Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54949 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astrid Fauzia
"Astrid Fauzia Kritik sosial dalam Uma no ashi karya Akutagawa Ryunosuke Dengan menggunakan teori mengenai kedudukan sastra dalam masyarakat, tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengungkapkan kritik sosial yang tersembunyi dalam Uma no Ashi, sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Akutagawa Ryunosuke, serta mencari tahu pemicu yang menyebabkan Akutagawa memunculkan kritik tersebut dalam cerita ini. Setelah membaca banyak referensi, penulis menemukan bahwa melalui cerita yang dipublikasikan pada tahun 1925 ini, Akutagawa mengkritik kebijakan sensor yang diberlakukan oleh pemerintah terhadap kesusastraan Jepang, sistem birokrasi, dan system keluarga masyarakat Jepang yang memberikan beban terberat hanya kepada kepala rumah tangga. Kritik sosial tersebut dihadirkan secara tidak langsung melalui fragmen-fragmen cerita yang disampaikan dengan nada satir. Akugawa juga memasukan makna tersembunyi pada nama tokoh-tokohnya serta mengelaborasi lebih lanjut ide dasar pembuatan cerita ini, yakni peribahasa Jepang yang berbunyi bakyaku wo arawasu (terbongkarnya penyamaran atau rahasia kelam yang selama ini ditutupi).

Using the theory about literature position in society, the purposes of this research are to reveal social critics hidden in Uma no Ashi, short story written by Akutagawa Ryunosuke, and find out the trigger why Akutagawa put those citics in this sotry. After read up many references, the writer found out that through this story, which was published in 1925, Akutagawa critisized the censorship enacted by government in Japanese literature, bureaucracy system, and japanese family system which gives the heaviest burden only to the head of family. Those social critics were expressed indirectly through some fragments of the story with satirical way. Moreover, he too put some hidden meanings in names of characters and elaborated the basic idea of this story; Japanese phrase called bakyaku wo arawasu (to reveal one's true nature).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S13485
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Sarasworo
"Imogayu karya Akutagawa Ryunosuke pertama kali dimuat dalam Shinshosetsu terbitan bulan September tahun 5 Taisho (1916). Bahan ceritanya diambil dari cerita yang terdapat dalam Konjaku Monogatari volume 26 bab 17. Imogayu mengisahkan seorang samurai kelas kelima (Goi) yang mempunyai keinginan yang sangat besar untuk dapat makan imogayu. Imogayu atau bubur ubi rambat adalah makanan lezat yang pada masa itu dianggap sebagai makanan mewah. Pekerja rendahan seperti Goi hanya bisa menikmatinya sekali setahun pada saat pesta Tahun Baru di kediaman Fujiwara. Karena itu, wajar saja jika keinginannya itu telah terpendam selama bertahun-tahun. Akhirnya, keinginannya itu dapat terwujud berkat usaha dan kebaikan hati Fujiwara Toshihito, seorang samurai yang berasal dari kelas atas. Tetapi setelah di hadapannya terhidang berliter-liter imogayu, Goi malah merasa cemas dan ragu-ragu untuk menyantapnya. Skripsi ini menganalisis tokoh utama dan tokoh bawahan dalam Imogayu. Apakah tokoh itu termasuk tokoh pipih atau tokoh bulat. Kemudian, dianalisis pula metode yang digunakan oleh Akutagawa dalam penokohan dari segi asal usul, keadaan lahiriah dan watak tokoh-tokohnya. Dalam penokohan dikenal metode analitik, yaitu metode yang men-ceritakan secara langsung tentang si tokoh, dan metode dramatik, yang menjelaskan tokoh itu melalui cakapan dan lakuannya. Tokoh Goi tidak menunjukkan perubahan yang mencolok dari sikap dan sifatnya, maka ia adalah tokoh pipih. Sedangkan, tokoh Fujiwara Toshihito memperlihatkan perkembangan lakuan yang cukup mencolok, sehingga ia termasuk tokoh bulat. Penokohan dalam Imogayu dilakukan dengan menggunakan metode analitik dan metode dramatik. metode analitik digunakan untuk menjelaskan asal usul dan keadaan lahiriah tokoh Goi dan Fujiwara Toshihito. Metode dramatik digunakan untuk menjelaskan watak Fujiwara Toshihito. Sedangkan watak Goi dijelaskan dengan menggunakan metode analitik dan metode dramatik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13704
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rum
"Pokok yang dipilih untuk penulisan skripsi ini sa_ngat terbatas, yakni satu karya Akutagawa Ryunosuke (selanjutnya disebut Akutagawa saja), yaitu Hana (Hidung) - sebuah novel pendek yang dihasilkan Akutagawa pada awal karirnya di dalam dunia kesusastraan. Hana ditulis Akutagawa pada tahun 1916, dimuat di dalam majalah Shin shicho (15 Pebruari 1916, periode IV, nomor perdana), kemudian dimuat lagi di dalam majalah Shinsosetsu, 5 Mei 1916. Hana merupakan basil saduran Akutagawa yang berasal dari cerita rakyat pada jaman Heian (797-1190) yang didapat Akutagawa di dalam kumpulan cerita rakyat Konjaku Monogatari dan Ujishui Monogatari_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1982
S13728
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail Indriana M.
"Makna idiom tidak dapat dipahami dari makna unsur-unsur pembentuknya. Menerjemahkan idiom merupakan suatu hal yang sulit dilakukan karena setiap idiom bersifat khas bahasa dan khas budaya. Setiap bahasa menggunakan idiom yang berbeda untuk menyatakan makna yang lama. Penelitian ini mengkaji masalah dalam penerjemahan idiom bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia, dengan menganalisis tiga cerita pendek karya Akutagawa Ryunosuke (1915/1997) berjudul Rashomon, Hana, dan Yabu no Naka beserta terjemahannya karya Bambang Wibawarta (2004) dalam buku berjudul Akutagawa Ryunosuke: Terjemahan dan Pembahasan "Rashomon ", "Yabu no Naka" dan "Hana". Dari tiga cerita pendek ini ditemukan 50 idiom, yang semuanya memiliki acuan manusia.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan ancangan kualitatif; yang secara deskriptif menganalisis masalah penerjemahan idiom bahasa Jepang (BSu) ke dalam bahasa Indonesia (BSa) yang terdapat dalam tiga cerita pendek tersebut di atas. Tahapan analisis penelitian ini dimulai dari penentuan idiom bahasa Jepang dengan memperhatikan kontinuum, kenonkomposisionalan dan kenonproduktifan, serta diperkuat dengan keberadaannya di dalam kamus idiom bahasa Jepang. Setelah itu, idiom-idiom tersebut beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia dicatat dalam kartu data. Kemudian data tersebut dikategorisasikan menurut cara penerjemahannya dan dianalisis dari segi kesepadanan pesan. Tahap terakhir adalah analisis prosedur penerjemahan idiom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 idiom BSu yang ditemukan, 2 diterjemahkan menjadi idiom BSa, 39 diterjemahkan menjadi non idiom atau dengan cara parafrasa, dan 9 tidak diterjemahkan (omission). Dan segi kesepadanan pesan, sebagian besar, 43 idiom mendapat terjemahan yang sepadan. Sementara itu 7 idiom tidak mendapat terjemahan yang sepadan. Dari 7 idiom ini, 2 memiliki makna literal dan idiomatik, yang diterjemahkan secara literal sehingga pesan tidak sepadan, sementara 5 tidak diterjemahkan atau tidak dialihkan. Hal ini tidak mengganggu jalan cerita secara keseluruhan, namun dirasakan kurang lengkap karena pesan yang terkandung dalam idiom BSu tidak tersampaikan dalam BSa. Penerjemah tampaknya lebih mementingkan isi cerita daripada detil ungkapan-ungkapan dalam BSu, dalam hal ini idiom. Prosedur penerjemahan yang ditemukan meliputi transposisi dan modulasi, yang menghasilkan geseran bentuk dan makna. Geseran bentuk yang ditemukan adalah geseran tataran yaitu geseran dari gramatikal ke leksikal, dan geseran kategori yang meliputi geseran struktur, unit, kelas kata, dan intrasistem. Geseran tataran terjadi disebabkan oleh sistem bahasa Jepang dan Indonesia yang berbeda. Verba atau adjektiva bahasa Jepang memiliki akhiran yang mempunyai makna gramatikal dan dapat berkonjugasi menjadi berbagai bentuk seperti bentuk negatif lampau, progresif lampau. Sementara itu modulasi yang ditemukan meliputi geseran sudut pandang, cakupan makna, serta modulasi bebas yang bertujuan untuk memperjelas makna. Diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi penelitian penerjemahan bahasa Jepang ke bahasa Indonesia, khususnya penerjemahan idiom.

The meaning of an idiom cannot be understood from the meaning of its constituents. Translating idiom is not an easy thing to do because every idiom is language-specific and culture-specific. Every language may use different idioms to convey the same meaning. This research analyzes problems found in translating Japanese idioms into Indonesian. The data are taken from three short stories written by Akutagawa Ryunosulce (191511997) which are Rashomon, Hana, and Yabu no Naka, and their translation written by Bambang Wibawarta (2004), in his book Akutagawa Ryunosuke: Terjemahan dan Pembahasan "Rashomon ", "Yabu no Naka" dan "Hana ". This research found 50 idioms which all refer to human.
This research is a case study using qualitative approach, which analyzes problems in translating Japanese idioms (SL) into Indonesian (TL). The analysis starts with deciding the idioms by testing them from their characteristics, which are continuum, non-compositional and non-productive, and consult their meaning with Japanese idiom dictionary. All the idioms and the translation in Indonesian are recorded on the data card, and are categorized by their ways of translating. After that they are further analyzed to assess their equivalence. Finally, the data are analyzed from their translation procedure. The result shows that from 50 SL idioms, 2 idioms are translated into TL idioms, 39 idioms translated by paraphrasing, and 9 idioms translated by omission. Most of them, 43 idioms, are proven to have good equivalence, while 7 idioms are not. From the 7 idioms proven not to have equivalence, 2 idioms are translated literally, the rest are translated by omission. The 5 idioms, which are translated by omission, fail to transfer the message. However, they do not interfere the flow of the story. The translation procedures found consist of transposition and modulation. The transposition results in level shift, that is from grammatical to lexical level, and category shift which consist of structure, unit, class and intra-system shift. Meanwhile, the modulation results in semantic field shift and free modulation, which aimed to enhance the meaning. Hopefully, this research might be useful for anyone who is interested in Japanese translation study, especially Japanese idiom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfi Mufida
"Akutagawa Ryunosuke adalah pengarang yang mewakili pengarang-pengarang pada zaman Taisho. Sebagian besar karangan-karangannya bersumber dari kesusastraan kuno seperti Konjaku Monogatari dan Ujishui Monogatari. Menjelang saat-saat terakhir hidupnya, karangan_karangannya cenderung berubah. Kalau sebelumnya karangan_karangannya berisi kritikan terhadap kehidupan manusia, karangan-karangan terakhirnya banyak menceritakan keadaan dirinya, misalnya Yabu no Naka, Kappa dan Haguruma. Dalam novel Haguruma, dari awal hingga akhir cerita, Akutagawa menceritakan dengan jelas penderitaan, keadaan hatinya dan ketakutan yang dialaminya. Selama hidupnya ia selalu dihantui perasaan takut kalau-kalau suatu saat nanti ia juga menjadi gila seperti ibunya. Tragedi yang menimpa ia dan keluarganya sangat berpengaruh pada jiwanya terutama kematian suami kakak perempuannya yang mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri dan kematian ibunya yang disebabkan oleh gangguan jiwa yang diderita. Semua masalah itu berbaur dalam jiwanya bingga ia menderita penyakit migran yang disebabkan oleh faktor kejiwaan. Jadi dapatlah disimpulkan, bahwa novel Haguruma merupakan kisah pribadi Akutagawa sendiri yang mengalami masalah kejiwaan yang kompleks, dan ia sudah tidak sanggup lagi mengatasinya. Untuk mengakhiri semua itu, akhirnya Akutagawa memilih untuk bunuh diri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S13588
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenarjati Djajanegara
"A number of literary works may be classified as social criticism, raising issue that are fell to disturb or oven threaten deeply rooted values. Some of the writing have received positive response, mainly from contemporary authorities, as concrete actions have been taken to address. In the history of American literature Nathaniel Hawthorne's The Scarlet Letter may be the earliest novel lo criticize a fanatically religious society. Published In 1850, the work tells of an illicit relationship between a priest and a married woman, amid a society that radically follows pious norms. Though this society lived some 1 50 years before his time, Hawthorne must have felt the relevance the story bore in his days. In fact, even today radicalism can hardly be tolerated. Other novels discussed in this treatise are those that have significant impact on people, including the authorities, inducing them lo lake remedial actions or at least lo question their disposition hitherto. Harriet Beecher Stowe's Uncle Tom's Cabin (1853), for example, sparked the Civil War The Jungle [1910} by Upton Sinclair caused the government to issue the Food and Drug Act. Some thirty years later John Steinbeck published his phenomenal The Grapes of Wrath, describing victims of the Great Depression and inducing President Roosevelt to instruct banks to provide soft loans to farmers badly stricken by the crisis, In 1 949 Richard Wright wrote Native Son, raising the racial discrimination issue, a social problem which persists till today This writing concludes with the novel The Color Purple (1963) in which feminist writer Alice Walker very aptly deals with the gender issue."
2005
JSAM-X-1-JanJun2005-14
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wibawarta
Jakarta: Kalang, 2004
895.64 BAM a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Amalia
"Kesa to Moritoo adalah salah satu karya Akutagawa Ryuunosuke. Cerita ini terdiri dari dua buah monolog dari dua orang tokoh utama bernama Kesa dan Moritoo. Di dalam monolognya, mereka menceritakan sebuah peristiwa yang sama dan apa yang mereka rasakan mengenai peristiwa itu. Di dalam hal ini mereka memiliki dua pandangan berbeda dan emosi yang berbeda di dalam mengingat kembali peristiwa tersebut. Alur dapat diartikan sebagai konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami pelaku. Bisa dibilang bahwa dengan teori ini, bukan penulislah yang menentukan alur dari ceritanya, melainkan para pembacanya, Skripsi ini meneliti tentang dua buah alur yang ada di dalam Kesa to Moritoo. Jenis alur, persamaan, dan perbedaan yang terdapat di dalamnya. Metode deskriptif analisis dengan pendekatan intrinsik digunakan di dalam skripsi ini untuk menganalisis cerita ini. Teknik penelitiannya adalah dengan membaca karya tersebut berulang-ulang, menterjemahkan, dan kemudian baru menentukan di bagian mana sebuah alur dimulai. Cerita ini memiliki struktur alur yang sama. Masing-masing monolog memiliki lima tahapan alur yaitu eksposisi, komplikasi dan konflik, klimaks, relevasi, dan selesaian. Alur mereka sama-sama merupakan alur sorotbalik (flash back). Monolog mereka juga sama-sama diawali dan diakhiri dengan narasi. Namun jenis selesaian yang dimiliki masing-masing alur berbeda. Monolog Moritoo memiliki selesai yang bersifat terbuka (solution) sedangkan monolog Kesa memiliki selesai yang bersifat menyedihkan (catastrophe). Kedua monolog ini saling melengkapi satu sama lain. Pembaca cerita Kesa to Moritoo akan dapat meramal kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya setelah bagian terakhir dari monolog Kesa selesai mereka Baca walaupun Akutagawa tidak menuliskannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Akutagawa Ryuunosuke adalah salah satu dari sekian banyak pengarang Jepang yang berhasil. Rashomon, Nana dan Fume no Ito adalah tiga dari sekian banyak karyanya. Ketiga karya Akutagawa Ryuunosuke ini mengandung unsur egoisme. Dalam Rashomon dikisahkan seorang genin yang harus memilih antara tetap hidup tetapi berbuat jahat ataukah mati. Keputusan genin, akhirnya sangat dipengaruhi oleh ucapan tokoh lain yaitu seorang nenek. Tentu saja pengambilan keputusan tersebut dipengaruhi kadar egoisme yang terdapat dalam diri genin. Dalam Rana dikisahkan bagaimana seorang pendeta yang masih mempunyai egoisme, padahal seharusnya memikirkan penyampaian ajaran agama. Di sini Akutagawa menyatakan bahhwa di dalam diri manusia ada perasaan yang saling berlawanan. Di satu pihak tidak akan tega melihat kesu_litan orang lain tetapi di pihak lain juga tidak suka melihat orang yang kesulitan itu terlepas dari lilitan_nya. Dalam kumo no Ito dikisahkan seorang penjahat besar bernama Kandata yang ditolong benang Laba-laba untuk keluar dari neraka. Namun karena Keegoisannya is jatuh kembali ke neraka. Melalui kisah ini, Akutagawa Ryuuno_suke menyampaikan bahwa egoisme bukan saja akan merugikan orang lain, tetapi juga dapat merugikan diri sendiri."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13489
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mugiyanti
"Akutagawa Ryuunosuke adalah seorang sastrawan Jepang terkenal hidup pada tahun 1889 sampai tahun 1927. Ia dila_hirkan pada tahun 1889 di Tokyo dan lulus dari Universitas Kerajaan Tokyo pada tahun 1916. Ia meninggal dunia karena bunuh diri dengan minum obat tidur secara over dosis. Meskipun ia hidup dalam waktu singkat, tetapi ia banyak meninggalkan karya-karya bermutu, yang sebagian be_sar berupa cerita pendek. Karyanya banyak yang telah di_terjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, bahkan ada juga yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, misal_nya Hana (Hidung), Kappa (Kappa), dan Rashomon (Rashomon). Yang dapat dikatakan mewakili karya-karyanya antara lain: Rashomon, Hana, Imogayu, Kumo no Ito, dan Yabu no Naka. Novel Hana dan Imagayu mendapat pujian dari Natsume Soseki, yaitu salah seorang guru Akutagawa. Dari karya Akutagawa bahkan ada yang telah difilmkan oleh sutradara Jepang terkenal yang bernama Kurosawa Aki_ra, dengan.judul Rashomon, dan mendapat penghargaan (grand prize) pada Festival Film ke-15 di Venice, Italia pada tahun 1951. Film Rashomon merupakan karya paduan dari novel yang berjudul Rashomon dan Yabu no Naka. Dalam film Ra_shomon, Kurosawa mengambil Yabu no Naka untuk dijadikan alur cerita, yaitu mengenai konflik-konflik yang ditimbul_kan sehubungan dengan adanya peristiwa kematian seseorang. Sedangkan dari karya Akutagawa yang berjudul Rashomon, di_ambil judulnya, suasana dan latar belakang, dan karakter orang-orang yang membicarakan kejadian pembunuhan dan yang mempermasalahkan antara kebenaran dan kesalahan serta ke_wajiban-kewajibannya. Dalam skripsi ini, penulis akan membahas karya Akuta_gawa yang berjudul Yabu no Naka (Di Dalam Semak). Karya ini disadur dari Konjaku Monagatari, sebuah cerita rakyat pada zaman Heian (794-1192) dan dimuat dalam majalah Shin_shico edisi Januari 1922. Yabu no Naka yang terdapat di Konjaku Monogatari ber_kisah mengenai sepasang suami istri yang sedang melakukan perjalanan. Di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang pemuda yang membawa pedang bagus, sehingga si suami tadi berkeinginan untuk menukarkan busur dan panah miliknya dengan pedang itu. Akan tetapi setelah penukaran terjadi, sewaktu mereka masuk ke dalam semak, tiba-tiba pemuda itu membentangkan anak panah dan siap membidikkannya ke arah suami istri itu. Suami itu benar-benar terkejut, dan tidak dapat berbuat apa-apa. Lalu pemuda itu mengikat suami itu di akar pohon, dan memperkosa istrinya. Setelah adanya peristiwa itu, si istri tidak mempercayai suaminya lagi kare_na si suami tidak dapat dijadikan tempat berlindung. Si istri minta dikembalikan ke kampung halamannya di Tanba no Kuni. Sampai akhir cerita, tidak diketahui pemuda itu sia_pa. Yabu no Naka, versi Akutagawa merupakan rekaan baru, yang didalamnya diikutkan berbagai tokoh yang memberikan kesaksian sehubungan dengan adanya suatu peristiwa di da_lam semak, yaitu diketemukannya mayat seorang samurai. Ide penulisan ini dicetuskan oleh Akutagawa sewaktu ia berada dalam kondisi puncaknya, pada saat ia mengalami kegun_cangan jiwa. Ia mencoba mengeluarkan Yabu no Naka versi baru yang temanya pun telah diperbaharui. Di dalam Yabu no Naka ini, pengarang tampaknya mencoba mencari apakah kebe_naran obyektif itu ada atau tidak. Di dalam Yabu no Naka karya Akutagawa, dikisahkan mengenai kesaksian 7 orang di pengadilan sehubungan dengan diketemukannya mayat seorang samurai di dalam semak. Ke-7 orang itu adalah: 1. Si penebang pohon, orang yang menemu_kan mayat di dalam semak. 2. Pendeta Budha, orang yang bertemu dengan pasangan suami istri yang pada keesokan harinya diketemukan mayat si suami itu di dalam semak. 3. Seorang prajurit polisi, yaitu orang yang menangkap Tajo_maru seorang penjahat yang dituduh telah membunuh si samurai. 4. Seorang perempuan tua, sebagai ibu mertua si samu_rai. 5. Tajomaru, si penjahat yang mengaku bahwa dialah orang yang membunuh si samurai. 6. Orang yang datang ke kuil Kiyomizudera (Masago), sebagai istri si samurai, yang .juga telah mengaku membunuh suaminya sendiri. 7. Kesaksian si samurai yang telah meninggal melalui mulut seorang du_kun (kesaksian Takehiro). Dia bersaksi bahwa dia bunuh diri. Dari kesaksian 7 orang, dalam bahasan skripsi ini penulis akan berpusat pada 3 orang kesaksian saja yaitu, kesaksian Tojomaru, kesaksian Masago, dan kesaksian Ta_kehiro melalui mulut seorang dukun, karena mereka merupa_kan tokoh yang penulis anggap penting dalam kaitannya dengan pokok bahasan Yabu no Naka. Setelah membaca beberapa karya Akutagawa, penulis merasa tertarik dengan salah satu hasil karyanya yang ber_judul Yabu no Naka. Karena karya ini isi ceritanya menarik untuk dijadikan pokok bahasan skripsi ini. Yabu no Naka mirip dengan cerita detektif, akan tetapi berbeda dengan cerita detektif biasa. Pada cerita detektif biasanya si tersangka akan berusaha sekuat tenaga untuk menyangkal segala tuduhan terhadapnya, tetapi di akhir cerita si pelaku akan mengakui tuduhan-tuduhan itu dan akan diketa_huilah pelaku yang sebenarnya dikarenakan adanya bukti kuat beserta kesaksian orang lain. Akan tetapi hal ini tidak akan ditemui dalam novel Yabu no Naka. Di dalam semak diketemukan mayat si samurai dengan 1 tusukan di dadanya. Di dalam pengadilan ada 2 orang yang mengakui bahwa dialah yang membunuh si samurai itu. Sedangkan si samurai sendiri melalui mulut seorang dukun bersaksi bahwa dia bunuh diri. Sampai akhir cerita kita tidak tahu siapa penyebab kematian samurai itu. Nam-paknya Akutagawa pun tidak mempermasalahkan apa yang menja_di penyebab kematiannya, dibunuh ataukah bunuh diri. Jadi menurut penulis disinilah letak menariknya isi cerita Yabu no Naka dalam hal pencarian kebenaran obyektif."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S13732
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>