Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139750 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Pengayoman, 2007
345.023 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2009
345.023 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen hukum dan hak asasi manusia RI., 2009
345.023 ANA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ginting, Lowryanta
"Ketika Indonesia ditahbiskan menjadi negara ketiga paling korupsi didunia, mengherankan tidak ada yang heran sama sekali. Seakan semua fenomena ini sudah being firr granted yang tidak perlu di perdebatkan lagi di negara yang "berdasar pada hrrkum dan bukan pada kekuasaan" seperti yang diamanatkan oleh Konstitusinya. Ketidakherananan publik pada tingkat korupsi, oleh karenanya seringkali diikuti oleh apatisnie akan kemainpuan sistem hukum dan budaya yang ada untuk memberantas korupsi. Apatisme ini tidaklah berlebihan apabila dititik dari track record penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, sehingga muncullah sarkas bahwa "Indonesia adalah negara yang sangat tinggi korupsinya namrm tidak ada koruptornya". r Korupsi di Indonesia yang tetjadi dalam 30 tahun keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat tercengang: Setelah Orde Baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda kesadaran pemerintah bahwa "disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sarnpai tahap rnenyedihkan Korupsi juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem perekonomian dan macyarakat dalam skala besar. Pelaku perbuatan yang dipandang koruptif itu tidak ierjangkau oleh undang-undang yang ada dan selalu berlindung dibalik asas Iegalitas karena pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan oleh mereka yang memiliki karekateristik high level educated dan status dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman terhadap masalah tersebut diatas, pemerintah dan Lembaga Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat} telah membentuk dan mensahkan Undang-Undang No: 30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kebijakan ini merupakan "political will" dari pemcrintah dengan suatu tekad dengan membentuk suatu badan anti korupsi untuk meinberantas segala bentak penyelewengan dan korupsi yang terjadi selama 3 dasawarsa ini, demi menyelamatkan kcuangan dan pcrekonomian negara guna mewujudkan aparatur pemerintah dan aparat penegak kukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Samudera
Jakarta: Departemen hukum dan hak asasi manusia RI, 2008
345.023 TEG a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Martiman Prodjohamidjojo
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
363.25 MAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
"Dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini seharusnya dapat bekerja lama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dan sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat. Dalam dua periode berlakunya hukum acara pidana, yaitu sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP, terdapat perbedaan penting dilihat dari aspek penyidikan tindak pidana (baik tindak pidana umum maupun penyidikan tindak pidana khusus) serta kewenangan dari lembaga polisi dan kejaksaan. Terdapat perbedaan pola hubungan antara polisi dan jaksa dalam dua periode tersebut dalam soal penyidikan tindak pidana. Pengkajian terhadap hubungan antarlembaga di atas, khususnya antara polisi dan jaksa, menjadi suatu yang sangat mendesak apabila diingat bahwa ternyata sejak masa penjajahan hingga hari ini antara kedua lembaga penegak hukum di atas masih sering timbul masalah, terutama yang berkorelasi dengan tugas penyidikan, tidak saja penyidikan terhadap tindak pidana khusus tetapi juga tindak pidana umum. Tesis ini meneliti tentang rumusan konseptual mengenai kedudukan, tugas, wewenang dan fungsi kepolisian dan kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, perkembangan hubungan antara polisi dan jaksa pada periode sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP dilihat dari aspek yuridis, sosiologis maupun politis, perbandingan kewenangan penyidikan polisi dan jaksa di Indonesia baik dalam tindak pidana umum maupun dalam tindak pidana khusus, pada periode sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP. Pada masa sebelum KUHAP, keterlibatan serta pengetahuan jaksa dalam penyidikan sangat besar. Disamping itu, tidak diperlukan adanya penghubung seperti prapenuntutan. Hal ini berlangsung terus sampai munculnya keinginan polisi untuk tidak lagi menjadi pihak kedua dalam bidang penyidikan. Polisi ingin menjadi penanggung jawab dalam kepolisian yustisiil atau kepolisian represif, tidak lagi di bawah jaksa. Hal ini memunculkan suatu persaingan profesionalitas antara polisi dan jaksa, sebab pihak jaksa atas alasan sejarah, perbandingan dengan negara lain, serta efektifitas penyidikan dan penuntutan tetap menginginkan memegang peran dalam bidang penyidikan. Dengan KUHAP, semakin jelas adanya pemisahan fungsi antara polisi dan jaksa. Antara mereka dihubungkan dengan suatu bentuk koordinasi fungsional, yaitu pemberitahuan dimulainya penyidikan, pemberitahuan dihentikannya penyidikan, perpanjangan penahanan, serta penyerahan berkas perkara yang jika belum lengkap dilakukan prapenuntutan. Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan dibentuklah koordinasi secara institusional melalui lembaga makehjapol dan lain-lain. Dalam perjalanan, konfigurasi hubungan polisi dan jaksa ternyata menghadapi masalah-masalah yang berakibat tidak dicapainya peradilan pidana yang cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak dicapainya rasa keadilan. Masalah-masalah itu antara lain bolak-baliknya berkas dari polisi ke jaksa dan sebaliknya tanpa waktu yang jelas, tidak selesainya perkara karena berkas yang sudah diserahkan jaksa tidak pernah kembali lagi ke jaksa, penyerahan pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan berkas perkara sehingga jaksa tidak mengikuti sejak awal, dan sebagainya. Ketentuan yang menghubungkan polisi dan jaksa pada masa KUHAP merupakan suatu penemuan penting yang sebenamya dapat menjembatani dua hal. Pertama, koordinasi fungsional antara polisi dan jaksa yang harus bekerja secara terpadu dalam suatu sistem peradilan pidana; kedua, kesadaran bahwa sebenarnya terdapat masalah antara polisi dan jaksa terutama menyangkut siapa yang berhak menyidik atau siapa yang bertanggung jawab dalam penyidikan atau sejauh mana peranan jaksa dalam bidang penyidikan. Dengan demikian, koordinasi fungsional seperti pemberitahuan dimulainya penyidikan, penghentian penyidikan, perpanjangan penahanan serta lembaga pra-penuntutan merupakan suatu formula kompromi untuk mencapai efektifitas proses peradilan pidana, tetapi dalam konfigurasi penegak hukum yang sudah berbeda dibanding pada masa HER di mana jaksa merupakan magistraat sedangkan polisi help magistraat. Sayangnya, terdapat kerancuan pemahaman serta penafsiran terhadap ketentuan tersebut. Yang muncul dalam praktik kemudian adalah bahwa polisi berada dalam satu kotak sementara jaksa di dalam kotak yang lain (Topo Santoso, Studi Tentang Hubungan Polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>