Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105996 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Martiman Prodjohamidjojo
Jakarta: Samplex, 1984
347.01 MAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fadillah Sabri
"Dalam proses peradilan pidana ada satu lembaga Hakim Was-mat yang aktif sesudah putusan dijatuhkan, untuk mengendalikan pelaksanaan putusan Pengadilan yang dieksekusi Jaksa dan pelaksanaannya dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena dalam pelaksanaan putusan itu dapat terjadi tertindasnya hak-hak terpidana atau narapidana, yaitu karena tindakan petugas dan yang timbul dalam Lembaga Pemasyarakatan yang bersifat menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Hakim Wasmat (diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, Bab XX Pasal 277 s/d 283 KUHAP mengenai Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, dan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. No. 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat), tugasnya adalah mengontrol pelaksanaan putusan Pengadilan (pidana penjara dan kurungan) semenjak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sampai selesai pelaksanaannya, dengan wewenangnya mengoreksi secara langsung aparat yang melalaikan atau menyimpang dari putusan yang telah dijatuhkan. Tujuan pengawasan dan pengamatan adalah untuk melindungi hak-hak terpidana atau narapidana. Penelitian yang dilakukan dengan metode wawancara dan observasi memperlihatkan bahwa Hakim Wasmat masih terbatas dalam melaksanakan kontrol, disebabkan terbatasnya hak-hak narapidana yang menjadi obyek kontrolnya, dalam pelaksanaannya tidak mau menyinggung aparat yang mengeksekusi dan petugas pemasyarakatan, dan adanya hambatan yang ditemuinya dalam praktek yaitu dari faktor hukum, petugas, fasilitas, dan aparat pelaksana putusan Pengadilan. Kontrol yang dilaksanakan tidak dibarengi dengan koreksi atau teguran secara langsung, tetapi hanya memberikan saran yang dimasukkan dalam Kartu Data Perilaku Narapidana dan laporannya kepada Ketua Pengadilan Negeri. Hakim Wasmat ini, dapat dikatakan tidak efektif dalam memberikan perlindungan atas hak-hak terpidana atau narapidana."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny R. Masu
"Sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan merupakan satu jaringan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jaringan ini terdiri atas unsur-unsur yang memiliki interaksi, interkoneksi dan interdependensi. Namun, setiap subsistem hanya dapat berfroses jika digerakkan oleh komponen-komponen dalam subsistem tersebut. Salah satu komponen subsistem yang memiliki kedudukan sentral adalah pengadilan yang bert.ugas mengadakan pemeriksaan perkara pidana dan juga mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Peran dan tanggung jawab sebagai hakim wasmat merupakan kelanjutan dari putusan yang telah dijatuhkannya dalam persidangan. Dalam hal ini, hakim wasmat mengikuti putusannya sampai mengetahui bahwa pidana yang telah dikenakan kepada napi dapat bermanfaat dan apakah pelaksanaan pembinaan terhadap napi didasarkan kepada hak-hak asasi napi, yang ditujukan demi tercapainya tujuan sistem peradilan pidana umumnya dan khususnya agar napi tidak melakukan kejahatan lagi. Hal lain yang tampak dalam pengaturan mengenai hakim wasmat adalah bahwa hakim wasmat merupakan penghubung antara subsistem pengadilan dan subsistem pemasyarakatan. Jika tidak ada hakim wasmat, LP tidak termasuk atau terlepas dari proses peradilan pidana berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia. Dikatakan demikian karena satusatunya bab yang mengatur keberadaan LP di dalam proses peradilan pidana di Indonesia adalah Bab XX Pasal 277-283 KUHAP di bawah titel pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan. Selain pengawasan kepada petugas LP, juga pengawasan ditujukan kepada jaksa sebagai eksekutor untuk mengetahui apakah jaksa telah melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana mestinya. Dengan memperhatikan peran dan tanggung jawab serta tujuan yang ingin dicapai melalui hakim wasmat seperti di atas, maka tampak bahwa keberadaan hakim wasmat sangatlah penting dan mulia sehingga tidak dapat dikesampangkan begitu saja. Tujuan tersebut dapat dicapai jika hakim pengawas dan pengamat dapat berperan secara efektif. Berdasarkan metode wawancara dan observasi penulis memperoleh data bahwa pada kenyataannya, hakim wasmat belum melaksanakan perannya secara efektif dalam hal ini ia terbentur dengan pemahaman bahwa kehadirannya mengintervensi LP dan kenyataan bahwa LP secara langsung maupun melalui UU No. 12 tahun 1995, tidak menghendaki campur tangan hakim wasmat dalam masalah-masalah teknis pelaksanaan pembinaan napi termasuk dalam hal ini mengadakan kontrol maupun koreksi terhadap lembaga pemasyarakatan. Adapun masalah lain yang dihadapi oleh hakim wasmat adalah belum adanya peraturan pelaksanaan dalam melaksanakan peranannya, kurangnya fasilitas dan terbatasnya tenaga hakim wasmat serta tidak adanya dana operasional dalam melaksanakan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Wahidy
"ABSTRAK
Sistem Pengembangan Karier Hakim Peradilan Umum, dimulai semenjak dari pengadaan, meliputi penyusunan formasi, pengumuman, penerimaan lamaran dan seleksi calon, sampai ke pengembangan karier, meliputi pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan, dan penilaian pekerjaan.
Permasalahan yang dihadapi dalam Sistem Pengembangan Karier Hakim Peradilan Umum antara lain belum ada koordinasi yang efektif antara Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi dan keuangan dengan Mahkamah Agung sebagai pembina yudisial Hakim Peradilan Umum, belum adanya persamaan persepsi mengenai konsep jaminan kebebasan Hakim. Mahkamah Agung sebagai pembina karier Hakim Peradilan Umum, kurang berperan dalam pengusulan pengangkatan serta pemberhentian Hakim Agung, Hakim Tinggi, dan Hakim Negeri. Sistem penggajian Hakim diatur pola Peraturan Gaji Pegawal Negeri Sipil, padahal tugas, fungsi dan tanggungjawab Hakim sangat berbeda dengan Pegawai Negeri biasa. Begitupula promosi dan mutasi Hakim Peradilan Umum disamakan dengan Pegawai Negeri lainnya, yang terpusat di Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung, belum didelegasikan ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Pengadilan Tinggi.
Untuk menganalisis masalah ini digunakan konsep dari Eric Myjer (1992) tentang pengembangan karier khusus Hakim, meliputi seleksi, pendidikan persiapan, pengangkatan, jaminan hukum untuk kebebasan Hakim, dan sistem penggajian, yang dikomparasikan dengan konsep-konsep James L. Gibson (1922), dan Edwin B.F1ippo (12982) serta konsep-konsep dari penulis lain mengenai karier, baik secara umum maupun khusus Hakim.
Dalam penelitian eksploratif ini, analisis berdasarkan teori dilengkapi dengan masukan dari informan hingga di peroleh temuan-temuan penelitian, seperti adanya ketergantungan Mahkamah Agung dan organisasi Peradilan Umum lain kepada Pemerintah, menyebabkan peranan Pemerintah lebih besar dari pada Mahkamah Agung. Wewenang promosi dan mutasi Hakim Negeri dapat didelegasikan ke Kantor Wilayah serta Pengadilan Tinggi, untuk mempercepat pengembangan karier.
Tujuan akhir Sistem Pengembangan Karier Hakim adalah terwujudnya kebebasan Hakim, adanya jaminan karier dan kesejahteraan Hakim Peradilan Umum, demi makin kokoh mandirinya Mahkamah Agung sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi Negara di Indonesia, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rakha Naufal Saputra
"Hakim merupakan profesi yang berperan penting dalam proses peradilan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 angka 8 menerangkan bahwa “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”. Tugas hakim adalah melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara. Dalam membuat putusan, hakim dapat mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman. Permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana hakim menilai unsur kesopanan sebagai alasan peringan dalam memutus perkara pidana dan apakah alasan tersebut masih relevan dipertahankan. Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti meneliti dengan menggunakan metode yuridis empiris, dimana penelitian yuridis empiris merupakan penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Pada penelitian ini melakukan survey dengan membagikan kuesioner melalui google form yang disebarluaskan kepada para hakim. Peneliti akan meneliti mengenai pertimbangan hakim dalam menentukan kesopanan pada terdakwa dan hal apa yang dijadikan dasar oleh hakim bahwa terdakwa berperilaku sopan dalam persidangan.

Judges are professions that play an important role in the judicial process. Law Number 8 of 1981 concerning Criminal Procedure or the Criminal Procedure Code (KUHAP) in Article 1 point 8 explains that "Judges are state judicial officials authorized by law to adjudicate". The judge's duty is to exercise judicial power, namely examining, deciding and resolving a case. In making a decision, the judge can consider matters that aggravate and mitigate the sentence. The problem to be discussed is how judges assess the element of modesty as a reason for mitigation in deciding criminal cases and whether this reason is still relevant to be maintained. To answer these problems, the researcher uses an empirical juridical method, where empirical juridical research is legal research on the enactment or implementation of normative legal provisions in action on certain legal events that occur in society. In this study, a survey was conducted by distributing questionnaires through a google form distributed to judges. The researcher will examine the judge's consideration in determining the politeness of the defendant and what is used as a basis by the judge that the defendant behaves politely in court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Shalma Aisyah Anandhia Prasetya
"Skripsi ini mengkaji permasalahan hukum dalam pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi di Indonesia, dengan tujuan mengusulkan mekanisme pengisian yang bebas dari intervensi politik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan analitis serta pendekatan perbandingan hukum. Pengisian jabatan hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan hal krusial dalam menentukan independensi kehakiman. Berdasarkan temuan, terdapat intervensi politik yang dilakukan oleh DPR dalam pemilihan hakim agung yang ditunjukkan dalam pengambilan keputusan subjektif dan ketidakpatuhan DPR terhadap aturan dalam pengisian hakim agung. Sedangkan dalam pengisian hakim konstitusi, intervensi politik terjadi karena ketiadaan peraturan baku yang memungkinkan penyelundupan hukum oleh Pemerintah dan DPR. Solusi yang diajukan melibatkan penambahan syarat masa tenggang bagi anggota partai politik yang mendaftar sebagai calon hakim agung, penguatan sistem nonrenewable term dan penambahan syarat masa tenggang bagi calon hakim konstitusi. Pemerintah juga disarankan untuk mengatur penambahan ketentuan dalam UU tentang MK yang memaksa lembaga pengusul membentuk mekanisme baku yang transparan, profesional, dan memprioritaskan independensi kekuasaan kehakiman.

This thesis examines legal issues in the appointment of Supreme Court and Constitutional Court judges in Indonesia, aiming to propose a mechanism free from political intervention. The research employs a doctrinal approach with analytical and comparative legal methods. The appointment of judges in the Supreme Court and Constitutional Court is crucial in determining judicial independence. Findings indicate political intervention by the DPR (People's Consultative Assembly) in the selection of Supreme Court judges, evidenced by subjective decision-making and non-compliance with appointment regulations. In the case of Constitutional Court judges, political intervention arises due to the absence of standardized regulations, allowing legal smuggling by the Government and DPR. Proposed solutions involve adding a cooling-off period for political party members applying for the position of Supreme Court judge, strengthening the nonrenewable term system, and introducing a cooling-off period requirement for Constitutional Court candidates. Additionally, it is recommended to amend the Constitutional Court Law to compel proposing institutions to establish standardized mechanisms that are transparent, professional, and prioritize judicial independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pernyataan kemerdekaan tahun ini telah genap menandakan 63 tahun kemerdekaan Indonesia. Namun, kita masih harus menghadapi dan mengalami pelbagai permasalahan yang tidak ringan. Gejala yang muncul sejak diakuinya kedaulatan Indonesia di mata dunia adalah semakin berkurangnya nilai perjuangan, kemudian berkembang kumpulan penikmat kemerdekaan. Perjuangan di alam kemerdekaan bukanlah sesuatu yang mudah. Salah satu persoalan yang dihadapi adalah perubahan sikap dari sikap dan jiwa pejuang menjadi warga yang menjadi penikmat kemerdekaan yang menjadikan kita semakin terbelah dan terpuruk. Keberadaan kita secara bersama-sama sebagai bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh kehendak, kemampuan pemerintah dan para pemimpin bangsa ini untuk berpegang kepada makna kemerdekaan yang sejak awal sudah dirumuskan tujuannya secara bersama-sama.... "
IKI 4:24 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1990
S21678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>