Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4644 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Allen, H.C.
Sydney Angus and Robertson 1959
994 A 245
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Allen, H.C.
Sidney: Angus & Robertson,, 1959
994.04 ALL b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Derbyshire, Ian
Edinburgh: Chambers, 1990
320.973 DER p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sabiq Aqdam Muslich
"Inovasi manusia dalam teknologi digital telah mengubah dinamika pelaku ekonomi seperti dengan munculnya skema penawaran efek melalui layanan urun dana atau securities crowdfunding (SCF). Penghimpunan modal melalui SCF menjadi salah satu alternatif untuk para pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) untuk mempermudah mendapatkan modal. Industri SCF memiliki potensi besar di Indonesia karena banyaknya demand dari pengusaha-pengusaha UMKM untuk skema pemodalan yang mudah digunakan untuk perusahaan kecil. Akan tetapi, persoalan risiko penipuan dapat menjadi hambatan besar dalam perkembangan SCF di Indonesia. Kurangnya perlindungan dari penipuan akan berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap industri SCF. Terkait isu ini, Peraturan OJK No. 57 Tahun 2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi belum mengatur secara komprehensif mengenai risiko penipuan. Sementara itu, dibutuhkan payung hukum yang sistematis untuk melindungi para Pemodal, terutama dari kejahatan penipuan yang dapat mengurangi kredibilitas industri SCF secara keseluruhan dan justru menghambat pemodalan bagi UMKM. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji bahan pustaka dan menelaah peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pendekatan perbandingan. Penelitian ini akan membahas mengenai perlindungan hukum atas risiko penipuan dalam SCF di Indonesia dan membandingkan pengaturannya dengan regulasi di Amerika Serikat dan Australia. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai perlindungan hukum dari kejahatan penipuan dalam SCF di Indonesia serta perbandingannya dengan perlindungan hukum yang ada di negara Amerika Serikat dan Australia.

Human innovation in digital technology has changed the dynamics of economic actors, such as the emergence of securities offering schemes through crowdfunding or securities crowdfunding (SCF). Capital accumulation through SCF is an alternative for Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) to make it easier to obtain capital. The SCF industry has great potential in Indonesia due to the large demand from MSME entrepreneurs for capital schemes that are friendly for small companies. However, the issue of fraud may be a major obstacle to the development of SCF in Indonesia. Lack of legal protection will have implications on public trust in the SCF industry. Regarding this issue, OJK Regulation No. 57 of 2020 concerning Securities Offerings Through Information Technology-Based Crowdfunding Services has not comprehensively regulated the risk of fraud. Meanwhile, a systematic legal umbrella is required to protect investors, especially from fraud crimes which can reduce the credibility of the SCF industry as a whole and hinder MSMEs from gaining capital. This research method uses a normative juridical method by reviewing literature and examining relevant laws and regulations with a comparative approach. This research will discuss legal protection for fraud risk in SCF in Indonesia and compare Indonesia’s regulation with regulations in the United States and Australia. Thus, this research is expected to provide information and an overview of legal protection from fraud in SCF in Indonesia and its comparison with legal protection in the United States and Australia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Canberra: Australian National University Press, 1971
327.950 ASI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Arafah Dira Prameswari
"

Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) merupakan gugatan atau laporan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, seperti korporasi, pejabat publik, pelaku bisnis terkemuka dengan tujuan untuk menghentikan dan menggagalkan partisipasi publik yang dilakukan individu atau organisasi non-pemerintah, salah satu sasaran dari SLAPPadalah aktivis lingkungan hidup. Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur tentang penerapan Anti-SLAPP sebagai pencegahan dari SLAPP di dalam Undang-Undang, Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetapi pelaksanaan Anti-SLAPP di Indonesia masih belum sesuai dengan norma dari Anti-SLAPP yang mengakibatkan kasus SLAPP terhadap aktivis lingkungan hidup masih terjadi. Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis-normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Anti-SLAPP di Indonesia berdasarkan analisis Putusan Nomor 177/Pdt.G/2013/Pn.Mlg diterapkan apabila aktivis lingkungan hidup sebelumnya telah mengajukan gugatan terkait masalah lingkungan hidup, seharusnya Anti-SLAPP merupakan perlindungan untuk warga negara atas haknya untuk berpartisipasi terkait permasalah publik tanpa intimidasi dari pihak lain, seperti di Amerika Serikat dan Australia.


Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) is a civil or criminal lawsuit brought by powerful subjects, such as corporations, public officials, prominent business person with the intention to stop and thwart public participation by individuals or non-government organizations, one of SLAPP suit target is an environmental activists. Indonesia laws regulate the application of Anti-SLAPP under Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management, but the implementation of Anti-SLAPP in Indonesia is still not in accordance with the norms of Anti-SLAPP which resulted in the SLAPP case against environmental activists still occurring. This research is a juridical-normative legal research. The results of this study indicate that the application of Anti-SLAPP in Indonesia based on analysis of Decision Number 177 / Pdt.G / 2013 / Pn.Mlg applied when environmental activists filed a prior lawsuit related to environmental issues, Anti-SLAPP ought to be a protection for citizens for their rights to participate in public matter without intimidation from other, as well as in the United States of America and Australia.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ukhti Dyandra Sofianti
"Dalam menghadapi Pandemi COVID-19, Pemerintah memberikan relaksasi kemudahan bagi para pelaku usaha agar perekonomian dapat berjalan dan mencegah krisis sistem keuangan. Pengecualian Prinsip Keterbukaan Informasi di bidang Pasar Modal merupakan salah satu relaksasi yang diatur dalam POJK No.37/POJK.04/2020, untuk memperbolehkan Emiten atau Perusahaan Publik Tertentu untuk tidak melakukan keterbukaan informasi. Namun, kebijakan ini dianggap menyalahkan prinsip keterbukaan informasi yang selama ini dikenal di bidang Pasar Modal dan melahirkan permasalahan hukum yaitu sensitivitas informasi dan perlindungan investor. Kebijakan ini juga dikenal di negara Amerika Serikat dan Australia, yang dinilai lebih memberikan perlindungan hukum kepada investor. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas dan menganalisis perbandingan pengaturan pengecualian prinsip keterbukaan informasi yang diatur di negara Amerika Serikat dan Australia, yang dapat memberikan rekomendasi untuk perbaikan peraturan di Indonesia. Bentuk penelitian dari skripsi ini adalah yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif yang didukung oleh studi bahan pustaka dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Berdasarkan perbandingan dengan Amerika Serikat dan Australia, dapat disimpulkan bahwa pengaturan Pengecualian Prinsip Keterbukaan Informasi di Indonesia belum melindungi pemegang saham dan memberikan kepastian hukum bagi Emiten. Selain itu, POJK No.37/POJK.04/2020 juga bertentangan dengan UU Pasar Modal yang merupakan peraturan inti pasar modal Indonesia. Oleh karena itu, disarankan perbaikan dan perubahan pengaturan pengecualian prinsip keterbukaan informasi pasar modal di Indonesia yang lebih komprehensif, jelas dan menyeluruh.

The government provides relaxation policies for businesses to prevent financial system crises due to the Pandemic. The exclusion of the information disclosure principle in the capital market is one of the relaxations regulated in POJK No.37/POJK.04/2020, to allow Listed Companies not to disclose all the information about the company. However, the policy is considered to blame the information disclosure principle that has been known in the Capital Markets. The policy also gives legal problems, such as information sensitivity and investor protection. This policy is also known in the United States of America and Australia, which provides more legal protection to investors. Therefore, this thesis will discuss and analyze the comparison of regulations convened by the United States and Australia, which can provide Indonesia's regulatory improvement. The research form of this thesis is juridical-normative with a descriptive research typology supported by library study materials and interviews as a tool for collecting data. This research found that based on comparisons with the United States and Australia, it concludes that the exception of the information disclosure principle in Indonesia has not protected shareholders and provides legal certainty for issuers. In addition, POJK No.37/POJK.04/2020 is also contrary to the Indonesia Capital Market Law, the core regulation of Indonesia's capital market. Therefore, it is recommended that improvements and changes in the arrangement of exclusion arrangements for the information disclosure principle of capital market in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Kusuma Pertiwi
"Deadlock di Indonesia dapat terjadi dalam hal adanya perimbangan saham dimana Perseroan memiliki 2 (dua) pemegang saham dengan komposisi 50% masing-masing. Dimana hal ini mengakibatkan pengambilan keputusan dalam RUPS tidak menghasilkan kata sepakat. Penyelesaian deadlock di Indonesia diatur dalam Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT yang menyebutkan bahwa dalam hal perimbangan saham menyebabkan RUPS tidak dapat menghasilkan keputusan yang sah, maka dapat dimohonkan pembubaran Perseroan. Apabila dilihat di negara lain yaitu di Amerika Serikat, Australia, Jerman, dan Belanda, penyelesaian dengan pembubaran merupakan penyelesaian yang drastis dan merupakan penyelesaian terakhir atau ultimate last resort karena menimbulkan dampak kepada pihak yang bekepentingan. Sehingga dalam negara-negara tersebut memiliki penyelesaian alternatif lain yaitu buyout, purchase of shares, withdrawal, expulsion, custodian, provisional director, dan penyelesaian dengan inquiry proceeding. Di Indonesia, ditemukan 11 (sebelas) permohonan pembubaran sebagaimana diatur dalam pasal tersebut. Ditemukan bahwa pelaksanaan permohonan tersebut masih terdapat kekurangan dan ketidaksesuaian sehingga menyebabkan inkonsistensi dalam penerimaan maupun penolakan oleh hakim. Seharusnya, Indonesia mengembangkan alternatif penyelesaian deadlock dalam UU PT. Indonesia dapat mengadopsi alternatif penyelesaian di negara lain. Dalam UU PT mengenai deadlock hanya tersirat diatur sehingga masih terlalu sempit dan tidak komprehensif. Selain itu, tidak ada pengertian yang jelas mengenai deadlock. Oleh karenanya, dibutuhkan pengaturan deadlock tersendiri dalam UU PT untuk melengkapi pengaturan yang telah ada.

Deadlock in Indonesia can occur in the event of a share balance where the Company has 2 (two) shareholders with a composition of 50% each. Where this resulted in the decision making in the GMS did not result in an agreement. The settlement of deadlocks in Indonesia is regulated in Article 146 paragraph (1) letter c of the Limited Liability Company Law which states that if the balance of shares causes the GMS to be unable to produce a valid decision, the dissolution of the Company may be requested. When viewed in other countries, namely in the United States, Australia, Germany, and the Netherlands, the settlement by dissolution is a drastic settlement and is the ultimate last resort because it has an impact on shareholders and third party. So that in these countries there are other alternative settlements, namely buyout, purchase of shares, withdrawal, expulsion, custodian, provisional director, and settlement with inquiry proceeding. In Indonesia, found 11 (eleven) applications for dissolution as regulated in the article. It was found that the implementation of the application still contained shortcomings and inconsistencies, causing inconsistencies in the acceptance and rejection by the judge. Indonesia should have developed an alternative to deadlock resolution in the Law on PT. Indonesia can adopt alternative settlements in other countries. The regulation regarding deadlocks in the Indonesian Limited Liability Company Law, is still too narrow and does not provide a comprehensive solution. In addition, there is no clear understanding of deadlocks. Therefore, a separate deadlock regulation is needed in the Indonesian Limited Liability Company Law to complement the existing arrangements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Subarkah Syafruddin
"Ketergantungan warga negara Indonesia terhadap kartu kredit telah naik secara drastis dalam dekade terakhir ini. Hal ini mungkin menunjukan semakin bertambahnya masyarakat menengah di negara ini, tetapi sayangnya tidak semua pengguna kartu kredit sadar akan kewajiban utamanya untuk pembayaran. Di sisi yang lain, Bank-bank di Indonesia dihadapkan dengan banyaknya kendala untuk menyelesaikan pembayaran kartu kredit. Sehingga, bank-bank tersebut sering menggunakan debt-collector untuk secara efektif mendapatkan pembayaran.
Dalam hukum Indonesia, debt collector memang tidak dilarang. Tetapi, banyak kasus dimana debt collector menggunakan metode yang mengikutsertakan gangguan, penyiksaan, intimidasi, serangan verbal maupun fisik, blackmails dan cara-cara lainnya. Cara-cara ini mungkin efektif dalam mendapatkan pembayaran. Tetapi hal ini diduga keras melanggar hak-hak konsumen terhadap kenyamanan, keselamatan dan keamanan yang dilindungi dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999.
Menyikapi kekhawatiran dari berbagai macam pihak tentang metode-metode yang digunakan oleh debt collector, Bank Indonesia telah memang membuat beberapa peraturan yang mengatur tentang penagihan hutang kartu kredit. Namun, dalam analisis yuridis normatif yang digunakan dalam skripsi ini, peraturan-peraturan ini Penulis rasa tidak cukup untuk melindungi hak-hak konsumen atas kenyamanan, keselamatan dan keamanan.

Indonesian citizens' reliance on credit card has tremendously increased in the last decade. This fact may suggest the growing number of middle-class citizens in this country, but not all credit card users realize their primary obligation to repayment. On the other hand, Indonesian banks are confronted with a myriad of legal obstacles in securing repayment from their customers. Given such obstacles, banks often resort to hire debt collectors to effectively seek for remedy.
Under Indonesian law, debt collectors are indeed not prohibited. However, many debt collectors have used various methods involving "harassment, abuse, intimidation, verbal and physical attacks, constant blackmails and many others" to secure their clients' right to repayment. These methods might be effective to forcefully acquire the repayment, but they substantially violate the credit card users' rights to comfort, safety and security enshrined in Article 4 of Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection.
In response to various stakeholders' concern on the methods used by debt collectors, Bank Indonesia has indeed enacted some regulations governing debt collection practices. The most recent ones are Bank Indonesia Regulation No. 14/2/PBI/2012 and Bank Indonesia Circular Letter No. 14/17/DASP. However, as will be elaborated in this writing that employs legal normative analysis, these newly enacted regulations are slightly insufficient to protect the credit card users' right to comfort, safety and security.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S44157
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Oktaviani
"Perang Dingin muncul sebagai babak baru dalam sejarah perkembangan dunia yang menciptakan dua kekuatan yang saing berhadapan antara blok Barat (Amerika Serikat) dan blok Timur (Uni Soviet), membawa perubahan terhadap kebijaksanaan luar negeri Australia. Sebagai akibat Perang Dingin pada awal dekade tahun 1950-an maka Australia semakin mengikatkan diri dengan pelindungnya yaitu Amerika Serikat dalam rangka memerangi pengaruh komunis di wilayah Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara. Hal itu cukuplah beralasan karena Australia memandang bahwa wilayah tersebut sebagai daerah yang potensial bagi perkembangan komunis sebagai dampak yang ditimbulkan dari Perang Dingin. Selain itu pada tanggal I Oktober 1949 terbentuk negara Republik Rakyat Cina (RRC). Melihat perkembangan itu pemerintah Australia akhirnya melancarkan kebijaksanaan antikomunis dalam poltik luar negeri yang diwujudkan melalui keikutsertaannya dalam Politik Pembendungan (Containment Policy) yang dijalankan oleh Amerika Serikat terhadap perkembangan komunis. Secara garis besar bentuk kebijakan antikomunis Australia diterapkan melalui dua bidang yaitu bidang ekonomi yang berupa pemberian bantuan ekonomi pada negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang diipandang belum memiliki kestabilan ekonomi yang mantap dan dalam bidang militer dengan membentuk pakta pertahanan regional. Untuk melakukan pembendungan komunis dalam bidang militer maka Australia bersama New Zealand yang merupakan negara tetangga terdekatnya dan Amerika Serikat membentuk pakta pertahanan ANZUS pada tanggal 1 September 1951 di San Fransisco sebagai usaha untuk menjamin stabilitas regional di Asia Pasifik. Pakta ini merupakan momentum awal dari keterlepasan Australia dengan ketergantungannya pada Inggris yang mulai beralih ke Amerika Serikat. Selain sebagai usaha untuk membendung komunis, tujuan penting dari ANZUS adalah menjaga wilayah teritorial masing-masing negara anggota dari kemungkinan ancaman luar yang bisa muncul. Dalam pembentukan ANZUS, Australia yang paling memegang peranan penting karena ide awalnya dari Australia yang merasa negaranya membutuhkan dukungan militer yang kuat dan Amerika Serikat dianggap sebagai pelindungnya, hal itu berdasarkan dengan pengalaman pada Perang Pasifik (1941-1945). Pada mulanya Amerika Serikat merasa bahwa tidak perlu untuk membentuk pakta di kawasan Asia Pasifik tetapi karena didesak terus oleh Australia yang merasa bahwa di wilayah tersebut seharusnya juga terdapat pakta pertahanan seperti NATO hingga akhirnya Amerika Serikat menyetujuinya. Adapun reaksi yang mucul setelah pembentukan ANZUS diantaranya berasal dari Partai Buruh sebagai partai oposisi yang menyatakan mendukung dan menyetujuinya sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas keamanan regional. Sementara itu, muncul reaksi keras dari pemerintahan Inggris yang menyatakan tidak setuju karena Inggris merasa khawatir kalau pakta tersebut akan merusak hubungan baik antara Inggris, Australia dan New Zealand. Alasan Inggris dibantah oleh Australia karena keterlibatannya dalam ANZUS semata-mata untuk melindungi keamanan dalam negerinya dan menciptakan stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik dari perkembangan komunis."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S12286
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>