Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153672 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006
341.52 ANA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi Daru Cahyono
"Perkembangan menarik yang menonjol dan menjadi perhatian masyarakat internasional yaitu isu mengenai marakiaya pelanggaran Hak Cipta musik dan lagu, karena saat ini hampir semua kalangan masyarakat mengenal dan menikmati industri bidang musik dan lagu sejalan dengan berkembang pesatnya industri musik.
Hak Cipta khususnya terhadap Hak Cipta musik dan lagu menjadi masalah serius di Indonesia bahkan Indonesia pernah dikecam dunia internasional karena lemahnya terhadap perlindungan Hak Cipta atas Rekaman Musik dan Lagu.
Banyak kasus pelanggaran hak atas karya Cipta terjadi,, akibatnya menimbulkan kerugian yang sangat besar. Berdasarkan temuan dari Asosiasi 1ndustri Rekaman Indonesia (ASIRI),2 akibat peinbajakan tersebut negara dirugikan sebesar Rp 6 milyar, kerugian itu apabila diperhitungkan seandainya dibayarkan pajak PPN sebesar Rp. 3.000 per buah. Selanjutnya manumit Bambang Koesowo menyatakan bahwa akhir Agustus 1997, di Indonesia telah beredar 15 juta keping VCD ilegal. Dan fakta tersebut memang benar, pembajakan di bidang HKJ menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Kenyataan menunjukkan masyarakat mendukung dan berkembangnya bisnis barang bajakan, yang mama salah satu penyebabnya adalah akibat buruknya kinerja pengadilan, sehingga mendorong tumbuh suburnya perkembangan pelaku pembajakan Rendahnya daya beli masyarakat mendukung adanya permintaan terhadap CD/VCD bajakan4 pabrik compact disk bajakan, adalah fakta yang ada di masyarakat.
Sedikitnya 89% perangkat lunak Indonesia yang dipergunakan masyarakat adalah merupakan basil bajakan. Posisi tersebut berada di peringkat ketiga di dunia setelah Cina (96%) dan Vietnam (94%). Didalam bidang pelanggaran produk rekarnan, tiap tahun di Indonesia beredar 36 juts compact disk (CD) bajakan 5 kali lebih banyak dari jumlah CD aslinya. Berangkat dari pemikiran iai, penegakan hukum di Indonesia juga turut mendukung tumbuh suburnya pembajakan. Dalam hal ini pengadilan menunjukkan yang proses pemeriksaan yang tidak efektif yaitu proses penanganan perkara hukum yang memakan waktu lama dan tidak efisien. Selanjutnya Menurut M. Yahya Harahap menyatakan, "penanganan perkara tersebut menunjukkan suatu proses yang tidak efektif.
Penyelesaian sengketa melalui Litigasi sering kali tidak memenuhi harapan pancari keadilan, dan karenanya pengadilan justru menambah persoalan. Seperti misalnya, kasus Bimbo yang mengajukan gugatan pelanggaran hak cipta atas lagu-lagunya terhadap Remaco. Narnun dalam putusannya, Bimbo kalah dan hams membayar Rp. 500 juta, karena oleh pengadilan dianggap mencemarkan nama baik Eugene (produser Remaco). Selanjutnya di pengadilan tinggi, sebagai Penggugat Bimbo justru dihukum untuk membayar denda Rp. 500 juta, karena dianggap telah mencemarkan nama baik dan pengadilan menolak gugatan Grup Bimbo. Kenyataan tersebut diatas menunjukkan burulmya kinerja pengadilan atas pelaksanaan penyelesaian sengketa HKI kliususnya musik dan lagu, oleh karenanya. perlu adanya forum penyelesaian sengketa yang efektif untuk persoalan penegakan hukum hak kekayaan intelektual.
Menurut Undang-Undang Hak Cipta nomar 19 tahun 2002 menyebutkan, penyelesaian sengketa Hak. Cipta dapat mempergunakan Pengadilan Niaga, Pengadilan Umum dan Alternatif penyelesaian diluar Pengadilan atau sering disebut ADR dan arbitrase. Sistem penyelesaian sengketa non Litigasi (di liar pengadilan} ini sejalan dengan prinsip HKI yang lebih bersifat Hak-hak Pribadi (personal rights), dengan 4emikian penggunaan ADR dalam menyelesaian sengketa sengketa pelanggaran musikllagu adalah tepat.
Penggunaan ADR dan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-sengketa HKI mulai banyak dipergunakan. Penggunaan arbitrase itu panting sebagaimana tersebut diatas disimpulkan, peradilan atas kasus HKI buruk, dan kondisi pembajakan di Indonesia telah mengakar di masyarakat, perlu proses penanganan alternatif untuk menyelesaikan sengketa HKI. Pada kenyataannya, penyelesaian sengketa musik dan Iagu di Indonesia relatif.masih sedikit dan belum banyak digunakan. Menurut penulis masih sedikit kasus-kasus di bidang musik dan lagu saat ini masih mempergunakan peradilan umum, dan di 'kepolisian ditangani secara pidana. Martin Suryana menyebutkan, dengan dikembangkannya ADR dan Arbitrase diharapkan dapat men]adi alternatif bagi masyarakat untuk mendapat keadilan dalam penyelesaian perselisihan tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19861
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Taufiq A.
"Tesis ini membahas tentang Penerapan dan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi New York 1958 Sehubungan dengan Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam era globalisasi kepastian hukum dalam penanaman modal serta bisnis dan perdagangan internasional sangatlah dibutuhkan dalam hukum penyelesaian sengketa. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU 30/1999?) sebagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase khususnya arbitrase internasional serta untuk memperbaiki hukum penyelesaian sengketa arbitrase di Indonesia sebelum diundangkannya UU tersebut, tetap belum dapat memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958. Hal ini dikarenakan UU 30/1999 tidak mengakomodir penuh ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia. Dimana, di satu sisi, Indonesia merupakan Negara anggota Konvensi New York 1958, dan kewajiban internasional yang timbul dari penandatanganan serta peratifikasian ketentuan-ketentuan Konvensi New York 1958 tersebut, seharusnya diterapkan secara utuh dalam ketentuan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase nasional Indonesia sehingga dapat memberikan predictability, stability, dan fairness kepada pelaku usaha penanaman modal serta bisnis dan perdagangan internasional.

This thesis analyzes The Application and Enforcement of New York 1958 Provisions Related to Law of Settlement of Disputes Before Arbitration Provisions Under Law No. 30 Year 1999. In the era of globalization, legal certainty within investment also international business and commercial trade is very important towards the law of settlement of disputes. The enactment of Law Number 30 Year 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Settlement (?Law 30/1999?) as regulation which specifically regulates arbitration especially international arbitration, and to repair the law of settlement of disputes before arbitration in Indonesia in previous state before the enactment of that Law, still cannot provide legal certainty in the enforcement of foreign arbitral awards as addressed by New York Convention 1958. This condition is due to the Law 30/1999 that does not completely accommodate the recognition and enforcement of foreign arbitral awards within the territory of the Republic of Indonesia. Whereas, in the other side, Indonesia is one of the contracting state of New York Convention 1958 and the international liabilities which arisen from the signing and ratification of the Convention, shall be applied completely within the national law of settlement of disputes before arbitration of Indonesia, thus, the related law will provide predictability, stability and fairness towards the investor and the international business and commercial trade actor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28053
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Santy Gozali
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004. Seorang Notaris dituntut untuk bersikap profesional dalam menjalankan jabatannya dengan mengindahkan laranganlarangan yang terdapat dalam ketentuan yang mengatur mengenai Jabatan Notaris tersebut. Dalam dunia bisnis dan perekonomian tidak dapat dipungkiri kemungkinan akan timbulnya sengketa dan perselisihan antara para pihak. Maka dikenal suatu cara lain yang memberikan kemungkinan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur kekuasaan pengadilan apabila mereka menghendakinya, yaitu melalui arbitrase. Untuk penyelesaian perkara yang diajukan kepada Arbitrase diselesaikan oleh Arbiter. Dalam Notaris merangkap jabatan sebagai Arbiter juga tidak dapat lepas dari ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Peraturan yang mengatur mengenai Jabatan Notaris dan peraturan mengenai Arbitrase tidak terdapat larangan untuk Notaris merangkap jabatan sebagai Arbiter.
Menurut penulis seorang Notaris yang akan merangkap jabatan sebagai Arbiter tidak dilarang, karena pada dasarnya kedua jabatan tersebut memiliki beberapa persamaan antara lain sama- sama berfungsi untuk menghindari terjadinya sengketa yang lebih jauh antara para pihak, hanya saja Notaris yang bersangkutan perlu dengan bijaksana mengatur mekanisme kerjanya dan waktu yang akan digunakan akibat rangkap jabatannya tersebut. Notaris juga perlu memperhatikan kaidah hukum mana yang mengikatnya ketika menjalankan salah satu dari rangkap jabatannya tersebut. Sehingga dapat dicapai suatu keseimbangan dalam menjalankan rangkap jabatannya tersebut. Metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dan data yang digunakan adalah data primer, sekunder, dan tertier. Dalam pengolahan data digunakan metode kualitatif.

Notary are public officials who are authorized to make an authentic deed and other authorities referred to in the Notary Act No. 30 of 2004. A Notary had to act professional in doing their position, they also had to take attentions to the restrictions where set on the Notary Act. In terms of business and the economy will not be denied the possibility of the emergence of disputes and disputes between the parties. Then known another way that gives the possibility for the parties to the dispute to bring and resolve a case arising out of judicial power lines if they so desire, through arbitration. For the proposed settlement to be completed by the Arbitrators. Also for Notary that had a dual position as an Arbitrator can not be separated from the provisions of Act Number. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. The Regulations governing the Notary and regulations regarding the arbitration there is no prohibition on dual position as a Notary Public and as Arbitrator.
According to the author, a Notary who also become an Arbitrator is not prohibited, because basically these two positions have in common, among others equally serve to avoid further disputes between the parties, but the relevant notary needs to prudently manage its mechanism of action and time that will be used due to the dual position. Notary should also pay attention to legal rules which bind when running one of these dual positions. So that it can achieve a balance when running that dual position. Writing method used is a normative legal research methods and data used are primary data, secondary, and tertiary. In processing the data used qualitative methods.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28907
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Hartono
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang akan berlaku pada tanggal 14 Januari 2005, selain melalui Pengadilan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial khususnya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan dapat diselesaikan melalui Arbitrase Hubungan Industrial . Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu Arbitrase Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industri merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial. Dalam penyelesaian melalui arbitrase pada sengketa perdagangan maupun arbitrase hubungan industrial, keduanya mensyaratkan adanya kesepakatan atau perjanjian tertulis untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase. Hal ini sangat penting karena perjanjian arbitrase merupakan sumber falsafah, sumber hukum dan sumber urisdiksi bagi semua pihak yang terkait di dalam suatu sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menguraikan sekaligus menganalisa dari aspek hukum tentang perjanjian arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun - 1999 dan perjanjian arbirase pada Arbitrase Hubungan Industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Untuk menjabarkan permasalahan dilakukan penelitian. Dalam penulisan skripsi ini penelitian normatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pengolahan, analisa dan konstruksi data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, guna menghasilkan data deskriptif analitis. Kesimpulan dari penjabaran masalah adalah bahwa ketentuan mengenai perjanjian arbitrase pada Arbitrase Hubungan Industrial menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan perjanjian arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30, Tahun 1999. Perbedaan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah untuk mengatur secara khusus Arbitrase Hubungan Industrial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S21072
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2011
669.026 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoy, Sandra
"Penerapan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU Arbitrase?) telah menimbulkan kontroversi akibat ketentuan tersebut tidak konsisten dan tidak ada aturan yang tegas. Penelitian ini bermaksud untuk mencari korelasi yang tepat terhadap penerapan Pasal 70 dihubungkan dengan penjelasan pasal itu sendiri dan penjelasan pada bagian umum UU Arbitrase sehingga dapat menjamin tercapainya kepastian hukum keadilan bagi para pihak bersengketa. Permasalahan mendasar adalah apakah alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat limitatif atau non-limitatif, dan bagaimana pembuktian alasan-alasan tersebut apakah diperlukan keputusan Pengadilan terlebih dahulu atau tidak. Bagaimana sikap Mahkamah Agung terhadap pembatalan putusan arbitrase ini, apakah telah memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Penulis menemukan bahwa ternyata ketentuan Pasal 70 dan putusan Mahkamah Agung tentang permohonan pembatalan putusan arbitrase ini sangat beragam dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. Dilain pihak, aturan tentang upaya hukum untuk pembatalan putusan arbitrase juga tidak bisa dihapuskan sama sekali karena bisa terjadi putusan arbitrase diambil dalam keadaan yang salah sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan apabila putusan tersebut tetap dipertahankan. Oleh karenanya perlu dilakukan perbaikan atas aturan arbitrase yang mengatur tentang upaya hukum pembatalan putusan sehingga dapat tercapainya kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

The application of the provisions of Article 70 of Law No. 30 Year 1999 Regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolution (?Arbitration Act?) has caused controvercy due to such article are inconsistent and there is no strict rule. This research intends to find out the correlation of the application of Article 70 associated with its elucidation and the general description of the Arbitration Act, to ensure the achievement of legal certainty and justice for disputing parties. The fundamental issues in respect of the annulment of arbitral award is whether the reasons of annulment is qualified limitative or non-limitative and whether is required prior final court decision or not. What is the opinion of the Supreme Court on such annulment of the arbitral award which has fulfilled the principle of legal certainty and justice for disputing parties. This research was conducted with juridical normative research methods. Authors found that the Article 70 and Supreme Court?s decision regarding the annulment of the arbitral award has caused legal uncertainty and injustice due to being indistinct and inconsistent. On the other hand, the rule of law remedy for the annulment of the arbitral award could not be eliminated completely because there are still any conditions where the arbitral award was taken in the wrong circumstances that can lead to uncertainty and injustice when the award is retained. Therefore, it is necessary to improve the arbitration rules which regulates legal remedy of application of the annulment of the award to ensure the legal certainty and justice in society.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohimah
"ABSTRAK
Penyelesaian sengketa para pihak yang terikat dalam
suatu perjanjian, dapat diselesaikan melalui Peradilan
umum, maupun melalui Arbitrase sebagai salah satu bentuk
alternatif penyelesaian sengketa yang, diatur di dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa
melalui Arbitrase diketahui cepat, biaya murah, prosedur
yang sederhana dan terjaminnya kerahasiaan para pihak.
Kenyataan yang terjadi tidaklah selalu demikian. Hal
tersebut dapat dilihat dalam kasus yang penulis uraikan
pada tesis ini, di mana dalam Penulisan tesis ini penulis
menggunakan dua metode penelitian yaitu metode penelitian
kepustakaan yang digunakan untuk mencari data sekunder dan
metode penelitian lapangan untuk mencari data primer.
Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase tidak memberikan
kepuasaan bagi para pihak, karena dalam kasus tersebut
dapat dilihat bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase
sangatlah mahal dan panjangnya waktu yang dilalui, salah
satunya yaitu dengan adanya pengajuan pembatalan putusan
arbitrase yang didasarkan pada Pasal 70 Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal tersebut membuka peluang kepada salah para
pihak untuk menempuh upaya hukum lain, berupa: pengajuan
permohonan pembatalan putusan arbitrase, pengajuan banding
atas putusan permohonan pembatalan putusan arbitrase,
pengajuan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Keadaan demikian menghasilkan suatu
kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase
tidak efektif seperti yang dicita-citakan, karena: biaya
yang mahal, adanya pembatalan putusan arbitrase, timbulnya
upaya hukum lain, eksekusi putusan arbitrase melalui
pengadilan negeri, hukum acara yang tidak jelas,
dijadikannya para arbiter sebagai pihak dalam upaya hukum
lain, serta tidak tercapainya win-win solution yang
diharapkan oleh para pihak."
2005
T37739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>