Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33798 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Peranginangin, Effendi
Jakarta: Rajawali, 1991
346.043 PER p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Peranginangin, Effendi
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995
346.043 PER p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ekantini Dyah Retno M.
"Dalam rangka Pembangunan Ekonomi Indonesia banyak peru sahaan-per usahaan berdiri. Untuk mendirikan suatu perusahaan, tentu memerlukan modal yang cukup besar. Disinilah Bank dan Lembaga keu angan lainnya berperan serta dengan memberikan kredit pada perusahaan tersebut. Kredit adalah suatu fasilitas untuk memperoleh pinjaman uang. Pinjaman uang menyebabkan timbul nya hutang, yang harus dibayar oleh debitur menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam suatu perjanjian pinjaman atau persetujuan untuk membuka kredit. Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab tanah, pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur. Tentu saja tidak semua tanah memiliki sifat atau dalam keadaan sebagai disebut di atas. Tanah bisa saja belum bersertifikat, sehingga siapa pemegang hak yang sah, diketahui secara pasti. apa Pada yang sudah bersertifikat jenis haknya, tidak dapat prinsipnya hanya tanah yang dapat memberikan hak istimewa kepada kreditur. Karena itu pada dasarnya hanya tanah yang bersertifikat yang dapat diterima sebagai jaminan kredit. Di lain pihak yaitu pihak perusahaan (debitur) sangat memerlukan pinjaman itu, perusahaan tidak dapat mulai oleh Bank tersebut mungkin. Untuk itu dibangun tanpa modal yang diberikan Dan modal itu diperlukan secepat dalam praktek, Bank tetap menerima tanah yang belum bersertifikat ini kredit. Karena belum ada alat bukti sebagai jaminan yang kuat untuk membuktikan permasalahan penggunaan pemilikan atas tanahnya, hukum yang mungkin terjadi tanah yang belum bersertifikat maka banyak dalam praktek ini sebagai jaminan kredit. Untuk itu penulis akan mengulas nya dalam skripsi yang berjudul " Praktek Penggunaan Tanah Yang Belum Bersertifikat Sebagai Jaminan Kredit di Bank BNI". Sebagai studi kasus penulis menggunakan Bank BNI sebagai studi lapangannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Dameria Tiolina
"Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996, maka diperkirakan akan banyak permohonan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang diajukan oleh para subyek yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang Hak Pakai untuk dijadikan obyek Hak Tanggungan. Dalam UUHT ditentukan suatu konsep baru mengenai penunjukkan Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagai Obyek Hak Tanggungan. Namun dalam praktek pelaksanaannya memenuhi beberapa kendala antara lain karena baik pihak masyarakat maupun pihak perbankan masih memiliki keraguan untuk menjadikan Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagai jaminan pelunasan kredit. Nampaknya ketidakyakinan maupun keragu- raguan tersebut tidak perlu terjadi karena pada hakekatnya antara Hak Pakai Atas Tanah Negara dan Hak Guna Bangunan adalah sama yaitu sama- sama dapat dibebani Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan kredit. Selain itu Hak Pakai Atas Tanah Negara memenuhi persyaratan untuk kepentingan bisnis properti mengingat jangka waktu penguasaannya cukup lama ( 25 Tahun) dan dapat diperpanjang dan diperbaharui lagi serta memiliki pangsa pasar yang lebih luas untuk menunjang perkembangan bisnis properti. Dengan demikian masa depan Hak Pakai Atas Tanah Negara diharapkan lebih berprospek, khususnya di bidang pembangunan perumahan. "
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ati Rakhmawati
"Kredit konstruksi adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan antara lain kepada perusahaan pembangunan perumahan yang akan membangun rumah-rumah sederhana juga untuk pembangunan perumahan kelas menengah untuk dijual kepada calon-calon pembeli yang mendapat KPR. Bank X adalah salah satu bank yang memberikan fasilitas kredit konstruksi untuk pembangunan perumahan yang pada prakteknya menggunakan lembaga Hak Tanggungan sebagai jaminan karena obyeknya adalah benda tidak bergerak yaitu tanah dan bangunan yang akan dibangun. Dengan demikian prosedur pengikatan jaminannya dilakukan sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Sedangkan prosedur pemberian kredit pada Bank X harus mengikuti tahapan pemberian kredit yang telah ditetapkan oleh Bank X. Pemberian kredit konstruksi pada Bank X maksimal sebesar 75 % dari biaya proyek dan tidak termasuk biaya pengadaan tanah. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/46/KEP/DIR tahun 1997 tentang Pembatasan Pemberian Kredit Bank Umum Untuk Pembiayaan Pengadaan Dan Atau Pengolahan Tanah. Kendala dalam penggunaan Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit konstruksi pada prakteknya adalah jika bangunan/proyek perumahan yang akan dibangun tidak dibangun oleh pengembang, karena jaminan yang diterima oleh bank adalah tanah dan bangunan/proyek perumahan yang belum dibangun. Dengan demikian bank harus teliti dalam membuat perhitungan nilai jaminan sehingga pemberian kreditnya dilakukan berdasarkan tahapan pembangunannya sesuai dengan prosentase nilai bangunannya. Namun masalah yang diungkapkan oleh Bank X dari hasil penelitian saya yang menjadi kendaia adalah apabila debitur wanprestasi sementara Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) belum dibuat. Hal ini dikarenakan pada prakteknya " Bank X tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik dan petuk dapat dijadikan jaminan dalam kredit konstruksi yang pembebanannya dilakukan dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan antara pihak Bank X dengan debitur. SKMHT ini wajib diikuti pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah diberikan SKMHT (pasal 15 ayat 4 UU No. 4 Tahun 1996). Dalam prakteknya di Bank X jika setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan, pendaftaran hak atas tanah tersebut belum selesai maka SKMHT dapat diperpanjang untuk setiap waktu 3 (tiga) bulan sampai pendaftarannya selesai. Dengan demikian jika APHT belum dibuat sedangkan debitur wanprestasi maka Bank X tidak dapat melakukan eksekusi karena Hak Tanggungannya belum lahir. Permasalahan yang terjadi di Bank X ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman pihak bank mengenai prosedur pendaftaran Hak Tanggungan bahwa tanah bekas hak milik adat yaitu girik dan petuk dapat dilakukan bersama-sama dengan pendaftaran Hak Tanggungan. Sedangkan bila terjadi kredit macet pada Bank X maka upaya yang dilakukan adalah melakukan upaya penyelamatan kredit melalui 3 R yaitu Penjadwalan kembali (Reschedulling), Pensyaratan kembali (Reconditioning), dan Penataan kembali (Restructuring). Apabila upaya tersebut tidak berhasil maka Bank X langsung melakukan eksekusi melalui notaris."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20442
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Budianto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, [Date of publication not identified]
S20763
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suhandi
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S22940
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herawati Fety Soeganto
"Dalam rangka pembangunan negara Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang perekonomian, maka pemerintah menunjukkan alur penanaman dana pada bank atau lembaga keuangan lainnya, yang mana salah satu dari penanaman dana itu dalam bentuk sirapanan deposito. Deposito yang merupakan bentuk simpanan berjangka waktu, dapat dimasukkan kedalam kelompok surat berharga (sertifikat deposito) dan surat yang berharga (surat/bilyet deposito-deposito berjangka). Bila dihubungkan dengan hukum kebendaan deposito termasuk kedalam bentuk benda bergerak, sehingga apabila dijadikan jaminan kredit dengan cara menggadaikan deposito itu. Dalam keadaan mendesak deposito yang belum sampai jatuh temponya dapat dijadikan jaminan kredit, yaitu-dengan cara membuat surat perjanjian kredit antara debitur (dapat deposan atau orang lain) dan kreditur (bank atau lembaga keuangan), yang mana perjanjian kredit ini mempunyai sifat riel dan merupakan perjanjian standard, karena bentuk dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh kreditur. Bentuk perjanjian standard inilah yang perlu diciptakan suatu peraturan perundang-undangannya di bidang perkreditan nasional agar fungsi kredit sebagai sarana pembangunan dapat terlaksana dengan baik. Mengenai berapa bGsar kredit yang dapat diberikan oleh kreditur kepada debitur dengan jaminan deposito, tentunya kreditur akan memperhitungkan masih berapa lama jatuh temponya dalam bentuk mata uang apa nominal deposito itu dan berapa besar suku bunga kredit yang harus dikenakan hal ini tampaknya belum ada peraturan yang menentukan, karena tiap-tiap bank berbeda-beda dalam memberikan pinjaman kepada debitur yang menjaminkan depositonya, disamping itu faktor kebonafiditas dari debitur juga akan mempengarubi kreditur dalam memberikan kredit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvira Hanum
"Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 serta Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), maka diperkirakan akan banyak permohonan Hak Pakai atas tanah Negara yang diajukan oleh Warga Negara Asing yang merasa memenuhi persyaratan sebagai pemegang Hak Pakai. Apalagi dengan munculnya UUHT yang menentukan suatu konsep baru mengenai penunjukan Hak Pakai atas tanah Negara sebagai objek Hak tanggungan (Pasal 4 ayat (2)), yang membuka kesempatan bagi para Warga Negara Asing untuk dapat memperoleh permohonan kredit dengan penggunaan hak pakai sebagai jaminan, dimana sebelumnya dalam Undang-Undang Pokok Agararia Nomor 5 Tahun 1960 disimpulkan bahwa Hak Pakai tidak dapat ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan (Pasal 51 UUPA), karena pada waktu itu Hak Pakai tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftarkan, oleh karena itu tidak dapat memenuhi syarat publisistas untuk dapat dijadikan jaminan hutang. Dalam perkembangannya Hak Pakai harus didaftarakan, yaitu Hak Pakai atas Tanah Negara dimana dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Hak Pakai yang dimaksudkan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani fiducia. Hak Pakai tersebut ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, sehubungan dengan itu maka Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dan dengan demikian menjadi tuntaslah unifikasi Hukum Tanah Nasional yang merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah yang merupakan salah satu tujuan utama UUPA. Pemyataan bahwa hak pakai tersebut dapat dijadikan objek hak tanggungan merupakan ketentuan UUPA dengan peran serta hak pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20743
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>