Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60036 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widya Purnama Dewi
"Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Yang pertama adalah untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan genkan dalam struktur tata ruang rumah Jepang. Tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui mengapa genkan merupakan bagian yang harus ada dalam struktur tata ruang rumah Jepang. Kemudian, yang ketiga bertujuan untuk mengetahui bagaimana genkan di tengah perkembangan desain tata ruang yang semakin modern mampu bertahan hingga saat ini. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan. Berdasarkan pada pengertian genkan yang tertera pada Kamus Kojien akan dilakukan analisis terhadap pengertian dan fungsi genkan yang dikaitkan dengan teori uchi-soto Seiichi Makino dan Charles J. Quinn, Jr, serta pernyataan Shigeru Iijima mengenai factor pembentukan psikologi orang Jepang yang ada dalam lingkup arsitektur Jepang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa genkan yang merupakan bagian dari tata ruang rumah jepang tetap dapat bertahan dengan karakteristiknya yang khas, memiliki fungsi lebih dari sekedar pintu masuk kedalam rumah. Genkan yang juga dapat disebut sebagai aimai no tobira atau pintu yang bukan pintu (pintu yang bersifat ambigu), merupakan pembatas antara bagian dalam dan luar dari bangunan rumah yang memiliki makna lebih dari sekedar pengertian ruang yang bersifat konkrit, seperti dapat dicontohkan dengan juga fungsi genkan yang dapat menyatakan _gmana yang merupakan orang dalam (uchi) dan mana yang merupakan orang luar (soto)_h. Selain itu, genkan juga berfungsi untuk memisahkan antara bagian yang bersih dan yang kotor, serta bagian yang suci dan tidak suci. Dari analisis juga dapat disimpulkan bahwa fungsi genkan dapat dapat mencerminkan kesadaran psikologi dan cara pandang orang Jepang terhadap pembagian antara dalam (uchi) dan luar (soto).

This research has three objectives. The first is to figure out what genkan means in Japanese interior design. The second is to figure out why genkan is a has to be a part of Japanese interior design. Finally, the third objective is to figure out how genkan manages to survive despite the modernization of interior design. The research is done by the dictum method. Based on the description of genkan that is described in the Kojien Dictionary, there will be an analysis concerning the comprehension and the functions of genkan that is related to Seiichi Makino and Charles J. Quinn, Jr._fs uchi-soto theory, along with Shigeru Iijima_fs statement about the shaping of Japanese people_fs psyche within the range of the Japanese architecture.
The research shows that genkan as a part of Japanese interior can still survive with its certain characteristic, that it is more functional than merely an entrance to the house. Genkan, which can also be described as the aimai no tobira or a door that is not a door (an ambiguous door), separates the indoor space and the outdoor space of the house that has a deeper meaning than _gspace_h in a concrete sense. For example, genkan can separate between _ginsiders (uchi) and outsiders (soto)_h. Apart from that, genkan also functions as a separator between the clean and the dirty, as well as the pure and impure . From the analysis we can also conclude that the functions of genkan can reflect the Japanese_fs psyche and point of view about separating the inside (uchi) and outside (soto)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S13750
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Megantari
"ABSTRAK
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak berdirinya hingga sekarang telah diperintah oleh sepuluh orang Sultan. Masa pemerintahan yang panjang, yaitu masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I hingga yang ke-XI sekarang ini, menyebabkan pula banyak terdapatnya permukiman, khususnya permukiman kaum bangsawan.
Rumah-rumah para bangsawan (pangeran) terletak menyebar, yaitu baik didalam beteng (jerobeteng) maupun diluar beteng. Penempatan rumah-rumah pangeran tersebut tidak menunjukkan akan adanya faktor keturunan yang melekat pada diri seorang pangeran. Hal ini dapat dibuktikan oleh rumah (dalem) G.B.P.H Djojokusuman yang menjadi objek penelitian. Walaupun G.B.P.H Djojokusumo itu adalah putra dari seorang selir, tetapi rumahnya berada dekat dengan keraton.
Pemilihan objek penelitian tersebut didasarkan atas kekhasan yang dimiliki oleh rumah (dalem) tersebut, yaitu terdapatnya tiga buah regal, terdapatnya kuncung, terda_patnya kleco serta terdapatnya pintu butulan yang berada di bagian belakang rumah. Penelitian yang dilakukan adalah dengan melalui studi banding (komparasi) dengan rumah-rumah pangeran lainnya, khususnya adalah mengenai penataan ruangnya.
Pada tahap analisis diketahui bahwa antara rumah_-rumah pangeran tersebut mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah terletak pada penataan ruang, dimana tiap-tiap rumah umumnya mempunyai ruangan inti. Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada jumlah ruang keseluruhan (diluar ruangan inti) dalam rumah.
Adanya persamaan dan perbedaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor yang menyebabkan adanya persamaan adalah karena adanya faktor tradisi dalam membuat ruangan dalam rumah (ruangan inti) yang selalu diterapkan pada rumah-rumah tradisional jawa, terlepas dari apakah itu rumah milik bangsawan atau milik masyarakat biasa. Faktor-faktor yang membedakannya adalah karena faktor luas tanah yang tersedia, faktor kebutuhan dan pedoman."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S12806
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hinijati Widjaja
"Penelitian dan konservasi terhadap bangunan tradisional masyarakat keturunan Cina belum dilaksanakan pemerintah daerah Tangerang. Bangunan tradisional tersebut merupakan salah satu hasil kebudayaan, yang dapat meningkatkan peran pariwisata. Penelitian ini memfokuskan perubahan fungsi dan makna bentuk pola tata ruang rumah tradisional keturunan Cina dengan metode komparatif di lapangan. Penelitian ini dilaksanakan di dua unit ekologi yang berbeda yakni, di desa Marga Mulya Tanjung Kait dan kota Tangerang. Kedua tempat tersebut telah berubah tatanan sosial kulturalnya, karena berkembangnya lingkungan sekitarnya menjadi kawasan industri dan hunian yang padat. Dan perubahan pola pikir masyarakat keturunan Cina pada generasi baru yang lebih ke arah praktis dan modern.
Di rumah tradisional di kota mengalami perubahan yang besar karena adanya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal anaknya yang baru menikah, sedangkan rumah tradisional di desa tidak terlalu mengalami perubahan yang berarti, karena demi menghormati amanat leluhur yang menginginkan rumah tradisionalnya tetap tidak boleh dirubah. Persamaannya terletak pada pembagian pola rata ruang bangunan tradisional yang mempunyai fungsi dan makna yang sama.
Secara umum penelitian ini bertujuan memberi masukan kepada PEMDA Tangerang, dengan mengidentifikasikan proses perubahan fungsi dan makna pada rumah tradisional masyarakat keturunan Cina di Tangerang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10176
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47907
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilywati
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47860
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carolina Vivien Christianti
"Tesis ini mengevaluasi kebijakan penyusunan kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam mengatasi dampak pembangunan tata ruang Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode Regulatory Impact Analysis (RIA) dengan menggunakan kuesioner dan checklist untuk mengevaluasi dampak kebijakan tersebut dalam mengelola permasalahan lingkungan. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa dalam pelaksanaan kebijakan, pemerintah perlu menyiapkan personil ahli dan prasarana terkait dengan pengelolaan lingkungan, memperkuat koordinasi antar pemerintah daerah sekitar Kota Surakarta dalam mengelola dampak lingkungan, pendefinisianan masyarakat yang boleh berpartisipasi dalam penyusunan kajian AMDAL, pelaksanaan pengawasan dan pemantauan yang berkesinambungan, serta perlu dilakukannya sosialisasi dan pendampingan pemerintah daerah dalam pelaksanaan penyusunan kajian AMDAL.

This thesis evaluates policy on Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) in addressing the impact of spatial development Surakarta. This study uses Regulatory Impact Analysis (RIA) using a questionnaire and checklist to evaluate the impact of these policies to manage environmental problems. The results of this study suggest that in implementing policies, governments need to prepare expert personnel and infrastructure related to environmental management, strengthening coordination among local governments around Surakarta in managing environmental impacts, definition of society who may participate in the preparation of AMDAL studies, implementation supervision and monitoring of sustainable, as well as socialization and assistance needed to do local governments in the implementation of the preparation of the AMDAL study."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T 27641
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mara Oloan
"ABSTRAK
Berkembangnya kehidupan demokrasi di Indonesia telah disusul dengan tuntutan demokratisasi dalam berbagai bidang termasuk dalam penataan ruang. Menguatnya tuntutan masyarakat agar diikutsertakan dalam perencanaan tara ruang kota merupakan salah satu indikasi perubahan tersebut. Sebelumnya, kebijakan nasional yang mengadopsi PSM dalam perencanaan sudah banyak. Fakta lapangan, penyelenggaraan PSM dalam perencanaan tata ruang masih terus dipertanyakan banyak pihak. lni berani pendekatan PSM belum terinstitusionalisasi dalam arti belum diterima, belum dinilai tinggi, dan belum dipaluhi.
Rencana tata ruang kota merupakan kebijakan publik (public poiicy). Pemasalahan kebijakan akan terjadi apabila kebutuhan-kcbutuhan (needs), nilai-nilai (valtrex), dan potensi/peluang untuk perbaikan belum tercalisasi padahal seharusnya dapat didorong melalui public action. Munculnya tunlulan masyaral-:al berperan serla dalam perncanaan lata ruang kota mengindikasikan adanya kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi, nilai-nilai terdistorsi, dan peluang perbaikan yang tidak termanfaatkan. Kesenjangan yang ada antara kebijakan pnblik dengan harapan masyarakat merupakan persoalan kebijakan (policy probiem).
Berdasarkan permasalahan dikemukakan diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah persoalan kebijakan (policy problem) PSM dalam perencanaan tata ruang kota di kota Jakarta? 2) Bagaimana model PSM yang diinginkan stakeholders dapat ditransformasikan dalam proses pelembagaan perencanaan tata ruang kota Jakarta? 3) Bagaimana institusionalisasi PSM tersebut di dalam perencanaan tata ruang kota Jakarta?
Penelitian ini berlolak dari asumsi, proses perencanaan tata ruang kota merupakan proses pembuatan kebijakan publik. Berdasar asumsi ini, proses perencanaan tata ruang pada dasarnya mengikuti kerangka proses pembuatan kebijakan publik (public policy making). Untuk mengkaji persoalan kebijakan mengenai PSM, dilakukan analisis secara policy content terhadap tatanan peraturan nasional serta tatanan peraturan dan kebijakan yang terkait langsung dengan PSM dalam perencanaan di DKI Jakarta. Ada beberapa teori yang digunakan sebagai alat analisis. Pertama, A ladder of citizen participation dari Arnstein. Kedua, lnstitusionalisasi yang diangkat dari teori institution building dari The Inter-University Research Programme for Instituion Building. Ketiga teori tentang instrumen kebijakan dari Howlett & Ramesh.
Eksplorasi terhadap model PSM yang diinginkan stakeholders, didekati dari teori tentang lingkup PSM oleh Ronald McGill dan Margareth, teori tentang obyek PSM dari Fagence, teori tentang isu-isu panting dalam penyelenggaraan PSM dari Margareth. Untuk mengetahui pola interaksi antar kelompok stakeholders, didekati dengan paradigma jaringan kolaboratif PSM yang dikemukakan Innes & Booher, serta teori social capital khususnya pola interaksi antar institusi yang dikemukakan Ismail Serageldin & Christian Grootaert. Sedangkan untuk mengetahui institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang Kota Jakarta, didekati dari teori institution building dikemukakan diatas.
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif-eksploratif. Disebut deskriptif karena merupakan penelitian klarifikasi PSM sebagai fenomena sosial. Sebagai penelitian eksploratif penelitian ini berupaya mencari jawaban-jawaban mengenai How dan Why perihal PSM. Data kuantitatif diperoleh dari pengolahan terhadap jawaban responden atas kuesioner, dan data kualitatif diperoleh dari wavtancara mendalam dengan para informan, hasii telaahan terhadap tatanan peraluran, kebijakan, dan dokumen terkait lainnya, Serta observasi lapangan. Responden dipilih dari stakeholders kelompok government, pi-ivote sector, dan civil society secara purposive yang diwakili institusi, asosiasi, organisasi, dan kelompok yang berpartisipasi dalam penataan ruang.
Temuan penelitian menyingkapkan bahwa tatanan peraturan nasional membatasi PSM hanya pada tingkatan informing, consultation, dan plocotion (tangga ke 3, 4, dan 5), dan sedikit pada taraf kemitraan ("partnership?). PSM yang lelah diterapkan oleh Pemda DKI Jakarta mencapai tingkatan kemitraan (partnership) melalui perwakilan institusi dari Perguruan Tinggi, Asosiasi Profesi, Asosiasi Pelaku Bisnis, institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah, dan LSM sehingga PSM bersifat institusional. Sedangkan PSM yang diharapkan stakeholders mencapai tingkatan delegated power dan citizen control (tangga ke 7 dan 8 Arstein). Namun khususnya kelompok civil society, memilih tetap dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan private sector secara terbuka.
Sebagian besar stakeholders menyatakan tingkat pelibatan PSM selama ini tidak cukup, padahal dinilai sangat panting. Nilai-nilai keadilan, dan pernerataan sosial-ekonomi dinilai belum terealisasi. Stakeholder menyatakan bahwa tujuan utama PSM adalah untuk memastikan aspek keadilan dan pemerataan sosial ekonomi diakomodasikan dalam rencana tata ruang kota. Penelitian ini menyimpulkan tidal( efektifnya pelaksanaan PSM dalam perencanaan, bersumber dari tidak adanya pcngaturan PSM pada sebagian besar unsur/sub-unsur institusionalisasi, baik pada tatanan peraturan nasional maupun daerah. Kebijakan strategis (UU Penataan Ruang) yang telah mengadopsi pendekatan PSM, temyata juga tidak ditindaklanjuti dengan penetapan instrumen-instrumen kebijakan yang memadai agar kebijakan strategis tersebut efektif sehingga untuk menyelenggarakan PSM pedomannya tidak memadai.
Model PSM dalam perencanaan tata ruang kota yang diinginkan stakeholders, memiliki pola benjenjang/bertahap. Bukan seperti PSM paradigma tradisional lagi, tetapi tidak pula seperti paradigma jaringan kolaboratif yang dikemukakan Innes and Booher. Untuk tahap awal, stakeholders menghendald forum-forum informal, dimana kelompok civil society harus dipisah dengan kelompok bisnis (private sector). Selain itu, stakeholders menginginkan adanya Komisi Perencanaan, bertugas mengembangkan pendekatan, menyusun strategi, mengagendakan, dan membahas hasil akhir dari proses PSM dalam perencanaan tata ruang kota.
Penelitian ini menunjukkan bahwa institusionalisasi PSM masih rnenghadapi masalah besar. Sebanyak 21 dari 27 unsur/sub-unsur institusionalisasi kondisinya masih "tidak memadai? sebagai persyaratan berlangsungnya proses institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang kota. Dinas Tata Kota DK1 Jakarta sebagai institusi perencanaan, tidak disiapkan untuk menyelenggarakan PSM dengan partisipasi yang lebih luas dari civil society, private sector dan government sebagai implementasi pendekatan PSM yang sudah diadopsi UU Pcnataan Ruang . Hal ini terkait dengan tidak memadainya instrumen kebijakan dari UU tersebut.

ABSTRACT
The evolvement of democratic life in Indonesia has been followed by the need of democratization in all sectors including in spatial planning. lnvigorating contention from community demanding to be involved in the urban planning process is one ofthe indications of such evolvement. Prior to that, the national policy adopting Public Participation (hereinafter ?PP?) in planning had reached numerous numbers. ln contrary, the empiric Facts show that the implementation of PP in urban planning process remains questioned frequently by many parties. This implies that the approach of PP has not been institutionalized, in a way that it has not been well-accepted, not highly praised, and has been neglected.
Urban planning is a public policy. Policy problems will occur if needs, values, and opportunities for improvement have not been executed, whereas they could be encouraged through public action. The existence of public contention to be involved in urban planning indicates that there arc unfullilled needs, distorted values, and unutilized opportunities for invoking improvement. Gap occurred between settled public policies with public?s expectations constitutes as a policy problem. According to problems elaborated above, this research questions: l) ?What are policy problems of implementating PP in urban planning process in Jakarta?? 2) ?How could the PP model desired by stakeholders be transformed in institutionalization process of urban planning of .lakarta'?? 3) ?How has the institutionalization of PP in the urban planning of Jakarta been institutionalized??
This research is based on the assumption that the process of urban planning is a process of public policy making. Evolving from such assumption, the process of urban planning basically follows the frame of public policy making process. In reviewing policy problem of PP in urban planning, analysis through policy content is conducted towards the set of national regulations and provincial regulations directly attached with PP in the planning of Jakarta. There are several theories utilized as tools of analysis in this research. The first theory is ?A ladder of Citizen Participation" from Amstein. The second theory is the institutionalization which arises from the theory of institution building from ?The Inter-University Research Programme for Institution Building?. The third theory is concerning the policy instrument by Howlett & Ramesh.
Exploration of the PP model intended by the stakeholders is observed by the approach using several theories; the theory on the coverage of PP by Ronald McGill and by Margareth, the theory on the object of PP by Fagence, and also the theory conceming major issues in the implementation of PP also by Margareth. In identifying the interaction pattern among the stakeholders, a theory on the paradigm of colaborative network of PP by Innes & Booher, and also a theory on social capitol specifically on the interaction pattem among institutions by Ismail Serageldin & Christian Grootaert, are applied. In the other hand, in identifying the institutionalization of PP in the Jakarta urban planning, the aforementioned institution building theory is applied.
This research is built as descriptive-explorative research. It is descriptive because it is a research on the clarification of PP as a social phenomenon. It is an explorative research because it aims to find solutions on ?how? and ?why? regarding PP. Quantitative data is obtained through the analysis of respondents? answers to questionnaires, and qualitative data is obtained through profound interviews with informants, critical review on the set of regulations, law, related documents and field observation. Respondents are chosen from groups of stakeholders, government, private sector, and civil society in purposive order represented by institutions, associations, organizations, and groups of participants on spatial planning.
Research finding reveals that the set of national regulation enacts limitation to PP only to the degree of informing, consultation, and placation (the 3rd, 4th, and 5th ladder), and a little to the degree of partnership. PP implemented by the provincial government of Jakarta has reached the degree of partnership through institution representatives from universities, professional associations, business associations, central and regional govemmental institutions, and non-governmental organizations that makes PP institutional. However, PP aspired by stakeholders reaches the degree of delegated power and citizen control (the 7th and 8th Amstein?s ladders). Though, groups of civil society in particular, prefer to participate together with government and private sector transparently.
Most of stakeholders narrated that the involvement degree of PP up to the present is not suflicient, whereas its value considered being very substantial. Values of justice and redistribution of social-economics are argued to be not realized yet. Stakeholders affirm that the main objective of PP is to ensure that the aspects of justice and social-economics equality are being accommodated in urban planning process. This research concludes that the ineffectivencss of the implementation of PP in planning is rooted from the absence of the regulation of PP in most of institutionalization elements in both national and regional/provincial set of regulations and policies. The strategic policy (The Spatial Planning Act No.24/1992) adopting PP implementation is infact not equipped with sufficient policy instruments in order to make the strategic policy becomes effective. Thus, the directive of PP implementation is also insufficient.
Model of PP in urban planning process intended by the stakeholders has a grading pattern. It is not similar to the traditional paradigm of PP or either to the collaborative network paradigm stated by limes & Booher. In the first grade of the model, stakeholders yearn for informal forums, in which civil society groups must be separated from private sector groups. Moreover, stakeholders request for a Commission of Planning. This commission has the obligation to develop model of approach, set strategies, arrange agenda and discuss the linal results of PP process in urban planning.
This research illustrates that the institutionalization of PP still faces problems. 21 out of 2? elements/sub-elements of institutionalization still struggle with the condition of ?insufficiency? as a requirement to implement PP institutionalization process in the urban planning. City Planning Agency of Jakarta?s Government, as a planning institution, is not prepared to perform PP implementation with a wider range of participation from the civil society, private sector, and the govemment, as an implementation of PP approach that had been adopted by The Spatial Plaruiing Act No.24/1992. This is in accordance to the fact of the insufficient policy instrument in the derivative of such act."
Depok: 2007
D818
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Tjahjono
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47867
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afri Fauzi
"Obyek penelitian yang dikaji dalam skripsi ini adalah pemukiman masyarakat Cina di Kota Indramayu, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan mengetahui kedudukan pemukiman masyarakat Cina di dalam tata ruang Kota Indramayu. Melalui observasi diketahui bahwa pada pemukiman masyarakat Cina di Kota Indramayu dapat dijumpai elemen-elemen pemukiman masyarakat Cina seperti: klenteng, bangunan-bangunan ruko/pasar, akses/orientasi bangunan-bangunan pada pemukiman, serta pelabuhan. Hasil analisis internal terhadap pemukiman masyarakat Cina di Kota Indramayu diketahui bahwa struktur pemukimannya membentuk pola grid dengan sumbu vertikal utara-selatan dan lintang horisontal barat-timur. Dari pola yang demikian, nampak adanya pembagian wilayah yang memperlihatkan fungsi komersial dan strata sosial yang berbeda. Perbedaan ini tergantung pada tingkat kemudahan aksesibilitasnya. Jalan-jalan primer membagi kawasan Pecinan yang memiliki tingkat komersial paling tinggi. Jalan-jalan tersebut juga dapat memperlihatkan batas-batas wilayah pemukiman. Sementara jalan-jalan sekunder merupakan jalan-jalan kecil di antara ruko_ruko yang lebih dikenal dengan gang-gang. Gang-gang ini menghubungkan daerah belakang dengan daerah depan dari pemukiman masyarakat Cina. Ukurannya relatif sempit sehingga gang-gang tersebut hanya dapat dilalui oleh pejalan kaki dan kendaraan_kendaraan seperti motor, becak, dan sepeda. Bangunan-bangunan hunian yang besar dan berornamen mewah menempati daerah di kiri-kanan jalan-jalan primer komersial. Sementara kelompok masyarakat Cina biasa menempati rumah-rumah kecil yang jauh dari jalan-jalan primer. Disamping itu, keletakkan klenteng ternyata memperlihatkan penafsiran yang berbeda-beda di sejumlah kawasan. Hasil analisis ekstemal menunjukkan bahwa di dalam tata ruang Kota Indramayu, pemukiman masyarakat Cina terletak di antara pemukiman Eropa (di utara) dan pemukiman Pribumi-Arab (di selatan) (mediating position). Pemukiman yang dibentuk atas dasar pola grid ini merupakan kawasan yang di dalamnya berlangsung interaksi keruangan, sosial, ekonomik, dan nilai-nilai budaya. Di satu sisi pemukiman masyarakat Cina ini merupakan daerah tertutup, monorasial yang warganya bersandar pada nilai-nilai solidaritas internal dan kekeluargaan. Di sisi lain wilayah ini juga merupakan kawasan multirasial; yakni sebagai pusat kegiatan ekonomi kota yang masyarakatnya heterogen baik dari kebudayaannya (etnik) maupun status sosialnya. Melalui penafsiran peran perantara terhadap tata letak pemukiman masyarakat Cina di dalam tata ruang Kota Indramayu, diketahui bahwa daerah ini memiliki peran perantara (mediating role) baik dalam politik (struktural) maupun ekonomi (fungsional)"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S11517
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
"This research aims to explain and describe the colonial history of fortresses and their influence on the development of urban planning in Indonesia. The fortresses functioned as centres of colonial administration and control. In former days these fortresses were identified with the domination of power, economic exploitation and as symbols of foreign rule in areas ruled by local kings and entrepeneurs. Due to political and economic changes as well as in town planning, the funtion of these fortresses also changed. At present, the fortresses function as heritage sites and interesting places to be visited by tourists. The current efforts to conserve these historical sites can have an effect on urban development planning. The Indonesian government, especially the Department of Tourism and Culture, should give much attention not only for preservation but also for restauration of these sites."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>