Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53773 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Pratiwi Ulam Tiodora
"Skripsi ini mengangkat tentang posisi perempuan dalam kehidupan Suku Bangsa Batak. Batak sebagai salah satu suku bangsa digunakan penulis sebagai contoh dari sekian banyak dan beragamnya suku bangsa di (Indonesia yang menggunakan garis keturunan patrilineal. Penulisan ini menyinggung bahwa garis keturunan yang patrilineal tidak dapat menghilangkan identitas seseorang perempuan dari suku bangsanya. Melalui metode analisis literatur dan pengalaman perempuan, penulisan ini bermaksud untuk mengubah pola pikir yang maskulin dan menutup diri pada suar hati dapat memberi ruang kompromi pada dalam relasi antar individu. Pembahasan mengenai cara pemberian ruang bagi perempuan dalam Suku Bangsa Batak akan didukung dengan teori etika kepedulian sebagi bentuk kompromi yang ditawarkan oleh pemikiran feminis multikultur. Etika kepedulian akan membawa pola pikir yang baru dalam tradisi Suku Bangsa Batak sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Lunturnya bisa terhadap posisi perempuan dan terdengarnya suara kesadaran perempuan akan menciptakan ruang yang penuh dengan kompromi dalam melahirkan keputusan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S16140
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Rosramadhana
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia , 2016
306.85 NAS k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini hendak menunjukkan perjumpaan dua tradisi dan budaya perkawinan yang saling menyuburkan internalisasi status perempuan. Keduanya ialah tradisi liturgi perkawinan dalam gereja dan tradisi perkawinan adat Batak Toba. Tradisi gereja dan tradisi adat datang dari dua dunia yang berbeda. Mereka mempunyai perbedaan latar belakang konteks, tetapi sama-sama menstereotipe dan mensubordinasi perempuan. Teks yang sering dipergunakan dalam tradisi liturgi perkawinan menggambarkan perempuan distereotipe dalam ketundukan kepada suami sebagai bentuk ketundukan kepada Tuhan. Teks tradisi liturgi perkawinan yang patriarki itu hadir di tengah-tengah masyarakat Batak yang juga patriarki. Masyarakat ini sangat kental dengan adat. Salah satunya ialah perkawinan adat Batak Toba dengan sinamot yang diartikan sebagai pembayaran perkawinan. Banyak yang menyebut sinamot sebagai tuhor ni boru, arti harafiah ?uang beli perempuan.?"
305 JP 20:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriani
"Keberadaan Knights of Labor sebagai salah satu organisasi buruh yang besar pada abad 19 di AS, memiliki banyak pengaruh dalam perkembangan buruh. Organisasi ini adalah organisasi buruh pertama yang keanggotaannya mencakup hamper seluruh macam buruh, baik buruh yang terlatihdasn tidak terlatih, kulit hitam maupun kulit putih, dan buruh perempuan maupun buruh laki-laki. Organisasi ini juga mengembangkan program-program yang berjutuan meningkatkan standard kehidupan buruh, antara lain menghilangkan penggunaan buruh anak-anak, membatasi jam kerja tambahan termasuk jam kerja malam bagi buruh perempuan, serta mengupayakan berlakunya peraturan bagi pihak majikan agar bertanggung jawab terhadap kecelakaan di tempat kerja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12346
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gavin Hans Joshua
"ABSTRAK
Artikel ini berfokus pada persoalan mengenai dekonstruksi maskulinitas dan keberadaan laki-laki feminis. Maskulinitas yang berkembang dalam masyarakat merupakan strereotip yang membentuk bagaimana seharusnya fisik laki-laki terbentuk serta perilakunya. Upaya melakukan dekonstruksi ini menggunakan etika kepedulian dalam kelompok kecil di masyarakat. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menghadirkan aliansi laki-laki baru sebagai bentuk dekonstruksi maskulinitas. Kesadaran akan kepemilikan pemahaman diri menjadi kunci dalam memunculkan penggunaan teori etika kepedulian. Aliansi laki-laki baru muncul sebagai jawaban atas pemaknaan maskulinitas yang baru karena adanya kesadaran dari laki-laki bahwa tatanan patriarkis juga mengikis kebebasan untuk memilih secara otonom. Dalam tatanan patriarkis, perempuan dan laki-laki dikondisikan dalam pilihan yaitu mengikuti aturan masyarakat atau dikeluarkan dari social. Artikel ini mengangkat mengenai label laki-laki yang ditanamkan dalam budaya patriarkal. Oleh sebab itu butuh adanya dekonstruksi sebagai bentuk penolakan label tersebut melalui kesadaran atas kepemilikan diri secara otonom.

ABSTRACT
This article focuses on the question of the existence of the deconstruction of masculinity and male feminists. The society developed masculinity as a stereotype that specifies male how to form their physics and behavior. There is an effort by doing a deconstruction using the ethic of care in small groups in society. In this article, the author tries to present Aliansi Laki-Laki Baru as a form of deconstruction of masculinity. An awareness of self-understanding is needed as the key to rise the use of ethics of care. Aliansi Laki-Laki Baru emerged as an answer to the meaning of a new masculinity that deconstruct the patriarchal order that erodes men tho choose autonomously. In the patriarchal order, women and men are conditioned in between the choices to follow the rules or being excluded from the society. This article talks about male label that embedded in a patriarchal culture. Therefore, it took the deconstruction as a form of rejection of the label through an awareness of self ownership autonomously."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hapsari Dwiningtyas Sulistyani
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji bagaimana interaksi komunikasi yang dilakukan oleh perempuan di dalam komunitas tertentu bisa mengindikasikan strategi kuasa yang mereka terapkan dan juga posisi mereka di dalam struktur sosial. Bahasa adalah sarana yang penting bagi perempuan untuk bisa berpartisipasi di dalam kuasa. Bahasa perempuan di dalam penelitian ini tidak hanya dipahami sebagai tuturan verbal saja tetapi juga berbagai bentuk ekspresi perempuan seperti: ekspresi tubuh, penggunaan kata, ruang, dan waktu. Secara spesifik penelitian ini mengkaji bahasa sehari-hari dari kelompok perempuan pekerja seks di resosialisasi Sunan Kuning, Semarang yang merupakan kelompok subaltern yang suaranya sering terabaikan. Subalternitas PSK juga ditunjukkan oleh banyaknya pihak yang berkepentingan untuk mengatur dan mengendalikan mereka.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menjelaskan hubungan kuasa di dalam bahasa perempuan yang berada pada posisi subaltern dan melihat potensi bahasa perempuan untuk mengkomunikasikan resistensi. Alur berpikir kerangka teoritis penelitian ini diawali dari pemikiran Bourdieu mengenai dominasi maskulin, teori posmodern feminis mengenai bahasa, dan teori subaltern. Selanjutnya teori speech codes digunakan untuk mempeproleh pemahaman mengenai kuasa dan resistensi perempuan yang berada pada posisi subaltern. Metode etnografi kritis menjadi alat yang digunan untuk mencapai tujuan penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan ciri khas speech codes dari kelompok PSK; lugas, terbuka, dan menggunakan bahasa Jawa Pesisir yang cenderung kasar. Penggunaan bahasa ?kasar? yang bersifat maskulin tersebut terutama terlihat ketika marah. Beberapa strategi bahasa yang digunakan untuk resistensi muncul dari analisis tematik dan speech codes seperti; memanfaatkan modalitas, mengadopsi bahasa maskulin, dan menyangatkan seksualitas perempuan yang tidak dipahami laki-laki.
Hasil penelitian juga menunjukkan kuasa dan resistensi yang terdapat pada tematema; hasrat, tubuh, ibu, dan spiritualitas. Kata kunci yang muncul ketika mengkomunikasikan hasrat adalah ?cepat? yang mengindikasikan seks dimaknai sebagai kerja. Subjek penelitian sering terjebak dengan wacana cinta sehingga tuturan mereka tentang cinta dengan lawan jenis cenderung bernuansa sedih dan ekspotatif. Menjadi ibu juga bisa menjadi sumber kekuatan perempuan untuk bisa bertahan dan tidak tergoda dengan jeratan cinta dan romantisme yang ditawarkan tamu. Secara spiritualitas mereka memiliki cara sendiri yaitu menggunakan ajaran Islam dan berbagai ritual Kejawen. Mereka memilih cara tersebut karena wacana dualisme di dalam agama formal tidak bisa mewadahi spiritualitas mereka. Jika pertanyaan teoritis yang muncul adalah ?Can subaltern speak?? maka penelitian ini menunjukkan bahwa mereka yang berada di dalam kelompok subaltern bisa bicara. Sebagai kelompok subaltern mereka bisa bicara namun seringkali suara mereka tidak bisa terdengar oleh sebab itu memahami bahasa perempuan terutama yang berada pada posisi subaltern perlu dilakukan dengan cara mendengar mereka dengan memahami berbagai ekspresi yang selama ini sering terabaikan karena berada di luar ekspresi kebahasaan yang dominan.

ABSTRACT
The research explores how women?s communication within a distinctive community signifies their power-relation strategies and asserts their positions in social structure. Language is an essential tool for women to participate in power. The women?s language in this regard was not merely measured as verbal speech, but also the various array of expression, such as gesture, wording and articulation, space, and time.
The research purposely observed the daily talking of female prostitutes in Sunan Kuning boarding quarter of Semarang, of which was the neglected subaltern group. The subalternity nature of the group was also revealed by the fact that there are interests of parties surrounding the group tried to exert some control over the group.
The main point of the research was to explain the power relation of subaltern women?s language, and seek out its potentiality to express resistance. The logic of the theoretical framework drew on Bourdieu?s thought of masculine domination, feminist postmodern of language, and subaltern theory, whereas the speech code theory provided insight on power and women?s resistance as a subaltern group. Critical ethnography was the method used to attain the research objectives.
Findings pointed out that there were certain speech codes of the prostitute group: straight forward, blatant, and using the harsh tendency of northern-Javacoastal dialect. The harsh talking, which mostly associated to masculine nature, was mainly used to express anger. Few more speech strategies in uttering resistance were: utilizing modality, adopting masculine dialect, and exaggerating women sexualities that hardly understandable to men. Findings also revealed that power and resistance were found in themes of passion, body, maternity, and spirituality. The keyword of communicating passion was ?quick/hurried?, meant that sex is work. However, they often stuck in love-related circumstances with men that almost always bring about gloomy and exploitative relations. Maternity was also the cause of power for survival and means of resisting romanticism and love-related mesh drawn by their customers. They had their own way of spirituality that is worshiping and carrying out Islam or other Kejawen rituals. They picked their own manner for that the dualism discourse of official religions could not taking up their spirituality. Finally, considering the theoretical question ?Can subaltern speak??, this study disclosed that women from the subaltern groups were indeed speaks. As members of the groups however, their voices were barely heard. So, appreciating women language, particularly those among the subaltern, should be conducted with sensibly listen to them as we learn their numerous expressions that were commonly neglected because of the fact that those expressions were beyond the dominant languages.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1459
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Sikap welas asih (compassion) dalam diskursus etika digunakan untuk mendeskripsikan sikap dan tindakan moral menolong sesama yang rentan dan menderita. Diskursus seputar sikap welas asih umumnya difokuskan pada apakah sikap tersebut adalah bagian dari sikap simpati atau empati? Atau, apakah sikap welas asih adalah wujud dari sikap altruistik yang umumnya dimiliki makhluk hidup berperasaan dan berinteligensi? Tulisan ini pertama-tama akan menunjukkan bahwa sikap welas asih lebih dekat dengan konsep dan sikap simpati. Untuk memahami hal ini, pembedaannya dengan empati akan dikemukakan. Di atas semuanya itu, sikap welas asih (simpati) dan empati dibedakan juga dari sikap altruistik manusia. Melalui tulisan ini akan ditunjukkan pula bahwa hanya melalui etika kepedulian (ethics of care) kita dapat memahami welas asih sebagai sikap dan tindakan moral. Ini sekaligus menjadi kritik tajam terhadap etika Humean yang terlalu memuja perasaan moral dan etika Kantian yang menghojat emosi atau perasaan moral sebagai etika manusia heteronom."
297 KANZ 4:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Saut Raja Hamonangan
"PENDAHULUAN
Budaya Indonesia dalam perwujudannya menunjukkarn keanekaan yang, antara lain, tampak dalam kehidupan bahasa dan sastranya. Di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, terdapat pula bahasa dan sastra daerah yang merupakan sumber memerkaya budaya nasional.
Dengan tetap mempedulikan keanekaan bahasa dan sastra itu, usaha mencari dan menemukan hal-hal yang menunjukkan kesatuan dalam keanekaan juga perlu dilakukan secara berkesinambungan. Upava ke arah itu perlu ditempuh melalui penelitian budaya kita, seperti bahasa dan sastra agar dapat dikenal dan dipahami dengan baik. Selain itu, pengetahuan tentang kebahasaan dan kesastraan itu harus pula dapat diketengahkan ke dalam pergaulan antarsuku sehingga terjadi pengenalan dan pemahaman terhadap hal-hal yang sebelumnya tidak dikenal atau hanya dikenal terbatas oleh suatu masyarakat saja. Dengan cara itu, diharapkan timbul rasa menghargal dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, memahami , mencintai , dan memiliki bersama berbagai aspek budaya itu akan mengukuhkan kita sebagai suatu bangsa, yang pada saatnya diharapkan mampu melahirkari karya-karya, antara lain, dengan modal budaya hangsa sendiri (Rusyana dkk. , 1987:1-2).
Sastra lisan di Indonesia sebagai kekayaan sastra juga merunakan modal budaya bangsa. Sebagaimana dikemukakan oleh Robson (1972:91, sastra lisan - dapat menjadi alat untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran suatu suku atau bangsa yang empunya sastra itu. Bahkan, hingga sekarang menurut Charles Winick dalam Rustiana, 1975:125), sastra lisan itu mengandung kehidupan yang terus-menerus mempunyai nilai kegunaan dan masih terdapat dalam budaya masa Wellek dan Warren (1989:48) juga menyebutkan bahwa sastra lisan erat tautannya dengan sastra tertulis. Dengan demikian, sastra lisan, dalam hal ini sastra lisan daerah, yang dewasa ini dianjurkan oleh Pemerintah perlu semakin ditingkatkan penelitiannya agar kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan.
Dalam kenyataan pada umumnya masyarakat Indonesia dewasa ini kurang memperlihatkan kepeduliannya mengenai segala sesuatu yang tidak modern, apalagi yang bersifat pribumi, termasuk sastra lisan dan sastra lama, kondisi seperti itu, menurut Ikram (1976:7-9), hendaknya tidak sampai berlarut-larut. Penggalian serta pengenalan sastra atau kekayaan tradisional itu jangan sampai ditangguhkan.
Sastra daerah Ratak Toba, sebagai salah satu di antara sastra-sastra daerah di Indonesia, perlu digali dan diselenggarakan menelitiannya secara lebih sungguh-sungguh . Penelitian sastra dalam hal ini hendaknya tidak berarti hanya melakukan inventarisasi (prescriptive), tetapi juga meliputi pengolahan dan penyebarannya. Pengolahan yang dimaksud, antara lain mencakupi usaha dan penyusunan hasil transliterasi, transkripsi, terjemahan, dan penganalisisan karya sastra itu sendiri. Dengan menganalisis struktur akan diketahui bagaimana karya sastra itu diwujudkan dan hasil analisisnya dapat digunakan untuk membantu pembaca dalam mengapresiasi. Dalam kaitan itulah, puisi rakyat Ratak Toba, khususnya umpasa (Baca uppasa) perlu digali dan dimanfaatkan. Upaya penyelamatan umpasa ini bertalian pula dengan kurangnya minat generasi muda dan langkanya penelitian yang pernah dilakukan (lihat Sarumpaet, 1988)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Nurizka Poundrianagari
"Eksploitasi merupakan permasalahan yang tidak jarang terjadi dalam hubungan antara hewan dan manusia. Akar permasalahan dari adanya tindakan ini adalah masih terus digunakannya pola pikir antroposentris berupa manusia dapat mendominasi alam. Melalui ekofeminisme, dapat ditemukan bahwa kerangka pikir patriarki merupakan pola yang digunakan dalam permasalahan penindasan perempuan, alam, dan hewan sebagai objek yang dianggap lebih inferior. Eksploitasi yang terjadi pada wisata margasatwa gajah di Maetaman Elephant Adventure menjadi contoh untuk melihat bagaimana dapat terjadinya penindasan tersebut melalui kacamata etika kepedulian. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan penyebab terjadinya eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap hewan contohnya di dalam wisata margasatwa gajah. Kemudian ditarik garis bagimana persoalan eksploitasi terhadap hewan dapat memiliki keterikatan dengan ekofeminisme serta ditelaah melalui pendekatan etika kepedulian. Hal ini dimaksudkan agar dapat ditemukannya tindakan kepedulian yang tepat dalam hubungan timbal balik manusia dan hewan yang ideal dengan saling memahami. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif, artikel ini menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap hewan dengan contoh kasusnya di dalam wisata margasatwa Maetaman Elephant Advanture adalah akibat cara pandang yang salah dalam melihat relasi manusia dengan binatang dan memiliki keterikatan dengan ekofeminisme dan etika kepedulian. Artikel ini menyatakan bahwa adanya pola pikir yang harus diubah dalam bagaimana manusia memandang hubungan antara manusia dan hewan yang berdasarkan pada komunikasi simpati.

Exploitation is a problem that often occurs in the relationship between animals and humans. The root of the problem with this action is that the anthropocentric mindset in the form of humans continues to dominate nature. Through ecofeminism, it can be found that a patriarchal framework is a pattern used in the problem of the oppression of women, nature, and animals as objects that are considered more inferior. Exploitation of elephant wildlife tourism in Maetaman Elephant Adventure is an example to see how oppression can occur through the lens of ethics of care. This article aims to explain the causes of human exploitation of animals for example in elephant wildlife tourism. Then how the problem of exploitation of animals can have an attachment to ecofeminism and be examined through the ethics of care approach. So that an appropriate caring action can be found in the ideal mutual relationship between humans and animals by mutual understanding. By using descriptive analysis method, this article concludes that the cause of human exploitation of animals with examples of cases in Maetaman Elephant Advanture wildlife tourism is the result of the wrong way of looking at human relations with animals and has an attachment to ecofeminism and ethics of care. This article states that there is a mindset that must be changed in how humans perceive the relationship between humans and animals based on communication of sympathy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alfisyah Nurhayati
"Studi ini mengkaji tentang Jatinegara dalam kaitannya dengan; (1) dinamika nilai-nilai kesenian jaipong (local knowledge) yang terarah pada kehidupan kesenian dalam konteks sosial-budaya masyarakat urban yakni Jakarta, sebagai kota metropolitan; (2) fenomena pergulatan siasat perempuan seni tradisi jaipong dalam wacana seksualitas dan kekuasaan; (3) strategi dan siasat apa yang digunakan dalam mendialogkan kepentingan perempuan seni tradisi jaipong dengan kekuasaan.
Untuk mendapatkan validitas data dan tidak keluar dari tradisi keilmiahan serta dapat mengambarkan apa yang terjadi sebenarnya - sebagai sebuah realitas - maka dengan metode etnografi yang tidak hanya etic tetapi emic dalam hal ini tentukan. Dalam metode penelitian etnografi salah satunya pengamatan terlibat atau partysipant observation (Spradley, 1979). Penelitian dengan teknik wawancara, saya lakukan tidak terstruktur untuk mendapat data yang sebenar-benarnya dan tanpa tekanan. Sedang dalam analisis data merupakan penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Seluruh data dianalisis secara kualitatif agar mempermudah menjawab permasalahan penelitian.
Dalam kajian ini saya menggunakan pendekatan antropologi kekuasaan, kekuasaan disini mengacu pendapat Foucault (1978:92), bahwa kekuasaan sebagai sebuah model strategis canggih dalam masyarakat tertentu dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Kekuasaan ada diinana-mana dan datang dari mana-mana. Kekuasaan berbagai hubungan yang imanen, permainan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh, memutarbalikkan, suatu sistem bisa terbangun atau justru peminggiran dan pengucilan dan sebagai strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak. Sehingga kristalisasi dalam lembaga terwujud dalam kerangka negara, perumusan hukum dan hegemoni sosial.
Jaipong Jatinegara hadir sebagai pertunjukan yang berfungsi hiburan. Bentuk dan struktur pertunjukan tidak jauh beda dengan jaipong di daerah lain, akan tetapi lebih mendekati sebagai sanggar tradisional (semacam diskotik) tetapi terbuka. Setiap malam mereka tampil kecuali malam Jumat atau hari-hari besar Islam. Bahkan pada bulan Ramadhan mereka tetap tampil sampai dini hari. Kehidupan kota Jakarta di sekitar Pisangan Lama, yang notabene kehidupan padat dan kumuh, akan tetapi justru membuat mereka dapat menikmati hidup. Kehidupan malam menyelimuti kawasan Jaipong Jatinegara yang terkesan dengan hiburan malam. Mulai dari pasar, Pekerja Seks Komersial (PSK), baik waria maupun PSK di bawah umur menjadi pemandangan yang rumit. Alasan ekonomi dan pengangguran menjadi alasan utama mereka untuk ramai-ramai datang ke kota.
Ada dua grup yang ikut berkontestasi dalam sesaknya kehidupan kota, yaitu Mekar Munggaran dan Lestari Warga Saluyu. Jaipong ini hadir sejak dekade akhir 60-an sampai sekarang mereka mampu bertahan dengan penuh perjuangan. Jaipong hiburan yang telah berakar pada masyarakat Sunda terutama daerah Pantura Jawa Barat, mencerminkan kehidupan mereka dalam masa transisi. Perubahan terus bergulir tidak terelakkan. Grup jaipong juga menerima modemisasi dengan baik, yaitu dengan menambah alat musik organ dan gitar serta melantunkan lagu-lagu dangdut. Perempuan sebagai pusat pertunjukan tradisi ini adalah sinden dan penari yang berjurnlah tidak kurang dari 9-11 orang. Salah satu yang menjadi ciri utama jaipongan adalah goyang pinggul yang terkenal dengan `goyang Karawang' yaitu 3 G (gitek, gaol dan goyang) serta uyeg gerak tubuh yang lebih sensual. Gelinjang kaki dan permainan tangan lincah dibarengi dengan paras wajah yang telah dirias dengan cantik, maka menambah kemeriahan sebuah pertunjukan jaipong. Tubuh sinden dan penari jaipong dengan baju yang ketat serta transparan menambah kemolekan tubuh yang sintal.
Kehidupan sinden dan penari tidak lepas dari jantung pertunjukan jaipong yaitu bajidor. Dengan cengkraman ekonomis bajidor mempengaruhi hidup sinden atau penari. Wacana hegemoni terus dilakukan oleh laki-laki tersebut akan tetapi kenyataan bahwa para perempuan jaipong ini tidak selalu pasif atau sub-ordinat, budaya patriarkhal yang melingkupi kehidupan masyarakat secara umum membuat posisi 'demikian tidak menguntungkan perempuan jaipong. Agama yang dianut mereka, termasuk negara menunjukkan. wacana hegemoni terus di pupuk oleh pihak penguasa. Hal ini didukung pula oleh konstruksi ilmu pengetahuan yang berkembang ikut serta melegitimasi, seperti aliran feminisme yang dianut oleh,beberapa pemikir, akademisi, dan LSMINGO. Ikut meramaikan perkembangan dunia perempuan. Konstruksi gender dan kekuasaan yang masih timpang dan tidak setara masih terus berkembang.
Studi ini setidaknya memberikan pradigma baru pandangan terhadap perempuan seni tradisi jaipong. Di mana mereka menyandang stigma atau sterotipe sebagai pelacur atau perempuan nakal dsb, dengan melihat siasat dan strategi yang digunakan oleh perempuan jaipong, melalui politik tubuh dan seksualitasnya terutama pada saat di panggung pertunjukan dimainkan, Manipulasi tubuh, Citra fisik tubuh dan Hasrat penonton (Body Manipulatins, Pchycal Image & Audiens Need) oleh penari dan sinden sebagai ajang negosiasi dan kontestasi akan hegemoni kekuasaan. Gerak tari erotis dengan musik yang ajeg didukung raut muka menggairahkan dan mendesah, para penari/sinden dapat menguasi kekuatan bajidor, dengan demikian kekuasaan akan bergerak pindah dan bergulir.
Perempuan jaipong bertarung dan berjuang untuk dapat mendominasi para penonton, jaipong sebagai arena kontestasi sangat menguntungkan bagi perempuan seni tradisi ini.
Dalam kajian ini terlihat dengan jelas, bahwa perempuan ini punya kekuasaan setara dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Bagi perempuan jaipong mereka tidak pernah merasa tereksploitasi atau terpedaya, akan tetapi justru mereka sadar akan politik tubuh mereka untuk mengeksploitasi laki-laki atau masyarakat yang memarjinalkan mereka. Cultural hegemony (Gramsci,1985:169) akan terus dikontestasikan agar mendapatkan pengakuan. Begitu pula pada persoalan perempuan jaipong dengan siasat mereka dapat eksis, meskipun sulit untuk merubah pandangan masyarakat terhadap penari atau sinden. Akan tetapi dengan membuka wacana ketidakmutlakkan kebenaran masyarakat secara umum akan mengerti pembedaan yang disosialisasikan oleh masyarakat sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>