Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186078 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yeni Imaniar Hamzah
"Skripsi ini membahas perbandingan fantasi dan kecenderungan eskapisme dalam dua buah novel bergenre fantasi yang berasal dari pengarang yang sama, Neil Gaiman. Ciri Fantasi dapat dilihat dari latar tempat dalam kedua novel dan kecenderungan eskapisme dapat dilihat dari sikap masing-masing tokoh utama dari masing-masing novel, yaitu Tristran Thorn dan Richard Mayhew yang lebih memilih untuk tinggal di dunia fantasi daripada dunia nyata. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan kesemua analisis merujuk pada teks. Penulis memakai New Criticism dalam analisis ini terutama dengan melihat dari segi analisis naratologi, latar, dan perkembangan karakter tokoh utama. Penulis juga mengaitkan analisis ini dengan konsep eskapisme menurut J. R. R. Tolkien. Temuan penelitian ini yaitu makna dari kedua novel ini adalah fantasi yang merupakan representasi dari imajinasi dapat dilihat sebagai suatu hal yang positif dan dewasa. Hal ini disimpulkan dari dunia fantasi dalam masing-masing novel yang memiliki peran berbeda bagi tokoh utama di kedua novel tersebut. Dalam Stardust, dunia fantasi berperan sebagai tempat pencarian identitas diri bagi Tristran Thorn sedang dalam Neverwhere peran dunia fantasi bagi Richard Mayhew adalah sebagai tempat escape atau melarikan diri yang sejalan dengan pemikiran Tolkien.

The focus of this study is comparing two novels by Neil Gaiman; Stardust and Neverwhere. The characteristics of fantasy can be seen from the setting of both novels and escapism characteristics can be seen from the protagonists, Tristran Thorn and Richard Mayhew, who prefer to live in the fantasy realm rather than the reality. This qualitative study uses New Criticism as a method, especially by analysing the narration, setting, and character development. This study also uses J.R.R Tolkien_s concept about fantasy and escapism. This study then has two conclusions. First, fantasy in each novel has different meanings for each protagonists. For Tristran Thorn, the fantasy realm has the role of finding his true identity. While for Richard Mayhew, the fantasy realm is a media of escape equivalent to the Tolkien's concept. Then, it leads to the main conclusion that fantasy, as a representation of imagination, is not an immature media. On the contrary, it shows maturity and has a positive quality in it."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S14205
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Qissera el Thirfiarani
"Skripsi ini membahas novel dan film Crazy. Tujuan penelitian adalah membandingkan kedua karya untuk mengetahui persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam novel dan film sehingga dapat terlihat perubahan yang timbul akibat ekranisasi. Metode penelitian yang digunakan adalah struktural, dengan pendekatan intrinsik. Pertama-tama, yang dianalisis adalah novel, kemudian fiimnya. Setelah itu, kedua analisis tersebut dibandingkan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan antara novel dan film. Selain itu terdapat pula beberapa perbedaan, yang timbul baik akibat tuntutan media yang digunakan maupun interpretasi sutradara. Salah satu contoh perbedaan yang timbul akibat tuntutan media yang digunakan adalah penokohan Benjamin Lebert. Dalam novel, cacat tubuh Benjamin, digambarkan melalui kegiatan-kegiatan yang tidak bisa dilakukan olehnya. Sedangkan dalam film, cacat tubuh Benjamin dapat dilihat melalui penampilan fisik pemeran tokoh tersebut. Perbedaan yang timbul akibat interpretasi sutradara dapat dilihat pada bagian alur. Dalam film terdapat peristiwa yang tidak terdapat dalam novel, yaitu saat terjadi pertengkaran antara Benjamin dan Janosch. Sebaliknya, ada pula peristiwa yang terdapat dalam novel tapi tidak dalam filmnya, yaitu pertemuan dengan Sambraus Marek.

This thesis discusses the novel and film _Crazy_. The purpose of my research is to compare the novel and the film, in order to find out the similarities and differences that occur as a result of adaptation. The structural method and intrinsically approach are used in this thesis. First of all, the novel is analysed and then the film. Afterward those both analysises are compared. My research proved that there are some similarities as well as differences that occur as a consequence of adaptation. The differences ensue because of the requirements of the medium and also the film director_s interpretation. An example of the difference that occurs caused by the medium requirement is characterization of Benjamin Lebert. In the novel, Benjamin_s physical handicap described with some activities, which are not able to be done by him, while in the film this can be seen by the physical appearance of the actor. The difference which occurs caused by the film director_s interpretation can be seen from the film_s plot. In the film there is occurrence, which doesn_t exist in the novel, that is the quarrel between Benjamin and Janosch. On the other hand, there is also occurrence in the novel, which doesn_t exist in the film, for example is the meeting with Sambraus Marek."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S14977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teraya Paramehta
"Adaptasi adalah sebuah dilema kontemporer dimana sebuah karya adaptasi seringkali dinilai berdasarkan kesetiaan maupun ketidak setiaannya terhadap karya sumber. Novel A Clockwork Orange yang ditulis oleh Anthony Burgess pada tahun 1962 diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Stanley Kubrick pada tahun 1971. Setelah dilayarputihkan, A Clockwork Orange menuai banyak kontroversi seputar permasalahan kekerasan karena banyak kasus kriminal yang kemudian mengikuti A Clockwork Orange baik di Amerika dan Inggris. Hal ini merupakan efek kultural yang diakibatkan oleh sebuah proses adaptasi. Perbedaan konvensi sastra (novel) dan film yang berbeda menghasilkan makna tematis dan ideologi yang berbeda.
Fenomena ini menarik penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang esensi kekerasan secara tematis dan ideologis yang terdapat dalam baik novel dan film A Clockwork Orange. Karena alasan inilah penulis memilih tema kekerasan (yang dalam A Clockwork Orange disebut dengan "ultra-violence") dalam film dan novel A Clockwork Orange sebagai corpus penelitian, dan menggunakan teori adaptasi George Bluestone dari buku Novels into Film (1957) dan pendekatan obyektif (New Criticism) dari Kenneth Burke. Dalam buku Novels into Film (1957).
Dikemukakan bahwa perbedaan medium novel dan film pasti menghasilkan perbedaan pemaknaan. Namun perbedaan pemaknaan tersebut bukan hanya dari mutasi narasi novel ketika diadaptasi ke film, tetapi juga dari pemaknaan visual.
Penulis melakukan penelitian ini dengan membandingkan novel dan film secara tematis, dan kemudian melihat pesan ideologis novel dan film yang muncul dari perbedaan tematis tersebut. Novel A Clockwork Orange secara tematis menunjukkan bahwa kekerasan merupakan sebuah bagian dari fase proses pendewasaan seseorang. Hal ini dapat dilihat dengan menganalisa tiga hal dalam novel.
Pertama, penokohan karakter utama Alex yang menunjukkan bahwa Alex adalah seorang remaja pemberontak.
Kedua, setting pada novel yang menunjukkan keadaan distopia sebagai latar belakang pendukung kekerasan yang dilakukan Alex.
Dan ketiga, plot novel yang memiliki struktur yang dapat diinterpretasi sebagai simbol pendewasaan seseorang.
Analisis tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa kekerasan dalam novel A Clockwork Orange dilihat sebagai sebuah bagian fase pendewasaan seorang remaja pemberontak seperti Alex. Hal tersebut menunjukkan posisi ideologis novel bahwa kekerasan dikritisi sebagai suatu hal yang satir; dimana kekerasan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang dapat merugikan banyak orang namun keberadaannya tidak dapat hilang dari kehidupan manusia. Film A Clockwork Orange menginterpretasikan novelnya secara visual dengan gaya sutradara Stanley Kubrick. A Clockwork Orange kemudian mengalami stilisasi atau _gaya_ sesuai dengan interpretasi visual Kubrick. Kubrick memilih A Clockwork Orange versi terbitan Amerika Serikat dimana versi tersebut tidak menyertakan bab terakhir dalam novel. Ini mengakibatkan pergeseran makna tematis dan posisi ideologis. Hal ini dapat dilihat dengan menganalisis penokohan Alex, setting, plot dan musik dalam film yang membentuk pemaknaan baru secara visual.
Film A Clockwork Orange menunjukkan bahwa kekerasan dilihat sebagai bagian dari kehendak bebas manusia yang dirayakan. Secara tematis, kekerasan tidak lagi dilihat sebagai bagian dari proses pendewasaan, namun bagian dari kebebasan manusia. Adanya terjemahan visual ke dalam film dari apa yang ditulis dalam novel memberikan pemaknaan yang berbeda, yaitu kekerasan sebagai bagian dari kehendak bebas tersebut. Hal ini kemudian menunjukkan posisi ideologis film yang berbeda dengan novel, yaitu sebagai sebuah perayaan terhadap kebebasan.
Kesimpulan akhir dari penelitian ini menunjukkan bahwa novel dan film A Clockwork Orange memiliki pemahaman tematis dan posisi ideologis yang berbeda. Dalam novel, kekerasan dilihat sebagai bagian pendewasaan dan memiliki posisi ideologis dimana kekerasan dilihat sebagai sebuah satir kehidupan. Sementara dalam film, secara tematis kekerasan dilihat sebagai bagian dari kehendak bebas manusia, dan secara ideologis memperlihatkan bahwa kehendak bebas manusia merupakan suatu hal yang keberadaannya dirayakan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses adaptasi, novel dan film berhubungan sebagai karya sumber dan interpretasinya, namun secara tematis dan ideologis, novel dan film merupakan karya yang dapat berdiri secara otonom dan dapat berdiri dengan pemaknaannya masing-masing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13955
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"dalam sastra sebuah novel adalah suatu ketegangan antara kenyataan dan rekaan. begitu pula novel titik balik kesunyian karya Ilham Zoebazary. peristiwa nyata yang terjadi pasca-kemerdekaan,orde lama,orde baru, meliputi periode tahun 1948-1970 an ini membentang sepanjang cerita. novel ini menarik dikaji karena novel ini mampu menukilkan refleksi sejarah di Indonesia pada tahunnya. penelitian ini mendeskripsikan sejarah di Indonesia yang terefleksikan dalam novel Titik Balik Kesunyian (TBK) berikut nilai-nilai sosial-politik yang terdapat dalam novel tersebut meliputi nilai kelaurga, masyarakat, cinta kasih, dan sosial-politik novel Titik Balik Kesunyian karya Ilham Zoebazary merupakan novel berlatar depan peristiwa G 30 September 1965. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra dan menggunakan teori mimetik."
310 Bebasan 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Roesmiati
"Dalam sastra, sebuah novel adalah suatu ketegangan antara kenyataan dan rekaan. Begitu pula novel Titik Balik Kesunyian karya Ilham Zoebazary. Peristiwa nyata yang terjadi pascakemerdekaan, orde lama, dan orde baru, atau meliputi periode tahun 1948—1970-an ini membentang sepanjang cerita. Novel ini menarik dikaji karena novel ini mampu menukilkan refleksi sejarah di Indonesia pada tahunnya. Penelitian ini mendeskripsikan sejarah di Indonesia yang terefleksikan dalam novel Titik Balik Kesunyian (TBK) berikut nilai-nilai sosial-politik yang terdapat di dalamnya. Nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel tersebut meliputi nilai keluarga, masyarakat, cinta kasih, dan sosial-politik Novel Titik Balik Kesunyian karya Ilham Zoebazary merupakan novel berlatar depan peristiwa G 30 September 1965. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra dan menggunakan teori"
Banten: Kantor Bahasa Provinsi Banten, 2016
BEBASAN 3:1 (2016 )
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmeita Marsjidina
"ABSTRAK
Bila sebuah novel diangkat ke layar lebar, akan terjadi beberapa perubahan. Perubahan dapat terjadi dalam kisah cerita yang disampaikan, dalam cara penyajiannya, ataupun keduanya. Hal tersebut tidaklah dapat dihindari, karena di sini terjadi perubahan media, yaitu dari media cetak ke media visual.
Novel De Aanslag karya Harry Mulisch adalah sebuah novel yang diadaptasi ke layar putih oleh sutradara Fons Rademakers dengan judul yang sama. Novel dan film tersebut mengisahkan suatu peristiwa tragis yang menimpa sebuah keluarga, dilihat dari mata seorang anak kecil berusia 12 tahun pada saat Perang Dunia II. Peristiwa tersebut mengakibatkan trauma bagi dirinya dan terns membayangi kehidupannya sampai ia dewasa. Walaupun terdapat kesamaan dalam kisah cerita yang disampaikan, karena novel dan film merupakan dua media yang berbeda, berbeda pula cara penyajiannya.
Dalam skripsi ini saya membandingkan novel dan film De Aanslag. Dari perbandingan itu, dapat ditemukan persamaan dan perbedaan di antara kedua karya tersebut serta dapat mengetahui bagaimana sebuah cerita yang sama disampaikan melalui dua media yang berbeda.

"
1995
S15909
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahlan Mohd. Saman
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], [Date of publication not identified]
808.803 59 SAH n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sahlan Mohd. Saman
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1995
808.803 59 SAH n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kusumajanti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Teori Tema Fantasi dalam kaitannya dengan pemeliharaan hubungan antarpribadi dan kohesivitas kelompok. Penelitian ini mempergunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif interpretif. Penelitian ini menggunakan studi kasus purnawirawan yang tergabung dalam sebuah paguyuban. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pengembangan Tema Fantasi mempertimbangkan faktor hubungan antarpribadi dan pemeliharaan kohesivitas kelompok. Pembentukan tema fantasi dapat dipergunakan untuk memelihara kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok yang terpelihara memudahkan anggota kelompok membentuk tema fantasi dan mempererat jalinan hubungan antarpribadi. Jalinan hubungan antarpribadi memiliki keterkaitan dalam pembentukan tema fantasi dan pemeliharaan kohesivitas kelompok. Hubungan antarpribadi yang bernilai positif mampu membuat aktivitas komunikasi berjalan dengan efektif sehingga anggota kelompok memberi respon pada cerita atau fantasi yang sedang berkembang dalam kelompok.

This research aims to develop a theory of fantasy themes in relation to the maintenance of interpersonal relations and group cohesiveness. The study used the constructivist paradigm with qualitative interpretive approach. This study uses a case study of retired who are members of a community. Results of the study explained that the development of fantasy themes to consider the factor of interpersonal relations and the maintenance of group cohesiveness. The establishment of a fantasy theme can be used to maintain group cohesiveness. Group cohesiveness is maintained facilitate members of the group formed a fantasy theme and strengthen the fabric of interpersonal relationships. Interwoven interpersonal relationships have relevance in the establishment and maintenance of a fantasy theme group cohesiveness. Interpersonal relationship that is positive able to make communication activities run effectively so that members of the group to respond to the stories or fantasies emerging in groups."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2062
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri H. Wijayanti
"Penelitian sastra bandingan antarnegara serumpun Indonesia - Malaysia, masih jarang dilakukan orang. Novel Indonesia Salah Asuhan (1986) karya Abdoel Moeis memperlihatkan kesamaan subtema dengan novel Malaysia Mencari Isteri (1975) buah tangan M. Yusuf Ahmad. Keduanya sama-sama menyinggung masalah kawin paksa. Tujuan skripsi ini ialah membandingkan kawin paksa dalam kedua novel dan melihat sikap pengarangnya terhadap masalah kawin paksa.
Penelitian yang menggunakan pendekatan ekstrinsik dan dan intrinsik ini akhirnya berkesimpulan bahwa kawin paksa dalam kedua novel terjadi pada pihak laki-laki yang berusia dua puluhan, berpendidikan tinggi, serta berasal dari kelas menengah ke atas. Pasangan yang dijodohkan berusia belasan tahun, berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan. Kawin paksa terjadi oleh karena masyarakat luar, terutama kaum tua, belum dapat menerima kawin campuran; mereka terbiasa oleh perkawinan antarkeluarga terdekat atas pertimbangan ekonomi atau sosial atau kedua-duanya. Akibatnya, hidup perkawinan mereka tidak bahagia.
Baik Abdoel Moeis maupun Yusuf Ahmad tidak sepenuhnya bersikap negatif terhadap masalah kawin paksa. Kedua pengarang seolah-olah memandang kawin paksa akan membawa kebahagiaan apabila kedua pasangan saling bertenggang rasa dan berupaya membina rumah tangga bersama. Yusuf Ahmad memandang kawin paksa lebih baik daripada kawin-cerai atau berpoligami, sedang Abdoel Moeis cenderung memihak perkawinan atas dasar pemikiran atau pertimbangan baik-buruknya daripada perasaan semata-mata."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>