Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117184 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oktorina Adhisti
"Skripsi ini membahas Pura Maospait Gerenceng yang termasuk di dalamnya mengenai arsitektur bangunan, penataan halaman dan kronologi pendirian pura dengan keunikannya yang juga menjadi permasalahan penelitian. Di antaranya adalah jumlah halaman yang berbeda dengan pura lain. Penelitian ini adalah penelitian komparasi dengan membandingkan Pura Maospait Gerenceng dengan pura-pura kuna yang ada di Bali.
Hasil penelitian pada Pura Maospait Gerenceng bahwa kemungkinan pendirian Pura Kompleks Pura Maospait didirikan pada abad ke-13 M dan dilanjutkan kembali pada abad ke-14-15 M dan memiliki hubungan serta pengaruh dari Majapahit jika dilihat dari bangunan dan peninggalannya. Hingga saat ini Pura Maospait Gerenceng masih digunakan oleh penyungsungnya dan terdapat bangunan baru pada kompleks Pura

This thesis discus about Pura Maospait Gerenceng that include architectural and the chronology of pura is the research problem. That include the different of pura with the other. This research is the comparation that compare Pura Maospait Gerenceng and ancient pura in Bali.
The result of Pura Maospait Gerenceng was build for 13 M and continue for 14-15 M that has relation and Influence from Kingdom of Majapahit and it looks from the artifac."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S11600
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shella Dwiastu Hasnawati
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas kajian arsitektur Pura Beji Sangsit dan pengaruh akulturasi
terhadap pura tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui arsitektur Pura
Beji Sangsit secara keseluruhan dan mengungkapkan pengaruh akulturasi yang
ada di Pura Beji Sangsit. Penelitian ini menjelaskan tentang arsitektur Pura Beji
Sangsit yang meliputi penataan halaman dan bangunan, bentuk dan struktur
bangunan, fungsi bangunan, ragam hias dan kepurbakalaan di dalam pura
termasuk arca. Melalui arsitektur bangunan dapat diketahui kebudayaan yang
mempengaruhi suatu daerah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan
perbandingan dengan bangunan suci lain yang berkaitan. Berdasarkan hasil
penelitian dapat diketahui bahwa Pura Beji Sangsit mempertegas adanya
kesinambungan budaya Hindu-Buddha dari Jawa (Majapahit) ke Bali dan bentuk
akulturasi kebudayaan di Bali, seperti kebudayaan Cina dan Eropa (Belanda).

Abstract
This undergraduate thesis discusses about the architecture of Pura Beji Sangsit
studies and the influence of acculturation of the temple. The purpose of study is to
determine the architecture of Pura Beji Sangsit overall and reveals the influence
of acculturation that exist in the Pura Beji Sangsit. This study describes the
architecture of Pura Beji Sangsit includes structuring yard of the temple and
buildings, form and structure, building functions and archaeological ornaments
including statues in the temple. Through this architecture can be known culture
that affects an area. This research uses descriptive method and comparison with
other sacred buildings related. Based on the research results can be seen that Pura
Beji Sangsit reinforce the continuity of the Hindu-Buddha culture of Java
(Majapahit) to Bali and the Balinese cultural forms of acculturation, such as China
and Europe culture (the Netherlands)."
2012
S42426
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Ayu Arainikasih
"Masyarakat Hindu Bali memiliki bangunan suci yang disebut dengan pura. Bangunan tersebut tersebar di seluruh wilayah Bali. Walaupun pura memiliki ciri-ciri umum, namun tidak ada satu pura pun yang persis sama dengan pura lainnya, setiap pura memiliki keunikannya tersendiri. Salah satu pura yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah Pura Meduwe Karang yang terletak di Desa Kubutambahan, Buleleng, Bali. Pura ini merupakan pura ladang yang memiliki 3 halaman berundak (semakin ke dalam semakin tinggi) padahal lahan di sekitarnya datar. Pura Meduwe Karang juga dihiasi oleh relief-relief yang raya, baik berupa relief naratif maupun non-naratif, dan dipahatkan seperti karikatur. Pura ini juga dihiasi dengan puluhan arca. Umur Pura Meduwe Karang tidak dapat diketahui dengan pasti, karena tidak adanya sumber tertulis yang menyinggung mengenai pura ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya arsitektur Pura Meduwe Karang yang meliputi penataan bangunan, struktur bangunan, gaya bangunan dan gaya ragam hias pura. Juga mengetahui fungsi setiap bangunan yang terdapat pada kompleks pura, serta mengetahui fungsi dipahatkan atau diletakkannya ornamen ragam hias pada pura seperti relief dan area, dikaitkan dengan fungsi pura secara umum. Metode penelitian yang digunakan meliputi kegiatan pengurnpulan data, yaitu pendeskripsian tertulis, gambar, foto, dan tinjauan pustaka. Setelah itu data dialah dan diperbandingkan dengan pura pura lain di Bali dan bangunan suci di Jawa (terutama Candi Induk Panataran dan punden berundak di Gunung Penanggungan).
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa Pura Meduwe Karang dibangun menggunakan batu paras dan halaman pura sengaja dibuat berundak, berkaitan dengan konsepsi gunung suci. Kemungkinan Pura Meduwe Karang dibangun pada masa kerajaan Buleleng, namun mendapatkan pengaruh dari bangunan suci masa Majapahit akhir, dan pada ornamen ragam hiasnya (relief) mendapatkan pengaruh dari masa kolonial Belanda. Ragam hias pura (relief) dapat digolongkan menjadi gaya relief Jawa Timur yang berlanggam wayang. Baik relief maupun area yang dipahatkan dan ditempatkan pada pura memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai simbol kesuburan, sesuai dengan fungsi pura sebagai pura ladang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S11519
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stuart-Fox, David J.
Jakarta: KITLV; Pustaka Larasan, 2010
306 598 6 STU p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Bali merepakan salah satu pulau di Indonesia yang penduduknya masih berhasil mempertahankan corak kebudayaan warisan nenek moyang yang berasal dari periode klasik Indonesia. Diantaranya adalah pura dan puri yang dekat dengan budaya Hindhu...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaesih Maulana
"ABSTRAK
Permasalahan yang menjadi pokok bahasan timbul dengan ditemukannya data lapangan yang menunjukkan bahwa, 1. arca- arca kuna di Bali masih dianggap suci dan keramat, namun tidak lagi dijadikan sarana pemujaan meskipun masyarakat Bali adalah penganut agama Hindu. 2. Di Bali, area-area kuna yang kita temukan, penempatannya di dalam candi atau pura tidak seperti yang kita temukan di Jawa atau India, yaitu di tempatkan di dalam relung-relung candi.3. Adanya penggolongan pura menurut fungsinya. Kenyataan tersebut menimbulkan suatu pertanyaan "adakah kaitan antara area-area dan penggolongan pura di Bali".
Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian yang bertujuan mewujudkan gagasan guna menyusun buku Ikonografi Hindu Indonesia. Ikonografi, merupakan suatu bidang penelitian ilmu arkeologi yang erat kaitannya dengan ciri-ciri dan pembuatan arca pada hakekatnya merupakan telaah mengenai pandangan suatu masyarakat terhadap pembuatan dan fungsi area dewa pujaannya, dapat memberi gambaran tentang kehidupan masyarakat bersangkutan.Pene1itian mengenai fungsi area, cara-cara penyembahan terhadap kedewaan kiranya dapat membantu memperjelas pemahaman tentang berkembang dan timbulnya filsafat yang terkait, yang umumnya berpengaruh terhadap cara berfikir masyarakat bersangkutan.
Salah satu cara yang dilakukan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini, adalah melalui tahapan-tahapan penelitian yang terdiri dari 1.pengumpulan data, baik data lapangan maupun data tertulis, 2. membuat klasifikasi, 3. menganalisa, baik data arkeologi maupun data penunjang, dan 4. tahap interpretasi, yaitu berusaha menarik kasimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi orang Bali yang beragama Hindu dimana ajaran yajna memegang peranan yang amat panting dan menjadi sendi kehidupan, maka pemujaan dewa dengan cara yajna merupakan oara terbaik, Untuk sampai pada tingkat sebuah aroa diterima sebagai unsur pendekat atau sarana para pemuja kepada Tuhan (= Istadewata) atau prinsip tertinggi terlebih dahulu harus melalui proses tersandiri, melalui pemujaan dan rituil tertentu sesuai peraturan. Kedudukan,sebuah area dalam upacara yajna erat kaitannya dengan keletakkan area itu sendiri di dalam sebuah pura."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Oktavia Almalisa
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S48989
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
J. Loekito Kartono
"BAB I PENDAHULUAN
Religi dan upacara religi merupakan salah satu sistem keyakinan yang hidup dalam masyarakat manusia sejak masih dalam bentuk yang sederhana dan primitip. Sistem ini timbul karena manusia yakin adanya kekuatan supranatural, mahluk harus (roh) dan akan adanya kelangsungan hidup jiwa manusia sesudah tubuh jasmaninya meninggal ( Koentjaraningrat, 1987 _ 57-65 ).
Dalam upacara religi biasanya dibutuhkan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti : tempat/gedung pemujaan (arsitektur), patung, alat bunyi-bunyian serta pakaian yang harus dikenakan karena dianggap suci.
Arsitektur yang berfungsi sebagai prasarana upacara religi, pada hakekatnya mengungkapkan ruang yang akan digunakan untuk menampung kegiatan manusia, baik secara fisik maupun psikis, dengan maksud agar manusia dapat berbahagia,serta mempunyai perwujudan nyata sebagai sebuah bangunan (Romondt, 1954 3 ). Dari segi kepercayaan dan agama ada 2 jenis konsep ruang. Pertama ialah ruang yang sudah "dikonsekrasikan" ( disucikan ) dan disebut sebagai ruang kudus (sacred), yakni ruang yang mereka diami dan dikenal sebagai dunia yang sudah teratur. Sedangkan ruang yang lain adalah ruang tidak kudus ( profan ), yakni ruang yang dianggap tidak mempunyai keteraturan, tidak berbentuk dan khaos. Maka yang menjadi pembeda utamanya adalah masalah kekudusan dari suatu ruang ( Eliade,1959 : 20-24 ).
Menurut Vitruvius, suatu karya arsitektur harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :
Commoditas ( komoditi ), Firmitas ( kekokohan ) serta Venusitas ( keindahan ). Jadi dalam mendisain bangunan sebagai kelengkapan upacara keagamaan, masyarakat tidak dapat mengabaikan aspek keindahan ( estetika ), disamping aspek-aspek yang lain.
Berbicara mengenai disain ( mulai dari proses imajinasi, implementasi dan pengkajian ulang ) ( Zeisel, 1984: E ) manusia akan selalu terlibat sesuai dengan peranan serta pengetahuan masing-masing individu, sebab design is everybody's bussiness (Grillo,1960:9,26).
Adapun hasil dari disain tiap individu ( designer ) akan selalu berbeda-beda. Karena sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan budaya yang telah dimiliki maupun aspirasi yang hidup dalam pribadi masing-masing.
Dalam masyarakat tradisional, pembuatan bangunan/ disain dilakukan secara berkelompok (jarang sendiri), dengan bantuan seorang perancang (seorang yang dianggap tua dan memiliki pengetahuan tertentu) atau secara kolektip serta didahului dengan berbagai upacara-upacara ritual ( Rykwert,1981 : 14-22 ).
Ada beberapa fungsi bangunan menurut arsitek-arsitek Hiller, Musgrove dan O'Sullivan ( 1972 ) antara lain 1. Sebuah bangunan adalah suatu perubah iklim dan " saringan " lingkungan yang komplek.
Manusia pada hakekatnya akan selalu berusaha untuk beradaptasi terhadap lingkungannya, baik secara tingkah laku, fisiologis maupun secara genetis dengan bertahap ( Moran,1979: 65-103 ). Salah satu bentuk perwujudan adaptasi tingkah laku manusia dalam menghadapi pengaruh lingkungan alam seperti hujan, matahari, suhu, salju, topografi, keadaan tanah serta pengaruh flora dan fauna, ialah membuat suatu lingkungan khusus di sekitar dirinya yaitu sebuah bangunan. Atap, dinding dan lantai bangunan diharapkan mengurangi pengaruh suhu serta melindungi dari hujan, salju dan angin. Jendela (pembukaan) untuk memasukkan cahaya agar menerangi bagian dalam dan memberikan kesegaran untuk bernafas. Jadi lingkungan buatan manusia ini merupakan suatu bentuk perwujudan adaptasi untuk mengurangi stress climatic agar tercipta lingkungan " micro climate " yang sesuai dengan tuntutan tubuh untuk memudahkan proses homeostasis?."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T3420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Upacara Dewa Meseraman merupakan salah satu upacara sakral yang dilaksanakan secara rutin setiap 6 (enam) bulan sekali oleh masyarakat Paksabali Kalungkung. Upacara ini dilaksanakan karena masyarakat menyadari bahwa kemampuan mereka dalam menembus dunia spiritual sangat terbatas, sehingga mengambil cara lain yakni dalam bentuk seperangkat upakara. Sarana-sarana persembahan ini dimaknai oleh masyarakat secara simbolis sebagai media penghubung menuju Tuhannya berdasarkan keyakinan yang dimiliki. Betapa pentingnya memahami simbul-simbul sebuah upacara sakral demi mehgindari penyimpangan makna yang terkandung dalam upacara tersebut. Upacara Dewa Meseraman secara simbolis berfungsi sebagai penunjuk lingkaran kehidupan manusia yang dijalani oleh masyarakat setempat menuju keseimbangan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya. Setiap tahapan profesi upacara dan sarana-sarana yang dipergunakan mengandung makna tersendiri tentang jalan kehidupan yang patut dipahami oleh masyarkat setempat sebagai pengempon pura."
JNANA 18:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Stuart-Fox, David J.
Leiden: KITLV Press, 2002
294.54 STU p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>