Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6476 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sumardi
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007
634.902 SUM d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fajri Nursyamsi
"Terkait dengan permasalahan aktual dalam perlindungan hutan, kajian ini mengungkap tiga masalah yaitu pelaksanaan moratorium penebangan hutan, perubahan tata ruang merubah fungsi hutan, dan implementasi REDD"
Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2012
346.046 7 KER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Widya Andharie Rahasthera
"ABSTRAK
Keberadaan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) sangat penting karena salah satu fungsinya sebagai penyedia air bersih. Selain untuk Kota Balikpapan, air HLSW juga panting bagi penyediaan BBM nasional. Dalam perkembangannya, terdapat potensi perbedaan kepentingan antarpemangku kepentingan dalam pengelolaan air di HLSW. Berdasarkan permasalahan, tujuan penelitian adalah mengidentifikasi: 1) Siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan air dari kawasan HLSW; 2) Bentuk konflik, posisi dan kepentingan yang diperjuangkan pars pemangku kepentingan terhadap permasalahan pengelolaan air dari kawasan HLSW; dan 3) Rumusan pendekatan alternatif penyelesaian konflik.
Kerangka teoretik penelitian didasari atas pendekatan ekosistem (hutan lindung dan DAS), analisis konflik, posisi dan kepentingan, analisis pemangku kepentingan, dan kemitraan dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagai solusi konflik. Kerangka berpikir penelitian didasari atas asumsi bahwa konflik pengelolaan air di HLSW disebabkan karena adanya interaksi antara komponen lingkungan alam (HLSW), lingkungan buatan (industri, pertanian, permukiman) dan lingkungan sosial (kelembagaan sektor negara-masyarakat-swasta).
Penelitian dilakukan di Kota Balikpapan pada bulan Februari-Mei 2006 menggunakan metode kualitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara semi terstruktur, diskusi kelompok terfokus (FGD), observasi, dan catatan lapang, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur dan bentuk data lainnya. Metode pencarian responden adalah metode bola salju (snowballing), dimana sampel adalah pemangku kepentingan pada pengelolaan air dari kawasan HLSW. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui triangulasi sumber dan dianalisis dalam uraian naratif.
Kesimpulan analisis hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1) Para pemangku kepentingan dibagi menjadi tiap sektor, yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan swasta..Pemerintah diwakili oleh PPLH Regional Kalimantan dan pihak pengelola HLSW yaitu Pemerintah Kota Balikpapan dan BPHLSW. Masyarakat sipil diwakili oleh Perkumpulan STABIL dan Pokja Masyarakat HLSW sebagai penyedia jasa, sedangkan sektor swasta diwakili oleh PT. Pertamina UP V yang juga pengguna air dari HLSW. 2) Konflik yang terjadi adalah bagaimana para pemangku kepentingan memahami pembayaran jasa ekosistem air HLSW, serta besaran nominal yang harus dibayar PT. Pertamina UP V untuk pengelolaan HLSW sebagai klaim dari pengelola dan. masyarakat sipil. Dengan demikian, konflik yang terjadi berkaitan dengan relasi pemangku kepentingan hulu dan hilir, atau secara lebih tegasnya adalah antara pihak pengelola HLSW dengan pengguna air dari HLSW. Konflik berkembang dengan rencana pembangunan Bendungan Sungai Wain yang mengancam eksistensi waduk dan kontinuitas air yang selama ini diperoleh PT. Pertamina UP V dari Waduk Sungai Wain Pertamina. Ancarnan ini dianggap dapat mengganggu kelancaran produksi BBM nasional. Posisi para pemangku kepentingan mengenai rencana pembangunan bendungan terbagi dua, dimana pihak pengelola HLSW berada pada posisi menyetujui, dan PT. Pertamina UP V berada dalam posisi tidak menyetujui. PPLH Regional dan Perkumpulan STABIL berada dalam posisi netral-kritis. Meskipun memiliki posisi yang berbeda, pada dasamya konflik terjadi karena ketidaksepahaman bahwa sebenarnya masing-masing pemangku kepentingan bergantung atas HLSW guna memenuhi kebutuhannya. Kepentingan PT. Pertamina UP V terhadap keberadaan HLSW adalah jaminan kontinuitas air dari HLSW untuk kegiatan operasional kilang minyak Balikpapan; bagi pihak pemerintah, keberadaan HLSW sebagai penyedia air alternatif bagi Kota Balikpapan menjadikan pemerintah berencana untuk membangun bendungan baru; bagi masyarakat di sekitar HLSW, kepentingan mereka adalah adanya kontribusi atas usaha mereka menjaga kawasan hulu serta pemenuhan kebutuhan air yang selama ini tidak didapatkan clan pemerintah maupun dari PT. Pertamina sebagai pengelola Waduk Wain Pertamina; dan bagi BPHLSW, fungsi dan nilai HLSW hendaknya dapat dinikmati oleh warga Balikpapan dan penggunaan aimya hams diselaraskan dengan upaya pemeliharaan oleh pihak pengguna. Terlihat bahwa masing-masing pihak masih mengedepankan etika antroposentrisme yang ekstrem dalam relasinya dengan HLSW.
3) Dalam penelitian, diajukan alternatif penyelesaian konflik antara pemangku kepentingan dengan beberapa tahap berikut. Pada tahap awal, rekonsiliasi perlu dilakukan sebelum melakukan negosiasi. Pembayaran jasa lingkungan HLSW dipertimbangkan sebagai salah satu solusi karena dipercaya semu pihak dapat menjadi sarana penyelesaian konflik. Selain itu, peneliti menyarankan dibentuknya lembaga multipihak berupa dewan sumberdaya air untuk rpengakamodasi dan menyelesaikan permasalahan pengelolaan DAS di HLSW.
Saran yang diajukan di dalam penelitian ini adalah: diperlukannya studi yang 1ebih mendalam khususnya mengenai penekanan pada dimensi lingkungan lainnya dalam pengelolaan air dari HLSW, konsep pembayaran jasa lingkungan sebagai metode konservasi mutakhir yang mulai diterapkan pada beberapa daerah di Indonesia.

ABSTRACT
The existence of the Sungai Wain Protected Forest (SWPF) has become important especially for the Balikpapan's citizens because one of its function as providing fresh water. In the progress, there is different interest between stakeholders on how to manage water from SWPF. Based on this problem, the aims of the study are to: 1) Identify stakeholders involved in water management from SWPF; 2) Identify position and interests of stakeholders in relation to water management from SWPF conflict; 3) To propose conflict resolution alternatives.
The theoretical framework of the research was based in ecosystem approach (the interconnectedness of protected forest and water basin management) and the concept of conflict analysis, position and interest(s), stakeholder analysis and partnership on environmental management as the conflict solution. The thinking framework of the research is then based on assumptions that the conflict of SWPF's water management is caused by the interaction between the natural environment (the existence of SWPF), the constructed environment (industries, agriculture, housing) and social environment (the institution of the state-society private sector).
The research conducted by using qualitative method. Primary data were attained by semi-structured interviews, FGD, observation and field reports, while secondary data were attained from literature and other document findings. Respondents were searched by snowballing method, where the respondents are the stakeholders of water management in SWPF. The observation of data validity was done by triangulation and analyzed narrative.
The conclusion of the research findings are as follows: 1) the stakeholders were divided into government, civil society and private sector. The government sector was represented by PPLH Regional Kalimantan and the executives of SWPF (The Government of The Regency of Balikpapan and The Board Management of SWPF). The civil society sector were represented by Perkumpulan STABIL and the SWPF Community Work Group (the ecosystem service provider), and the private sector was represented by PT. Pertamina UP V Balikpapan (the ecosystem service user). 2) The conflict is how stakeholders understand the payment for watershed environmental services from SWPF, and how much PT, Pertamina UP V has to pay in order to contribute the SWPF management as it claimed from the executives of SWPF and civil society. Thus, the conflict that occurs is connected to the relation of the upstream-downstream stakeholder, as to more clearly is between the executives of SWPF and PT. Pertamina UP V Balikpapan. The conflict the developed into the next stage when the East Kalimantan government's was planning to build a dam at the Sungai Wain downstream, which the site plan is adjacent to the Sungai Wain Reservoir owned by PT. Pertamina. UP V. This plan in the progress was considered to hinder the Pertamina's water continuity from HLSW that in the future might be threating the national oil's production: The stakeholders' position of the Sungai Wain Dam plan were divided into two: where the executives od SWPF at pros and PT. Pertamina UP V Balikpapan at contras. In neutral-critical level there sre PPLH Regional Kalimantan and Perkumpulan STABIL. Although having a different position, the conflicts basically occurred because the stakeholders are not realized that each of them has the same need, basic interest and dependency to the SWPF. The interest of PT. Pertamina UP V to SWPF is the water continuity for the operational of Balikpapan's refinery; to the Government of Balikpapan, their interest is to provide the alternative source of water for Balikpapan's citizens by building a new dam near the SWPF downstream; to the community especially who lived in and surround the SWPF upstream area, their interests are having a contribution for their effort on preserving SWPF and the fulfilment of their clean water needs which has never been obtained from the government or from PT. Pertamina UP V as the direct beneficiary of SWPF water. To the Board Management of SWPF, their interets are how SWPF function and values can be enjoyed by the citizens of Balikpapan Regency, and how its utilization can be harmonious to the conservation effort by users. This research has analyzed that the conflict has also caused of the extreme anthropocentrism that used by the stakeholder on its relation to SWPF's ecosystem services.
3) As an alternative, this research proposes an initiation of reconciliation between stakeholders before making any negotiation. The payment for watershed environmental services (PES) can be considered as one of many potential solutions because it is believed by the stakeholders that its implementation can resolve the conflict. Before that, the research also suggests to form the multi stakeholder collaborative institution (water board) that can accommodate and solve the SWPF watershed management problems in the future.
The suggestions of this research are the needs to the complementary praxis studies of the technical consideration on water management in SWPF, especially the environmental impact analysis if the dam is planned to be build. The same suggestion goes to the PES concept studies as the new conservation strategy that recently has been implemented to some areas in Indonesia.
"
2007
T20486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Camsudin
"Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Kalimantan Selatan yang telah diundangkan melalui Perda No. 3 Tahun 1993 dan telah mendapat pengesahan Mendagri melalui Keputusan No. 53 Tahun 1994 menetapkan wilayah Riam Kanan sebagai wilayah prioritas pengembangan. RT/RW tersebut juga memberikan arahan pengembangannya yakni sebagai kawasan lindung yang diharapkan mampu memberikan perlindungan baik sebagai kawasan perlindungan setempat yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman flora-fauna dan ekosistemnya, maupun sebagai kawasan yang melindungi bawahannya sebagai pengatur tata air (fungsi hidrologis).
Upaya ril pengembangkan wilayah Riam Kanan sebagai kawasan lindung, terutama kawasan hutan lindung Riam Kanan ternyata mendapat hambatan besar karena dalam hutan lindung tersebut terdapat 12 perkampungan/permukiman penduduk yang termasuk dalam satu kecamatan definitif. Penduduk yang berada dalam kawasan hutan lindung Riam Kanan selain bermukim juga melakukan aktivitas sosial seperti bertani, menggembala dan mendulang. Dengan demikian dalam kawasan hutan lindung Riam Kanan terdapat konflik pemanfaatan lahan.
Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pengembangan wilayah Riam Kanan, sejauh mana tingkat keberhasilannya dan berupaya untuk dapat memecahkan tumpang tindih pemanfaatan lahan antara lindung dan budidaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan wilayah Riam Kanan ditempuh melalui kebijakan mengembalikan fungsi lindung dengan kegiatan utama rehabilitas hutan pada lahan kritis dan lahan kosong (baru). Kebijakan ini terus dipertahankan hingga saat Kemudian melalui revisi RT/RW Kabupaten Banjar tahun 1999, dimunculkan alternatif kebijakan lain yaitu mengendalikan pengolahan tanah, melestarikan hutan yang masih asli dan membuat buffer zone. Namun ketiga kebijakan ini belum diterapkan dilapangan.
Kebijakan mengembalikan fungsi lindung yang selama ini ditempuh pemerintah belum menunjukkan kinerja yang optimal. Beberapa indikator dapat dikemukakan bahwa: (1) target penutupan hutan 70 persen tidak tercapai, (2) luas lahan kritis tidak menunjukkan penurunan yang berarti dan (3) tingkat erosi sangat jauh di atas batas toleransi.
Dari sudut pandang sosial-ekonorni, pengembangan wilayah Riam Kanan direpresentasikan oleh wilayah Kecamatan Aranio. Beberapa indikator tingkat perkembangan Kecamatan Aranio adalalr (I) PDRB tahun 1993-1997 tumbuhdengan laju rata-rata 5,32 persen/tahun, berada di bawah Kabupaten Banjar yang tumbuh sebesar 8,11 persen/tahun, (2) Pendapatan per kapita untuk tahuri 1993 dan 1997 masing-masing Rp. 1.476.000 dan Rp. 1.821.000 atau tumbuh 5,39 persen / tahun, sementara pada tahun yang saina untuk Kabupaten Banjar adalah Rp. 1.328.000 dan Rp. 1.672.000 atau tumbuh 5,93 persen/tahun, (3) pertumbuhan penduduk tahun 1990-1998 sebesar 0,36 persenltahun dan (4) sarana dan prasarana yang terbangun terutama jalan, bangunan SD, puskesmas, pasar dan listrik masih minim dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Banjar.
Adanya tumpang tindih pemanfaatan lahan pada kawasan hutan lindung Riam Kanan disebabkan adanya perbedaan persepsi dan penilaian manfaat antara pemerintah dengan penduduk. Walaupun keduanya memiliki tujuan sama yakni penggunaan lahan secara optimal, pernerintah menilai optimal jika dimanfaatkan sebagai kawasan lindung sementara penduduk menilai optimal jika dimanfaatkan sebagai lahan budidaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara kebijakan yang diterapkan pemerintah dengan tindakan penduduk.
Hasil analisis dengan metode AHP ternyata prioritas sasaran bagi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan guna memperoleh pemanfaatan optimal adalah terjaminnya keutuhan hutan Riam Kanan (0,419), tercapainya fiingsi perlindungan bagi kawasan bawahannya (0,359), keamanan dan ketenangan penduduk terpelihara (0,222). Sementara bagi penduduk dalam kaitannya dengan kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan maka prioritas sasarannya adalah menjadikan lahan sebagai lapangan usaha yang berkesinambungan (0,545) dan tempat tinggal yang aman dan nyaman (0,455).
Pemecahan masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan dengan metode A1-U dan Game Theory menghasilkan keseimbangan yang ketika penduduk menempuh langkah menggarap lahan secara menetap dan intensif sementara pernerintah menanggapinya dengan strategi kebijakan melestarikan hutan yang masih asli. "
2000
T1247
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zulfany Batam
"Disahkannya Perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi Undang­ undang No. 19 Tahun 2004 telah memacu reaksi penolakan yang meluas. Hal ini merupakan sikap penolakan dari masyarakat terhadap diperbolehkannya penyimpangan sementara atas pasal 38 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Reaksi ini kemudian bermuara pada diajukannya pengujian Undang-undang No. 19 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor: 003/PUU­ III/2005. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini anatara lain adalah mengenai kebijakan perlindungan pelestarian hutan di Indonesia, perlindungan hutan dikaitkan dengan usaha pertambangan dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan analisa yuridis atas pandangan hukum Mahkamah Konstitusi terhadap kebijakan pemerintah dengan menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang telah disahkan menjadi Undang-undang No. 19 Tahun 2004.
Kesimpulan yang diperoleh adalah Pandangan Hukum Mahkamah Konstitusi terhadap kebijakan pemerintah dengan menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang telah disahkan menjadi Undang-undang No. 19 Tahun 2004 adalah menegaskan bahwa Undang-undang tersebut adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi juga telah memberikan kepastian hukum bagi ke-13 pemegang ijin usaha pertambangan. Hanya saja Mahkamah Konstitusi kurang memberikan kepastian hukum atas perlindungan atas lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Selain itu Putusan Mahkamah Konstitusi juga kurang memberikan kepastian hukum terhadap para pemegang ijin di luar ke-13 pemegang ijin tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T36911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Triharso
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994
632.92 TRI d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke . Indonesia memiliki berpuluh ribu kilometer panjang pantai di mana di sepanjang pantai inilah dan di muara sungai yang melengkapinya....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>