarkan wawancara mendalam, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pelaksanaan program GSI sangat tergantung pada komitmen dari seluruh pihak terkait di berbagai tingkatan dan koordinasi lintas sektoral. Masalah yang paling penting adalah tidak tersedianya dana operasional GSI.
Mempertimbangkan hasil penelitian maka disarankan kepada semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program GSI untuk meningkatkan komitmen mereka terhadap program ini, meningkatkan koordinasi lintas sektoral, menurunkan biaya persalinan dengan tenaga kesehatan, memberikan penghargaan khusus kepada para bidan yang berhasil meningkatkan cakupan persalinan serta menyediakan dana operasional untuk pelaksanaan kegiatan GSI sehingga program ini dapat mencapai sasaran secara lebih efektif.

Factors Related to the Effectiveness of Mother Friendly Movement (Gerakan Sayang Ibu1GS1) in Increasing the Coverage of Delivery by Health Provider (Case study in Mande, Cilaku and Facet Subdistricts, Cianjur Regency, West Java Province)Indonesia had a commitment to decrease Maternal Mortality Rate (M MR) to be 225/100000 live birth by the year 2000. In order to achieve this aim especially to enhance the coverage of delivery by health provider, our government had carried out GSI program since 1996.
The purpose of this research was to know factors related to the effectiveness of GSI to increase the coverage of delivery by health provider. This research combined qualitative and quantitative method. The primary data used questionnaires, depth interviews and observations while secondary data used the report on implementation of GSI. The data was analized by using univariate, bivariate as well as multivariate analysis.
The result of this research indicate that those variables which have relationship with the effectiveness of GSI to increase the coverage of delivery by health provider were education of husbands and wives, income and delivery planning. Ambulance and blood donor did not have relationship statistically but they were important especially in emergency cases. Most of mothers knew that it would be safer if they could deliver by the help of health provider but most of them couldn't pay the cost of delivery. Therefore, Tabulin could be an important and effective mean to increase the coverage because it could be used to anticipate the cost of delivery, Meanwhile, the support of formal as well as informal leaders were very important too, although statistically have no relationship.
Based on depth interviews, it could be concluded that the success of implementation of GSI was really depend on the commitment of all relevant sectors in every level and the coordination of cross sector. The most important problem was unavailability of operational fund of GSI.
Considering the result of this research, it was suggested to those involved in implementation of GSI to improve their commitment against this program, decrease the cost of delivery by heath provider, giving special appreciation to the midwives who could increase their coverage and provide operational fund for the implementation of GSI so that this program could achieve its target more effectively.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Karib
"ABSTRAK
Penduduk Koto Gadang banyak yang melakukan migrasi ke luar. Hal ini ditandai dengan adanya kenyataan bahwa jumlah penduduk asli lebih sedikit daripada jumlah penduduk pendatang. Jumlah penduduk asli hanya 538 orang. Sedangkan jumlah penduduk pendatang sebanyak 749 orang. Bukti lainnya adalah 161 buah rumah tidak dihuni lagi oleh pemiliknya. Dengan kata lain anggota keluarga dari rumah-rumah yang kosong tersebut telah bermigrasi seluruhnya. Dengan banyaknya penduduk Koto Gadang yang bermigrasi ke luar tersebut, merupakan hal yang menarik untuk diteliti.
Penelitian ini akan menyelidiki, apakah yang menjadi penyebab penduduk bermigrasi dari Kato Gadang ?
1. Apakah lahan pertanian sebagai penyebab penduduk bermigrasi ?
2. Apakah umur seseorang menentukan keputusannya untuk bermigrasi ?
3. Apakah tingkat pendidikan mempengarulii jumlah migrasi ?
4. Apakah sempitnya lapangan pekerjaan penyebab bermigrasinya penduduk ?.
Penelitian ini diawali dengan membahas penggunaan tanah di daerah terpencil yang berdasarkan teori dari Von Thunen (dalam Sandy, 1989: 61). Von Thunen mengatakan bahwa di daerah terpencil pola penggunaan tanah berbentuk sebuah lingkaran konsentrik. Di mana intensitas penggunaan tanah yang paling tinggi terdapat di sekitar pemukiman atau kampung. Makin menjauh dari tempat pemukiman itu, intensitas penggunaan tanah secara bertahap berkurang.
Akan tetapi, gambaran penggunaan tanah Von Thunen itu tidak memperlihatkan dinamika atau perkembangan yang terjadi sesuai dengan waktu dan pertambahan penduduk.
Untuk melihat dinamika penggunaan tanah di suatu lokasi terutama tanah di desa Koto Gadang, maka dipakai teori tahapan-tahapan penggunaan tanah konsepsi wilayah tanah usaha yang dikemukakan oleh Sandy (dalam Sajogyo, 1980: 161).
Berdasarkan teori tahapan-tahapan penggunaan tanah konsepsi wilayah tanah usaha, maka penggunaan tanah di Koto Gadang baru pada tahap G. Tahap penggunaan tanah tersebut dimulai dari tanah masih berupa hutan lebat dan belum ada manusia di situ. Kemudian tanah tersebut digunakan manusia untuk berbagai keperluannya.
Akhirnya penggunaan tanah itu mencapai tingkat penggunaan yang merusak lingkungan (tahap H dan I).
Apabila perjalanan penggunaan tanah di Koto Gadang terus berlanjut, maka kerusakan lingkungan akan terjadi sebagai akibat dari kurangnya tanah usaha bagi petani yang hidup di desa Koto Gadang ini.
Untuk menghindarkan kerusakan lingkungan, penduduk Koto Gadang dihadapkan pada 2 pilihan yaitu: pindah profesi selain petani atau pindah tempat dengan kata lain bermigrasi.
Penduduk Koto Gadang telah melaksanakan kedua hal tersebut. Dalam pindah profesi penduduk ada sebagai pengrajin, pedagang, tukang atau buruh dan pegawai. Akan tetapi penduduk yang telah berubah profesi tersebut tidak dapat menjamin suatu kehidupan yang layak.
Penduduk yang bermigrasi telah diteliti dengan agak rinci. Hasil penelitian itu menuniukkan bahwa:
1. Penduduk yang bermigrasi yang paling banyak berasal dari anggota keluarga yang memiliki lahan sempit (di bawah 0,5 ha).
2. Penduduk yang berpendidikan lebih tinggi lebih banyak bermigrasi darinada penduduk yang berpendidikan rendah. Penduduk Koto Gadang yang bermigrasi yang terbanyak berpendidikan SLTA ke atas.
3. Penduduk Koto Gadang yang bermigrasi kebanyakan mereka belum bekerja atau menganggur.
4. Penduduk yang bermigrasi umumnya yang berusia produktif (15 sampai 39 tahun).
Makna migrasi di sini berbeda dengan transmigrasi. Penduduk yang bermigrasi tidak dibantu oleh pemerintah. Tidak pula migrasi 'bedol deso' dan tidak ada pula pindah satu keluarga sekaligus. Melainkan bentuk migrasi penduduk Koto Gadang ini adalah migrasi swakarsa.
Sebagai akibat penduduk Koto Gadang bermigrasi, tidak kurang dari 161 buah rumah tidak lagi dihuni oleh pemiliknya. Karena penduduk yang tua-tua mungkin sudah meninggal. Sedangkan penduduk yang berumur relatif muda terpaut dengan usahanya di tempat baru.
Akan menjadi penelitian yang baik bagaimana kelanjutan dari kehidupan warga desa Koto Gadang di kemudian hari. Apakah desa itu akan kosong ataukah masih tetap dihuni oleh banyak penduduk asli?
Kasus Koto Gadang mungkin tidak akan merupakan satu-satunya kasus untuk desa-desa yang terpencil di Indonesia. Tidak mustahil kasus seperti di Koto Gadang ini akan terdapat pula pada desa-desa lain, apabila industrialisasi di Indonesia telah mencapai taraf perkembangan yang tinggi.

ABSTRACT
Out-Migration Of West Sumatra Population: Koto Gadang Case StudyA large number of the population of Koto Gadang, a remote village in West Sumatera, had migrated to other places. This can clearly be seen from the ratio between the number of indigenous inhabitants of Kato Gadang used the relatively new arrivals in the village. The number of new arrivals is 749, whereas that of the indigenous people is only 538. There is also the fact that no less than 161 homes have been left empty by their original owners, who moved out. One might wonder why those people left the village which is no less prosperous then other villages around.
This research addressed the following issues:
1. Is agricultural land the cause of this migration ?
2. Does one's age affect one's decision to migrate ?
3. Do educational levels affect the number of migrants ?
4. Does lack of job opportunities lead to migration ?.
This thesis opens with a discussion of land use in remote areas, based on Von Thunen's theory (in Sandy, 1989: 61). Von Thunen argued that the patern of land use in remote areas take the form of a concentric circle in which the highest intensity of land use is found in areas closest to the village. The farther away the areas are from the village, the intensity of land use gradually decreases. Von Thunen's thesis, however, does not take into account the dynamic aspect of settlement based on time and population growth.
The static nature of Von Thunen's model, however has been corrected by Sandy (Saiogyo, 1980: 161) by introducing the time factor and the development of land use due to population growth. According to this theory, land use proceed at several stages of development depending on population growth but in a community consisting of small scale farmers.
In view of this theory, land use in Koto Gadang has now reached stage G. If agriculture continues to expand environment damage is inevitable. To avoid environmental damage, people in the village are faced with the options by either switch trade or migrate. People in Kato Gadang have chosen both which is either switch trade or migrate.
A detailed study has been made of the migrants from Kato Gadang. The results of this study show that:
1. The largest number of migrants came from families having a small area of agricultural land (i.e. less than 0,5a ha.)
2. The higher the level of education of the people of Kota Gadang the more they migrate
3. They also migrate in order to escape unemployment in the village
4. Migrants were mostly of the productive age range (i.e. from 15 to 39 years old).
Migration in this sense is not similar to transmigration in its official meaning of the word. The migration of the people of Koto Gadang is entirely a personal affair. It is not organized nor subsidized by the government, no common plan and no common goal. It is mainly an individual initiative and quite voluntary.
As a consequence of the migration of a substantial part of the population of Koto Gadang, their owners leave no less than 161 homes empty at present.
The question now is: What will happen next ?. Will these homes remain empty forever or what kind of development are going to happen further?
I believe that Kato Gadang will not be alone in its predicament. Industrialization will bring about urbanization. This means that other "Kato Gadangs" will be found elsewhere, which makes the case the more interesting to investigate.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978
315.98 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1978
315.98 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>