Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11891 dokumen yang sesuai dengan query
cover
RR. Ayu Fitri Hapsari
"ABSTRAK
Telah dilakukan analisis dermatoglifi telapak tangan pada 30 penderita epilepsi grand mal primer (EGP) dan 30 orang normal untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dermatoglifi pada kedua kelompok tersebut. Metode pencetakan menggunakan tinta seperti yang dilakukan oleh Cummins dan Midlo. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi pola pada daerah T 1,67% T , III 1,67%, IIII 21,67%, IIV 85,00% dan H 6,67% untuk penderita EGP; sedangkan pada orang normal T 1,67%, III 0,00%, IIII 33,33%, IIV 55,00%. dan H 10,00%. Hasil uji chi-kuadrat (x2) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (x2hit= 6,429) untuk daerah IIV telapak tangan penderita EGP dibandingkan dengan orang normal. Rata-rata jumlah besar sudut atd pada kedua telapak tangan penderita EGP 82,70°, sedangkan pada orang normal 88,03°. Rata-rata jumlah total sulur a-b pada kedua telapak tangan penderita EGP 71,74 sedangkan pada orang normal 73,20. Rata-rata jumlah besar derajat transversalitas pada kedua telapak tangan penderita EGP 56,70°, sedangkan pada orang normal 57,80°. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna baik untuk jumlah besar sudut atd (Zhit.= -1,68), jumlah total sulur a-b (Zhit= -0,17), maupun jumlah besar
derajat transversalitas (Zhit= -0,01) telapak tangan penderita EGP dibandingkan dengan orang normal. Frekuensi garis lipatan (unilateral + bilateral ) penderita EGP adalah 26,67% untuk garis simian dan 30,00%. untuk garis Sidney; sedangkan pada orang normal 23,33% untuk garis simian dan 6,67% untuk garis Sidney. Frekuensi garis lipatan Sidney bilateral untuk penderita EGP adalah 13,33%, sedangkan pada orang normal 0,00%. Hasil uji chi-kuadrat (x2) nenunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna (x2hit= 0,089) frekuensi garis lipatan simian (unilateral + bilateral); sedangkan untuk garis lipatan Sidney bilateral (x2hit= 4,286) dan unilateral + bilateral (x2hit= 5,454) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara penderita EGP dibandingkan dengan orang nornal. Kesirnpulan: Terdapat perbedaan frekuensi pola sulur pada IIV dan frekuensi garis Sidney bilateral dan unilateral + bilateral antara dermatoglifi penderita EGP dan orang normal."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Priyantini
"ABSTRAK
Penelitian dermatoglifi ujung jari tangan telah dilakukan terhadap pria irifertil penderita azoospermia dan pria fertil, dengan tujuan untuk mengetahui ada/tidaknya perbedaan dermatoglifi ujung jari tangan di antara kedua kelompok tersebut. Metoda yang digunakan untuk mencetak ujung jari tangan adalah metode Cummins & Midlo dengan menggunakan tinta finger print. Sampel terdiri dari 32 pria infertil penderita azoospermia dan 32 pria fertil. Hasil analisis dermatoglifi ujung ,iari tangan pria infertil penderita azoospermia menunjukkan frekuensi tipe pola whorl 46,25%; loop ulna 49.69%; loop radial 2,81%; arch 1,25; dengan Indeks Dankmeijer 2,70 dan Indeks Furuhata 88,10. Sedangkan pada pria fertil frekuensi tipe pola whorl 49,06%; loop ulna .1 49,38%; loop radial 1,25%; arch 0,31%; dengan Indeks Dankmeijer 0,63 dan Indeks Furuhata 96,90.
Hasil uji chi-kuadrat terhadap frekuensi tipe pola pada ujung jari kedua tangan pria infertil penderita azoospermia dan pria fertil menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05; X2 =3,98). Rata-rata jumlah semua triradius pada pria infertil penderita azoospermia 14,56; sedangkan pada pria fertil 14,91. Hasil uji Mann-Whitney terhadap .jumlah semua triradius pada ujung jar tangan pria infertil penderita azoospenrnia dan pria fertil .juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (Z-0,49; a0,05). Rata-rata jumlah semua sulur pada pria infertil penderita azoospermia 151.31, sedangkan pada pria fertil 158,13. Hasil uji Mann-Whitney terhadap jumlah semua sulur pada pria infertil penderita azoospermia dan pria fertil juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (Z-0,396; a=0,05). Kesimpulan dari hasil penelitian adalah dermatoglifi ujung jari tangan pria infertil penderita azoospermia tidak berbeda dengan dermatoglifi ujung jari tangan pria fertil."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mettadevi Septiany Gunawan Tjio
"ABSTRAK
Telah dilakukan analisis dermatoglifi secara kuantitas pada telapak tangan pria infertil penderita azoospermia dibandingkan dengan pria fertil, sebagai kontrol. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dermatoglifi telapak tangan pada kedua kelompok tersebut. Sampel terdiri dari 32 orang setiap kelompok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencetak dermatoglifi telapak tangan dengan tinta finger print menurut cara yang dilakukan oleh Cummins dan Midlo. Hasil analisis dermatoglifi frekuensi pola sulur pada kelima daerah telapak tangan, yaitu: Thenar atau interdigital 1, interdigital 2, interdigital 3, interdigital 4, dan hipothenar, untuk pria infertil penderita azoosperinia adalah 14,06% , 3,13%, 28,13%, 70,31%, dan 7,81%. Sedangkan untuk pria kontrol adalah 15,63%, 1,57%, 12,50%, 57,81%, 1,57% Jumlah sulur a-b total rata-rata pada kedua belah telapak tangan pria infertil penderita azoospermia 74,25, sedangkan pria kontrol 76,22. Besar sudut atd rata-rata pada kedua belah telapak tangan pria infertil penderita azoosperinia 75,75°, sedangkan pria kontrol 77,69°. Besar derajat transversalitas rata-rata pada kedua belah telapak pnia infertil penderita azoospermia 66,38°, sedangkan pria kontrol 73,28°. Frekuensi garis lipatan simian dan Sydney (uni+bilateral) pria infertil penderita azoospermia 12,50% dan 0%, sedangkan pria kontrol 6,25% dan 3,13%. Hasil uji chi-kuadrat terhadap frekuensi ada tidaknya pola sulur pada kelima daerah di telapak tangan, hanya pada interdigital 3 yang menunjukkan perbedaan (X² = 4,827; p<0,05). Hasil uji Mann-Whitney terhadap rata-rata jumlah sulur a-b (Z= -1,129; α 0,05), rata-rata besar sudut atd (Z= -0,611; α= 0,05) dan rata-rata besar sudut transversalitas (Z= -1,128; α= 0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan di antara kelompok tersebut. Hasil uji chi-kuadrat terhadap frekuensi garis lipatan simian (X² 0,736; p> 0,05) dan Sydney (X² = 1,016; p>0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan. Kesimpulan yang dapat diainbil dari hasil penelitian ini adalah: Dermatoglifi telapak tangan pria infertil penderita azoospermia berbeda dengan dermatoglifi telapak tangan pria kontrol hanya dalam hal frekuensi adanya pola sulur pada daerah interdigital 3."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Triana
"ABSTRAK
Dermatoglifi merupakan qambaran sulur kulit pada ujung jari tangan, telapak tangan, ujung jari kaki dan telapak kaki. Pada penelitian ini dilakukan analisis dermatoglifi ujung jari tangan pada mahasiswa FMIPA UI berdasarkan golongan darah sistem ABO dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan dermatoglifi di antara golongan darah 0, A, B, dan AB. Sampel terdiri dari 78 mahasiswa/mahasiswi FMIPA UI yang terdiri dari golongan darah 0 = 25 orang, golongan darah A = 20 orang, golongan darah B = 23 orang, dan golongan darah AB = 10 orang. Metoda yang digunakan adalah mencetak dermatoglifi ujung jari tangan dengan tinta finger print seperti yang dilakukan oleh Cummins dan Midlo. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Urutan frekuensi tipe pola dari yang tertinggi pada mahasiswa FMIPA UI adalah loop, whorl dan arch. Indeks Dankmeijer (ID) pada golongan darah 0 = 0; A = 8,24; B = 0,93; AB = 10,53. Rata-rata Jumlah Semua Triradius (JST) pada golongan darah 0 = 13,76; A = 14,05; B = 14,52; AB = 13,5. Rata-rata Jumlah Semua Sulur (JSS) pada golongan darah 0 = 147,36; A = 129,3; B = 140,09; AB = 122,6. Hasil uji Kruskal- Wallis terhadap tipe pola, JST dan JSS pada keempat golongan darah ABO menunjukkan tidak ada perbedaan pada a = 0,05. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah: tidak terdapat perbedaan dermatoglifi ujung jari tangan dalam hal tipe pala, jumlah semua triradius dan jumlah semua sulur pada mahasiswa FMIPA UI berdasarkan golongan darah sistem ABO."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Nugraha Agung
"ABSTRAK
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronis pada otak manusia yang dapat terjadi pada
semua jenis usia. Kualitas hidup pasien epilepsi dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor determinan yang mempengaruhi
kualitas hidup pasien epilepsi. penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Dari
100 pasien epilepsi yang dipilih dengan teknik consecutive sampling. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa mayoritas pasien epilepsi memiliki kualitas hidup buruk 62
orang (62%). Tingkat pendidikan berhubungan secara signifikan dengan kualitas hidup
pasien epilepsi (p=0,001), frekuensi kejang (p=0,001), tipe serangan kejang (p=0,001),
stigma (p=0,001) dan kepatuhan minum obat (p=0,009). Hasil analisis multivariat
menunjukan faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien epilepsi
adalah tipe serangan kejang dengan nilai OR 9,716. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan kepada perawat sebagai data rujukan dalam pengembangan
pengkajian keperawatan pada pasien epilepsi terkait kualitas hidup

ABSTRACT
Epilepsy is a chronic disorder in the human brain and may occurs in all types of ages.
Low quality of life occurs in people with epilepsy various factors. The aim of this study
is to identify determinant factors affecting the quality of life in people with epilepsy.
This study was a cross sectional analytic design involved. 100 peoples with epilepsy
were selected by consecutive sampling technique. The results of this study indicate that
the majority of people with epilepsy have low quality of life 62 peoples (62%). The
level of education is significantly related to the quality of life in people with epilepsy
(p=0,001), seizure frequency (p=0,001), seizure type (p=0,001), stigma (p=0,001), and
medication adherence (0,009).Multivariate analysis, showed that the most influential
dominant factor in the quality of life in people with epilepsy was seizure type
(OR=9,716). This study is expected to provide input to nurses as reference in
developing nursing assessment in people with epilepsy related quality of life."
2019
T51669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amril Amirman Burhany
"Proses tumbuh kembang yang merupakan ciri khas anak, dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor penyakit. Epilepsi merupakan suatu penyakit pada anak dengan insidens yang cukup tinggi yaitu 50/100.000 populasi anak (Shorvon, 1988). Pada pasien epilepsi, makin sering serangan, makin banyak sel-sel otak yang rusak, yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kecerdasan pasien (Aicardi, 1986).
Menurut Sofijanov (1982) epilepsi merupakan kondisi kronik yang ditandai oleh timbulnya serangan kejang berulang, tanpa panas dengan abnormalitas disritmik spesifik pada EEG dan minimal dua kali serangan dengan interval minimal 24 jam.
Dalam penatalaksanaan epilepsi terdapat tiga jenis pengobatan yaitu terapi medikamentosa, terapi operatif dan terapi non-medikamentosa lain (Davidson dan Falconer, 1975; Aicardi, 1986).
Pemakaian obat antiepilepsi bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan/atau beratnya serangan (Hoskins, 1974) dan merupakan terapi terpenting karena dapat mengontrol sebagian besar serangan (Aicardi, 1986).
Di antara banyak obat anti epilepsi yang digunakan sekarang ini, fenobarbital merupakan salah satu yang disukai karena efektivitasnya yang cukup tinggi, efek samping minimal, mudah didapat dan harganya yang murah serta terjangkau (Gilman dkk., 1985; Ismael, 1990). Eenobarbital bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang kejang korteks motorik dan/atau membatasi penjalaran aktivitas serangan dari fakusnya ke organ-organ efektor (Hoskins, 1974; Gilman dkk., 1985).
Menurut Lampe (1986) fenobarbital per oral diserap dengan baik, konsentrasi puncak serum tercapai dalam 1 - 6 jam. Pada anak waktu paruhnya adalah 3 - 4 hari, sehingga diperlukan waktu 3 - 4 minggu (kira-kira 5-7 kali waktu paruh) untuk memperoleh konsentrasi plasma steady state dalam rentangan 15 - 40 ug/ml.
Dosis ganda (loading dose) untuk 4 hari pertama mempercepat pencapaian konsentrasi plasma efektif tetapi menambah efek sedasinya. Dosis per hari yang banyak dipakai adalah 4 - 6 mg/kg berat badan yang dibagi dalam dua dosis. Namun pemakaian satu kali sehari sudah adekuat pada anak dan dewasa setelah dosis rumatan diketahui/ditentukan?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawaty Hawari
"Latar Belakang: Bagi orang dengan penyakit kronis seperti epilepsi, dimana kesembuhan sulit dicapai dan pengobatan memakan waktu lama, kualitas hidup menjadi salah satu tujuan utama.
Tujuan: Untuk mendapatkan rerata skor kualitas hidup serta faktor-faktor demografik dan medik yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi.
Metodologi: Penelitian potong lintang deskriptif menggunakan instrumen Quality of Life in Epilepsy (QOLIE)-31 untuk menilai kualitas hidup 145 penderita epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik Epilepsi RSCM. Sampel diambil secara konsekutif sejak Agustus 2005-Desember 2005. Dilakukan deskripsi demografi dan medik, serta analisis bivariate, multivariate untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan skor total QOLIE maupun skor masing-masing komponen QOLIE (kekhawatiran akan serangan, kualitas secara umum, kesejahteraan emosional, energilfatigue, fungsi kognitif, efek obat, fungsi sosial).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan rerata skor total QOLIE 67.62 ± 14.55. Faktor-faktor yang mempengaruhi (p< 0.05) rendahnya skor total QOLIE-31 adalah tingkat pendidikan, frekuensi serangan dan jenis pengobatan. Tingkat pendidikan berhubungan kuat dengan kekhawatiran akan serangan; frekuensi serangan dengan kekhawatiran akan serangan dan fungsi sosial; jenis pengobatan dengan fungsi kognitif dan efek obat.
Simpulan: Tingkat pendidikan rendah, frekuensi serangan yang sering dan jenis pengobatan politerapi berhubungan kuat dengan rendahnya kualitas hidup.

Background: For persons with a chronic disease such as epilepsy, where a cure is not attainable and therapy may be prolonged, quality of life (QoL) has come to be seen is an important goal.
Objective: is determine mean scores of QoL, demographic and clinical factors that influence the epileptic patient?s QoL.
Method: Cross-sectional study using QOLIE-31 instrument to determine the quality of life of 145 ambulatory epileptic patients at Epileptic Clinic of Department of Neurology-Ciptomangunkusumo Hospital. Samples were taken consecutively from August 2005 to December 2005. Clinical and demographic data were collected Bivariate and multivariate analysis were used to determine which factors influenced QOLIE-3 either the total scores or the scores from each component of the QOLIE-31 (seizure worry, overall quality of life, emotional well-being, energy/fatigue, cognitive function, medication effect and social function).
Result: The mean total score of QOLIE-31 was 67.62 t 14.55. The variables that were most strongly predicted (p
Conclusion: low education level, high frequency of seizures, and antiepileptic polytherapy are correlated with lower QOLIE-31 scores."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arif
"ECVT adalah salah satu metode pencitraan kapasitansi volumetrik yang dapat menghasilkan citra 3D dari daerah yang dilingkupi oleh sensor kapasitansi. Metode ini digunakan dalam penelitian untuk mengetahui aktifitas kelistrikan otak pada penderita epilepsi dan pasien normal. Pasien diperiksa menggunakan EEG untuk mengetahui normal/abnormalitas pasien dan posisi abnormalitas yang menunjukkan gelombang epileptiform. Setelah diperiksa EEG, pasien diperiksa kembali menggunakan ECVT. Citra kepala hasil pemeriksaan ECVT diolah menjadi citra irisan aksial, sagital, dan koronal. Citra tiap pasien dianalisa untuk mengetahui karakteristik aktifitas listrik otak pasien normal dan pasien epilepsi. Citra aktifitas listrik otak pasien normal menunjukkan adanya pola yang seragam satu sama lain, tampak aktifitas listrik otak yang tinggi homogen dan kontinu pada daerah korteks. Sedangkan citra aktifitas listrik otak pasien epilepsi menunjukkan perbedaan pasien satu dengan yang lain dengan aktifitas listrik korteks tidak kontinu dan tidak homogen. Pada daerah abnormalitas menunjukkan aktifitas listrik otak yang lebih tinggi akibat lepasan muatan sedangkan pada daerah yang sama untuk pasien normal tidak menunjukkan adanya aktifitas listrik otak.

ECVT is a methode that used to measure volumetric capacitance that could generate 3D images of the enclosed region with capacitance sensor. This methode is used for this research to study brain electric activity of epilepsy patient and normal patient. Patients were examined using EEG to get information about normal/abnormal of the patient and abnormality position which show epileptiform wave and then examined using ECVT. Brain electric activity image from ECVT examination was viewed as axial, sagital, coronal slices. Each brain electric activity patient's image was analyzed to understand charactheristic of normal brain electric activity and epilepsy patient. Brain electric activity of normal patients image shows a similar uniform distribution of high brain electric activity, homogen and continue around cortex. Brain electric activity of epilepsy patient image shows difference one and each other with brain electric activity is heterogen. Abnormality region of brain electric activity epilepsy patient shows activity which is not shown in the normal patient's brain."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35188
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Norma Mediciani
"ABSTRAK
Epilepsi lobus temporal mesial adalah sindrom epilepsi yang banyak diderita oleh dewasa yang sering mengalami refrakter dalam pengobatan. Atrofi hipokampus yang terlihat melalui MRI kepala dapat ditemukan sebanyak 87% pada pasien epilepsi lobus temporal mesial dan memiliki respon yang baik dengan operasi epilepsi. Salah satu syarat operasi epilepsi adalah EEG monitoring untuk mencari EEG iktal untuk mencari fokus epileptik, walaupun sudah didapatkan adanya gelombang interiktal sebelumnya.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan dan kesesuaian antara abnormalitas gelombang EEG dengan sisi atrofi hipokampus dan untuk mengetahui prevalensi atrofi hipokampus pada epilepsi lobus temporal mesial.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan 37 subyek epilepsi lobus temporal mesial, yang terbukti secara klinis dan EEG. Dilakukan pemeriksaan MRI kepala 1,5T untuk melihat ada atau tidaknya atrofi hipokampus secara visual. Kemudian dibandingkan antara abnormalitas gelombang EEG interiktal dengan sisi atrofi hipokampus. Onset usia bangkitan, frekuensi bangkitan, riwayat kejang demam, lama menderita epilepsi dan penggunaan obat entiepilepsi dianalisis sebagai data demografi klinis.
Hasil: Prevalensi atrofi hipokampus sebesar 64,8% dengan 64,8% subyek ditemukan gambaran EEG berupa gelombang epileptiform dan 45,8% gelombang lambat. Didapatkan kesesuaian yang kuat antara lateralisasi EEG interiktal, yaitu gelombang epileptiform, dengan MRI (p 0,000; nilai kappa 1,00) dan didapatkan keseuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan atrofi hipokampus (p 0,500; nilai kappa 0,689, p 0,008).
Simpulan: Pada penelitian ini, didapatkan keseuaian yang kuat antara lateralisasi gelombang epileptiform dengan sisi atrofi hipokampus dan kesesuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan sisi atrofi hipokampus.

ABSTRACT
Mesial temporal lobe epilepsy (mTLE) is the most common epilepsy syndrome in adults and often refractory in medical treatment. The Magnetic resonance imaging (MRI) showed hippocampal atrophy present in 87% patients with mesial temporal lobe epilepsy and have good respons with surgery. EEG monitoring is needed to find ictal EEG although interictal EEG already obtained as one of the requirements of epilepsy surgery for localize the epileptic region.
Objective: To investigate the concordance between abnormalities EEG and side of hippocampal atrophy in patients with mesial temporal lobe epilepsy. To determine prevalance of hippocampal atrophy.
Methods: We reviewed 37 consecutive patients with mesial temporal lobe epilepsy defined by clinical and EEG criteria and had 1,5T MRI visually analyzed by radiologist. We compared the interictal EEG and side of hippocampal atrophy. Age of seizure onset, seizure frequency, history of febrile seizure, antiepileptic drug and duration of epilepsy were analyzed as clinical demographic data.
Results: The prevalence hippocampal atrophy was 64,8%. With 64,8% had epileptiform discharge and 45,8% had slow wave associated with hippocampal atrophy. There was significant concordance between MRI lateralization and interictal EEG (p 0,000, Kappa value 1,00). There was weak concordance between hippocampal atrophy and focal slow wave (p 0,500; Kappa value 0,689, p 0,008).
Conclusions: We found strong concordance between MRI lateralization and interictal EEG in patients with mTLE and weak concordance between hippocampal atrophy and interictal slow wave.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awidiya Afiati
"Latar belakang. Epilepsi fokal merupakan jenis epilepsi terbanyak pada anak. Kemungkinan untuk terjadinya epilepsi intraktabel pada epilepsi fokal lebih besar dibandingkan dengan epilepsi umum. Data mengenai faktor risiko epilepsi fokal intraktabel masih sangat sedikit. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui strategi pengobatan dan konseling bagi pasien dan keluarga.
Tujuan. (1) mendapatkan frekuensi terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi fokal. (2) mengetahui karakteristik pasien epilepsi fokal yang kontrol ke poliklinik Neurologi Anak. (3) mengetahui apakah usia awitan, etiologi epilepsi, frekuensi awal serangan, status perkembangan motor kasar awal, respon terapi awal, gambaran EEG awal, dan gambaran CT-Scan/MRI kepala dapat memprediksi kemungkinan terjadinya epilepsi intraktabel pada pasien anak dengan epilepsi fokal. (4) mengetahui apakah evolusi status perkembangan motor kasar, dan evolusi EEG epileptiform dapat memprediksi terjadinya epilepsi intraktabel.
Metode penelitian. Desain penelitian adalah kohort retrospektif dan dilakukan poliklinik rawat jalan Neurologi Anak di RSCM sejak November 2013 sampai dengan Februari 2014 terhadap anak epilepsi fokal hingga usia 18 tahun, dengan lama pengobatan minimal 6 bulan. Faktor risiko dianalisis bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Angka kejadian epilepsi fokal intraktabel adalah 35 (39%).Usia subjek terbanyak adalah usia>3 tahun sebanyak 81(90%) subjek. Pada analisis bivariat didapat faktor risiko bermakna adalah etiologi kejang simtomatik (OR 6,12 IK95% 2,08-18,04), frekuensi kejang>5x/hari (OR 3,91 IK95% 1,43-10,75), respon awal terapi buruk (OR 233,14 IK95% 27,40-1983,27), EEG awal abnormal (OR 4,51 IK95% 1,82-11,17), MRI abnormal (OR 10,38 IK95% 2,91-37,06), evolusi status perkembangan motor kasar buruk (OR 21,62 IK95% 2,62-178,1), dan evolusi EEG epileptiform buruk (OR 25 IK95% 7,71-81,03). Pada analisis multivariat didapatkan respon awal terapi buruk dengan nilai OR136,00 (IK95% 14,79 sampai 1250,08), dan evolusi EEG epileptiform buruk dengan nilai OR 10,00 (1,68 sampai 59,35) merupakan faktor risiko yang berperan untuk menjadi epilepsi fokal intraktabel.
Simpulan. Angka kejadian epilepsi fokal intraktabel sebanyak 39%. Faktor risiko yang berperan adalah respon terapi awal buruk, dan evolusi EEG epileptiform buruk.

Background. Epilepsy focal is the most common type epilepsy in children. The chance to be intractable epilepsy is higher than general epilepsy. Therefore, study of the risk factors to predict intractable epilepsy is the utmost importance to conduct the treatment strategy and consult the patients and family.
Objective. (1) to determine the characteristic focal epilepsy in children (2) to determine the frequency of intractable focal epilepsy (3) to identify and analyze the association of early risk factors including the onset of seizure, frequency of seizure, etiology of epilepsy, gross motor developmental status, the response of antiepileptic drugs, the electroencephalogram (EEG), and magnetic resonance imaging (MRI) / computed tomography (CT) Scan findings with intractable focal epilepsy, (4) to identify and analyze the relationship between the evolution factors including the evolution of EEG epileptiform, and the evolution of gross motor development with intractable focal epilepsy.
Methods. Retrospective cohort study was conducted in child neurology outpatient clinics in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta on November 2013 to February 2014. Inclusion criteria was children with epilepsy focal who was treated with antiepileptic drugs at least 6 month therapy until 18 years old age. Patients with febrile convulsions; central nervous system infections; neurodegenerative, neurometabolic diseases; and catastrophic epileptic syndromes with poor prognosis were excluded from the study. Data were analyzed using the IBM SPSS for Windowsv.17 software (IBM, New York, USA).
Results. The proportion of intractable focal epilepsy is 35 (39%). The most of children is >3 years old 81 (90%). Bivariate analysis showed that significantly early risk factors are symptomatic epileptic (OR = 6.12; 95%CI 2.08-18.04), frequency of seizure >5x/day (OR = 3.91; 95%CI 1.43-10,75), gross motor developmental delay (OR = 233.14; 95%CI 27.40-1983.27), early abnormal EEG wave (OR = 4.51; 95%CI 1.82-11.17), abnormal MRI (OR = 10.38; 95%CI 2.91-37.06), poor gross motor developmental evolution (OR = 21.62; 95%CI 2.62-178.1), and poor the EEG epileptiform evolution (OR = 25; 95%CI 7.71-81.03). Multivariate logistic regression analysis revealed that an initial non response to antiepileptic drugs (OR = 136.00; 95%CI 14.79-1250.08), and the poor evolution of EEG epileptiform (OR =10.00; 95%CI 1.68-59.35) were all found to be significant and independent risk factors for intractable focal epilepsy.
Conclusion. The present study reveals that the early non response to antiepileptic drugs, and poor of EEG epileptiform evolution are strongly associated with intractable focal epilepsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>