Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55679 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zacky Khairul Umam
"Krisis kebudayaan Arab-Islam yang marak diperbincangkan pasca-Perang Enam Hari antara dunia Arab melawan Israel (1967) membuat para sarjana dan cendekiawan Arab semakin sibuk merevitalisasi makna tradisi. Kekalahan atas Israel yang didukung Barat bukan hanya dimaknai sebagai kekalahan politik, tetapi meluas menjadi persoalan kebudayaan. Bangsa Arab dirundung kekalahan dari modernitas Barat, dan saat itu mereka menjadi radar kembali atas ketertinggalan peradaban. Strategi dekonstruksi dan rekonstruksi tradisi menjadi polemik kebudayaan Arab."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13450
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Zaki Ma`rufi
"Kemunduran merupakan persoalan yang tengah melanda dunia Arab-Islam. Kemunduran ini ditandai dengan ketertinggalan Dunia Arab-Islam dari dunia Barat dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Muhammad Abid Al-Jabiri hadir untuk menjawab persoalan ini dengan mengajukan tawaran pembaruan dengan apa yang ia sebut al-qiraah al-muashirah. Al-qiraah al-muashirah adalah suatu telaah kritis atas tradisi pemikiran Arab-Islam. Tradisi tersebut dipilah untuk mengambil tradisi apa yang sesuai dengan kekinian sehingga memperoleh basis ideologis bagi pembaruan. Tradisi yang sesuai dengan kekinian dapat dijelaskan dalam satu frase, spirit of averroisme.

Arab-Islamic world was suffering in decadence that characterized by underdevelopment of the Arab-Islamic world beside the Western world in the economic, science and technology fields. Muhammad Abid al-Jabiri propose what he called al-muashirah al-qiraah to answer the need of reform in Arab-Islamic world. Al-muashirah al-qiraah is a critical review of the Arab- Islamic thought. The ideological basis of reform come from selection of tradition, which one can be take that correspond with contemporary context. Traditions that correspond with the present day can be explained in one phrase, the spirit of averroisme."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16055
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Heru Prasetyo
"Sudah sekian lama, pemikiran Islam berada dalam kondisi ketertutupan dan stagnasi. Sampai dengan era modern kini, pemikiran Islam masih saja berdaulat pada berbagai episteme dan piranti kebudayaan yang dihasilkan oleh para pembuat peradaban Islam zaman lampau. Pemikiran Islam bahkan sering dinarasikan dengan berbagai ungkapan yang negatif. Mohammed Arkoun adalah seorang pemikir yang senantiasa gelisah melihat kondisi ketertutupan nalar Islam. Tafsir tradisional-ortodoks terhadap teks kitab suci-yang masih terus digunakan hingga kini-menurut Arkoun memiliki andil besar terhadap ketertutupan nalar Islam. Menurut Arkoun, teks kitab suci harus ditafsirkan secara baru mengikuti struktur nalar yang berkembang pada setiap periode zaman. Dalam konteks tersebut, penggunaan hermeneutika modern terhadap teks kitab suci (al-Quran) menjadi suatu keniscayaan dalam pandangan Arkoun. Apresiasi Arkoun yang besar terhadap hermeneutika dapat dimengerti sebagai akibat dari pergumulan Arkoun dengan teori-teori sejarah dan filsafat Bahasa yang tumbuh subur di Barat, utamanya di Perancis dan Jerman. Para filsuf seperti: Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, Ferdinand de Saussure, dan Jacques Derrida_di samping juga para filsuf lainnya-sering menjadi rujukan Arkoun dalam usahanya mengembangkan metode hermeneutika. Metode hermeneutika yang dipelajari dan dikembangkannya ini pun secara signifikan telah ikut berperan membentuk format dan visi intelektualitasnya dalam memahami Islam. Hermeneutika terhadap teks kitab suci (al-Quran) yang ditawarkan Arkoun tidak lagi bertujuan mencari prinsip-prinsip pengetahuan metafisik ansich atau sekadar menempatkan suatu metadiscourse seperti yang pernah dihasilkan pemikir Islam skolastik semisal al-Farabi, ibn Sina, dan ibn Rusyd. Hermeneutika Arkoun terlebih ingin mendialogkan teks al-Quran dengan sejarah, pemikiran, serta dengan persoalan-persoalan konkret kemanusiaan, sekarang dan di sini. Dengan kata lain, melalui hermeneutika, Arkoun ingin memeras teks al-Quran sehingga mampu menghasilkan metode-metode baru, pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan konteks kekinian. Hermeneutika yang ditawarkan Arkoun juga sama sekali tidak berpretensi mengejar tujuan-tujuan ekstra Qurani atau sekadar bersifat apologetis seperti yang nampak pada gerakan pemikir Islam abad ke-19. Hermeneutika Arkoun justru didasarkan pada instrumen-instrumen metodologis yang kokoh. Dengan menggunakan instrumen metodologis yang kokoh, penafsiran al-Quran diharapkan mampu merasionalisasikan doktrin yang ditemukan dalam atau dirujukkan kepada al-Quran, dan pada saat yang sama mampu mendemitologisasi berbagai pemahaman mitis dan metafisik di sekitar penafsiran al-Quran. Upaya hermeneutika yang ditujukan untuk membangun kembali pemikiran Islam tidak akan berpengaruh signifikan apabila tidak didahului dengan penggunaan analisis historis dan strategi dekonstruksi. Kedua hal tersebut akan menjadi perangkat pengungkap nalar ortodoki Islam yang telah menyelimuti seluruh dimensi pemikiran Islam. Semua langkah dan upaya Arkoun tersebut dijelmakan dalam proyek ambisiusnya: kritik nalar Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S16119
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elis Teti Rusmiati
"Pemikiran kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana diawali dengan penarikan garis yang membedakan dengan jelas antara kebudayaan tradisional Indonesia dengan kebudayaan modern Barat. Perbedaan terutama ditekankan pada konfigurasi nilai dari masing-masing kebudayaan itu; nilai-nilai mana yang lebih dominan. Dengan mengelompokkannya kepada enam nilai (mengikuti Eduard Spranger: nilai teori, ekonomi, agama, seni, kuasa dan solidaritas), Takdir menyebut bahwa dalam kebudayaan tradisional Indonesia berlaku nilai-nilai ekspresif yang menyebabkan kebudayaan itu states, sedangkan di negara-negara Barat, di mana gugus ilmu pengetahuan itu unggul, berlaku nilai-nilai progresif yang mengantarkan negara itu menjadi negara yang modern. Indonesia, hemat Takdir, harus mengadopsi nilai-nilai dari Barat itu yang bercirikan: intelektualisme, individualisme dan materialisme. Dengan kata lain, untuk membina kebudayaan Indonesia itu diperlukan upaya modernisasi mutlak guna meraih kemajuan sebagaimana yang telah diperoleh negara-negara Barat. Gerakan modernisasi seperti ini mendapat banyak tentangan karena dianggap mengancam hilangnya kepribadian bangsa.
Modernisasi yang terjadi di Barat, dalam pandangan Takdir berawal dari peristiwa Renaissans Itali yang aspek dasamya merupakan gerakan humanisme, menempatkan manusia pada posisi sentral. "Manusia", merupakan tema sentral dalam konsep kebudayaan Takdir. Dalam upaya mendefinisikan konsep kebudayaan, Takdir menekankan pada proses budi manusia; budilah yang melahirkan budidaya atau kebudayaan. Melalui kebudayaan, manusia mengubah alam agar menjadi lebih manusiawi. Nilai yang merupakan kekuatan integral dalam pembentukan pribadi, masyarakat dan kebudayaan, berada dalam proses budi manusia. Karena nilai itu juga berada dalam proses budi manusia maka kebudayaan oleh Takdir tidak diukur dengan teori empiris melainkan lebih berdasarkan teori nilai; nilai mana yang paling diutamakannya. Dengan demikian, kebudayaan akan lahir dengan penuh tanggung jawab.
Ketika terjadi akulturasi budaya ada sisi-sisi yang tidak bisa dihindari: ketidakberdayaan meraih nilai-nilai baru sementara yang lama pun sudah telanjur ditinggalkan. Untuk masalah ini, Takdir mengedepankan sisi-sisi manusianya: kreativitas (seperti judul buku yang ia tulis) dan kebebasan. Disamping itu, dalam usaha manusia rasional pada proses modernisasi itu, berkecenderungan untuk semakin irrasional, tetapi Takdir tetap optimis. Takdir juga menganggap ilmu-ilmu sosial telah terjebak - positivisme karena mengenyampingkan masalah nilai, ia lalu mengajukan sebuah konsep yang menyeluruh tentang ilmu manusia sebagai sintesa antara ilmu-ilmu positif dengan teori nilai.
Tidak bisa dihindari bahwa pemikiran-pemikiran Takdir mengenai humanisme dalam kebudayaannya terpengaruh oleh ideologi dari Barat, baik mengenai konsep individualisme, naturalisme, liberalisme maupun rasionalisme dan pemikirannya ini masih relevan untuk masa sekarang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kleden, Ignas
Jakarta: LP3ES, 1987
303.482 KLE s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kleden, Ignas, organizer
Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1988
303.482 KLE s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rosihan Fahmi
"Istilah 'Self' dalam filsafat Barat Modern menunjukkan sebagai identitas yang melekat pada diri seseorang. Konsepsi tentang 'Self' berbeda-beda sesuai dengan pendekatan yang digunakan masing-masing filsuf dalam memaknainya. Namun secara umum dapat dikatakan, perdebatan tentang konsepsi 'Self' dalam Filsafat Barat Modern, mengarah kepada autentisitas esensialis dan eksistensialis.
Ketika dikaitkan masalah konsepsi 'Self' dalam filsafat Barat Modern dengan wacana Orientalisme "Timur" dan "Barat" yang dirumuskan oleh Edward W. Said, dalam bukunya Orientalisme, bisa jadi stereotype-stereotype seperti, rasional, beradab, dan dewasa, diciptakan "Barat" tentang keberadaannya atau identitasnya merujuk pada salah satu atau beberapa gagasan konsepsi filosofis tentang 'Self' apakah itu bersifat deteministik, anti-deterministik, atau mungkin pragmatisme. Karena, konsepsi 'Self' dalam filsafat Barat Modern secara umum, memungkinkan adanya pembenaran akan eksploitasi terhadap sesuatu yang berada diluar seperti benda-benda, alam semesta, dan bahkan manusia yang dilainkan sebagai objek.
Konstruksi identitas yang dibangun "Barat" atas "Timur" oleh Edward W. Said, berhasil dikupas menjadi sebuah persoalan yang sebelumnya dianggap tidak ada dan ditiadakan yaitu persoalan kekuasaan imperialistik yang dibingkai oleh corak kebudayaan yang orientalistik. Secara epistemologis, Edward W. Said berhasil membongkar, menyikap, menelanjangi kebusukan kultural yang diklaim secara ilmiah oleh kekuasaan koloni. Sementara itu, ditingkat ontologi Edward W. Said berhasil membongkar, menyibak, dan menelanjangi pula penyebab akhir kekuasaan imperialistik yang dibingkai oleh nilai-nilai kemanusiaan, yaitu sifat-sifat yang secara menyeluruh dan mendasar adalah antikemanusiaan itu sendiri.
Konsepsi 'Self' dan identitas manusia yang selama ini dianggap netral, terjadi dengan sendirinya, dan universal berhadapan dengan fakta yang dikemukakan Said. Maka 'Self', tidak bisa tidak harus dipahami, dalam konsepsi hibriditas dan autentisitas. Kesadaran akan kemungkinan terjadinya fundamentalisme kebudayaan inilah yang menjadikan kritik Said hanya sebagai gerbang bagi peninjauan ulang konsepsi 'Self' bagi manusia. Dalam upaya meredefinisi identitas, aspek autentisitas dan hibriditas menjadi rumusan yang tidak bisa dihindari, baik bagi "Timur" dan "Barat". Namun disisi lain, Said sendiri tidak melakukan perumusan atau menceritakan upaya Timur dalam merumuskan identitasnya. Dengan kata lain, Said seperti menyetujui bahwa Timur memang tak memiliki kemampuan untuk merumuskan atau menceritakan diri selain melalui suara orientalis dan kritikus- orientalis seperti Said."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hayon, Yohanes Pande
"ABSTRAK
Toynbee termasuk seorang filsuf sejarah spekulatif. Seperti filsuf-filsuf sejarah umumnya, ia pun ingin mencari dan menemukan struktur intern yang melatarbelakangi arus peristiwa sejarah. Usaha itu dilakukan dengan bimbingan tiga pertanyaan utama : (1) Apa pola sejarah?; (2) Apa mekanisme sejarah?;.dan (3) Apa tujuan sejarah?
Toynbee menyelidiki sejarah dengan cara mengamati sejarah dari lingkup-lingkup kebudayaan (masyarakat) tertentu karena menurut dia, kebudayaan merupakan unit studi sejarah. Sebagai unit studi sejarah, kebudayaan harus dipandang sebagai suatu keseluruhan. Itu berarti ia bertolak dari asumsi tentang sejarah sebagai konstruk atau sistem.
Seluruh hasil surveinya, yang dituangkan dalam buku A Study of History (12 jilid), menunjukkan bahwa ada 21 kebudayaan besar di dunia. Dengan mengikuti siklus kehidupan organisme, proses perkembangan kebudayaan itu berlangsung dalam 4 tahap: (1) kelahiran; (2) pertumbuhan; (3) keruntuhan; dan (4) kehancuran. Proses perkembangan masing-masing kebudayaan dalam keempat tahap itu memperlihatkan dengan jelas pandangan Toynbee mengenai pola, mekanisme, dan tujuan sejarah.
Pola sejarah yang dianut Toynbee, seperti terlihat dalam keenam jilid pertama, adalah pola siklis karena proses sejarah itu bergerak secara kontinu membentuk suatu lingkaran (lahir, bertumbuh, runtuh, dan hancur). Tetapi mulai akhir jilid VI proses sejarah menampakkan pola linier.
Mekanisme sejarah tercermin dalam tiap-tiap tahap perkembangan kebudayaan. Proses kelahiran kebudayaan berlangsung dalam mekanisme "tantangan-dan--jawaban" (challenge-and--response); proses pertumbuhan dalam "penarikan diri-dan-kepulangan" (withdrawal-and-return) para pemimpin: proses keruntuhan dalam "pemusnahan secara total dan pemaksaan apa-apa yang baru" (rout-and-rally); dan proses kehancuran dalam "perpecahan dan pembentukan kelompok-kelompok serta institusi-institusi baru" (schismand-palingenesia).
Tujuan sejarah sudah tampak sejak akhir jilid VI di mana proses sejarah bergerak mengikuti garis lurus menuju Kerajaan Allah sebagai puncaknya. Di situlah manusia, yang telah mencapai status sebagai Manusia Super, menjalin hubungan langsung secara individual dengan Allah sendiri.
Sebagian konsep Toynbee masih dirasakan relevansinya dengan kehidupan masyarakat modern sekarang, seperti konsep "tantangan-dan-jawaban". Kemajuan di segala bidang kehidupan manusia dewasa ini mencerminkan bagaimana dialektika antara tantangan dan jawaban berlangsung.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Indonesia. Kemajuan dalam pembangunan selama ini membuktikan keberhasilan masyarakat Indonesia dalam menjawab tantangan. Tetapi di samping itu konsep-konsep Toynbee yang lain, seperti "minoritas kreatif",- "minoritas dominan", "proletariat", dan "alienasi", terkesan menarik bila diangkat ke permukaan karena menampakkan relevansinya dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lewuk, Peter
Jakarta : Forum Studi & Komunikasi , 1995
181.16 LEW k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>