Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53757 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amanda Corry Hadi
"Skripsi ini membahas mitos bidadari yang terdapat dalam Kakawin Arjunawiwaha. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mitos bidadari dalam cerita dan fungsinya sebagai mitos. Teori mitos adalah teori yang digunakan dalam menganalisis mitos bidadari dalam Kakawin Arjunawiwaha dan dengan teori mitos tersebut, fungsi dari mitos bidadari akan didapatkan. Penelitian ini menggunakan metode analisis-deskriptif dan kepustakaan. Dari hasil penelitian ini dapat dirumuskan bahwa bidadari memiliki peranan penting dalam cerita dan ada lima fungsi mitos bidadri dalam Kakawin Arjunawiwaha."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S11726
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Lontar ini berisi teks Arjunawiwaha Kakawin, dimulai dengan pertapaan Arjuna di gunung Indrakila, memohon anugrah para dewa untuk membantu kakaknya (Yudistira) dalam memimpin roda pemerintahan di Astina. Kegagalan para bidadari yang dengan segala rayuan menggoda diri Arjuna, menjadikan para dewa semakin yakin akan kemampuan Arjuna yang akan dimintai bantuan dalam memerangi Niwata Kawaca, yang selalu mengganggu Sorga. Mendengar berita tersebut, dengan segera Niwata Kawaca mengutus Momo Simuka (patih andalannya) untuk mengamati sekaligus menggempur tapa Arjuna. Sementara itu, Dewa Siwa pun secara diam-diam menuju gunung Indrakila untuk menguji kemantapan tapa Arjuna. Beliau menyamar menjadi seorang pemburu. Dengan kekuatan yang maksimal, Momo Simuka dalam wujud babi besar mulai mengguncang-guncangkan gunung Indrakila. Arjuna terperanjat seraya mementangkan panahnya ke arah babi tersebut dan tepat mengenai sasaran, yang bersamaan dengan anak panah Dewa Siwa. Kedua anak panah tersebut menyatu, sehingga menimbulkan pertengkaran antara Arjuna dengan Dewa Siwa dalam wujud pemburu. Pertengkaran berakhir, saat Dewa Siwa menampakkan wujud yang sebenarnya yang tengah duduk di atas bunga teratai. Arjuna bersembah sujud, kemudian dianugrahi panah sakti penuh kramat yang bernama panah Pasupati. Akhirnya dengan panah sakti anugrah Dewa Siwa inilah, Arjuna dapat membunuh Niwata Kawaca lewat peperangan sengit dan dahsyat, sehingga Sorga aman kembali. Teks berakhir dengan upacara perkawinan Arjuna dengan bidadari Supraba dengan penuh meriah dan kebahagiaan. Teks Ajunawiwaha ini disertai arti dalam bahasa Bali, isinya sama dengan FSUI/CP.3 (Arjunawiwaha Parikan), hanya dibedakan dalam hal bentuk dan penggunaan bahasanya. Arjunawiwaha Parikan merupakan saduran dari versi kakawin yang diungkapkan dalam bentuk sekar alit atau macapat berbahasa Bali. Sedangkan Arjunawiwaha Kakawin, diungkapkan dengan sekar ageng atau tembang kawi. Suatu catatan tambahan bahwa dalam teks ini disertai titik-titik berbentuk garis lengkung untuk memudahkan pemenggalan kata-kata dalam membaca teks kakawin yang disesuaikan dengan guru basa. Pada h.l28b disebutkan bahwa naskah ini diturun oleh Wayahan Buruan Kahyun (nama samaran), hari Selasa Paing, Julung Pujut, Sasih Asada, 1813 Saka (1891). Naskah ini semula merupakan milik I Gusti Ketut Jlantik di Pagutan Kanginan Gianyar, yang pernah disalin untuk dihaturkan kepada Raja Sasak sebagai oleh-oleh. Terdapat catatan tambahan lagi pada h.la yang menyebutkan Arjunawiwaha Marti, I. G. Jlantik, magang bestir Sasak, 1896. Pada saat I G. Pt. Jlantik bertugas di Sasak, beliau pernah menyuruh seorang juru tulis Wayahan Buruan Kahyun (nama samaran), untuk menyalin Kakawin Arjunawiwaha milik I G. Kt. Jlantik di Pagutan Kanginan Gianyar, sebagai oleh-oleh kepada Raja Sasak, tahun 1813 Saka (1896). Pada tahun 1896 naskah ini menjadi milik Ida I G. Pt. Jlantik, di Singaraja Bali. Informasi mengenai daftar pupuh/metrum dapat dilihat dalam Zoetmulder 1985; dalam I. Kuntara Wiryamartana 1990; dan lihat Kakawin Arjunawiwaha, bentuk cetakan (teks dan terjemahan dalam bahasa Bali, yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Dasar, Propinsi Daerah Tingkat I Bali, tahun 1988). Untuk teks-teks lain dengan judul Arjunawiwaha Kakawin, lihat pada Pigeaud 1970: 176; MSB/L.45-47, 67, 206; Brandes I: 130-146; SMP/MN.379.2, MN.473.1; Kirtya 1092."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.4-LT 229
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
H.R. Junizar
"Cerita Arjunawiwaha yang diangkat dari kakawin Ariunawiwaha dipahatkan sebagai relief pada beberapa bangunan kepurbakalaan di Jawa Timur, yaitu (secara kronologis) Gua Selamangleng (Tulungagung), Candi Jago (Malang), Gua Pasir (Tulungagung), Candi Surawana (Kediri), Candi Kedaton (Probolinggo), dan Candi Kendalisada (Gunung Penanggungan). Bangunan kepurbakalaan yang memahatkan cerita paling lengkap adalah Candi Jago. Identifikasi relief cerita Ariunawiwaha berdasarkan kakawin Arjunawiwaha pada candi tersebut dilakukan oleh J.L.A. Brandes. Kelengkapan cerita yang ditampilkan relief di Candi Jago dan hasil identifikasi Brandes merupakan dasar dilakukannya kajian dalam skripsi ini, yaitu berupaya mengungkapkan dan mengenali secara khusus tokoh-tokoh dalam relief cerita Ariunawiwaha di Candi Jago, sekaligus mengenali persamaan dan perbedaannya dengan kakawin. Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam relief tetapi tidak digambarkan, atau digambarkan secara berbeda, dalam kakawin dibandingkan dengan tokoh-tokoh dalam relief cerita Arjunawiwaha pada bangunan-bangunan kepurbakalaan lain di Jawa Timur, yang sezaman dengan Candi Jago. Termasuk di dalamnya adalah bangunan-bangunan kepurbakalaan yang telah disebutkan terdahulu, kecuali Gua Selamangleng. Hal-hal yang dibandingkan adalah benda-benda yang terdapat pada tubuh tokoh dan sikap tubuh tokoh. Persamaan dan perbedaan yang tampak kemudian rupanya berkenaan dengan kreativitas seniman pemahat dan lingkungan tempat asalnya, yaitu dari kalangan istana atau desa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S11788
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hamidi
"BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkenalan saya dengan nama Abdulkadir Jailani bukan suatu hal yang baru, melainkan suatu pertemuan yang sudah lama berlangsung. Sejak kecil saya telah mengenal nama tokoh ini dengan akrab. Setiap habis panen kakek saya selalu menyelenggarakan pembacaan riwayat hidup Abdulkadir Jailani yang kami sebut nadar. Peristiwa seperti ini dapat berulang lagi sebelum panen musim mendatang, jika ada peristiwa luar biasa seperti, sembuh dari sakit keras atau ada anggota keluarga yang terlepas dari musibah yang besar. Demikian juga tatkala salah seorang saudara saya ada yang menikah, sunatan anak laki-laki, atau memperingati tujuh bulan kandungan anak pertama, maka pembacaan riwayat hidup Abdulkadir Jailani kembali digelar.
Penyelenggaraan nadar ini sangat disukai anak-anak karena pada peristiwa ini biasanya banyak makanan yang enak-enak. Untuk nadar biasanya nenek saya menghidangkan makanan yang lebih banyak dan lebih khusus dari makanan yang dihidangkan dalam acara tahlilan biasa. Kesukaan lain pada acara ini adalah berkumpul bersanta teman dan tetangga dalam suasana yang menyenangkan. Sebelum acara dimulai, anak-anak dapat bergurau dengan leluasa asal saja suara kami tidak melebihi suara orang tua-tua yang juga sedang berbincang-bincang. Gurauan kami ini akan terhenti seketika, kalau acara akan dimulai.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya setelah penataran Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian UI pada tahun 1987, timbul pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tidak terpikirkan. Mengapa nadar kali itu begitu mengakar pada masyarakat kami dengan latar belakang penyelenggaraan yang berlainan, tetapi dengan satu tata cara yang sama? Pertanyaan ini muncul karena tradisi pembacaan riwayat hidup ini bukan hanya dilaksanakan oleh tetangga-tetangga satu kampung, melainkan juga dilakukan oleh tetangga-tetangga di luar kampung kami. Pertanyaan lain yang muncul mengikuti pertanyaan pertama adalah tentang tokoh utamanya. Mengapa riwayat hidup yang dibaca itu riwayat hidup Abdulkadir Jailani dan bukan riwayat hidup Nabi Muhammad? Bukankah Nabi Muhammad merupakan tokoh ideal yang semua perilaku hidupnya harus dicentoh oleh setiap muslim?
Sebelum kedua pertanyaan ini menemukan jawaban yang tepat, tiba-tiba muncul jawaban yang lain dari Imran AM lewat bukunya Kitab Manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah Islam (1984). Seperti yang sudah tergambar dari judulnya, buku ini berisi sorotan pengarang atas kitab yang selama ini selalu dibaca di kampung saya. Secara garis besar buku ini terbagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama, membahas istilah manakiban, wali, karamah, nazar, tawasul, tabaruk, hakikat, dan syariat. Istilah-istilah ini dibahas satu persatu mulai dari pengertiannya sampai dengan penentuan hukumnya sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, dia mengartikan manakib sebagai riwayat hidup yang memiliki hubungan dengan sejarah kehidupan orang-orang besar atau tokoh-tokoh penting (Imran, 1984:3). Hukum membaca manakib menurut Imran dilarang oleh agama, jika pembacaan tersebut mempunyai niat yang berlebih-lebihan, seperti mengharap dagangan cepat laku atau untuk mengusir makhluk halus (1984:6). Bagian kedua berisi koreksi Imran terhadap isi cerita manakib Abdulkadir. Tidak kurang dari 19 bagian cerita yang dibahas serta tiap bagian dikoreksi sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, dia mengoreksi kebiasaan Abdulkadir tidak tidur, tidak makan, dan minum dalam waktu yang lama. Imran mempertanyakan kebenaran kebiasaan Abdulkadir ini. Menurutnya, ajaran seperti ini tidak ada dalam syariat Islam (1984:91). Tentu saja pembahasan seperti ini tidak diharamkan. Artinya orang bisa saja berpendapat tentang sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi, pendapat tersebut bukan satu-satunya pendapat. Pandangan ini hanya?
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hamidi
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003
297.092 MUH m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah saduran dalam bahasa Bali ini bertembang macapat, diambil dari epos Arjunawiwaha, di sini berjudul Arjunawiwaha Parikan. Teks berawal dengan uraian tentang ketekunan tapa sang Arjuna di Gunung Indrakila, untuk memohon anugrah agar dapat membantu kakaknya (Yudistira) dalam memegang tampuk pemerintahan di Astina. Berkali-kali para bidadari merayu Arjuna dengan segala kemesraan, namun tetap tidak berhasil. Bidadari merasa kecewa, tetapi hasrat para dewa di Surga yang akan minta bantuan Arjuna semakin yakin akan kemampuan (Arjuna) untuk bisa mengalahkan Niwata Kawaca yang tengah mengganggu keamanan di Surga. Berita ini didengar oleh Niwata Kawaca. Niwata Kawaca segera menyuruh Patih Momo Simuka untuk menyelidiki serta menggempur tapa Arjuna. Dalam waktu yang sama, Dewa Siwa yang berubah menjadi seorang pemburu telah menuju pertapaan Arjuna untuk menyelidiki secara dekat kemantapan tapa Arjuna. Dengan wujud seekor babi besar Momo Simuka mengguncang-guncang Gunung Indrakila dengan kekuatan maksimal. Melihat kejadian ini, Arjuna segera mementangkan panahnya ke arah babi tersebut. Anak panahnya tepat mengenai sasaran. Saat itu pula, anak panah Dewa Siwa melesat ke arah babi itu, dan kedua panah tersebut menyatu. Akhirnya terjadilah perang mulut antara Arjuna dengan Dewa Siwa, dalam memperebutkan anak panahnya masing-masing. Pada saat itu, secara tiba-tiba Dewa Siwa yang tengah berwujud seorang pemburu, kembali wujud sebagai Dewa Siwa yang sebenarnya yang sedang duduk di atas bunga teratai. Arjuna bersembah sujud dan akhirnya dianugrahi panah sakti yang bernama panah Pasupati. Dilanjutkan dengan tipu muslihat Arjuna yang didampingi Bidadari Supraba dalam menyelidiki letak kesaktian Niwata Kawaca. Setelah rahasia kesaktian Niwata Kawaca diketahui, tidak lama kemudian meletuslah perang sengit antara pihak Surga dengan Niwata Kawaca. Dalam perang sengit yang cukup memakan korban ini, Niwata Kawaca dapat dibunuh oleh Arjuna dengan panah saktinya. Teks berakhir dengan keadaan Surga yang semakin aman, karena musuh sakti telah tiada, dan rakyat yang menjadi korban dapat dihidupkan kembali. Untuk naskah-naskah lain dengan teks Arjunawiwaha Parikan, lihat Kirtya 1264 dan 694. Daftar pupuh: (1) sinom; (2) pangkur; (3) sinom; (4) durma; (5) sinom; (6) durma; (7) sinom; (8) pangkur; (9) sinom; (10) pangkur; (11) sinom; (12) durma."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.3-LT 208
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Saiful Ardi Imam
Jakarta: Republika, 2007
899.221 SAI b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sukesi Adiwimarta
"Poerbatjaraka dalam bukunya Kapustakan Djawi telah membicarakan karya-karya sastra Jawa Kuno berdasarkan urutan kronologisnya, baik yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi (1952:5). Karya-karya sastra itu dibaginya menjadi dua kelompok, yaitu kelompok karya sastra Jawa Kuno tua dan kelompok karya sastra Jawa Kuno muda. Ciri-ciri pengenal kelompok karya sastra Jawa Kuno tua ialah:
1) memuat masa atau tahun penulisannya;
2) menyebut nama raja yang memerintah;
3) gaya bahasa;
4) ceritanya sebagian besar bersumberkan cerita dari India;
5) tidak menggambarkan keadaan di Jawa.
Ciri-ciri pengenal untuk kelompok karya sastra Jawa Kuno muda hampir sama dengan yang tua, hanya perbedaannya ada pada butir 4), yaitu kisahnya bersumberkan karya sastra Jawa Kuno yang lebih tua, dan pada butir 5), yaitu menggambarkan keadaan di Jawa.
Kakawin Parthayajna yang dijadikan sasaran penelitian ini menyimpang dari ciri-ciri tersebut, karena tidak memuat masa atau tahun penulisannya, tidak menyebut nama raja, dan nama pengarangnya juga tidak ditemukan di dalamnya. Meskipun begitu Poerbatjaraka cenderung untuk memasukkannya ke dalam kelompok karya sastra Jawa Kuno muda dari zaman Majapahit pertengahan hingga akhir. Hal ini berdasarkan adanya kemiripan bahasa dan isinya yang mengandung ajaran filsafat (op.cit.:47). Zoetmulder mengemukakan bahwa pada bagian akhir Majapahit karya sastra Jawa Kuno dalam bentuk kakawin pada umumnya ditulis di Bali, hanya ada dua di antaranya yang tidak ditulis di sana, yaitu Kakawin Parthayajna dan Kunjarakarna (1985:462).
Sedyawati dalam bagian disertasinya yang membahas tentang karya sastra Jawa Kuno membedakan adanya dua kelompok karya sastra Jawa Kuno, yaitu karya sastra keraton dan karya sastra luar-keraton. (1985:220-221). Petunjuk untuk menetapkan suatu karya sastra luar-keraton, menurut Sedyawati, ialah tanda-tanda yang berupa (op. cit. :260):
1) penggambaran keadaan lingkungan luar-keraton dengan menunjukkan keakraban si penulis dengan keadaan itu;
2) penulis tidak memuji, menyebut, atau pun menyatakan hubungan tertentu dengan sang raja;
3) penulis menyatakan diri sebagai seorang dari kalangan luar-keraton.
Kakawin Parthayajna, sama sekali tidak menyebutkan nama raja ataupun kerajaan, dan juga tidak memuat nama pengarangnya. Dengan memperhatikan perbedaan sifatnya dengan kakawin kerajaan, serta isinya yang menilikberatkan kepada unsur pendidikan keagamaan, maka sarjana ini membuat dugaan bahwa Kakawin Parthayajna mungkin dihasilkan oleh suatu lembaga keagamaan atau pendidikan agama di luar keraton (op.cit.:263).
Beberapa hal berkenaan dengan sifat dan isi Parthayajna yang menyiratkan asalnya dari luar keraton dikemukakannya antara lain:
- gaya penyajian;
- perbendaharaan kata;
- penekanan pada pendidikan keagamaan; dan
- tidak adanya penyebutan raja.
Di samping itu, menurut Sedyawati, kakawin ini juga memperlihatkan kesesuaian dengan sastra keraton dengan memenuhi segala persyaratan penyusunan sebuah kakawin, yang umumnya dihasilkan oleh kalangan keraton. Dengan demikian, Sedyawati juga menduga bahwa Kakawin Parthayajna dibuat oleh kalangan luar-keraton yang mempunyai hubungan dekat dengan keraton (op.cit.:267).
Kakawin Parthayajna (selanjutnya disingkat KPY dan Parthayajna disingkat PY) menarik perhatian dan minat untuk menelitinya lebih lanjut karena terdapatnya pertautan dalam beberapa bagian ceritanya dengan isi Kakawin Arjunawiwaha.
Arjunawiwaha mengisahkan tentang sang Arjuna dari keluarga Pandawa yang bertapa di Gunung Indrakila dan setelah menerima panah sakti dari dewa berhasil membunuh Niwatakawaca, raja raksasa yang menjadi musuh para dewa. Sebagai hadiahnya, Arjuna boleh tinggal di kedewaan beberapa waktu lamanya dan bercengkerama dengan para bidadari.
Parthayajna mengisahkan tentang perjalanan sang Arjuna ke Gunung Indraki la untuk bertapa di sana guna memohon senjata sakti dari para dewa yang dapat dipakai untuk membinasakan musuh para Pandawa, yaitu para Kaurawa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
D5
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debby Kamelya
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13109
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Sukartha
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1993
899.223 INY n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>