Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84190 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pasaribu, Yosua Adrian
"ABSTRAK
Hasil penelitian menafsikan bahwa penempatan benda-benda megalitik pada situs Tugu Gede Cengkuk mencerminkan religi tradisi megalitik, dan didasari oleh pertimbangan-pertimbangan teknis, anatara lain kedekatan dengan sumber air, dan sumber batuan, serta topografi situs.

Abstract
The results suggested that the placement of megalithic monuments on the site reflects megalithic religious tradition, and based on technical considerations, including proximity to water sources, and stone sources, and topography of side."
2010
S11608
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bagyo Prasetyo
"Kebudayaan sebagai suatu sistem merupakan seperangkat gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam suatu ekosistem. Hubungan antara manusia dan lingkungan tersebut menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan sebagai sarana adaptasi. Dalam kaitan inilah penelitian mengenai penempatan benda-benda megalitik di Kawasan Lembah Iyang-Ijen, Kabupaten Bondowoso dan Jember, Jawa Timur dilakukan. Hasil analisis membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat pendukung budaya megalitik di daerah penelitian mempunyai kecenderungan untuk melakukan pemilihan lokasi-lokasi di tempat-tempat yang mereka anggap ideal dalam mempermudah aktivitas mereka, baik yang berkaitan dengan unsur-unsur subsistensi maupun sebagai penunjang dalam mewujudkan konsep-konsep megalitik yang dianut. Tiga faktor utama yang menjadi strategi dalam pertimbangan pemilihan suatu lahan untuk ditempati adalah faktor kapabilitas lahan, faktor ketersediaan sumber batuan, dan faktor aksesibilitas. Makin tinggi kemampuan ketiga faktor tersebut maka akan semakin menjadi pilihan dalam penempatan suatu bahan untuk kegiatan. Namun demikian secara bersama-sama, ke-3 faktor tersebut belum tentu dapat menjadi indikator paling utama, hal ini didasarkan pada tingkat keragaman dari lingkungan itu sendiri. Suatu lahan dapat menyediakan daya dukung tinggi sesuai dengan faktor-faktor tersebut di atas, akan tetapi dapat terjadi bahwa sebagian kecil dari kesatuan sumberdaya lingkungan tersebut (seperti bentuklahan, tanah, ketinggian, kelerengan, sumber batuan, atau jarak sungai) mempunyai tingkat daya dukung yang kurang baik. Walaupun demikian, dengan kemampuan teknologi maka masyarakat megalitik dapat menyikapi kekurangan-kekurangannya selama sebagian dari daya dukung lingkungannya yang lain cukup baik.
----------
Culture, as a system, is a series of ideas, which construct individual or group behavior in an ecosystem. The relationship between human and the environment produces various forms of cultures as adaptation means. It is in this relation that the investigation on the placement of megalithic objects in the Area of Iyang-Ijen Valley in the Regencies of Bondowoso and Jember, East Java was conducted. Analyses results have proven that most of the communities that bear the megalihtic cultures within the investigation area tended to chose locations at places that they considered ideal to ease their activities, both in terms of subsistence and to realize the megalithic concepts that they believed. There are three main factors, which are part of the strategies in choosing a piece of land to stay, namely land carrying capability, availability of rock sources, and accessibility. The better those factors are, the higher chance that a place be chosen to carry out certain activities. Together, however, those three factors do not always be the main indicators because there is another important factor, which is the level of variability of the environment. An area can has a good carrying capacity in accordance with those three factors, although a small part of its environment (geomorphology, type of soil, elevation, inclination degree of its slopes, sources of rocks, and distance to rivers/water sources) may has low carrying capacity. However, with their technological ability the megalithic community there can deal with those impediments as long as the other parts of the environment have quite good carrying capacity."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D950
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Efendi
"Megalitik merupakan peninggalan masa brcocok tanam yang memberikan banyak informasi dari analisis fisik bangunan. Dan lingkungan alamnya. Peninggalan megalitik dengan satuan analisis situs dan satuan runag analisis skala makro dapat dijadikan data untuk mencapai tujuan arkeologi. Peninggala megalitik yang menjadi data dalam skripsi ini berada di kab. Kuningan, yang terdiri atas 23 situs. Kemudian dibagi menjadi dua tipe berdasarkan fungsi yaitu : kelompok situs I dengan jenis tinggala peti kubur batu terdiri atas tujuh , yaitu situs cibuntu, pasawahan, cibari, pagerbarang, gibug, rajadanu dan panawarbeas dan kelompok situs II dengan jenis tinggalan bukan kubur yang terdiri atas menhir, arca megalitik, batu lumpang, meja batu, batu dakon, jambangan batu, dan punden berundak. Kelompok ini terdiri atas enambelas situs, yaitu, situs cimara, cibunar, sigenteng, sangkanerang, timbang, linggabuana, Buyut Sukadana, Balongkagungan, Nusa, Cangkuang, winduherang, Bagawat, Darmaloka, Hululinga, panyusupan dan saliya. Situs-situs itu tersebar di kai gunung Ciremai (3078 m dpal) sebelah timur. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di jawa barat, dan hamper seluruh bagian barat wilayah kabupaten ini merupakan areal kaki gunung tersebut. Selain itu ditemukan juga pada pada beberapa situs megalitik sejumlah beliung persegi, gelang batu dan temuan serta lain. Hal ini menarik untuk dipelajari dalam kaitan dan orientasinya terhadap gunung itu. Permasalahannya adalah variable-variabel lingkungan alam yang bagaimana, yang mempengaruhi peletakan peninggalan megalitik di kab. Kuningan, jawa Barat? Bagaimana persebaran dan orientasinya terhadap gunung ciremai? Serta pada kerangka batu yg mana bias ditempatkan? Tujuan penelitian ini adalah pertama mengetahui variael-variabel lingkungan alam yang berpotensi dalam peletakan peninggalan megalitik di kab. Kuningan jawa Barat, sehingga terlihat kearifan manusia dalam beradaptasi dengn lingkungannya. Kedua menentukan bentuk pesebaran dan melihat orientasinya terhadap gunung Ciremai, sehinggga dapat diketahui keterkaitannya. Ketiga mengetahui pada kerangka waktu yang mana sehingga dapat diketahui sejarah kebudayaan prasejarah khususnya di Jawa Barat dan umumnya di Indonesia. Ruang linkup penelitian ini sebatas hubungan antar situs megalitik sebagai salah satu unsure pemukiman masa prasejarah, dan keberadaan situs megalitik dengan ekologinya. Dengan menekankan pada skala ruang makro, sehingga dapat dijelaskan pola persebarannya. Penelitian ini menggunakan metode yang mengacu pada metode penelitian arkeologi ruang oleh Bruce G. Tigger. Adapun dalam upaya memahami keadaan lingkungan pada zaman prasejarah diperlukan perpaduan data arkeologi dan ekologi. Maka dari itu digunakan pendekatan ekologi. Dalam paradigmanya menyatakan bahwa unsure lingkungan fisik dipandang sebagai factor penenut letak dan pola suatu pemukiman. Asumsinya adalah pemukiman ditempatkan di suatu tempat sebagai responatas factor lingkungan tertentu. Dalam modelnya paradigma ini juga beranggapan bahwa factor teknologi dan lingkungan yang mengondisikan penempatan situs arkeologi. Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah variabel alam yang mempengaruhi peletaka situs megalitik di Kab. Kuningan adalah ketinggian permukaan tanha antara 101_751 m dpl, bentuk medan lereng, batuan geologi QYU, wilayah akuifer dengan aliran melalui celahan dan ruang antar butir setempat dengan akuifer produktif, jarak ke sumber air tanah 0,5 km sampai 100 liter/detik, jarak situs ke sungai"
2000
S11760
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azmi Gagatraino
"Penelitian ini dilakukan di kawasan Situs Megalitik Cibalay yang terletak di Desa Tapos 1, Kelurahan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Lingkungan dan manusia merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Lingkungan dinilai sebagai salah satu komponen yang membentuk suatu kebudayaan masyarakat. Oleh sebab itu dapat diartikan bahwa situs-situs megalitik yang ada di kawasan Cibalay merupakan hasil dari gagasan dan perilaku  manusia saat itu. Dalam penelitian ini, situs arkeologi tidak lagi dilihat sebagai entitas tersendiri, namun situs dilihat dalam konteks yang lebih luas yaitu dengan aspek lingkungan di sekitarnya. Tujuan dari penelitian ini ialah mengetahui peranan lingkungan terhadap kebudayaan Kawasan Situs Megalitik Cibalay. Untuk memahami hal tersebut maka digunakan konsep determinisme lingkungan. Konsep ini menyatakan bahwa kebudayaan merupakan produk dari lingkungan alam di sekitarnya. Metode yang digunakan ialah pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa situs-situs megalitik di kawasan Cibalay menempati kondisi lahan yang potensial. Selain itu pula diketahui bahwa kebudayaan di kawasan Cibalay sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.

This research was conducted in the Megalithic Site of Cibalay, located in Tapos 1 Village, Tenjolaya Subdistrict, Bogor Regency. The environment and human beings are two elements that are difficult to separate. The environment is considered one of the components that shape a community's culture. Therefore, it can be interpreted that the megalithic sites in the Cibalay area are the result of human ideas and behavior from that time. In this research, archaeological sites are no longer viewed as independent entities but rather within a broader context, considering the surrounding environmental aspects. The aim of this research is to understand the role of the environment in shaping the culture of the Megalithic Site of Cibalay. To comprehend this, the concept of environmental determinism is employed. This concept asserts that culture is a product of the surrounding natural environment. The methods used in this research include data collection, data processing, and interpretation. Based on the processed data, it was found that the megalithic sites in the Cibalay area occupy potential land conditions. It was also revealed that the culture in the Cibalay area is significantly influenced by its surrounding environment."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Pentax Galaxy
"Relief Karmawibhangga Candi Borobudur yang tertutup berisi informasi yang berharga dalam segala aspek. terdapat informasi yang menarik di 83 panil Karmawibhangga, Yaitu pengambaran benda-benda di bawah tempat duduk tokoh. Dengan pengamatan sekilas terdapat indikasi keterkaitan antar benda dengan tokoh dan adegan. Untuk mengetahui keterkaitan tersebut hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah mengidentifikasi benda-benda, tokoh dan adegan. Setelah mengetahui benda, tokoh dan adegan maka dilakukan integrasi ketiganya. Kesimpulan dari skripsi ini adalah terdapat keterkaitan antara benda, tokoh dan adegan, dimana benda-benda tersebut sering digunakan oleh tokoh dalm melakukan kegiatan"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S11541
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Santoso
"Bangunan megalitik dibangun atas dasar kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan akan hal ini dimanifestasikan dalam berbagai bentuk megalitik. Pada beberapa punden berundak, kepercayaan ini dapat dibuktikan dengan adanya altar dengan orientasi ke tempat yang lebih tinggi atau penempatan menhir sebagai perwujudan roh nenek moyang. Keumuman yang ada di teras-teras punden berundak adalah ditemukannya menhir yang ditempatkan pada teras utama. Permasalahan penelitian dalam kaitannya dengan hal ini adalah batu lumpang di situs Pasir Lulumpang memiliki keunikan dengan ditempatkan pada teras teratas punden berundak. Tentunya dengan kondisi yang demikian, batu lumpang punden berundak situs Pasir Lulumpang memiliki kekhasan dalam hal organisasi ruang yang ada. Adanya upaya untuk mencari jawaban dengan analogi etnografi tentu saja menjadi alternatif bagi peneliti sebagai sumber interpretan yang juga menjadi bantuan analisis dengan permasalahan sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Adanya penempatan batu lumpang di teras teratas setidaknya menunjukkan bahwa ada yang dibedakan dalam hal penempatannya jika dibandingkan dengan fenomena di punden berundak lainnya. Di sini demikian nyata adanya fenomena pertandaan. Dengan kenyataan tentang permasalahan penelitian di atas maka adanya batu lumpang di puncak punden berundak ini menimbulkan berbagai pertanyaan, yaitu:Komponen-komponen apa saja yang termasuk dalam fenomena pertandaan pada punden berundak?, Apakah yang menjadi ground dalam pertandaan? Termasuk qualisign, sinsign, atau legisign? Apakah yang termasuk dalam ikon, indeks, dan simbol dalam hubungan antara tanda dengan referent-nya?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S11745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ary Sulistyo
"Penelitian ini berfokus pada situs-situs megalitik yang berada di sub DAS Klawing, karena daerah DAS ini dekat dengan Gunung Slemat di bagian tenggara. Temuan-temuan tersebut tersebar di wilayah administrasi di Kecamatan Karangreja, Kecamatan Bobotsari, Kecamatan Mrebet dan sebagian Kecamatan Karanganyar. Penelitian ini tersebar di 4 kecamatan.Situs-situs megalitik di DAS Klawing Purbalingga atau di lereng Gunung Slamet hanya menunjukan karakter situs campuran antara pemujaan dan penguburan, situs pemujaan dan situs-situs objek tunggal..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S11502
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mundardjito
"Kegiatan survei dan penelitian arkeologi di Indonesia sudah berlangsung lama sejak masa penjajahan Belanda. Namun demikian sampai saat ini tidak seorang pun dapat mengatakan secara pasti berapa jumlah sites arkeologi masa Hindu-Buda yang sudah pernah ditemukan, baik di daerah Jawa Tengah pada umumnya maupun di daerah Yogyakarta pada khususnya. Selain dari itu tidak seorang pun yang dapat menyatakan secara tepat di mana saja semua situs itu terletak, pada bentuk permukaan bumi seperti apa, bagaimana sebarannya, serta seberapa jauh kaitannya dengan lingkungan alam. Padahal keterangan mengenai lokasi sites, frekuensi, luas sebaran, kepadatan, bentuk konligurasi sebaran, dan korelasinya dengan sumberdaya alam merupakan data dasar yang biasa digunakan dalam studi arkeologi-ruang untuk mengetahui dan memahami berbagai hal mengenai perilaku dan gagasan keruangan masyarakat masa lalu.
Di berbagai bagian dunia penelitian arkeologi-ruang sudah lama dimulai (Parsons 1972.127-50; Clarke 1977:2-5), dan sudah lama pula diselenggarakan dengan strategi serta metode penelitian yang cukup memadai untuk mernungkinkan tercapainya tujuan penelitian sebagaimana dicontohkan oleh Gordon R. Willey dalam penelitian pionirnya di lembah Viru, Peru (Willey 1953). Demikian pula sudah hampir dua dasawarsa lamanya konsep arkeologi-ruang telah diperjelas serta dipertegas paradigmanya oleh David L. Clarke (1977), dan segala bentuk kajian yang sejenis dipersatukannya dalam satu wadah studi yang diberi nama spatial archaeology (arkeologi-ruang).
Di Indonesia paradigma arkeologi-ruang belum dijadikan landasan pokok dalam kebanyakan penelitian semacam ini, bahkan dengan berat hati dapat ditegaskan bahwa pelaksanaan penelitian arkeologi-ruang di negara kita masih dalam taraf uji coba, dan sebagian besar masih merujuk pada kajian keruangan yang kurang luas rentangan wawasannya. Relatif terlalu sedikit ahli arkeologi kita yang berhasrat terjun menekuni bidang kajian arkeologi-ruang, dan oleh karena itu belum banyak hasil penelitian yang dapat dijadikan bahan acuan atau bahan banding yang memadai. Oleh sebab itu pula masuk akal kiranya jikalau di negara kita data dasar yang biasa diperlukan dalam kajian arkeologiruang belum tersedia, atau kalau pun ada belum cukup siap untuk dapat digunakan secara Iangsung dalam penelitian khusus semacam ini. Pada dewasa ini Para peneliti arkeologiruang di Indonesia harus berupaya keras, dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk melacak lebih dahulu informasi keruangan dari benda-benda dan situs-situs arkeologi yang pernah diketahui atau disebut dalam laporan-laporan inventarisasi kepurbakalaan, kernudian mendaur ulang dan menambahnya dengan data yang lebih lengkap dan lebih khusus, serta melengkapinya dengan data baru sebelum dapat diolah dalam tahap analisis untuk memungkinkan tercapainva tujuan penelitian dengan hasil yang memadai.
Kajian ini tidak lain merupakan satu upaya kecil untuk mengembangkan penelitian arkeologi-ruang di negara kita, khususnva dalam skala regional (makro) serta yang dilaksanakan dengan strategi dan metode yang dianggap sesuai dengan hakikat data arkeologi-ruang yang ada di lndonesia. Disadari sepenuhnya bahwa tanpa melakukan kajian semacam ini, perkembangan studi arkeologi-ruang di Indonesia niscaya akan menjadi amat lambat, sehingga akan makin jauh tertinggal dari penelitian serupa di negara lain. Arkeologi-ruang.
Pokok Kajian. Arkeologi-ruang, yang merupakan salah satu studi khusus dalam bidang arkeologi, pada pokoknya lebih menitikberatkan perhatian pada pengkajian dimensi ruang (spatial) dari benda dan situs arkeologi daripada pengkajian atas dimensi bentuk (formal) dan dimensi waktu (temporal). Dalam sejarah perkembangan arkeologi di berbagai bagian dunia, pengkajian khusus keruangan terhadap benda-benda arkeologi maupun situs-situs memang datang lebih kemudian daripada pengkajian atas dimensi bentuk dan waktu. Begin.) pula dalam empat dasawarsa terakhir ini di dunia arkeologi terdapat semacam pergeseran tekanan perhatian, yaitu dari pengkajian atas artefak kepada pengkajian atas situs yang pada hakikatnya merupakan satuan ruang tertentu tempat terletaknva sekumpulan artefak, Kemudian dalam tahap perkembangan berikutnya tekanan itu diberikan kepada pengkajian atas wilayah (region) sebagai satuan ruang yang lebih luas, tempat terletaknya situs-situs. Pemberian tekanan perhatian kepada dimensi ruang inilah yang mengakibatkan bergesernya kesibukan sebagian ahli arkeologi dari kajian morfologi, tipologi dan klasifikasi benda arkeologi kepada upaya untuk rnemperoleh kembali informasi keruangan sebagai babas untuk dikaii lebih cermat, baik dari benda-benda arkeologi yang berada dalam satuan ruang berupa sites maupun dari situs-situs yang berada dalam satuan ruang yang lebih luas berupa wilayah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
D222
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iberamsjah
"ABSTRAK
Perubahan politik yang terjadi di tingkat nasional pada akhirnya berimbas pada perubahan politik di tingkat pedesaan. Penerapan beberapa kebijakan politik yang merupakan bagian dari proses demokratisasi seperti otonomi daerah atau khususnya otonomi desa, peraturan baru tentang pemilihan umum dan kepartaian berdampak pada perubahan struktur kelembagaan desa dan perilaku politik di dalamnya. Lebih jauh, konstelasi kekuasaan di tingkat desa pun berubah. Perubahan-perubahan ini tampak pada kasus pengambilan keputusan di Desa Gede Pangrango. Studi ini berusaha menjelaskan terjadinya perubahan peran alit desa dalam perubahan politik yang terjadi sejak penerapan otonomi daerah tahun 2000 di Desa Gede Pangrango.
Temuan-temuan yang berhasil diperoleh dari studi ini meliputi hal-hal yang akan dirinci sebagai berikut. Pertama, telah terjadi perubahan sumber dan hubungan kekuasaan elit desa yang berimplikasi terhadap terjadinya pergeseran konstelasi elit desa. Beberapa sumber kekuasaan yang pada masa lalu kuat pengaruhnya bagi kekuasaan elit tertentu, kini berubah melemah. Sumber kekuasaan yang melemah itu misalnya kemampuan bela diri (jawara), adat dan birokrasi. Sebaliknya, ada beberapa sumber kekuasaan yang menguat peranannya dalam konstelasi politik desa, yaitu keterampilan, prestasi, dan dukungan massa atau simpatisan terhadap partai politik. Menguatnya pengaruh keterampilan dan prestasi sebagai sumber kekuasaan ditunjukkan dengan menguatnya pengaruh elit pemuda yang menunjukkan prestasi dan keterampilan menonjol dalam masyarakat. Elit partai politik yang mendapat legitimasi kuat pada pemilu juga menunjukkan peningkatan pengaruhnya dalam politik desa. Sedangkan dalam hubungan kekuasaan, dominasi elit formal desa dalam pembuatan keputusan desa yang tampak pada masa lalu, kini berubah. Kekuasaan elit formal desa telah diimbangi oleh pengaruh elit formal baru di BPD, sebagai lembaga perwakilan desa yang baru, dan ditambah dengan kontrol masyarakat melalui gerakan massa.
Kedua, dalam konstelasi elit desa tersebut, muncul elit formal baru yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan desa. Dibentuknya BPD sebagai lembaga perwakilan yang lebih otonom dan representatif berdasarkan UU No.22/1999, Kepmendagri No.64/1999 dan Perda Kabupaten Sukabumi No.2/2000, memunculkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai elit formal baru mendampingi eksekutif dan birokrasi desa.
Ketiga, telah terjadi perubahan sikap, perilaku dan peranan elit dalam perwakilan desa. Lembaga perwakilan desa pada masa Orde Baru berada pada posisi subordinat di bawah eksekutif desa. Fungsinya tidak lebih dari lembaga yang mengesahkan keputusan eksekutif desa. Setelah penerapan otonomi daerah, lembaga perirakilan menjadi lebih representatifdan otonom dari intervensi kepala desa.
Keempat, dominasi kepala desa terhadap lembaga perwakilan desa telah berakhir. Sebagai dampak dari kemunculan elit formal baru dalam konstelasi politik desa, kel;uasaan kepala desa dapat diimbangi. Dalam beberapa kasus pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango, tampak kecenderungan kekuasaan BPD lebih kuat. Dalam rapat-rapat BPD, terdapat temuan kelima, yaitu telah terjadi perubahan dalam proses pembuatan keputusan dari kecenderungan musyawarah-mufakat ke penerimaan pemungutan suara.
Keenam, intervensi pemerintah tingkat atas desa terhadap proses pembuatan keputusan desa telah berakhir. Di desa Gede Pangrango, pemerintah atas desa tidak lagi melakukan intervensi terhadap pembuatan keputusan. Pemerintahan desa menunjukkan kecenderungan otonomi daiam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan desa. Kehadiran pemerintah atas desa dalam rapat-rapat desa bukan dalam rangka mempengaruhi keputusan tetapi lebih bersifat seremonial.
Ketujuh, peranan massa dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan desa telah meningkat. Pada masa Orde Baru, masyarakat tidak pernah menunjukkan kecenderungan untuk melakukan tindakan tindakan dalam rangka mempengaruhi pembuatan keputusan, seperti dengan melakukan demonstrasi. Seiring penerapan otonomi desa, telah terjadi beberapa kali aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat desa untuk mendesakkan agenda kebijakan politik kepada pemerintahan desa dan pemerintah atas desa. Dan yang penting untuk dicatat di sini adalah bahwa peranan mereka dalam mendesakkan agenda kebijakan dapat dikatakan efektif karena kernudian tuntutan yang diajukan dalam demonstrasi ditanggapi serius oleh BPD dengan ,pembuatan beberapa keputusan penting. Ini menunjukkan bahwa peranan massa dalam proses pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango telah meningkat.
Secara teoritis, studi ini menunjukkan relevansi dan revisi terhadap beberapa teori yang digunakan, serta mengkonstruksi teori baru tentang kemunculan elit formal baru dalam konstelasi politik desa. Kasus pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango menunjukkan relevansi teori sirkulasi elit dari Mosca, Schoorl dan Alfian; tipologi elit berdasarkan sumber kekuasaan seperti dibuat oleh Kappi, Buntoro, Hofsteede dan lberamsjah; serta relevansi teori pembuatan keputusan dari Gibson bahwa pembuatan keputusan merupakan proses dinamis yang dipengaruhi berbagai faktor.
Di samping relevansi beberapa teori di atas, kajian kasus desa Gede Pangrango menunjukkan perlunya revisi terhadap beberapa teori. Dikotomi elit formal-informal yang dilakukan oleh Tjondronegoro, Ismani dan Kuntjaraningrat tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Kemunculan alit formal baru yang memiliki karakter formal, namun memposisikan diri di luar elit formal membuat konsep elit formal dan informal lebur dalam fenomena ini, sehingga teori dikotomis ini tidak dapat diterapkan secara kaku. Sirkulasi elit yang diterjemahkan sebagai pergantian elit oleh Mosca, Schoorl dan Alfian, kurang tepat untuk diterapkan dalam kasus ini karena yang terjadi adalah pergeseran konstelasi elit, bukannya pergantian elit. Selain itu, sumber kekuasaan elit tidak terbatas pada sumber kekuasaan yang diungkapkaan oleh Andrain, Budiardjo, Anderson, Kappi, Buntoro, Hofsteede dan Iberamsjah, tetapi lebih jauh lagi terdapat varian baru sumber kekuasaan, yaitu kepribadian dan kemampuan memecahkan masalah-masalah masyarakat. Temuan studi ini juga menunjukkan bahwa selain scope dan domain of power (Lasswell dan Kaplan) terdapat konsep lain yang penting dalam mempelajari kekuasaan, yaitu saluran kekuasan. Terakhir, pembuatan keputusan di desa yang menurut Wahono cenderung menggunakan mekanisme musyawarah-mufakat, dalam kasus Desa Gede Pangrango ini mengalami pergeseran dengan diterimanya mekanisme voting sebagai salah satu alternatif pengambilan keputusan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D517
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Saringendyanti W., 1959-
"ABSTRAK
Dalam waktu cukup lama, penelitian arkeologi di Jawa Barat terasa tidak terlalu marak sebagaimana penelitian-penelitian di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, khususnya penelitian terhadap sisa-sisa peninggalan dari masa Hindu-Buda. Dalam hal ini, bukti-bukti peninggalan dari masa itu pun terasa memiliki tingkat kesulitan berbeda dibanding kedua bagian pulau Jawa tadi; kendatipun dalam banyak hal situs-situs tersebut diduga masih disitu.
Demikian pula halnya dengan penyebutan tempat-tempat suci keagamaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikenal dengan nama candi, patirthan dan patapan. Lebih lanjut, menurut kitab Nagarakertagama dan kakawin Arjunawijaya yang berasal dari jaman kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tempat-tempat suci keagamaan itu terbagi tiga, yaitu dharma hap, dharma Ipas, dan sekelompok tempat suci yang belum jelas statusnya, antara lain tempat suci karesyan. Sementara sumber tertulis berupa prasasti dan karya sastra Sunda menyebut sejumlah tempat suci dengan nama lemah dewasasana, kabuyutan, kawikwan, mandala, dan parahiyangan. Penyebutan tempat-tempat suci di Jawa Barat sedikit banyak mempunyai persamaan dengan sebutan tempat-tempat suci di Jawa Timur, yang sebagian besar mengacu pada tempat-tempat suci karesyan, terutama kawikwan dan mandala yang berlatar keagamaan Hindu (Saiwa). Dalam pada itu, penyebutan terhadap tempat-tempat suci secara umum dikenal dengan nama kabuyutan. Umumnya berbentuk bangunan batur tunggal, bangunan teras berundak, dan altar, yang sedikit banyak masih dipengaruhi oleh budaya tradisi megalitik.
Dengan keterbatasan-keterbatasan demikian, penelitian Penempatan Situs Upacara Masa Hindu-Buda: Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat ini merupakan sebuah kajian testing-hipotesa yang mengajukan pendekatan ekologi untuk mengerti hubungan antara situs dengan sumberdaya sebagai faktor lingkungan fisiknya. Lingkungan fisik yang mendasari penelitian ini dengan lima variabel utama terdiri dari letak, geomorfologi, ketinggian tempat, kemiringan lereng, jenis tanah, serta sumber air, sampai pada kesimpulan bahwa penempatan situs-situs itu berada pada lima pilihan lahan. Situs upacara yang diduga sebagai tempat dilakukannya tapa berada pada tempat lebih tinggi dan curam dibanding tempat-tempat untuk melakukan pemujaan pada Zat Tertinggi. Demikiaan pula situs-situs yang diduga sebagai tempat pengajaran ajaran-ajaran rahasia --dalam hal ini disebut kawikwan--, sudah barang tentu pemilihan lahan dilatarbelakangi oleh putusan-putusan para shtapaka dan sthapati. Sebagai contoh, lahan harus berada dekat pada sumber air dan tanahnya harus subur.

ABSTRACT
In many time, the archaeological research in West Java is not so brightness as well as in Central Java or East Java, especially in study of the Hindu-Buddha remains on the same termination, such as Candi, Patirthan, and Patapan. Archaeological re-searches generally are based on the termination of the prehistoric ceremonial site. Many of the Hindu-Buddha's ceremonial site are the prehistoric ceremonial site too which usually signed on Hinduism or Buddhism symbolic, such as pseudo-lingga, a statue or some statues -- at least in very simple-- of the Hinduism or Buddhism pantheon, or a fragment or some fragment of ceremonial tool kit.
Perhaps, the limitation on the archaeological research in West Java cause of the archaeological data itself; many of them have been destroy by the time or tophonomy process and suggest abandoned in-situ. To identify site like that as a Hindu-Buddha's ceremonial site which could be placed as sample is one of this research goals. According to Central Java and East Java, the archaeological remains such as Candi, PathW tan, and Patapa as ceremonial site more refer to dharma haji, dharma !pas, and several of holy-place which could not be identify yet, such as karesyan. By the way, they could not be found in West Java's history resources. There are many different to the other one, both by the name or by form. In the ancient literature, especially in West Java's ancient manuscript or inscriptions, ceremonial remains are called by lemah dewasasana, kabuyutan, kawikwan, mandala, and parahiyangan. Kawikwan and mandala could be similarity with the ceremonial site in East Java who called by karesyan, especially in Hinduism (Saiva). Today's, all of archaeological remains, holy-place as area to hold an ceremonial event, or be a holy-place by some reasons, such as a grave of ancestor, Islamic religionist, or a place regarded has supra-natural, are called kabuyutan. Usually they are single sanctuary, terrace, and altar
Rest on this constraint as long as the inclination of the archaeological research today's, the placement of Hindu-Buddha's ceremonial site: study of physical environment of kabuyutan in West Java is a testing hypothesis to carry on the ecological determinants approach to understand the relationship between the archaeological site with the resource space as its physical environment. In this case, the resource space are restriction at lay, elevated place, slope steepness, soil, geomorphology, and distance to water-resources. The main goals of this research succeed five inclinations clustering of kabuyutan which in basically show that the placement of the ceremonial site consider the resource space in the own restriction. The ceremonial site as area to hold live as an ascetic more higher and steepness than the ceremonial site as area to hold an worship to Supreme Being. And so that the placement of a ceremonial site as a place to learning the secret doctrine --in some case called by kawikwan--, there are some consideration behind the siha`paka's (and sthapati's) decision. For a sample, they are must be near by a water-resources and the soil must be a fertile soil.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>